Crime-y
Salah satu film favorit saya sepanjang masa adalah The Shawshank Redemption. Bercerita tentang mengapa dan bagaimana seorang narapidana kabur dari penjara dengan cara yang sangat brilian dan tak diduga oleh siapapun. Kisah Andy (diperankan Tim Robbins) dan Red (diperankan Morgan Freeman) selama di penjara sangat menguras emosi. Sudah itu lalu ditutup dengan ending yang menurut saya salah satu terbaik yang pernah saya tonton dari sebuah film.Crime Series XI
Apa jadinya kalau tokoh-tokoh dari beberapa crime series dikumpulkan menjadi satu tim sepakbola. Tentu menarik karena setiap cast pasti punya kekhasan masing-masing yang pas untuk salah satu posisi di dalam tim. Ini adalah untimate team dari series yang saya ikuti beberapa bulan terakhir yaitu: Prison Break, White Collar, Suits, dan Only Murders In The Building.
Saya ceritakan sedikit satu-satu ya. Prison Break, sesuai namanya, adalah drama pelarian dari penjara yang di-orchestrate oleh Michael Scofield untuk membebaskan saudaranya Lincold Burrows. Aksi keduanya dibantu Sara Tancredi, dokter penjara yang jatuh cinta pada Scofield. Sama-sama keluar dari penjara, Neal Caffrey di White Collar keluar tidak dengan kabur melainkan karena diminta untuk membantu Peter Burke di FBI dalam memecahkan kasus, dalam aksinya mereka dibantu oleh rekan kriminal Caffrey bernama Mozzie.
Kalau di White Collar ada Peter dan Neal, di Suits mereka punya pasangan serupa dalam diri Harvey Specter dan Michael Ross. Harvey adalah pengacara kondang di New York yang meng-hire Mike Ross sebagai associate-nya meskipun dia bermasalah karena tidak punya ijazah. Terakhir ada Only Murders In The Building yang menampilkan trio Mabel Mora, Oliver Putnam, dan Charles-Haden Savage dalam upayanya memecahkan kasus pembunuhan di apartemennya.
Now here's the team
Striker: Michael Scofield
Scofield punya insting yang super tajam dalam membaca peluang layaknya striker terbaik dunia. Dia juga eksekutor ulung yang mampu memaksimalkan segala kesempatan untuk mencetak gol, ditunjang dengan kelincahan dan timingnya yang brilian. Dia bisa bekerja sendiri menghancurkan pertahanan lawan maupun membangun serangan bersama rekan-rekannya. Dia adalah team player sejati yang bersedia masuk penjara demi membebaskan kakaknya.
Right Winger: Sara Tancredi
Tidak ada pendamping yang lebih baik bagi Scofield selain Sara Tancredi. Romansa keduanya menjadi pemanis cerita dan aksi yang tegang dalam Prison Break. Sebagai pemain di sayap kanan Sara senantiasa memberikan umpan lambung untuk Scofield di depan. Assist terbaiknya tentu saja ketika ia meninggalkan pintu infirmary tak terkunci malam itu.
Left Winger: Mabel Mora
Mabel melengkapi barisan depan tim ini. Kehadirannya sebagai pemain sayap kiri menawarkan kreativitas dan keberanian dalam bermanuver. Kombinasinya di sisi kiri bersama Putnam tentu akan merepotkan pertahanan lawan. Daya jelajahnya sangat berguna untuk menusuk ke kotak penalti lawan ketika seluruh tim yang lain sedang mengalami kebuntuan, seperti keberaniannya ketika melawan dan mengejar glitter guy dalam OMITB.
Central Midfielder : Neal Caffrey
Neal dengan gayanya yang elegan mengingatkan saya pada pemain tengah Barcelona, Xavi. Ide-ide Neal yang brilian dan tidak terpikirkan orang itu sama halnya passing-passing mengejutkan nan akurat yang biasa dilakukan Xavi. Kasus rumit menjadi ringan ketika orang sekreatif Neal ada di jantung permainan. Neal adalah spesialis tendangan bebas dan sering mencetak gol dengan sepakan akuratnya.
Central Midfielder: Mozzie
Kalau Neal adalah Xavi, tentu Mozzie adalah Iniesta-nya. Neal dan Mozzie bisa saling mengerti tanpa harus berbicara. Mozzie adalah orang kepercayaan Neal untuk membereskan banyak hal yang membutuhkan berpikir dan risat. Dia adalah otak di belakang kesuksesan Neal bersama FBI. Baik Iniesta di Barcelona maupun Mozzie di White Collar keduanya sama-sama menyenangkan untuk dilihat. Kemiripan lain diantara keduanya tentu saja masalah . . rambut.
Defensive Midfielder: Harvey Specter
Sebagai salah satu pengacara terbaik di New York yang ahli dalam mematahkan gugatan hukum kepada kliennya, Harvey Specter adalah orang yang pas menduduki posisi gelandang bertahan. Tugasnya menghentikan serangan lawan sebelum terlalu dekat dengan gawang. Skill yang mumpuni, kemampuan membaca situasi, dan work ethic yang dimilikinya membuatnya dipercaya menjadi kapten di tim ini.
Right Back: Michael Ross
Michael Ross atau yang biasa dipanggil Mike Ross ini sebenarnya sangat jenius. Namun ia terpaksa berada di belakang karena harus menyembunyikan fakta bahwa dia bukanlah lulusan hukum. Ini membuatnya ilegal mempraktekkan hukum di Amerika. Di tim ini Mike Ross akan berperan sebagai inverted full back yang masuk ke tengah membantu Harvey menghalau upaya serangan lawan. Bersama Mabel Mora, Mike Ross adalah youngster yang akan bersinar di tim ini.
Center Back: Charles-Haden Savage
Charles-Haden Savage a.k.a Brazzos adalah pemain paling senior di tim ini. Secara fisik mungkin ia bukan yang paling enerjik dan cepat, namun pengalamannya adalah modal berharga untuk menjadi pemain belakang. Jiwa detektifnya sebagai Charles dan Brazzos membuatnya jeli melihat aliran serangan lawan. Potitioningnya bagus, Charles bijak di dalam lapangan, walaupun di luar lapangan dia bucin pada orang yang salah.
Center Back: Lincoln Burrows
Linc berperan sebagai tukang pukul di lini belakang. Kalau Scofield adalah otak, Linc adalah ototnya. Dia tidak segan menggunakan fisiknya untuk menghentikan serangan lawan. Meskipun sedikit sloppy dan kadang-kadang blunder, Linc beberapa kali mampu mencetak gol dengan sundulannya memanfaatkan umpan sepak pojok dan tendangan bebas. Linc pemain yang paling sering kena kartu merah di tim ini.
Left Back: Oliver Putnam
Sebagai bek kiri Putnam selalu merasa dirinya Roberto Carlos, ketika sebenarnya dia adalah Alberto Moreno. Banyak gaya, suka ngide, tapi tetap valuable member of the squad. Setidaknya di sisi kiri lapangan ada pawangnya yaitu Mabel. Putnam bersama Mabel akan merangsek dari sayap seperti ketika mereka menyelinap di lorong rahasia Arconia.
Goalkeeper: Peter Burke
Sebagai agen FBI dengan success rate di atas 90 persen, kita bisa berharap gawang kita aman ketika dijaga oleh Peter. Dilihat dari keahliannya menggunakan senjata maupun bertarung tangan kosong, sepertinya tangannya bisa diandalkan. Sepanjang pertandingan Peter terus memberikan arahan pada garis pertahanan di depannya. Namun ketika pemain belakang bisa dilewati dia pun berani berhadapan satu lawan satu dengan penyerang lawan. After all, Peter adalah 'penjaga' Neal Caffrey.
Inilah Crime Series Ultimate Team versi saya, bagaimana menurutmu?
Nussa: Film Untuk Semua
Banyak pengulas film mengatakan Nussa adalah film animasi terbaik Indonesia. Saya setuju dengan pendapat itu, secara visual dan cerita film ini benar-benar matang dan top notch. Kualitas animasi besutan The Little Giantz bisa disandingkan dengan buatan luar negeri. Ada beberapa bagian yang tampak secara sengaja dibuat lebih sederhana misalnya dalam adegan mimpi, namun sebagian besar lainnya tanpa kompromi. No complaint.
Secara cerita, pasti banyak yang sudah tahu karakter Nussa melalui serialnya. Nussa adalah seorang anak laki-laki yang berkarakter islami dan menggunakan kaki bionik di salah satu kakinya. Situasi yang digambarkan dalam film adalah ketika Nussa hendak mengikuti science fair. Sebagai unggulan dari sekolahnya semua terasa baik-baik saja hingga datang seorang murid baru yang nampaknya lebih populer dan berpotensi mengalahkannya dalam perlombaan. Problem klasik anak sekolah.
Premis sederhana itu dimainkan dengan sangat lihai terutama pada endingnya. Hebatnya Visinema berhasil memastikan cerita dan detailnya cukup sederhana untuk dicerna anak-anak, sekaligus cukup berbobot untuk membuat orang dewasa betah menontonnya. Anak-anak terhibur, orang dewasa diserang haru.
Visinema mengimbangi nuansa Islam yang dibawa Nussa dengan kandungan drama keluarga dan humor dalam kadar yang pas. Dalam film ini adegan ibadah dibuat tidak terlalu banyak, setengah durasi Nussa tampil berbeda tanpa kopyah, dan tokoh-tokoh di luar keluarga Nussa digambarkan biasa saja dalam menjalankan agama. Modifikasi dilakukan untuk membuat Nussa lebih moderat dan mudah dinikmati penonton baru.
Nussa dalam keluarga maupun lingkungan pertemanannya mengalami konflik yang wajar dialami anak seusianya sehingga penonton mudah merasa terhubung. Penyelesaian konfliknya pun jadi terasa natural dan masuk akal. Hangatnya keluarga Nussa dan serunya kuartet Nussa-Rara-Abdul-Syifa sampai kepada penonton.
Para tokoh pendukung, meskipun tidak banyak jumlahnya, mempunyai peran yang jelas dan kehadirannya terasa tebal mengimbangi Nussa dan keluarga. Pengisi suara juga tampil baik meskipun mungkin ini pengalaman pertamanya menjalankan peran itu. Babe Jaelani tokoh favorit saya, sangat Oppie Kumis. Bibi Mur terdengar ART sekali. Papa dan Mama Jonni punya cara bersikap dan bicara khas orang kaya. Ibu Anggi dapat anggunnya diperankan Raisa.
Aspek terbaik dari film Nussa adalah bagaimana Nussa digambarkan sebagai anak SD biasa. Nussa bukan tokoh good boy utopis yang selalu cerdas dan ceria. Nussa juga bisa rewel, marah, dan ngambek. Nussa tidak mencoba menampilkan sosok bocah yang sempurna lalu mentah-mentah meminta penonton anak-anak menjadi seperti dirinya. Meski begitu, tetap ada bagian dimana Nussa mencontohkan bagaimana baiknya meminta maaf ketika melakukan kesalahan sekaligus cara menjadi anak, kakak, dan teman yang baik.
Sedikit yang kurang dalam film Nussa adalah di bagian depan pemanasannya agak lambat dan mudah ditebak. Setengah ke belakang baru ceritanya kick-in. Klimaksnya sih saya yakin membuat banyak orang dewasa mau menitikkan air mata.
Saya katakan film Nussa ini untuk semua karena baik anak-anak maupun dewasa bisa menikmati dengan caranya masing-masing (p.s. waktu saya nonton mayoritas isi bioskop adalah keluarga bersama anak-anaknya). Selain itu adaptasi menjadi lebih moderat bisa menggaet penonton lebih luas, bukan hanya penikmat serialnya saja.
Secara keseluruhan Nussa adalah film yang asik, menyenangkan ditonton, dan banyak gizi moralnya. Jelas Nussa dibuat secara serius dan sepenuh hati. Ikut bangga film animasi Indonesia sudah sampai di level ini.
Chandra
In Harmonia Progressio
Film terbarunya Pidi Baiq berjudul Koboy Kampus mungkin bukan film yang sangat-sangat bagus. Tapi bagi saya yang alhamdulillah pernah belajar di ITB ini jadi film yang sangat berkesan. Saya jadi heran kapan sih mereka ini ambil gambar. Andai tahu ada syuting Koboy Kampus saya mau nyamper siapa tahu ketemu Pidi Baiq atau Jason Ranti atau Danilla.
Banyak film meminjam kampus sebagai tempat syuting namun kampus itu either tidak direveal namanya atau dinamai kampus fiktif, seperti di film 3 Idiots yang kampusnya dinamai ICE. ITB sendiri pernah jadi tempat syuting film Jomblo yang dibintangi Ringgo, Cristian Sugiono, dkk, tapi nama kampusnya jadi Universitas Negeri Bandung (UNB). Jadi cuma bisa lihat gedung-gedungnya, tapi tulisan ITB tidak ditampakkan.
Koboy Kampus memang tidak bisa dipisahkan dari ITB, khususnya Seni Rupa FSRD. Film ini menceritakan ide nyleneh Pidi (diperankan Jason Ranti) dalam memprotes pemerintahan Suharto. Daripada turun ke jalan, dia memilih mendirikan negara baru bernama Negara Kesatuan Republik The Panas Dalam.
Kalau baca buku-buku Pidi Baiq, gagasan ini sudah pernah dituliskan. Bagusnya, film yang dibuat sama lucunya dengan buku yang ditulis. Good Job! Jeje emang cocok memerankan Pidi. Tokoh utama sekaligus paling nyatu dan paling lucu menurut saya. Dengan ini sepertinya karir Jeje akan makin terbuka terutama dalam bidang layar lebar.
Pengembangan ceritanya tidak bombastis-bombastis amat, tapi rangkaian humornya hampir selalu pecah. Setidaknya bagi saya yang mulai bisa menangkap guyonan khas Bandung/Sunda plus sangat bisa relate dengan sesuatu yang berbau ITB. Beberapa punchline yang gerrr
Pidi, kamu kenapa nggak pulang?
Iya euy ada urusan
Urusan apa?
Pidi lagi bikin negara
Kenapa bikin negara
Habis bikin anak kan belum boleh
KTP gimana KTP?
impor dulu ya, gampang KTP mah
Kenapa ini teh lemes?
Utusan ITB ditolak Unpad
Terhibur sekali nonton film ini. Saya mau bikin review di twitter gak enak sama orang-orang. Lagi naik soal alumni ITB yang dibilang super arogan. Nanti dikira saya mau ikut-ikutan.
Last but not least, suka sekali sama lagi Djatinangor versi Jason Ranti. Lebih lembut dan kena daripada versi aslinya. Lagu ini adalah protes Pidi Baiq atas ketegaan anak Unpad menolak cinta teman kuliah Pidi yang mana adalah anak FSRD ITB. Silakan didengarkan sendiri.
Ini asmaraItu asramaIn harmonia progreassio
Review Spiderman: Far From Home
Tidak ada buatan manusia yang abadi, termasuk MCU Phase 3 yang ditutup dengan film Spiderman: Far From Home ini. Meskipun tidak sefantastis Endgame, tapi status sebagai penutup phase 3 menjadikan film ini ditunggu-tunggu. Terbukti dari susahnya mendapat seat strategis di bioskop sekalipun sudah mencari lewat pembelian online berjam-jam sebelumnya.
Selain penutup phase 3, Far From Home adalah kelanjutan film Spiderman sebelumnya yaitu Homecoming. Kali ini Peter Parker ingin berhenti sejenak dari tanggung jawabnya sebagai superhero dan ikut karya wisata sekolahnya. Sayangnya bahaya mengikuti kemanapun dia pergi, atau lebih tepatnya dikondisikan begitu.
Peter Parker yang sejak awal tidak berminat melawan ancaman yang datang terpaksa ikut terlibat setelah tidak sengaja melakukan kesalahan yang membahayakan teman-temannya dan orang lain di Eropa. Beruntung dia tidak sendiri, ada Nick Fury, Maria Hill, Happy, dan kebetulan-kebetulan hebat yang membantunya keluar dari masalah.
Kalau di Endgame hampir tidak ada adegan action di satu jam pertama karena lebih banyak menggali dramanya, Spiderman FFH langusng menyuguhkan battle dengan monster sejak awal. Ini berlanjut hingga akhir film ketika Spiderman melawan villain yang sebenarnya. Kalau kata reviewer luar negeri, film ini sangat action-packed.
Kalau suka dengan adegan gelut-gelutan, film ini sangat memuaskan. Apalagi CGI dan visual efeknya kuueeren. Plus kostum dan logo Spiderman yang beberapa kali diclose-up tampak sangat modern. Kalau dari segi jokes ini bukan film Marvel yang paling lucu, yaa menengah ke atas lah. Kita perlu berterima kasih pada Ned (+Betty) dan Happy soal kelucuan ini.
Soal cerita, saya sempat heran kok ada holes yang sangat tampak ketika sampai di bagian tengah-tengah film. Mosok Marvel membiarkan celah begini rupa tampak oleh penonton biasa. Namun ketika saya tengah terheran-heran, mereka memberikan jawabannya. Saya jadi senyum-senyum sendiri.
Holes-nya adalah setelah Mysterio dan Elemental bertarung di Vanice maupun Prague dengan eskalasi sebegitu tingginya kok tokoh-tokohnya masih bisa menginap dan nongkrong di kota itu dengan santainya seolah kejadian tadi siang itu tidak ada.
Soal CGI yang bagus tadi, sayangnya ada penggunaan yang berlebihan menurut saya. Diceritakan senjata si penjahat dalam film ini adalah kemampuannya membuat ilusi. Ilusi ini dibuat dengan teknologi (ala ala Tony Stark) dan bukan dengan sihir (macam Dr Strange), namun dalam beberapa kesempatan menurut saya ilusinya terlalu fantastik jika dilakukan hanya dengan cara video mapping.
Hal lain yang jadi pertanyaan saya adalah kenapa MJ di sini harus digambarkan sebagai siswi yang aneh dan anti-sosial. Sejak Homecoming sampai FFH ini saya belum menemukan alasan kenapa MJ ini tidak dibikin manis saja. Justru aunt May yang jadi pemanis film ini tidak banyak tampil. Hikmahnya film ini jadi semakin ramah untuk semua usia.
Terakhir, sebuah alasan kuat untuk menonton film ini adalah untuk mendapatkan jawaban dari beberapa premis yang muncul di Endgame. Jadi kalau belum sempat nonton di bioskop, saya sarankan untuk nonton di internet jika nanti sudah tersedia. Kalau dilihat dari after credit-nya kemungkinan film ini akan jadi jembatan untuk film-film Marvel berikutnya.
Ada dua after credit scene di film ini, dua-duanya penting. Selain itu di awal film juga ada scene yang menarik jadi pastikan jangan sampai telat masuk studio. Lebih penting dari itu pastikan sudah nonton Endgame sebelum nonton Spiderman Far From Home.
Moral value: jangan mudah tertipu pencitraan.
@chandranrhmn
Review Film MIB International
Kalau kalian seperti saya dalam hal belum nonton film-film MIB sebelumnya, nggak usah khawatir film ini tetap bisa dinikmati. Dari desain posternya sudah bisa dilihat bahwa duet Thor dan Valkyrie adalah jualan film ini. Sudah pernah bermain bersama sebelumnya di MCU membuat mereka tampak klop walaupun secara komedi masih kurang jenaka. Genre action-comedy yang ditawarkan film ini baru mulai nyala setelah munculnya Pawny.
Agent H digambarkan Thor banget. Ini bukan keputusan yang buruk mengingat persona Chris Hemsworth sudah sangat melekat dengan Thor. Mungkin daripada mau menjadi orang yang berbeda tapi Thor-nya kebawa-bawa mending dibuat sangat Thor sekalian. Lagian bisa dipastikan sebagian besar yang nonton MIB juga nonton Endgame kemarin, jadi tidak mungkin tidak tahu siapa itu Thor.
Untuk Agent M, salah satu yang saya suka dari film ini adalah cerita perjalanan Molly hingga bisa bergabung dalam Men In Black. Pas, tidak membuang durasi, dan heroiknya dapat. Ketika mengenakan setelan jas MIB Agent M juga tampak punya wibawa.
Justru yang kurang adalah pengenalan konflik manusia-alien dan mata-mata di MIB. Seperti belum panas tahu-tahu tokoh protagonisnya sudah menang. Main battle-nya juga terlalu singkat dan straight forward. Padahal kalau dieksplor lebih jauh hubungan manusia-alien ini bisa menjadi premis yang menarik. Selain itu kebebasan untuk 'mendesain' alien juga bisa dimanfaatkan dengan membuat creature yang menarik perhatian dan adorable seperti Tarantian kecil. Sayangnya di MIB hal ini kurang dibuat nendang.
MIB International menggunakan template film action comedy yaitu dua tokoh utama berusaha menyelesaikan kasus tetapi usahanya terganggu oleh adanya musuh dalam pihak sendiri. Jadi teringat Rush Hour-nya Jackie Chan, persis. Bedanya kalau Lee dan Carter mengandalkan bela diri, Agent H dan Agent M menggunakan senjata-senjata canggih. Senjatanya keren-keren imho.
Sebagai penggemar film action comedy tentu saya tidak akan melewatkan film MIB ini. Walaupun secara cerita tidak matang-matang amat tetapi cukup menghibur. Sebuah film ringan yang cocok ditonton untuk mengisi waktu libur, Plus supaya kita tahu MIB itu apa jadi kalau ngobrol tentang MIB lama tidak benar-benar buta.
Review Film Single 2
Raditya Dika bilang film Single 2 ini adalah film terakhirnya yang mengangkat tema Jomblo, mengingat sekarang dia sudah menikah dan punya anak. Film ini sekaligus kelanjutan dari sekuel pertamanya yang rilis akhir 2015 lalu.Beberapa pemerannya masih sama kecuali dua kawan Ebi yang dulu di Single 1 namanya Wawan (Pandji) dan Victor (Babe Cabita) digantikan oleh Johan (Yoga Arizona) dan Nardi (Ridwan Remin). Sayangnya dua orang ini seolah tiba-tiba muncul seperti meminta penonton untuk memaklumi, "FYI, ini temen Ebi, dia butuh temen biar ceritanya bisa dikembangin, terima aja ya".
Tik-tok antara Johan dan Nardi juga belum se-klop Wawan-Victor. Sebagian jokes-nya gagal membuat penghuni bioskop ketawa. Untuk Arya yang menggantikan Joe (Chandra Liow) okelah nggak jatuh. Menggunakan template penokohan yang sama dengan Single 1 sah-sah aja asal pemainnya bisa masuk ke template itu, dan sepertinya ini jadi dosa terbesar Single 2.
Hal yang saya kurang suka lainnya adalah lambatnya pace pada sejam pertama film. Rasanya ini film lama banget mau mengenalkan tokoh baru dan merecall background cerita Single 1, dan masih kurang kena juga. Lepas itu keadaan membaik karena sebenarnya plot yang dibangun Radit bagus terutama kesuksesannya memanfaatkan premis ibunya Angel yang pikun. Ceritanya bagus, tapi humornya kurang lucu.
Sebagai film komedi, kalau jokesnya nggak pecah jadi terasa nanggung banget. Apalagi ketika kursi bioskop terisi penuh tapi cuma satu dua orang yang ketawa, krik-kriknya berasa. Film ini juga menyajikan beberapa adegan french kiss yang membuatnya jadi kurang friendly untuk anak-anak. Dua hal ini sampai membuat saya gak enak sama orang yang saya ajak nonton, berasa salah milih film.
Netizen twitter membandingkan film Single 2 dan Target, film Radit lainnya. Sayangnya perbandingan ini bukan ke arah yang positif, melainkan mana yang lebih jelek dari dua film ini, sadis emang warganet. Saya curiga kesibukan Radit sebagai standup comedian dan youtuber membuatnya nggak punya cukup waktu untuk membuat karya yang baik dalam bentuk film. Bisa dimaklumi sih.
Kesimpulannya, master cerita film ini bagus, dengan plot twist yang lumayan berkualitas. Sayang jokes-nya tidak selucu yang saya bayangkan membuat saya jadi beberapa kali tengok jam, masih berapa menit lagi ini. Ada beberapa alasan yang membuat kamu sebaiknya nonton Single 2:
1. Kamu fans berat Raditya Dika dan gak mau ketinggalan satupun karyanya.
2. Mau nonton Ghost Writer tapi kamu alergi hantu, walaupun udah dikemas dalam bentuk film lucu.
3. Kamu udah nonton film lebaran lainnya.
Tetap, ini sebuah karya yang patut dihargai. Apalagi posternya, bagus, jadi ingin makan mie!
Skor dari saya yang awam ini: 6/10
Review 2 Film Sekaligus : Ahok vs Hanum
Versus..koyo opo wae
Tapi begitulah nyatanya. Begitu dua film ini dirilis netizen langsung menghubungkan dengan perhelatan pemilihan presiden (pilpres) 2019. Nggak salah kalau orang-orang berpikir begitu. Pasalnya Ahok adalah wakil Jokowi di DKI Jakarta dulu, lalu naik jadi gubernur. Sedangkan Hanum Rais dari namanya sudah langsung ketahuan dia anak Amien Rais. Ahok 01, Hanum 02.
Uniknya, kedua figur ini sama-sama sedang 'bermasalah'. Ahok saat ini berada di penjara karena kasus penistaan agama. Sedangkan Hanum dibully netizen beberapa waktu lalu karena ikut menyebarkan hoax penganiayaan RS yang ternyata operasi plastik.
Selayaknya ini hanyalah persaingan di industri hiburan layaknya Marvel versusDC Comics. Tapi suhu politik yang memanas jelang 2019 benar-benar membuat persaingan menjadi rumit. Salah satu indikasinya adalah perang review IMDb yang semestinya obyektif dan informatif agar calon penonton punya gambaran malah berisi caci maki.
Memilih untuk tidak menonton itu boleh. Tapi yang salah adalah ketika karya film dibully karena hal-hal di luar teknis film itu sendiri. Sutradara kawakan, Joko Anwar, bersuara mengenai masalah ini melalui twitter @jokoanwar
Nggak ada habisnya kalau bicara soal politik, mari mulai membahas film. Saya nonton kedua film ini dengan hanya berbeda satu hari, A Man Called Ahok pada Minggu (11/11) lalu Faith and The City sehari setelahnya. Karena judulnya panjang saya singkat jadi film Ahok dan film Hanum ya.
Saya agak kecele ketika nonton film Ahok. Ekspektasi saya akan film ini adalah mengetahui cerita kehidupan Ahok sebagai pebisnis dan politisi Belitung Timur hingga DKI Jakarta, sampai kisahnya ketika menghadapi kasus yang dituduhkan kepadanya.
Kenyataannya, film ini lebih banyak menggambarkan kehidupan Ahok kecil bersama keluarganya. Film ini bercerita tentang lika-liku yang dijalani keluarga BTP yang selalu berusaha mengedepankan kejujuran dan integritas secara tegas, seolah ingin mengatakan ini lho beratnya hidup yang membuat Ahok dewasa bersikap keras dan kalau bicara blak-blakan.
Di luar itu oke-oke saja, banyak nilai moral berkaitan dengan integritas, kedisiplinan, setia pada kebenaran, dan kepedulian pada sesama terkandung di film ini. Anggap saja ini film drama keluarga, bukan sebuah biografi.
Kalau mau dicari kontras paling kentara antara kedua film adalah latarnya. Ahok di tambang timah Belitung, Hanum di pusat perkantoran New York. Film Hanum ini masih berkaitan dengan film mereka sebelumnya yaitu Bulan Terbelah di Langit Amerika, bercerita tentang kehidupan umat muslim di New York serta kaitannya dengan peristiwa 911.
Pesan perdamaian yang disampaikan film ini sebenarnya baik, sangat baik malah. Sayang memang potensi kesuksesannya ternodai oleh keteledoran sang tokoh di dunia nyata. Subyektif sih, tapi bagaimanapun itu berpengaruh ketika mengingat bahwa ada namanya dalam judul film ini, Hanum & Rangga : Faith & The City.
Untuk sebuah film biografi image tokoh yang difilmkan sangat penting. Film tentang BJ Habibie sebenarnya berkualitas rata-rata, tapi karena ketokohan beliau diakui dan dihormati hampir seluruh masyarakat Indonesia maka kita sampai rela antre nonton filmnya.
Bagian terbaik dari film ini adalah plottwist-nya. Bisa diduga bahwa tokoh protagonis biasanya menang, tapi di film ini tidak sekedar menang. Kemenangan didapat secara cantik dengan cara yang mungkin tidak terbersit di pikiran mayoritas penonton film.
Kedua film punya plus minus masing-masing. Kalau saya diminta menilai saya akan berikan skor sekitar 7-8 untuk keduanya.
Sudah ya, nanti kepanjangan review singkat ini hehehe
Monggo kembali ke masing-masing orang apakah mau nonton Ahok, nonton Hanum, atau keduanya. Kalau memutuskan nggak nonton dua-duanya masih ada Freddy Mercury dan Grindelwald yang lagi tayang. Enjoy!
Salam,
Chandra
Film : Minggu Pagi di Victoria Park (2010)
Judul : Minggu Pagi di Victoria Park
Tahun : 2010
Sutradara : Lola Amaria
Produser : Sabrang Mowo Damar Panuluh (Noe Letto) dan Dewi Umaya Rahman
Durasi : 97 menit
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri menyumbang lebih dari 6,5 milyar USD pada 2009. Tapi nyatanya kehidupan mereka tidak sehebat sebutan yang disematkan, pahlawan devisa. Hidup jauh dari Indonesia, menjadi warga negara kelas dua, dan kurangnya pengetahuan soal legal dan finansial memaksa negara untuk lebih hadir mendampingi mereka. Barangkali itu pesan yang ingin disampaikan film ini.
Sebagian orang yang mengadu nasib menjadi pekerja kasar di luar negeri berhasil. Mereka rutin mengirim uang untuk keluarganya di kampung, membelikan sawah orang tuanya, lalu setelah beberapa tahun pulang membawa tabungan untuk modal usaha. Tapi tidak begitu yang dialami oleh Sekar, seorang TKW yang 'hilang' hingga sang kakak, Mayang terpaksa berangkat ke Hong Kong untuk bekerja sambil mencari adiknya.
Film ini menyajikan drama tentang dua orang kakak beradik ini. Semua orang berusaha membantu. Tapi tidak ada yang tahu apa yang terjadi antara Mayang dan Sekar di masa lalu.
"Semua orang punya masalah, bukan cuma kamu", bentak Sari, seorang TKW lainnya, kepada Mayang. Ya, film ini bukan cuma menjual cerita kakak beradik itu. Tapi juga sebuah dokumenter kehidupan wanita-wanita Indonesia yang bekerja di Hong Kong. Film ini mempresentasikan bahwa ada sebagian dari mereka yang teraniaya, fisik maupun psikis. Ada penderitaan di balik kemajuan dan gedung-gedung megah Hong Kong.
Baca juga : Pengalaman di HK, nemu masjid dan ibu-ibu Indonesia jualan rendang dan gorengan
Hampir semua bagian film ini gambarnya diambil di Hong Kong, tidak artificial sama sekali, seperti kehidupan TKW yang sebenarnya. Selain itu para pemeran TKW menjalankan tugasnya dengan baik mulai dari cara ngomong yang medok, cara berpakaian, dan guyonannya yang Indonesia/Jawa banget. Tokoh-tokoh utamanya pasti dilatih untuk berbicara ala orang Jawa, sementara sebagian pemeran pembantu hingga cameo mungkin asli TKW.
Alasan saya baru nonton film ini adalah karena baru tahu ini produsernya Sabrang MDP, orang yang menurut saya pemikirannya menarik. Film ini sendiri, saya menduga idenya datang dari bapaknya, Cak Nun (Emha Ainun Najib) yang sering berkunjung ke Hong Kong dan beberapa negara lain untuk menemui orang-orang Indonesia di sana, terutama golongan pekerja dan mahasiswa.
Saya baru nonton dan langsung menulis ini, biar nggak kelewat momennya, Minggu pagi. Semoga tulisan ini bermanfaat, minimal menjadikan yang membaca kalau belum nonton jadi ingin nonton. Semoga semakin banyak film sejenis ini, potret realitas sekaligus drama berkelas bukan cinta-cintaan yang gampang ditebak.
Chandra.
Film Review : King Kenny Documentary
Tahun : 2017
Sutradara : Steward Sugg
Cast : himself!
Kenneth Mathieson Dalglish a.k.a Kenny Dalglish adalah pemain paling penting Liverpool pada era keemasan di dekade 80an. Periode tahun 1978 sampai 1990 Liverpool memenangkan 8 gelar Liga Inggris, 3 European Cup, 2 FA Cup, 4 League Cup, 5 Charity Shield, dan 1 UEFA Super Cup. Sayang, terakhir Liverpool juara Liga Inggris adalah tahun 1990, dengan Kenny Dalglish sebagai pelatih dimana musim itu juga menjadi musim terakhirnya.
![]() |
On the field |
"Ini adalah foto Ginsberg ketika ditemukan (sambil menampilkan foto) . . . 12 tahun kemudian Ginsberg kembali ke sungai di Hutan Amazon yang nyaris merenggut nyawanya", film Jungle (2017)
![]() |
Welcome... |
![]() |
Kenny Dalglish Stand |
All round the field of Anfield Road
Where once we watch the King Kenny play
Stevie Heighway on the wing
We have dreams and songs to sing
'Bout the glory round the field of Anfield Road
Film : Jamaica We Have A Bobsled Team
Judul Film : Cool Runnings
Tahun : 1993
Sutradare : Jon Turteltaub
Aktor : Leon Robinson, John Candy, Doug E. Doug, Malik Yoda, Rawle D. Lewis, etc
Enough people say they know they can't believe. Jamaica we have a bobsled team. Jamaica we have a bobsled team.Ada beberapa hal yang membuat saya suka menonton tayangan olimpiade. Pertama, ini adalah event yang mempertandingkan banyak cabang olahraga dalam satu tempat dan waktu. Dua, pesertanya datang dari seluruh penjuru dunia. Ketiga, Olimpiade memiliki sejarah penjang dan banyak cerita di balik penyelenggaraannya. Tidak terkecuali pada Olimpiade Calgary 1988 saat empat orang Jamaica yang sama sekali belum pernah melihat salju mengajukan diri sebagai peserta cabang olahraga Bobsleigh (Bobsled) di Winter Olympics.
Bicara soal Olimpiade, di Indonesia Olimpiade Musim Panas jauh lebih populer dibandingkan Olimpiade Musim Dingin. Bahkan sebutan "Olimpiade" disini otomatis diasosiasikan dengan Olimpiade Musim Panas. Maklum, Indonesia sejauh ini hanya mengikuti Summer Olympics saja, Winter tidak. Summer dan Winter Olympics sama-sama diadakan 4 tahun sekali, berganti-gantian tiap dua tahun.
Lalu, Bobsled adalah salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan dalam Winter Olympics. Mau tahu seperti apa bobsled ? silakan YouTube aja ya hehehe
Film Cool Runnings adalah film yang berdasarkan kisah nyata pemuda-pemuda Jamaica ini dalam perjalanannya menuju Olimpiade Calgary 1988. Sebagai satu-satunya peserta dari negara Tropis, jelas mereka menjadi underdog. Tapi justru spirit perjuangan mereka yang menjadi nyawa di film ini. Yah, walaupun mereka tidak dapat medali sih.
Cool Runnings diambil dari nama kereta yang mereka gunakan pada kejuaraan itu. Kereta yang walaupun tidak mengantarkan mereka ke atas podium tetapi telah menjadikan mereka disambut sebagai pahlawan ketika kembali ke negaranya. Jamaica punya reputasi dalam cabang olahraga atletik Olimpiade Musim Panas bahkan sampai saat ini, siapa tidak kenal Usain Bolt, manusia tercepat di dunia ? Tapi ketika Jamaica mengirimkan tim Bobslednya, tidak ada lain orang-orang ini benar-benar pantas disebut pendobrak.
Film ini sangat layak tonton sebagai penumbuh inspirasi yang sarat humor. Serius, ini film bersemangat tapi lucu. Tapi karena ini buatan tahun 1993 (25 tahun yang lalu bro), tidak perlu mengharapkan kualitas visual yang sebagus film-film sekarang, apalagi cuma nonton di LK21 wkwkw...
Olimpiade dan event olahraga di seluruh dunia punya banyak cerita menarik, misalnya Denmark Euro 1992, andai lebih banyak yang difilmkan pasti akan jadi pelajaran bagi atlet-atlet masa depan khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya.
Review film kurang lengkap tanpa quote :
Feel the rhythm! Feel the rhyme! Get on up, it's bobsled time! Cool Runnings - Sanka
Jamaica bukan negara pertama yang mengirimkan atletnya ke winter olympic (yang pertama adalah Filipina di Sapporo 1972). Tim Bobsleigh mereka juga belum pernah meraih medali walaupun cukup rutin mengikuti event ini. Tapi kisah Cool Runnings telah membangkitkan spirit negara-negara 'hangat' untuk mengikuti Olimpiade Musim Dingin. Sampai sekarang tercatat sudah 37 negara tropis yang mengikuti ajang ini. Yang terbaru, di Pyeongchang 2018 Singapura dan Malaysia ikut serta. Indonesia bagaimana ?
Chandra - Maret 2018
gambar : YouTube
Review Film : Maze Runner 3, The Death Cure
[SPOILER ALERT]
Sebenernya agak telat untuk menulis review soal film ini karena filmnya sudah tayang sejak 24 Januari kemarin. Tapi memang baru tadi malem meluangkan waktu untuk berangkat nonton. Minggu lalu sempet udah masuk bioskop tapi kehabisan tiket. Bioskop rame banget gara-gara Dilan dan Dylan (O'Brien).
Sebelumnya ada
Sejujurnya saya dulu nggak ngikutin sekuel 1 dan 2 Maze Runner. Baru nonton minggu lalu setelah yang ke-3 muncul dan jadi omongan. Entahlah, tapi mungkin ada bedanya antara yang sudah nonton sekuel sebelumnya pada waktunya dengan yang baru nonton dirapel minggu lalu. Mungkin impresinya beda. Tapi dari 3 film ini menurutku yang paling bagus masih yang pertama, lalu ketiga yang sekarang keluar, baru yang kedua.
Maze Runner 3 : The Death Cure bukan film yang jelek, tapi juga nggak flawless. Jujur saya merasa agak bosan menonton film ini karena dramanya diulang-ulang. Premis selalu dimulai dengan tindakan heroik (kalau tidak mau disebut nekat) dari si protagonis. Setelah tampil gagah akhirnya dia mulai mendapat masalah. Ketika benar-benar sudah terdesak ujug-ujug muncul sosok yang menyelamatkan mereka. Mission completed.
Ketika Thomas, Newt, dan Fry diam-diam naik mobil mau menjemput Minho mereka masuk ke terowongan penuh Crank. Awalnya mereka mencoba melawan sebelum akhirnya terdesak ketika mobil terguling dan peluru habis. Tiba-tiba muncul Jorge dan Brenda menyusul mereka, selamat. Ada juga kejadian ketika mencegat kereta, ketika terdesak terus-terusan diberondong peluru tiba-tiba datang pertolongan udara, tepat waktu. Lalu di akhir film ketika berhasil mengevakuasi anak-anak namun tidak dapat pergi tiba-tiba Vince datang menjemput. Pun ketika kedatangan Thomas cs ketahuan lewat kamerea dan sensor WCKD, datang Gally dan gank-nya mengamankan mereka. Gitu aja terus sampai . . .
Tapi lumayan, minimal nggak semua misi berjalan baik. Ada tokoh yang di-mati-kan. Nggak usah disebut lah ya, nanti spoilernya berlebihan.
Kekurangan kedua, saya menonton film ini karena mengharapkan plot twist yang bombastis, tapi sayangnya kurang. Di film pertama ditunjukkan bahwa anak-anak muda dalam Glade punya kesamaan yaitu lupa segalanya kecuali nama. Premis soal ingatan ini adalah celah seharusnya bisa digodok lebih matang lagi sehingga ketika keluar bioskop penonton punya bahan untuk diterka dan didiskusikan. Saya membayangkan Thomas akhirnya mengingat sesuatu yang sangat krusial hingga mengubah keberpihakannya. Nyatanya tidak, Thomas memang berubah, tapi itu menjelang cerita berakhir dan karena dibujuk oleh Teresa. Teresa-lah yang fluktuasinya lebih terlihat, bukan Thomas.
Tapi ada hal yang saya sangat suka dari film ini. Walaupun genre-nya fantasy, tapi masih lebih make sense daripada beberapa film sejenisnya. Pada banyak film biasanya ketika pihak protagonis menang dunia yang sebelumnya sudah hancur tiba-tiba hidup normal lagi. Tapi di film ini tidak, misalnya orang-orang yang selamat dari WCKD hidup seadanya di pantai. Persis ketika Thomas cs masih di Glade, bedanya kali ini mereka tidak dibatasi oleh labirin.
Hal lain yang saya suka adalah film ini tetap memasukkan unsur labirin (maze) walaupun tidak sekuat di film pertama. Adegan di gedung WCKD, bayangan Minho ketika cairannya diambil, dan beberapa scene kejar-kejaran menunjukkan itu. Nice.
Kesimpulannya The Death Cure adalah film yang bagus tapi juga bukan yang paling bagus untuk periode 6 bulan terakhir. Nilainya 7.2/10 lah. Kalau belum nonton nggak ada salahnya ke bioskop mumpung masih tayang. Tapi kalau dirasa kurang worth it ya nunggu bajakannya aja hehehe
Terakhir, moral value The Death Cure : tidak ada tembok yang terlalu tinggi untuk dilewati. Good things take time.
Salam,
Chandra
Film Review : Apakah Kita Truman ?
Judul : The Truman Show
Tahun Rilis : 1998
Pemain : Jim Carrey, Laura Linney, Noah Emmerich, Natascha McElhone, Holland Taylor, Ed Harris
Sutradara : Peter Weir
Durasi : 103 menit
Bahasa : English
[SPOILER ALERT]
Hayoo, udah nonton film ini belum ?
Walaupun sudah lama dirilis, tapi film ini sangat layak tonton dan masih relevan dengan realitas yang ada sekarang. Kalau mau nonton, paling gampang klik disini. Nggak masalah lah ya nonton film gratisan, wong udah nggak tayang di bioskop. Tapi kalau mau nonton film baru ke bioskop saja, hargai para pekerja film :)
Fyi, The Truman Show disebut-sebut sebagai salah satu film dengan premis cerita terbaik. Film ini bercerita tentang kehidupan seorang Truman Burbank dan drama-drama yang ada di dalamnya. Tapi sayangnya bahkan Truman sendiri tidak punya kuasa atas apa yang terjadi pada dirinya. Dia tidak tahu bahwa dia adalah bagian dari sebuah acara televisi.
Truman : Was nothing real ? | Christof : You were real, that's what make you so good to watch
Hidup Truman diatur sedemikian rupa oleh sang sutradara, Christof. Kehidupan sekitarnya memang tampak normal. Truman berkeluarga, bekerja, bergaul, namun semuanya palsu. Kegiatannya direkam kamera selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Dia tidak bisa pergi lebih jauh daripada 'dunia' yang ditempatinya. Atau lebih tepatnya yang dicipatakan untuknya. Bahkan untuk sekedar jatuh cinta bukanlah menjadi kuasanya.
Sekitar setahun yang lalu saya pernah menulis review sebuah film biografi, Ed Snowden. Snowden sempat menggemparkan dunia beberapa tahun yang lalu setelah secara berani membuka rahasia tentang aktivitas spionase yang diduga dilakukan pemerintah AS. Data-data yang dibawanya menunjukkan bahwa banyak penyadapan atau pengumpulan informasi secara ilegal atas warga sipil. Snowden menjadi buah bibir di seluruh dunia, menempatkannya sebagai penghianat sekaligus pahlawan.
Kenapa bawa-bawa Snowden ? Karena ada hubungannya dengan Truman. Fakta-fakta yang dipaparkan Snowden seolah melegitimasi bahwa sosok Truman dalam The Truman Show bisa jadi bukan sekedar tokoh fiksi. Bisa jadi setiap dari kita adalah Truman-Truman yang hidupnya tidak merdeka.
Selama ribuan hari Truman tidak curiga atas kehidupan yang dijalaninya. Setelah terjadi beberapa kejadian-kejadian janggal barulah dia berkata "aku seperti terlibat dalam sesuatu". Lalu bagaimana dengan kita ?
We accept the reality of the world with which we are presented - Christof
Jika informasi yang disampaikan Snowden benar (dan saya sih cukup yakin dia benar), maka tidak menutup kemungkinan kita pun selama ini diawasi secara sembunyi-sembunyi. Kita tidak pernah tahu kemana chat-chat yang kita kirim itu ter-delivery, apakah hanya ke orang yang kita tuju ? atau juga disimpan di suatu tempat ? Foto-foto, video, tulisan, riwayat pencarian Google, history browser, selama kita terkoneksi internet, tidak ada yang tahu apa saja yang sebenarnya terjadi.
Google, Apple, Microsoft termasuk dalam pihak-pihak yang disebut terlibat melakukan aktivitas spionase. Sekarang lihat handphone dan laptopmu. Tahu kenapa kita bisa pakai google setiap saat secara gratis ? Karena google bisa mengumpulkan data, interest, pola aktivitas, informasi pendidikan, pekerjaan, dll lalu menjualnya.
Coba perhatikan, sekali kita pernah beli tiket atau booking hotel lewat sebuah situs pemesanan online, akan sering muncul pop up promosi situs tersebut bahkan ketika kita membuka hal yang sama sekali tidak berhubungan. Itu karena mereka tahu kita punya potensi untuk bepergian sehingga kita butuh tiket - dan mereka maunya kita beli dari mereka.
Sebenarnya ini tidaklah seluruhnya jahat. Sebelum internet memasyarakat pun forecasting semacam ini sudah dilakukan. Yang tidak etis adalah kalau benar kita 'diintai' sampai urusan yang sifatnya pribadi. Dalam film Snowden ditunjukkan bahwa kamera laptop bisa diaktifkan dari jarak jauh dan gambar kita bisa diambil. Sering tidur ngadep laptop terbuka ? Hayoloh..
Memang masih debatable apakah kita ini sebenarnya 'merdeka' atau tidak. Tapi kalau bicara soal internet agak susah jaman sekarang melepaskan diri dari hal yang satu ini, karena banyak juga manfaatnya. Yang diperlukan adalah kebijaksanaan kita dalam menggunakannya. Kita harus senantiasa sadar bahwa dalam private chat paling private sekalipun bisa saja ada orang lain yang membaca.
Rasanya kita perlu mencontoh Truman yang heroik mencari kebenaran. Faktanya adalah bahwa serapat apapun kungkungan yang melingkupi kita, pasti ada celahnya. Kalau kita cukup bijaksana, setiap perjalanan bisa jadi hikmah.
You never had a camera in my head - Truman
Pelajaran dari Truman : jangan menyerah dan sepahit apapun kenyataan hadapi dengan tersenyum lebar :)
Well, I'm Truman - Truman Burbank
Salam,
Chandra
Film Review : Nothing is Unbeatable, Never Lose Faith
Judul Film : Facing the Giants
Produser : Stephen Kendrick, Alex Kendrick, David Nixon
Sutradara : Alex Kendrick
Cast : Alex Kendrick, Shannen Fields, Tracy Goode, James Blackwell, Bailey Cave, Jim McBride
Tanggal rilis : 29 September 2006
Durasi : 111 menit
Bahasa : English
Shiloh Christian Academy. Bukan tanpa alasan sepertinya nama itu dipilih sebagai latar utama film ini. Lepas seperempat awal film, nilai-nilai dan nuansa Kristen sangat kental terasa. Dimulai dari amarah Grant Taylor yang mempertanyakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya yang dia rasa tidak kunjung membaik padahal dia selalu berdoa. Kekalahan tim football asuhannya, terancam dipecat dari kursi kepelatihan, mobil ngadat, perabotan rumah rusak, hingga vonis mandul bertubi-tubi memukul Grant. Grant memutuskan untuk menjadikan Tuhan sebagai pelariannya, sejak itu film ini sarat dengan nasehat religius. Intinya, film ini menekankan untuk selalu "mencari berkah".
Saya sengaja tulis ini di awal karena barangkali akan ada yang sensitif dengan ini. Tapi ingat bahwa premis utama film ini, yaitu "facing the giants" adalah nilai hidup yang universal. Jangan lupakan bahwa Al-Quran juga mengisahkan David (Nabi Daud a.s.) vs Goliath (Jalut).
Kalau di dunia sepakbola ada istilah "A player can be greater than his country", misalnya ketika kemarin Leo Messi 'sendirian' membawa Argentina lolos ke Piala Dunia 2018 Rusia, dalam film ini berlaku "A scene can be greater that the entire film". Sejak peluncurannya tahun 2006, film ini termasuk jarang diputar di layar kaca Indonesia sehingga mungkin tidak semua orang tahu. Tapi saya yakin hampir semua dari Anda tahu scene ini :
![]() |
Facing the Giants - Death Crawl scene |
Saya bukan reviewer film, juga tidak paham bagaimana mekanisme cerita film dibuat, urusan teknis macam lighting, editing, dll juga awam. Simpelnya, saya tidak bisa menilai baik-buruknya sebuah film dari sisi-sisi itu layaknya kritikus film profesional. Saya hanya berbagi cerita tentang film yang 'bergizi' dari sudut pandang saya. Menonton film ini, somehow saya mendapatkan impresi "oh, ini bagus dibagikan ke teman-teman".
Impresi terbesar yang saya dapatkan dari film ini tentu unsur motivasinya. Scene di atas adalah salah satu yang paling impactful. Tidak heran kalau potongan film itu diputar dimana-mana sebagai video motivasi. Adegan ini di-cut sepanjang sekitar 4 menit dan menjadi video yang sangat viral.
Sejujurnya jalan cerita film ini sangat biasa, endingnya pun sudah bisa ditebak. Memang ada beberapa tikungan, namun karena penonton sudah tahu bahwa "yang baik pasti menang" maka eskalasinya tidak terlalu terasa.
Nilai plus dari film ini justru dialog-dialog dan drama antar tokohnya yang sengaja diselipi nasehat dan motivasi. Efek negatifnya memang jadi kurang natural, something like "lebay ah, di dunia nyata nggak mungkin sebijak itu". Tapi di sisi lain itu menjadikan film ini sangat kaya dengan nilai moral.
Orang cenderung menerima nasehat jika dia merasa frame-nya sesuai dengan mereka. Maksudnya, sebagus apapun moral value-nya akan sulit diterima orang dewasa jika film itu melulu soal anak-anak. Begitu pula sebaliknya, anak-anak belum mengerti permasalahan orang dewasa sehingga tidak bisa memahami nasehat-nasehatnya. People only hear what they want to hear.
Tapi tidak dengan Facing the Giants, film ini menghadirkan dua sisi perjuangan sekaligus. Yang pertama adalah anak-anak tim football Shiloh Eagles yang mengajarkan bahwa butuh pengorbanan besar untuk mencapai kemenangan. Serta yang kedua Grant Taylor itu sendiri yang masalahnya sudah saya tuliskan di atas. Oleh karenanya, saya pikir siapapun yang menonton film ini akan tergetar hatinya.
Meskipun sudah berumur 11 tahun, film ini masih relevan hingga sekarang, bahkan mungkin sampai nanti-nanti. Ini karena filosofi yang terkandung di film ini akan berlaku sampai kapanpun, yaitu : Grit.
Grit dapat diartikan sebagai passion and perseverance for long term goals, atau kegairahan dan keuletan serta ketangguhan untuk mewujudkan cita-cita jangka panjang - Prof. Ichsan Setya Putra (dalam Catatan Ikut Ultra Marathon #1)Sedikit di luar film, tapi masih berhubungan dengan olahraga. Jadi weekend kemarin, sebagai ajang fundraising, alumni FTMD bersama BNI mengadakan BNI-ITB Ultra Marathon 170k. Peserta berlari 170 kilometer melalui rute Jakarta - Bogor - Puncak - Cianjur - Cipatat - Padalarang - finish di kampus ITB Bandung. Kalau kuat jarak 170 km boleh ditempuh sendirian. Tapi kalau tidak, boleh dalam tim beranggotakan maksimal 17 orang (atau 16?). Tim Dosen FTMD mengirimkan 16 dosen untuk mengikuti ini, salah satunya adalah Prof. Ichsan. Satu orang peserta menempuh jarak 10 km. Perlu diingat bahwa perjalanan Jakarta-Bandung elevasinya naik jadi track cenderung menanjak dan karena sistemnya seperti marathon maka ada peserta yang berlari tengah malam, ini jadi tantangan tersendiri. Tapi beliau-beliau finish dengan sempurna.
Pagi ini Prof. Ichsan mengirim tulisan beliau "Catatan Ikut Ultra Marathon part #1, #2, dan #3". Terima kasih atas inspirasinya, Pak.
Never Give Up, Never Back Down, Never Lose Faith - Facing the Giants
Chandra
Sufi dan Bioskop
Sejak di Bandung saya jadi makin akrab sama bioskop. Agaknya saya tertular paham sufi, suka film. Kalau ditanya tempat paling hedon untuk spending money pasti jawabannya bioskop, selain Richeese Factory tentu saja. Nggak boros-boros amat kan saya.
Selama kurang lebih 4 tahun di Bandung saya juga jadi saksi lahirnya beberapa bioskop baru. Tapi saya juga jadi saksi kematian bioskop Galaxy di Kings Plaza, bioskop termurah yang dikelola oleh Pemkot Bandung. Kings Plaza kebakaran waktu saya tingkat 1, hanya beberapa waktu setelah saya nonton di sana film 99 Cahaya di Langit Eropa 2. Waktu itu tiketnya lebih murah 5k daripada termurahnya XXI di Braga, 15k atau 20k saya lupa. Waktu itu Cinemaxx belum masuk Bandung, CGV juga baru ada satu di PVJ.
Bioskop biasanya penuh dengan muda-mudi couple, tapi tidak dengan saya. Lebih sering saya jalan sendiri. Antara mengikuti paham sufi yaitu nonton ya nonton aja nggak usah mampir-mampir dan karena memang tidak ada yang diajak. Saya cek jadwal film lalu datang ke bioskop paling cepat 20 menit sebelum film mulai, beli tiket, tunggu sebentar, lalu masuk. Film selesai langsung balik parkiran and back to life. Saya sampai hafal jalur tercepat parkiran-bioskop di banyak mall di Bandung. Pokoknya, opo perlune. But still, kalau pas ada barengan teman-teman nonton yaa enjoy aja. Tapi emang saya lebih seneng pergi-pergi sendiri...
Saya sudah menetapkan sebuah target tentang tugas akhir saya plus rewardnya kalau tercapai. Rewardnya mengijinkan diri ini nonton Spiderman : Homecoming. Alhamdulillah kesampaian malam ini. Ini film Spiderman terbaik menurut saya. Wajar kalau ratingnya tinggi. Sebagai perodusen film action, Marvel punya selera humor yang oke.
Kamu-kamu harus nonton film ini. Plotnya bagus banget seriously. Saya yang hampir-hampir bosan dengan jalan cerita Spiderman yang relatively gitu-gitu terus dibuat puas oleh Homecoming ini. Kalau kamu beneran nonton karena rekomendasi ini, ensure you wait for the (second) aftercredit!!
Selamat menyaksikan!
nb. untuk kawan-kawan yang di Bandung, you got to try this : nonton film di XXI BTC Pasteur yang mulainya di atas jam 8 malam, sendirian.
Salam,
Chandra
October Sky : True Story, Kekuatan Mimpi, dan Inspirasi
Alkisah ada seorang bernama Homer Hickam Jr. Dia adalah seorang insinyur sekaligus penulis. Karirnya melejit di kedua bidang itu. Sebagai insinyur, dia adalah salah satu engineer di NASA. Sebagai penulis, salah satu karyanya adalah novel memoir hidupnya sendiri, Rocket Boys (selanjutnya diberi judul October Sky) yang menjadi buku 'wajib' di sekolah-sekolah pada jamannya. Tahun 1999, novel ini difilmkan dengan judul October Sky. Film ini yang akan saya ceritakan.Link : October Sky (1999) , IMDb 7.8/10
![]() |
Homer Hickam |
![]() |
Homer dan Quentin hampir membuat lab kebakaran |
![]() |
Rocket Boys dalam film October Sky |
![]() |
No Caption... |
Salam,
Chandra
Film Review : Snowden, Pengkhianat atau Pahlawan ?
Judul Film : Snowden
Sutradara : Oliver Stone
Penulis : Kieran Fitzgerald
Jenis Film : Drama, Biografi, Thriller
Produksi : Elevation Pictures
Durasi : 138 menit
Pemain :
- Joseph Gordon Levitt
- Shailene Woodley
- Melissa Leo
- Zachary Quinto
- Tom Wilkinson
etc
Masyarakat dunia terpecah, is Snowden a hero or a traitor ?