Tahun Baru




Buat saya, tahun baru belum pernah benar-benar Wow!. Kecuali beberapa tahun yang lalu waktu alhamdulillah berkesempatan melewati 00:00 malam tahun baru sambil berdiam di Masjidil Haram. Selebihnya lebih banyak berisi perayaan dengan teman-teman di sekitar rumah. Itupun sebenarnya lebih dalam rangka srawung bersosialisasi, bukan karena tahun barunya.

Bicara soal refleksi, evaluasi, resolusi, target, perubahan menjadi lebih baik, dll sepertinya lebih mudah dilakukan kalau ada interval waktu yang jelas. Intervalnya boleh berupa hari, tapi sepertinya terlalu pendek untuk bisa melakukan sesuatu yang cukup bermakna. Boleh juga bulanan, tapi setiap bulan punya ciri khasnya masing-masing sehingga susah dibandingkan hasilnya. Misalnya ada bulan yang isinya hanya libur tok, ada yang mengandung Ramadhan di dalamnya, dll

Menurut saya evaluasi diri yang paling baik ordenya tahunan. Dalam setahun kita merasakan semua musim, melewati semua cycle mingguan dan bulanan, sudah sinkron antara Masehi dan Hijriyah (walaupun ada beda beberapa hari sih), dan waktu setahun rasanya cukup untuk melihat hasil yang telah diupayakan.

Hitungan tahunan nggak harus dimulai dari 1 Januari dan berakhir 31 Desember memang. Tapi jangan lupa, 1 Januari adalah satu-satunya tanggal dalam kalender Masehi dimana Tahun Baru, Bulan Baru, dan Hari Baru sama-sama terjadi. Kalau dianggap sebuah pekan diawali dengan hari Senin, maka 1 Januari 2017 juga adalah Minggu Baru.

Selain itu, kita hidup dalam society yang banyak sistemnya menggunakan hitungan tahunan 1 Januari-31 Desember, bukan 25 Maret-24 Maret, 1 September - 31 Agustus atau 1 Muharram - 29 Dzulhijah. Akibatnya untuk para pelajar libur semester adalah Juni dan Desember, untuk orang yang bekerja Desember adalah bulan kejar target, dan perhitungan kuartal tahun adalah 1 Jan-31 Mar, 1 Apr-30 Jun, 1 Jul-30 Sept, dan 1 Okt-31 Des.

Dengan kondisi seperti itu maka 1 Januari adalah waktu yang tepat untuk mengevaluasi, merefresh, dan menyiapkan rencana-rencana untuk 1 tahun berikutnya. 1 Januari tidak harus dirayakan, tapi alangkah baiknya jika kita memeriksa diri sendiri atau saling sharing dengan orang lain tentang apa saja yang sudah dicapai setahun terakhir dan siapkah kita untuk menjadi atau melakukan something big tahun depan.

Jadi, apa resolusimu di 2018 ?


*rasanya post ini kurang panjang, jadi ini sekilas soal Millennium Bug buat yang belum tahu

1 Januari 2017 kita 'cuma' memulai tahun, bulan, minggu, dan hari yang baru. Kita tidak memulai abad atau millennium baru seperti tahun 2000 lalu. Sayangnya waktu itu saya masih terlalu kecil untuk memahami millenium bug yang terjadi. Padahal ini fenomena menarik.

Pada abad ke-20 (19xx) program-program komputer menuliskan 4 digit angka tahun hanya dengan 2 digit terakhirnya. Misalnya 1955 ditulis sebagai 55, 1978 menjadi 78, 1999 menjadi 99, oleh komputer. Apa yang akan terjadi ketika tanggal berubah menjadi 1 Januari 2000 ? 010100 akan dianggap sebagai 1 Januari 1900 instead of 1 Januari 2000.

Kesalahan penanggalan adalah masalah besar bagi masyarakat yang mulai beralih ke era digital. Data-data perbankan, pembangkit listrik, kependudukan, dan sektor strategis lain terancam waktu itu. Tempat-tempat dengan sistem yang rawan dipantau secara serius bahkan sampai bersiap untuk resiko terburuk misalnya kebakaran.

Itu sekilas soal Y2K atau Millennium Bug. Kalau penasaran sudah banyak kok sumber yang menjelaskan peristiwa ini. Kalau tahun 2000 belum sadar dengan ini, tahun 2038 masih ada kemungkinan bug lain kok, tapi sepertinya dengan perkembangan teknologi komputasi seperti saat ini dunia sudah akan lebih siap untuk menghadapi yang satu itu.


Salam,
Chandra

Film Review : Apakah Kita Truman ?




Judul : The Truman Show
Tahun Rilis : 1998
Pemain : Jim Carrey, Laura Linney, Noah Emmerich, Natascha McElhone, Holland Taylor, Ed Harris
Sutradara : Peter Weir
Durasi : 103 menit
Bahasa : English

[SPOILER ALERT]

Hayoo, udah nonton film ini belum ?
Walaupun sudah lama dirilis, tapi film ini sangat layak tonton dan masih relevan dengan realitas yang ada sekarang. Kalau mau nonton, paling gampang klik disini. Nggak masalah lah ya nonton film gratisan, wong udah nggak tayang di bioskop. Tapi kalau mau nonton film baru ke bioskop saja, hargai para pekerja film :)

Fyi, The Truman Show disebut-sebut sebagai salah satu film dengan premis cerita terbaik. Film ini bercerita tentang kehidupan seorang Truman Burbank dan drama-drama yang ada di dalamnya. Tapi sayangnya bahkan Truman sendiri tidak punya kuasa atas apa yang terjadi pada dirinya. Dia tidak tahu bahwa dia adalah bagian dari sebuah acara televisi.

Truman : Was nothing real ? | Christof : You were real, that's what make you so good to watch

Hidup Truman diatur sedemikian rupa oleh sang sutradara, Christof. Kehidupan sekitarnya memang tampak normal. Truman berkeluarga, bekerja, bergaul, namun semuanya palsu. Kegiatannya direkam kamera selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Dia tidak bisa pergi lebih jauh daripada 'dunia' yang ditempatinya. Atau lebih tepatnya yang dicipatakan untuknya. Bahkan untuk sekedar jatuh cinta bukanlah menjadi kuasanya.

Sekitar setahun yang lalu saya pernah menulis review sebuah film biografi, Ed Snowden. Snowden sempat menggemparkan dunia beberapa tahun yang lalu setelah secara berani membuka rahasia tentang aktivitas spionase yang diduga dilakukan pemerintah AS. Data-data yang dibawanya menunjukkan bahwa banyak penyadapan atau pengumpulan informasi secara ilegal atas warga sipil. Snowden menjadi buah bibir di seluruh dunia, menempatkannya sebagai penghianat sekaligus pahlawan.

Kenapa bawa-bawa Snowden ? Karena ada hubungannya dengan Truman. Fakta-fakta yang dipaparkan Snowden seolah melegitimasi bahwa sosok Truman dalam The Truman Show bisa jadi bukan sekedar tokoh fiksi. Bisa jadi setiap dari kita adalah Truman-Truman yang hidupnya tidak merdeka.

Selama ribuan hari Truman tidak curiga atas kehidupan yang dijalaninya. Setelah terjadi beberapa kejadian-kejadian janggal barulah dia berkata "aku seperti terlibat dalam sesuatu". Lalu bagaimana dengan kita ?

We accept the reality of the world with which we are presented - Christof 

Jika informasi yang disampaikan Snowden benar (dan saya sih cukup yakin dia benar), maka tidak menutup kemungkinan kita pun selama ini diawasi secara sembunyi-sembunyi. Kita tidak pernah tahu kemana chat-chat yang kita kirim itu ter-delivery, apakah hanya ke orang yang kita tuju ? atau juga disimpan di suatu tempat ? Foto-foto, video, tulisan, riwayat pencarian Google, history browser, selama kita terkoneksi internet, tidak ada yang tahu apa saja yang sebenarnya terjadi.

Google, Apple, Microsoft termasuk dalam pihak-pihak yang disebut terlibat melakukan aktivitas spionase. Sekarang lihat handphone dan laptopmu. Tahu kenapa kita bisa pakai google setiap saat secara gratis ? Karena google bisa mengumpulkan data, interest, pola aktivitas, informasi pendidikan, pekerjaan, dll lalu menjualnya.

Coba perhatikan, sekali kita pernah beli tiket atau booking hotel lewat sebuah situs pemesanan online, akan sering muncul pop up promosi situs tersebut bahkan ketika kita membuka hal yang sama sekali tidak berhubungan. Itu karena mereka tahu kita punya potensi untuk bepergian sehingga kita butuh tiket - dan mereka maunya kita beli dari mereka.

Sebenarnya ini tidaklah seluruhnya jahat. Sebelum internet memasyarakat pun forecasting semacam ini sudah dilakukan. Yang tidak etis adalah kalau benar kita 'diintai' sampai urusan yang sifatnya pribadi. Dalam film Snowden ditunjukkan bahwa kamera laptop bisa diaktifkan dari jarak jauh dan gambar kita bisa diambil. Sering tidur ngadep laptop terbuka ? Hayoloh..

Memang masih debatable apakah kita ini sebenarnya 'merdeka' atau tidak. Tapi kalau bicara soal internet agak susah jaman sekarang melepaskan diri dari hal yang satu ini, karena banyak juga manfaatnya. Yang diperlukan adalah kebijaksanaan kita dalam menggunakannya. Kita harus senantiasa sadar bahwa dalam private chat paling private sekalipun bisa saja ada orang lain yang membaca.

Rasanya kita perlu mencontoh Truman yang heroik mencari kebenaran. Faktanya adalah bahwa serapat apapun kungkungan yang melingkupi kita, pasti ada celahnya. Kalau kita cukup bijaksana, setiap perjalanan bisa jadi hikmah.

You never had a camera in my head - Truman

Pelajaran dari Truman : jangan menyerah dan sepahit apapun kenyataan hadapi dengan tersenyum lebar :)

Well, I'm Truman - Truman Burbank


Salam,

Chandra


Saya Cinta Palestina tapi Tidak Ikut Aksi



Hari ini ada Aksi Bela Palestina di Monas. Saya tidak ikut. Ada beberapa alasan sehingga bagi saya rasanya tidak worth it untuk pergi ke Jakarta 'hanya' untuk ikut acara ini.

Bagi orang awam seperti saya, Aksi Bela Palestina ini lebih esensial daripada acara bernuansa sama beberapa hari lalu. Setahun yang lalu ada kasus penistaan agama lalu ditanggapi dengan Aksi Bela Islam dan aksi semacamnya. Bagus, karena pada akhirnya kita sadar bahwa kehormatan agama ini perlu dibela. Tapi perlukah reuni ? hmmm. Jangan-jangan kalau tahu Trump bakal mengeluarkan pidato kontroversial beberapa hari berikutnya reuni itu tidak akan ada.

Seperti kita tahu Trump kemarin mengeluarkan statement yang memicu kehebohan dunia dengan mengatakan bahwa Jarusalem adalah ibukota Israel. Akibatnya konflik di Palestina sana semakin menyala dan berdarah-darah.

Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia ikut panas. Muncul gerakan-gerakan dan kampanye untuk membantu saudara-saudara yang berjihad di Palestina. Bagus, kalau kata Ust. Hanan Attaki di jaman sekarang bangsa-bangsa seperti Palestina, Syria, dan Rohingya adalah kaum 'Muhajirin' sedangkan bangsa damai seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei adalah kaum 'Ansor'. Sudah seharusnya bangsa-bangsa damai dan makmur memberikan kepedulian besar atas saudaranya.

Seperti Anda, saya juga cinta Palestina. Tapi...


Kalau tadi saya katakan ada beberapa alasan yang membuat saya tidak begitu simpatik dengan aksi ini adalah ketidaksukaan saya pada beberapa kelompok atau pihak yang terlibat. Walaupun saya bilang aksi ini esensial, nuansa aksi ini tetap relatable dengan aksi-aksi sebelumnya dan saya terlanjur tidak simpatik dengan aksi-aksi itu. Saya sepakat dengan ide yang mendasari aksi-aksi ini. Tapi jujur saya lelah menyaksikan drama-drama di belakangnya dan perselisihan yang terjadi di level akar rumput.

Maaf kalau sangat subyektif, saya sadar bahwa kalau sudah tidak suka dengan sesuatu segalanya jadi tampak tidak baik. Tapi faktanya bahkan saya terpaksa kehilangan respect pada seorang guru yang dulu saya anggap sangat intelek tapi kini sering membagikan informasi-informasi tidak akurat dan dipaksakan untuk menyalahkan pihak lain, bahkan kadang berisi ujaran kebencian.

Saya punya prinsip, untuk mendapatkan gambaran paling murni tentang sesuatu, carilah petunjuk dengan rantai informasi terpendek. Saya orang yang internet-active, tapi sangat menghindari berita yang isinya "katanya-katanya", tanpa sumber yang jelas, bahkan kadang cacat logika. Sayangnya berita seperti ini sangat banyak tersebar di internet, membuat berita salah memang lebih mudah daripada membuat berita benar. Kebiasaan selektif ini memang kadang-kadang membuat saya ketinggalan berita, tapi sisi baiknya adalah saya tidak banyak terpengaruh oleh buzzer-buzzer yang belum tentu kredibel.

Video wawancara atau pidato yang tidak dipotong, berita yang narasumbernya terlibat dalam peristiwa, dan sumber berita non profit yang jauh dari kepentingan adalah alternatif referensi yang menurut saya lumayan baik. Sayangnya yang seperti ini seringnya sulit dicari.

Masyarakat muslim Indonesia terpolarisasi sejak kasus penistaan agama dan pilkada yang heboh itu. Di sisi lain informasi bias tersebar dengan sangat cepat. Perdebatan terjadi dimana-mana dan sebagiannya tidak menghasilkan solusi, malah banyak saya temui di sosial media dimana sesama teman jadi saling menyalahkan.

Saya pun berjudi dengan tulisan ini. Walaupun pembacanya belum banyak-banyak amat, tetapi pasti ada diantara teman-teman yang membaca ini yang tidak sependapat dengan saya. Tolong kalau saya salah diingatkan, tapi jangan buta-buta membeci saya karena tulisan ini. Jangan-jangan nanti banyak keputusan memilih menantu dipengaruhi stance dalam hal-hal ini heuheu...

Kalau saya pada akhirnya berempati atau membantu saudara-saudara di Palestina, itu bukanlah karena terinspirasi dari aksi hari ini. Tetapi itu karena hidayah Allah melalui gambaran-gambaran peristiwa yang terjadi di Palestina yang saya akses dari sumber-sumber referensi yang saya yakini tadi.

Nasehat dekat dengan kata "kebenaran" dan "kesabaran"
Sama seperti Anda, saya juga cinta Palestina
Save Palestine




Salam damai,
Chandra








Junior




Baru beberapa bulan yang lalu saya adalah 'angkatan tertua' di kampus. Menjadi golongan yang paling berkuasa atas fasilitas kampus, paling dekat dengan dosen, dan dianggap paling tahu seluk beluk kehidupan mahasiswa.

Beberapa bulan berlalu, saat ini, saya adalah golongan paling junior di lingkungan yang baru. Sama seperti dulu waktu baru masuk SMP, SMA, dan kuliah, banyak yang berubah. Kita bisa saja mendengar kuliah itu seperti ini, bekerja itu seperti ini, tapi banyak hal yang harus dijalani sendiri untuk kita bisa mengerti.

Sebenarnyalah saya sudah cukup familiar dengan tempat baru ini. Banyak orang-orang di dalamnya yang sudah saya kenal. Sejak awal tahun saya telah berkali-kali ke sini untuk keperluan tugas akhir. Setidaknya diantara orang-orang baru, saya adalah yang paling terdahulu.

Hari ini adalah hari terakhir masa probation (percobaan) saya di sini. Besok Senin status saya sudah berubah. Malam ini saya memutuskan untuk bermalam di kantor, awalnya karena hujan yang tak kunjung reda mengguyur daerah utara Bandung, tapi akhirnya saya putuskan untuk menginap agar lebih mengenal tempat ini. Selain udara yang sejuk dan air yang dingin, ternyata fasilitas penunjang kehidupan di sini sangat lengkap. Pantesan beberapa orang memutuskan totally tinggal di sini...

Dari seluruh drama-drama perubahan status senior menjadi junior (lagi), ada satu hal yang menurut saya layak dibagikan. Saya belajar banyak soal ini, yaitu ikhlas menerima bahwa kita ini masih junior.

Berpindah ke tempat baru, sepandai apapun kita pada suatu hal, pasti ada yang sama pandainya dengan kita tapi lebih berpengalaman. Kalau dibandingkan, kita ini lebih banyak tidak tahunya daripada tahunya.

Ikhlas menerima bahwa kita masih "muda" artinya membuka diri bagi pengalaman, pelajaran, dan cara berpikir yang baru. Hal ini lebih bijak daripada meyakini kita sudah banyak tahu. Memang pasti akan ada nilai, norma, dan budaya yang tidak sesuai dengan apa yang selama ini kita yakini, tapi justru disitulah kita diuji seberapa mampu memilih secara obyektif mana yang lebih baik.

Berinteraksi dengan orang-orang baru akan memberikan kita perspektif-perspektif yang juga baru. Ada sebuah ilustrasi yang cukup menarik :
Ada 10 orang mengelilingi seekor gajah. Masing-masing orang mengambil foto gajah itu dengan kameranya. Pertanyaannya, apakah diantara 10 foto itu ada yang sama persis ? Tidak. Tapi apakah semuanya benar gambar seekor gajah ? Ya. Artinya obyek yang sama akan tampak berbeda jika dilihat dari perspektif yang berbeda.
Dialah yang paling banyak melihat gambar orang lain yang bisa mendeskripsikan gajah dengan paling tepat. Dialah yang paling banyak belajar.

Tidak sedikit lulusan dari kampus yang katanya besar merasa sudah menguasai banyak hal sampai-sampai lupa bahwa masih banyak yang perlu dipelajari. Keikhlasan untuk selalu menempatkan diri dalam posisi belajar membuka banyak kesempatan untuk mendapatkan ilmu-ilmu baru. Dimana-mana ada ilmu, tinggal seberapa peka kita menangkapnya.

Sakit hati, dianggap kurang cakap, direndahkan oleh orang yang kita rasa harusnya di bawah kita, adalah konsekuensi dari semua itu. Belajar di sekolah sifatnya hanya menerima dan mencoba memahami (entah ini sistem belajar yang betul atau tidak). Tapi belajar di masyarakat lebih real, menuntut kemampuan beradaptasi, dan terkadang keras.

No pain, no gain. Kalau ikhlas menjalani segala prosesnya, sedikit demi sedikit kita akan dianggap semakin mampu. Kita akan bergerak dari satu tanggung jawab ke tanggung jawab lain yang lebih besar. Tapi jangan menolak sebuah tanggung jawab hanya karena kita ragu akan kemampuan sendiri, justru dalam pelaksanaan tanggung jawab itu akan ada pelajaran yang bisa diambil. Lagi-lagi pelajaran. Ini adalah cara naik yang sangat elegan.

Pada akhirnya, berada di tempat baru adalah soal kemampuan beradaptasi tanpa kehilangan kebaikan yang sebelumnya sudah dimiliki dan sebisa mungkin mengubah kekurangan menjadi kelebihan yang lain, dengan belajar. Bicara soal karier, menurut saya antara belajar dan bekerja tidak bisa begitu saja dipisahkan. Bukan berarti orang yang belajar itu tidak bekerja dan orang yang bekerja tidak belajar. Alhamdulillah saya bersyukur mendapat kesempatan untuk belajar dengan dibayar.


Salam, dari saya yang juga masih belajar.


gambar by Jojo

Ahsan




Orang bilang jadilah besar karena prestasi, bukan sensasi. Namun tampaknya tahun ini nama Mohammad Ahsan terangkat lebih karena karena sensasi yang dibuatnya. Tapi sensasi tidak selamanya buruk. Ada pelajaran dan nilai-nilai yang patut disebarkan. Seperti yang dicontohkan Mohammad Ahsan.

Siapa tak kenal Mohammad Ahsan ? Semua yang mengikuti berita perbulutangkisan Indonesia pasti tahu. Bersama Hendra Setiawan, Ahsan sempat menjadi ganda putra ranking satu dunia. Sederet prestasi dipersembahkan Ahsan untuk merah putih, mulai dari 2 gelar juara dunia (2013 dan 2015), 9 title turnamen level Superseries, juara Asian Games, Sea Games (3x), belum termasuk posisi runner up dan juara tiga di berbagai kompetisi. Sampai beberapa tahun yang lalu Ahsan - Hendra adalah tumpuan Indonesia untuk meraih gelar, bersama Tontowi Ahmad - Lilyana Natsir tentu saja.

Ahsan-Hendra
Saat ini Ahsan-Hendra sudah dipisah. Hendra Setiawan selanjutnya berpasangan dengan Tan Boon Heong asal Malaysia. Sementara Ahsan bersama partner barunya, Rian Agung Saputro, saat ini sedang menapak naik dan sementara berada di ranking 30 dunia.

Bersama pasangan barunya, capaian tertinggi Ahsan baru mencapai silver medalist World Championship 2017 yang diselenggarakan di Glasgow. Tapi belakangan ini yang banyak disorot warganet justru beberapa tingkah Ahsan - Rian yang tidak lazim dalam sebuah pertandingan bulutangkis profesional.

Ahsan-Rian mulai mencuri perhatian setelah secara santun menolak bersalaman dengan seorang wasit perempuan. Wasit yang bersangkutan juga tidak tersinggung dengan hal ini, nampak dari wajahnya yang ikut tersenyum. Sejak saat itu gerak-gerik mereka, terutama Ahsan, semakin sering disorot kamera.

Menolak bersalaman dengan service judge perempuan

Beberapa tahun yang lalu ada himbauan untuk pemain badminton putri agar mengganti penggunaan celana dengan rok. Tujuannya agar permainan terlihat lebih 'menarik', meniru pertandingan tenis. Ahsan justru mendemonstrasikan antitesisnya. Dalam beberapa turnamen terakhir Ahsan tampak mengenakan semacam legging. Tujuannya ? Untuk menutup aurat, tentu tanpa mengganggu pergerakannya. Apresiasi datang dari banyak pihak untuk Ahsan (dan Rian yang kemudian mengikuti) atas pilihannya ini

Menutup aurat
Pada pertandingan bulutangkis profesional saat ini, setiap poin 11 tiap set-nya ada interval turun minum dan pelatih bisa memberikan arahan. Pada beberapa kesempatan kamera menyorot pasangan Ahsan-Rian saat turun minum. Namun ada hal yang tidak biasa. Mereka menerima instruksi dan minum sambil duduk! Budaya sederhana yang rasanya tidak pernah dipraktekkan sebelumnya di tengah panasnya sebuah pertandingan bulutangkis. Sangat menjunjung tinggi etika.

Minum sambil duduk
Perlahan performa Ahsan-Rian makin kompak dan membaik. Beberapa kali mereka menembus babak QF atau SF bahkan final sebuah turnamen superseries. Alhasil tindakan-tindakan off-field mereka semakin viral. Semoga semakin hari semakin banyak gelar yang mereka raih.

Ini adalah cerita 'hijrah' seorang Mohammad Ahsan. Menolak bersalaman, menutup aurat, minum sambil dudu adalah hal sederhana jika dilakukan oleh orang biasa. Tapi jika hal sederhana ini dilakukan oleh seorang yang powerful efeknya bisa sangat besar. Bagaimanapun Ahsan adalah salah satu pebulutangkis berpengaruh dalam satu dekade terakhir.

Layaknya kereta api yang meskipun berjalan pelan bisa melontarkan apapun yang ada di depannya, karena massanya besar. Begitu juga ini, contoh sederhana dari seorang atlet kelas dunia bisa mengajak banyak orang untuk ikut 'berhijrah'.

Bersujud
Kita tidak berhak menyalahkan seolah perubahan Ahsan ini 'terlambat'. Episode ketika Ahsan masih berpasangan dengan Hendra mungkin bukan saat yang tepat untuk pelajaran ini bisa dengan cepat menyebar. Saat itu adalah masanya Ahsan mendaki karier sebagai pemain bulutangkis hingga menjadi sosok yang besar. Pada akhirnya nama besarnya menjadi jaminan atas apa yang dilakukannya. Tindakannya diapresiasi, didukung, dan diikuti oleh banyak orang.

Sore ini (2/12), bertepatan dengan saya memulai tulisan ini, Ahsan reunian dengan Hendra dalam Kejurnas PBSI 2017 di Bangka Belitung. Sebagai mantan pasangan nomor 1 dunia mereka masih terlalu tangguh untuk pemain kelas nasional. Dengan relatif santai mereka meraih gelar juara nasional. Sorak sorai berkumandang menyambut mereka. Rindu pada pasangan yang telah banyak mengharumkan nama Indonesia. Tapi yang paling penting, Ahsan tetap menjaga nilai-nilainya. Semakin tampak dia yakin dengan yang dilakukannya.


Salam,
Chandra
saya bukan siapa-siapa, isi tulisan ini juga tidak seberapa, tapi semoga ini dihitung sebagai upaya menyebarkan kebaikan, dan semoga apa yang saya tuliskan semakin bermanfaat setiap saat, dari hari ke hari, bukan menjadi semakin sia-sia.