Ini Matematika!



Saya melihat matematika layaknya saya melihat sendok. Saya pakai sendok untuk makan dan pakai matematika untuk berpikir. Tapi kita masih bisa makan tanpa ada sendok, dan masih bisa berpikir tanpa matematika. Karena sudah masuk dalam muscle memory, kita sering tidak sadar ketika menyuapkan makanan ke mulut. Begitu pula kita sering tidak sadar telah menggunakan matematika dalam membuat keputusan.

Bagi saya, matematika jauh lebih luas daripada apa yang diajarkan di bangku sekolah. Matematika bukan soal rumus dan hitungan, tapi soal bahasa dan logika. Tanpa sadar kita sering menerapkan matematika dalam kehidupan nyata, tapi seringkali tidak mengakuinya karena masih trauma dengan apa yang terjadi di pelajaran matematika di SMA.

Saya beri contoh sederhana, ketika ingin pergi ke suatu tempat kita selalu memilih rute yang paling lurus menuju lokasi tujuan. Ini sejalan dengan konsep segitiga bahwa sisi terpanjang pasti masih lebih pendek daripada penjumlahan dua sisi lainnya. Atau konsep segitiga siku-siku dimana sisi miring lebih pendek daripada penjumlahan dua sisi yang membentuk sudut 90 derajat. Bayangkan trio panjang sisi segitiga 3-4-5.

Kalau kita mau pergi dari A ke C kita pasti akan memilih lewat AC sejauh 5 cm daripada AB lalu BC dengan total 7 cm, keputusan yang gampang bukan? Seolah hanya pengambilan keputusan biasa menggunakan 'skill kehidupan'. Tapi sebenarnya tanpa sadar kita pakai hukum phytagoras disana, hukum yang bisa juga dibahasakan dengan dua ekspresi berikut (dua bentuk yang mungkin sedikit bikin anxiety, tapi sebenarnya ini sinonim):
dan


Persamaan yang mungkin bikin pusing karena lebih banyak huruf daripada angkanya ini sebenarnya punya aktualisasi yang sangat-sangat-sangat sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya memang susah mengajarkan matematika selengkap ini ditengah banyaknya materi dan mata pelajaran yang harus ditelan anak sekolah.

Pada awalnya orang suka matematika bukan karena bisa matematika. Tapi karena dia sadar ada algoritma matematika yang ikut serta dalam processing di otak bahkan ketika melakukan dan memutuskan hal-hal sederhana. Dia menyadari proses matematis itu, ketika mungkin sebagian yang lain menyadari input (soal) dan outputnya (jawaban) saja. 

Selanjutnya, kesadaran bahwa matematika banyak muncul dalam alam nyata membuat dia lebih mudah memahami simulasi permasalahan yang ditampilkan dalam soal cerita matematika di bangku sekolah. Ketika ada soal yang menanyakan kapan Adi yang berangkat dari Kota A dan Budi yang berangkat dari kota B berpapasan setelah Budi sempat beristirahat selama 15 menit, yang dia bayangkan bukan rumus kecepatan, percepatan, waktu yang suka ketuker-tuker itu. Melainkan benar-benar ada dua orang naik NMAX, satu dari Jakarta, satu dari Bandung, lalu akan papasan di suatu tempat mungkin sekitar Jonggol, sampai sedetail itu.

Orang yang suka matematika sebenarnya juga tidak suka dengan huruf dan simbol, maka dia akan memvisualisasikan dalam imajinasinya untuk mempermudah permasalahan. Imajinasi itu muncul begitu saja, tanpa effort, sama seperti menyendok sesuap nasi. 

Dia tidak perlu hafal rumus, dari pengalamannya naik motor dia tahu kalau waktu berbanding terbalik dengan kecepatan. Dengan tahu informasi kecepatan dan jarak dia tinggal melakukan operasi tambah kurang kali bagi lalu ketemu jawabannya. Di lembar coret-coretannya tidak ada tulisan rumus, karena itu tidak perlu.

Saya kurang nyaman ketika diminta mengerjakan soal uraian matematika dimana rumus harus ditulis di baris paling awal dan harus benar. Sebaliknya saya suka soal matematika dasar dan TPA numerik berupa pilihan ganda karena banyak cara untuk memvisualisasikannya dan tidak perlu menggunakan atau menuliskan rumusnya.

Ada rumus-rumus yang memang perlu dihafal, terutama yang berupa dalil, teori, dan hukum. Tapi tidak perlulah menganggap semua rumus perlu dihafal. Hafalkan saja rumus luas persegi panjang, segitiga, dan lingkaran, maka kita bisa menghitung luas permukaan semua bangun datar dan bangun ruang karena pada dasarnya semua tersusun dari komponen itu. 

Sama seperti naik sepeda, main gitar, atau sekedar makan. Berikutnya yang berbicara adalah soal kebiasaan. Seorang murid yang terbiasa menyadari proses berpikir matematis akan semakin sering menggunakannya dan menjadi semakin bisa. Mau itu kehidupan nyata ataupun soal matematika dasar di tryout TOBAT* nyaris tidak ada bedanya.

Matematika sama sekali tidak menentukan tingkat kebijaksanaan seseorang dan tidak pula menentukan akan seberapa sukses seseorang di masa depan. Murid pintar dan tidak pintar itu juga hanya standar yang dibentuk oleh institusi sekolah dan kurikulum, tidak lantas mencerminkan kenyataan. 

Keterbatasan dalam pengajaran matematika di sekolah sehingga banyak siswa justru takut karenanya sama sekali bukan salah guru. Mereka sudah melakukan yang terbaik ditengah sistem dan kurikulum yang serba membatasi. Mungkin ada satu dua guru yang mampu mengatasi itu semua dan bisa menunjukkan bentuk matematika yang sebenarnya. 

Salah satu yang bisa adalah Pak Sudaryanta, guru matematika SMPN 1 Bantul tempat saya sekolah dulu tahun dari tahun 2007-2010. Ditunjang tinggi badan diatas rata-rata 186 cm tampilannya sudah langsung berkharisma. Langkahnya lebar dan tegap dilihat dari lantai 2 tempat kelas kami berada. Beliau adalah yang pertama kali menunjukkan pada saya "Ini Matematika!".

Beliau adalah sosok yang membuat saya tidak sepakat dengan pandangan bahwa guru adalah profesi yang sedikit inferior dibandingkan profesi lain seperti dokter atau engineer, sekaligus marah ketika ada berita tentang murid yang tidak menghormati gurunya. Sebuah quote dari motivator asal Amerika Serikat mengatakan:

a doctor can do heart surgery and save the life of a kid, but a great teacher can reach the heart of that kid and allow him to truly live - Prince Ea

Berikan satu sekolah satu guru seperti Pak Dar, dan matematika di Indonesia akan sangat berbeda. Tidak semua pengalaman selama sekolah saya menyenangkan. Tapi diajar matematika oleh beliau adalah kesempatan yang sangat saya syukuri. Tidak semua detail masa-masa saya menjadi murid beliau bisa saya tuliskan disini. Tapi percayalah saya merasa sangat berutang budi.

Sampai ketika akhir-akhir kuliah, setiap lebaran saya dan beberapa teman yang diajar oleh beliau masih rutin berkunjung ke kediamannya. Tahun ini tentu saja tidak. Tapi saya sangat ingin kapan-kapan sowan dan bertemu dengan beliau.

Pak Dar paling kanan jaket putih biru, foto ketika beliau pelatihan selama 2 bulan di Perth Australia, karena prestasinya sebagai guru matematika


Ketika Pak Dar ke Aussie, di saat yang sama saya lomba matematika di Jakarta dan alhamdulillah dapat medali perunggu. Momen yang pertama kali membuat saya memilih Jakarta sebagai kota cita-cita. Teman saya namanya Budi Azhari yang juga 'binaan' Pak Dar meraih perak, sekarang dia jadi PNS peneliti di LIPI, termasuk teman yang saya kagum dan banyak belajar darinya.

Tidak Ada Lebaran Tahun Ini


Sejak pertama merantau, Idul Fitri adalah satu satunya momen yang bagi saya tidak bisa tidak harus dirayakan bersama keluarga di rumah. Saya pernah merayakan Idul Adha di perantauan, tapi tidak dengan Idul Fitri. Biasanya paling lambat H-5 lebaran saya sudah di kampung halaman, taraweh di masjid dekat rumah. Tahun ini adalah pertama kalinya saya akan merayakan lebaran jauh dari rumah dan jauh dari keluarga. 

Ramadhan dan lebaran tahun ini disponsori pandemi virus Covid-19 yang mungkin masih akan terkenang sebagai salah satu pandemi terbesar abad ini. Di tengah semrawutnya kebijakan, saya termasuk golongan yang memutuskan untuk tidak pulang demi kebaikan diri dan keluarga. Kalau ibu sudah meminta untuk jangan, maka alasan apa lagi yang mau kamu gunakan untuk pulang?

Ramadhan tahun ini sangat berbeda? Ya. Jakarta adalah zona merah. Tidak ada tarawih berjamaah di masjid dekat tempat saya tinggal. Tidak ada kajian menjelang berbuka puasa, Tidak bisa berdiam diri di masjid pada malam hari atau sekedar membunuh waktu merenung di siang hari karena masjid dalam kondisi tertutup untuk umum. 

Tidak pulang artinya menggenapkan ramadhan sendirian di kosan. Banyak waktu untuk dihabiskan dengan diri sendiri. Tapi juga banyak momen berharga bersama keluarga yang terpaksa direlakan. Dibangunkan ibuk tiap pagi untuk sahur via telepon bukan dengan digerak-gerakkan kakinya. Berbuka dengan beli makanan di kaki lima atau warung makan bukan masakan ibu di rumah atau takjil di masjid. Tidak ada meja makan yang diatasnya tersaji berbagai jenis sajian. Tidak ada saling menyampaikan besek berisi lauk pauk dengan tetangga yang membuat hampir tiap hari ada makanan tak terduga.

Tidak ada safari masjid Jogokaryan, Suciati Saliman, Jamasba, dan Kauman seperti biasanya bersama teman-teman. Buka bersama yang direncanakan sebelumnya tidak ada yang terlaksana. Tidak ada seremoni bakti sosial, digantikan sedekah via transfer ke lembaga penyalur bantuan atau crowdfunding acara kemanusiaan. Pengajian digantikan zoom atau live instagram.

Begitu pula menjelang lebaran tidak ada ketupat dan gulai menthok buatan ibuk. Saya mungkin masih bisa beli ketupat dan kue-kue lebaran di Jakarta. Tapi bukankah rasa adalah soal yang tak bermassa? Sungkem akan tergantikan dengan video call. Kunjungan ke saudara-saudara sekarang berwujud kiriman bingkisan dan ucapan. Betapa banyak hal yang berubah.

Sebenarnya saya sudah rindu berkeliling dari satu simbah ke simbah lainnya seperti tahun-tahun sebelumnya. Disuguh berbagai cemilan dan minuman yang saya tidak pernah jaim menyantapnya bahkan ketika sudah dianggap dewasa. Lebaran juga momen dimana bisa makan sampai enam-tujuh kali sehari dalam rangka menghargai tuan rumah yang sudah menyiapkan.



Kalau kata ibuk beberapa hari yang lalu, lebaran ini adalah momen untuk belajar ikhlas berpuasa tanpa mengharapkan 'lebaran'. Nilai ramadhan tahun ini mungkin bukan pada menahan haus dan lapar. Tapi pada kerelaan bahwa akan ada sesuatu yang hilang dan tak biasa pada ramadhan dan lebaran yang sekarang. Lalu melihat seberapa kita bisa bersyukur dan berbahagia karenanya.

Rasanya kita jadi perlu mengevaluasi diri. Ketika kita berdoa untuk dipertemukan dengan ramadhan berikutnya apakah saat itu yang kita harapkan adalah keberkahan dan ibadahnya atau hanya semata-mata kebiasaan dan kebahagiannya? Atau libur panjang dan THR-nya?

Tidak ada lebaran tahun ini bukanlah kampanye untuk mengutuk keadaan yang terjadi saat ini. Tapi ajakan untuk memilah mana yang sebenarnya menjadi inti dari lebaran. Faktanya ibadah puasa adalah ibadah yang bisa kita lakukan 'sendirian'. Semoga kita tidak perlu bersedih jika yang terhalang untuk melakukannya hanyalah komponen tambahan yang kita inginkan tetapi sebenarnya bukan yang esensial. 

Tidak kurang-kurang kita mesti bersyukur telah diberi kesempatan dan kesehatan untuk menjalani ibadah ramadhan tahun ini. Semoga ibadah kita mendapat nilai yang baik dari-Nya dan hal-hal yang belum maksimal bisa kita perbaiki di kesempatan berikutnya. Semoga kita dipertemukan dengan ramadhan tahun depan dalam keadaan yang tanpa kurang suatu apapun. Aamiin

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441H/2020M
Taqabalallahu minna waminkum
Mohon maaf lahir dan batin

Chandra

Logat



Salah satu warna yang nggak akan bisa saya lupa dari kesempatan saya tinggal dan kuliah di Bandung adalah soal betapa heterogennya logat dan dialek teman-teman yang saya temui. Shoutout untuk teman-temanku non-Jawa, tapi sudah jadi rahasia umum bahwa kalau kuliah di ITB bersiaplah terpapar bahasa Jawa lebih banyak daripada bahasa setempat. 

Entah kenapa teman-teman Jowo ini egois tidak mau menggunakan bahasa Indonesia diantara sesamanya, bahkan ketika ada teman non-Jawa di sekitarnya ikut mendengar. Alhasil lama-lama kosakata dan partikel bahasa Jawa menyebar kemana-mana. Kalau mau belajar bahasa Sunda jangan di ITB karena kamu malah akan jadi bisa bahasa Jawa, masuklah ke Unpad atau UPI untuk bisa bahasa Sunda, gitu katanya. 

Sebagai orang yang sudah ketempelan bahasa Jawa sejak lahir, saya mendapatkan pengalaman yang lebih jauh lagi. Pengalaman bahwa ternyata beda daerah beda pula logat dan kosakatanya. Berikut beberapa cerita dari point of view orang Jogja.

Tegal - Pemalang
Ora ngapak ora kepenak (penekanan pada -ak). Selain logat ngapaknya, yang khas dari orang Tegal adalah pengucapan yang konsisten untuk huruf 'a' ketika bahasa Jawa di daerah lain punya beberapa pengucapan 'a' dimana dapat diucap 'a' biasa atau seperti 'o' pada kata poros. Contohnya pada kata 'pira' (berapa) yang di Tegal diucap seperti kata 'pirang' yang dihilangkan 'ng' nya, bukan 'piro'nya orang Jogja. 

Beberapa vocab Tegal juga lucu misalnya kencot (lapar), laka (tidak ada), atis (dingin), pimen (bagaimana), nyong/inyong (aku), dan masih banyak lagi. 

Semarang 
Tidak banyak perbedaan antara bahasa Jawa di Semarang dan Jogja. Perbedaannya hanya pada partikel pelengkap kalimat 'ik' yang biasanya diucapkan orang Semarang setelah mengatakan sesuatu, "iyo ik", "aku gak iso turu ik", dll. Yang kedua adalah sapaan akrab yang digunakan yaitu 'nda' dan 'ndes' yang artinya kira-kira sama dengan 'bro' dalam bahasa kekinian atau 'dab' kalau dalam bahasa Dagadu Jogja

Klaten
Sebagai daerah yang berbagi border dengan Jogja tentu Klaten tidak banyak perbedaan dari sisi bahasa. Namun ada beberapa istilah yang ada di Klaten tapi tidak ada di Jogja. Misalnya bahasa Klaten mengenal istilah oglangan (pemadaman listrik) dan selepan (penggilingan padi).

Suroboyo / Jawa Timuran
Jarak nggak bohong terbukti dari banyaknya perbedaan bahasa antara Jogja dan Surabaya. Mulai dari sapaan yang kalau di Jogja 'dab', di Surabaya 'rek'. Lalu perbedaan arti beberapa kata yang pengucapannya sama seperti 'mari' (Jog: sembuh dari penyakit, Sby: selesai), 'bar' (Jog: sesudah, Sby: selesai). 

Beberapa kata-kata sederhana juga punya penyebutan yang berbeda misal untuk bertanya 'kenapa' di Jogja pakai 'ngopo', di Surabaya 'lapo'. Sapaan 'kamu' di Jogja 'koe', di Surabaya 'kon'. Perintah untuk bersegera di Jogja 'gek', Surabaya 'ndang'. Selanjutnya ada perbedaan penyebutan nama makanan seperti ote-ote versus bakwan. Itu cuma segelintir, masih banyak lagi perbedaan antara 'wakil' Jawa bagian tengah dan bagian timur ini.

Tuban - Ngawi - Nganjuk
Secara vocab mereka sama dengan Surabaya, tapi sapaan 'Rek' tidak terlalu banyak digunakan. 

Kediri
Di luar bahasa Jowo Timuran umum, orang kediri punya partikel 'PEH!!' untuk menyerukan sesuatu entah itu sebagai ekspresi senang, jengkel, gemas, kagum, atau apapun. Bukan orang Kediri kalau nggak pernah ngucap ini.

Madura
Saya nggak paham bahasa Madura, udah beda banget, mungkin emang udah kategori bahasa yang berbeda bukan lagi bahasa Jawa walaupun secara administratif Madura masuk Jawa Timur. Biasanya dengar bahasa ini di warung sate dan bebek goreng.

Cirebon - Indramayu
Orang Cirebon banyak yang bilingual Sunda-Jawa karena walaupun masih di Jawa Barat tapi secara budaya dekat dengan daerah pantai utara Jawa Tengah. Sebagian dari mereka bisa bahasa Jawa aktif dengan kosakata serupa Tegal, tapi tidak ngapak.

Selain itu semua, beberapa daerah punya ciri khasnya masing-masing juga namun saya tidak punya cukup teman dan percakapan sebagai referensi. Hal menarik lain adalah soal cara misuh alias mengumpat: asu, jancok, bajigur, dll yang juga punya pasar dan daerah kekuasaannya masing-masing wkwk..

Itu tadi adalah beberapa hasil pengamatan saya selama kuliah di Bandung. Tidak semua daerah saya paham dan ada yang pemahaman saya tidak dalam karena tidak ada cukup interaksi antara saya dengan teman-teman dari daerah tersebut.

Selama enam tahun di Bandung saya gagal menguasai bahasa Sunda. Secara pasif saya sudah bisa mengerti cukup banyak percakapan sehari-hari, tapi untuk aktif menuturkannya masih belum berani. Bahasa Sunda juga punya keindahannya sendiri. Kehalusan penuturan Bahasa Sunda adalah salah satu yang terbaik menurut saya apalagi kalau yang menuturkan perempuan, wah.

Sekian kesan yang saya dapatkan sebagai seorang pemegang logat Jogja yang sampai sekarang masih medhok dalam mengamati penggunaan bahasa Jawa oleh teman-teman dari berbagai daerah. Kalau ada yang kurang boleh ditambah hahaha

Chandra

Pajak Netflix


Per 1 Juli 2020, layanan digital seperti Netflix dan Zoom akan dikenai pajak oleh pemerintah Indonesia. Hal ini disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu yang lalu. Sebelumnya saya sempat sinis dengan langkah pemerintah yang seperti oportunis dalam menarik bayaran. Tapi setelah riset kecil-kecilan saya jadi mafhum kenapa layanan digital seperti mereka perlu dipajaki segera.



Setidaknya ada 3 alasan yang membuat Netflix dan layanan sejenisnya harus diwajibkan membayar pajak

1. Kontribusi pada negara

Sampai saat ini Netflix dan Zoom tidak dapat membuktikan bahwa mereka punya kantor atau data center di Indonesia. Itu artinya ada potensi keuntungan negara yang lepas. Karena tidak ada kantor di Indonesia, bisa dikatakan mereka tidak mempekerjakan orang Indonesia. Tidak ada kontribusi dari sisi pembukaan lapangan kerja. 

Business model mereka juga tidak memerlukan banyak pekerja lapangan seperti ojek online yang secara tidak langsung membantu pemerintah membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat. Layanan digital seperti Netflix kalaupun ada karyawan barangkali hanya untuk keperluan marketing, atau ada vendor yang disewa untuk keperluan ini.

Kedua, dengan tidak membuka kantor di darat maka mereka tidak perlu membayar sewa fasilitas perkantoran dan infrastruktur data center yang secara nilai lumayan besar. Banyak ruang perkantoran dan data center disediakan oleh perusahaan swasta nasional dan BUMN, tapi tidak ada pemasukan dari jalur ini karena kemungkinan server mereka ada di luar negeri.

Dari sisi internet service provider mungkin mereka ada sedikit kontribusi. Kehadiran layanan streaming digital membuat subscription ISP dalam negeri terdongkrak. Sayangnya hal ini sulit dikuantifikasi karena penggunaan internet tidak semata-mata untuk nonton Netflix atau meeting Zoom saja. Apalagi sampai saat ini masih ada ISP yang memblokir Netflix.

2. Sulit dipajaki dengan cara konvensional

Jika penyedia layanan digital itu tidak punya badan hukum di Indonesia dan tidak mempekerjakan karyawan secara legal maka tidak ada pajak penghasilan yang bisa di-collect. Padahal pajak penghasilan adalah salah satu sumber pajak yang besar bagi negara. Lagi-lagi potensi pendapatan negara hilang di sini.

Di samping itu, karena tidak memiliki aset berupa kantor atau lahan di Indonesia maka mereka juga tidak membayar PBB. Menyamarkan keberadaan kantor supaya terhindar dari pajak adalah hal yang biasa dilakukan oleh pelaku usaha terutama yang masih berupa usaha kecil dan menengah. Tapi hal ini tentu tidak etis jika dipraktekkan oleh perusahaan sebesar Netflix.

Kesulitan untuk memajaki dari segala sisi ini membuat mau tidak mau pemerintah harus menarik pajak dari layanannya. Berdasarkan kenyataan bahwa mereka membuka layanan untuk subscriber di Indonesia. Sayangnya memang hukum kita ini kadang telat dalam melayani dan mengakomodir perkembangan teknologi sehingga kebijakan seperti ini selalu memakan waktu cukup lama hingga bisa direalisasikan.

3. Persaingan dengan brand lokal

Walaupun secara nama belum sebesar Netflix, tapi ada beberapa brand lokal Indonesia yang membuka layanan yang sama, streaming video. Tentu tidak fair jika brand lokal menjadi objek pajak dan harus membayar pajak sedangkan Netflix tidak. 

Pengenaan pajak akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh provider. Untuk menjaga margin, biasanya biaya ini akan dibebankan pada konsumen melalui penyesuaian harga. Ketika semua pelaku usaha yang bersaing dipajaki secara fair maka tidak ada brand yang kembang kempis karena lebih terbebani daripada yang lain. 

Banyaknya potensi yang hilang jika model yang sekarang tetap dilanjutkan menjadi alasan yang valid bagi pemerintah untuk segera menarik pajak dari platform digital luar negeri yang selama ini belum membayar pajak. Banyak negara lain sudah lebih dulu menerapkan kebijakan serupa. Indonesia termasuk yang belakangan melakukan ini.

Hal yang perlu dikritisi dari pemerintah adalah soal bagaimana kita ini sering kelabakan dalam menghadapi perkembangan teknologi. Ketika awal taksi dan ojek online masuk ke Indonesia layanan ini tidak mendapat sambutan yang baik bahkan di beberapa daerah ada Uber yang ditahan dan ojek online bermasalah dengan ojek konvensional. Sebabnya adalah tidak ada model bisnis transportasi online ini dalam peraturan tentang transportasi umum sehingga tidak jelas apa yang harus dilakukan. Pihak-pihak jadi bergerak mengikuti pemikiran dan kepentingannya masing-masing sehingga tampak berantakan.

Teknologi akan selalu berkembang. Komunitas teknologi selalu memikirkan sesuatu yang belum ada sekarang untuk diwujudkan di masa depan demi memudahkan kehidupan manusia. Jika regulator tidak berpikir dengan cara yang sama maka potensi-potensi kebocoran akan terus ada. 

Wisata Kuliner: Kangen Makan!


Sebagai penyuka makan, khasanah pengetahuan saya soal kuliner lumayan luas. Dalam rangka melampiaskan kerinduan karena tidak pulang pada lebaran kali ini, saya mau tulis list kuliner-kuliner andalan yang saya rindukan karena sudah cukup lama tidak menyantapnya. Sebagian besar ada di Jogja (dan Bantul), sebagiannya lagi di Bandung. Di Jakarta saya belum nemu kuliner yang sentimentil.

Makanan favorit yang masih bisa saya santap di Jakarta tidak saya masukkan daftar yaa..

(1-7 Jogja, 8-10 Bandung)

1. Bakmi Jawa Pak Ribut (skor 10/10)


Mie jawa andalan kalau pulang kampung. Lokasinya di pedesaan Bantul. Mie-nya juga khusus dan khas buatan Bantul, namanya mie lethek. Mie lethek ini dulu sempat hits ketika dicoba sama Obama. Menu favorit saya mie plencing. Baru dengar? Yaa, ini memang makanan endemik dari Bantul. Mak nyos beneran. Walaupun lokasinya di desa tapi ini langganan pejabat Bantul. Warungnya buka sampai dini hari dan sangat strategis buat jangongan, bukan cuma makan.





2. Mie Ayam Bu Tumini (skor 9/10)



Mie ayam paling terkenal di Jogja. Warung pusatnya di dekat Terminal Giwangan selalu penuh sampai harus berbagi kursi sama pengunjung lainnya. Mie ayam-nya berjenis mie ayam manis, which is lebih saya suka daripada mie ayam asin yang banyak di Jakarta. Cobain mie ayam Bu Tumini dan kamu akan menemukan standar enak yang baru untuk suatu mie ayam. 





3. Bakso Pak Jenggot Pasar Beringharjo (skor 8/10)


Lokasinya di Pasar Beringharjo, sekomplek sama titik nol kilometer Jogja, malioboro, alun-alun utara, keraton, taman pintar, Vredeburg, dll. Saya sarankan kalau kamu jalan-jalan ke tempat-tempat itu sempatkanlah makan siang di bakso pasar ini. Agak susah menjelaskan tempat persisnya karena bahkan ini warung nggak ada papan namanya. Untuk makan pun harus duduk di koridor pasar. Tapi emang soal rasa salah satu yang terbaik di Jogja untuk kategori bakso.





4. Bakso Sederhana Mbah Senen (skor 8/10)


Kalau ini bukan selera mainstream. Warung Mbah Senen ini lokasinya di dekat rumah saya jadi dulu waktu kecil kalau beli bakso ya disini. Secara rasa juara untuk sekedar tingkat Bantul selatan. Tapi lebih dari soal rasa, ada unsur nostalgia disana. Sayang beberapa tahun terakhir sepertinya agak menurun pengunjungnya.




5. Mie Ayam Wonogiri Om Karman (skor 8/10)


Lagi-lagi mie ayam ya. Tapi emang ini salah satu makanan favorit saya. Ciri khas mie ayam Om Karman mie-nya tipis dan porsinya gede. Rasanya manis walaupun nggak semanis Bu Tumini. Menurut saya yang paling mantap dari mie ayam Karman adalah bakso gorengnya. Saat ini di masa pandemi Covid-19, Om Karman menerima pesanan delivery untuk wilayah Jogja.




6. Rujak Es Krim Pak Tony (skor 8/10)

Cara makan buah paling saya sukai ya ini, rujak eskrim Pak Toni. Bapaknya buka lapak di perempatan Masjid Agung Bantul, tepatnya di seberang swalayan Purnama. Dulu beliau pakai gerobak, sekarang pakai tossa tapi merk Viar. Jajanan favorit saya waktu dulu pulang sekolah jaman SMA. Sayang karena non permanen jadi saya tidak berhasil mendapatkan fotonya, di google juga tidak terindeks. Pak Toni jualan mulai dzuhur sampai ashar. Jadi kalau siang-siang kamu posisi di Bantul bisa datang ke tempatnya dekat masjid agung, pasti ketemu. 


7. Kedai Steak (skor 8/10)


Secara nama jelas Waroeng Steak (WS) jauh di atas Kedai Steak sebagai sesama brand steak asal Jogja. Tapi karena pertama kali saya kenal steak dari Kedai Steak jadi ada unsur nostalgianya disini. Secara rasa nggak kalah sama WS, malah lebih dermawan dalam hal ngasih brown sauce. Lokasinya ada di dekat perempatan Gose, Bantul.



8. Nasi Kuning Langganan (skor 10/10)


Tidak bisa tidak yang satu ini pasti masuk hitungan. Tempat saya sarapan hampir setiap hari selama enam tahun bersama teman sejawat sekosan. Lokasinya di Jalan Cisitu Indah VII Dago dan buka hanya pagi hari. Karena nggak ada nama resminya jadi saya tulis 'langganan' aja. Yang paling saya suka sambelnya, selalu minta dobel dari yang biasa. Awal tahun 2017 saya sempat menulis soal bapak dan ibu penjual nasi kuning ini, klik disini: Nasi Kuning,



9. Ayam Geprek Buncit (skor 8/10)

Tenant paling sering saya datangi kalau makan siang di Tamansari Food Fest alias Tamfest, salah satu foodcourt tempat makannya mahasiswa ITB. Ayam geprek bakarnya terbaik buat saya. Ada beberapa merk lain yang membuat inovasi ayam geprek bakar tapi punya Buncit ini tetap yang nomor satu. Harganya ramah mahasiswa pula plus nasi dan es teh ambil sendiri.




10. Nasi Goreng NKA Cisitu (skor 8/10)


Dari sekian nasi goreng di sekitaran Cisitu dan ITB, ini nasi goreng paling enak dan variatif. Yang jualan namanya Mas Joko, ngapak, fans berat Barcelona. Menunya banyak banget bisa pilih sesuai selera. Ada mie dan nasi, variasinya mulai dari yang biasa, toping parutan keju, sampai yang pakai tinta cumi. Menu favorit saya mie goreng keju dan nasi goreng omelet. Dari Mas Joko ini saya dapat tips kalau masak telur dadar pas dikocok tambahin susu ultra putih dikit, hasilnya telur jadi lembut,




Honorable Mentions:
Soto Rejeki, Palbapang Bantul
Bakmi Jawa Pak Suki, Sanden Bantul
Es Oyen, Bejen Bantul
Mister Burger (burger paling enak, nggak ada di Bandung dan Jakarta)
Gudeg Bu Hj Amad, UGM
Seblak Mema, Plaza Core UNY
Ayam Goreng Bu Tini, Gondomanan Jogja
Ayam Goreng Bu Mur, Pacar Bantul
Tempo Gelato (milenial yang main ke Jogja pasti tahu)
Bebek Suwarni, Klaten
Seblak Merah Ganesha, depan ITB
Seblak Bengkel, Cisitu
Warung Cobek WCO, Cisitu
Warung Sambal Jeletot, dekat Masjid Raya Bandung


Apa lagi ya . . ?






Love Hate Relationship with Engineering


Saya merasa mulai mencelupkan kaki ke dunia engineering waktu kuliah tingkat dua. Tahun pertama di ITB lebih kaya ekstensi SMA daripada kuliah. Waktu itu saya pun masih belum bisa menjelaskan kenapa pesawat bisa terbang secara memuaskan. Setelah di tingkat dua baru ada project-project yang walaupun belum terlalu memakai skill tapi setidaknya sudah menunjukkan bagaimana rekayasa bekerja. 

Kalau dihitung sejak tingkat dua alias tahun 2014, sampai sekarang sudah 6 tahun saya mempelajari dan menggarap bidang engineering. Ada beberapa hal yang membuat jatuh cinta sekaligus malas di waktu yang bersamaan.

Hal yang membuat saya jatuh cinta
1. Eksplorasi nyaris tak terbatas
Rekayasa (engineering) adalah soal mengeksplorasi kemungkinan yang bisa di capai di waktu yang akan datang lalu berusaha mewujudkannya. Karena sifatnya yang menghadap ke depan maka tidak banyak unsur yang menjadi batasan dalam eksplorasi di pikiran seorang perekayasa. Kalaupun ada batasan akan tiba waktunya seseorang menemukan cara untuk menghalau batasan tersebut atau melampauinya sekalian. Contohnya, karena perkembangan kecepatan komputasi terbatas rate perkembangan teknologi chip berbasis silikon maka orang menemukan dan mengembangkan quantum computing.

Kalau dilihat seminar-seminar teknologi atau engineering kebanyakan membahas hal-hal yang belum terjadi, misal revolusi mobil elektrik, nuclear power, atau unmanned aerial vehicle. Selanjutnya yang dibahas adalah soal target, timeline, dan pihak-pihak yang akan diajak berkolaborasi untuk mewujudkan cita-cita ini. Kadang tampak absurd, tapi begitulah engineering bekerja, dimulai dari visi dulu lalu mencari cara untuk menggapainya. 

2. Do it your way
Engineering sangat menekankan yang namanya dokumentasi (pembuatan dokumen). Sampai sekrup-sekrup terkecil pun harus tercantum. Tujuannya untuk mempermudah replikasi sekaligus pengurusan paten dan lain sebagainya. Hasil yang paling mahal harganya dalam sebuah pengembangan teknologi adalah dokumennya.

Tapi di luar itu engineering sangat luwes dan fleksibel. Luasnya bahasan dalam engineering membuat sulit untuk mengatur cara kerja orang-orang di dalamnya. Beda kasus menuntut metode yang berbeda pula. Orang-orang di dalamnya cenderung kreatif menjurus suka-suka. Jadi adanya dokumentasi juga penting untuk memvalidasi proses. Asal prosesnya valid, maka hasilnya diterima. Fleksibilitas ini menyenangkan untuk orang yang tidak suka diatur bagaimana dia sebaiknya bekerja.

3. No routine
Orang yang bekerja dalam bidang engineering setiap hari akan menemukan tantangan yang beragam. Untuk setiap masalah yang berbeda ada reward yang berbeda-beda pula. Jarang dilanda kebosanan yang disebabkan rutinitas berulang. Self satisfaction seorang engineer akan meroket ketika dia berhasil menembus tembok masalah yang sudah berhari-hari dia pikirkan. 

Tidak ada jaminan kalau hari ini sukses maka besok juga akan sukses, begitu juga sebaliknya. Itu juga menjadi sebab kesepahaman bahwa dalam engineering gagal itu tidak dosa. Tidak masalah gagal, asal tahu penyebabnya dan punya rencana solusi. 

4. Seragam di seluruh dunia
Disparitas perkembangan keilmuan engineering di seluruh dunia mungkin termasuk yang deviasinya rendah. Ada negara yang lebih dulu mengembangkan dan mengimplementasikan suatu teknologi karena fasilitas penelitian dan sumber daya yang lebih baik. Namun tidak lama berselang teknologi itu akan menyebar ke tempat lain di seluruh dunia. Lagi-lagi thanks to documentation.

Alhasil, forum-forum diskusi engineering biasanya melibatkan banyak orang dari berbagai penjuru dunia. Pertukaran dokumen dan informasi juga terjadi sangat cepat. Jadi ketika menemui suatu masalah biasanya tersedia referensi solusi entah dari mana. Jarang ada masalah yang belum ditemukan penyelesaiannya oleh seseorang di belahan dunia yang lain. Kalau sampai menemukan masalah seperti itu berarti itu sebuah masalah yang mahal.

Tapi di sisi lain ada hal-hal yang suka membikin saya gemas dan rasanya ingin pindah ke bidang lain...

1. Unpredictable
Yap, masalah dalam sebuah pekerjaan atau project engineering bisa datang kapan saja, kadang di saat yang tidak tepat. Mood yang bagus bisa tiba-tiba runtuh hanya karena satu masalah yang kita sadar kita adalah salah satu penyebabnya. Kayanya dalam hal apapun jadi orang yang bertanggung jawab atas terjadinya sesuatu itu nggak enak. Pekerjaan dalam skala apapun punya kemungkinan untuk gagal, misalnya Space Shuttle Challenger. Bayangkan proyek tahunan dengan biaya jutaan dollar gagal dalam 73 detik, dan engineer dipaksa menyaksikannya, pasti sakit sekali.

2. Maximum RPM
Bukan cuma harus menyelesaikan persoalan rumit, engineer kadang-kadang juga diminta untuk berusaha menyelesaikan sesuatu yang tidak ada penyelesaiannya. Otak dipacu bekerja pada RPM tertingginya. Salah satu hal yang saya pelajari selama ini adalah untuk tahu kapan harus berhenti dan di satu titik bilang "ini nggak bisa diselesaikan". 



3. Butuh proses
Engineer (dan scientist) adalah profesi yang butuh waktu untuk matang. Jarang ada engineer yang bisa langsung ngetop di usia muda. Engineering adalah bidang yang sangat mengagungkan nurture daripada nature. Banyak orang di dunia engineering yang menghabiskan masa mudanya berada di belakang layar jauh dari spotlight padahal sedang melakukan sesuatu yang berarti untuk masa depan. Mereka memang minim recognition. Orang yang konsisten dengan keahliannya baru akan muncul ke permukaan pada usia 40 tahun ke atas, berbicara sebagai 'Ahli xxx', 'Praktisi di bidang xxx'. Jujur saja, tidak semua orang bisa bersabar.

Sekian curhatan dari saya. Kalau kata orang jawa hidup itu wang sinawang alias tergantung bagaimana kita melihat positif dan negatifnya. Setiap profesi dan bidang pasti punya plus minusnya masing-masing. Saya nggak berniat bilang engineering itu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Overall saya merasa profil diri saya cocok dengan tipe profesi di dunia engineering jadi saya selalu coba untuk mengambil angle bersyukur dalam hal ini. Saya senang kalau nanti ada yang share pengalamannya dari profesi lain, pasti menarik.

Selamat berpuasa!

Didi Kempot dan Backsound Masa Kecil



Walaupun tulisan saya nggak mungkin setrengginas tulisannya Agus Magelangan, tapi ijinkan saya sebagai insan Jawa untuk ikut menyampaikan sesuatu tentang Pakdhe Didi Kempot. 

Jaman saya SD dulu, apalagi di desa, belum ada kebiasaan orang tua memasukkan anaknya dalam program les renang, piano, bahasa Inggris, dan lain sebagainya. Jadi aktivitas saya sepulang sekolah sampai maghrib ya main. Asal sudah makan siang ijin main sudah di tangan, tidak dicari asal pulang sebelum gelap. Saat itu kalau keluar rumah pasti terdengar ada tetangga memutar musik keras-keras pakai speaker/salon-nya. Selain lagu-lagu pop Dewa, Slank, Padi, tentu ada juga kalanya lagu Didi Kempot diputar.

Dari pergaulan akhirnya tahu kalau lagu kaya gini namanya campursari. Sebagai anak kecil respon pertama saya sesimpel 'wah ini lagunya simbah-simbah'. Nama genrenya saja campursari, Gunungkidul banget, nggak masuk sama dunia anak muda yang waktu itu lagi gila Meteor Garden dan Amigos x Siempre, budaya asing sebelum masuknya Korean wave di Indonesia.

Momen lain seperti perayaan 17an bahkan nikahan juga muter campursari. Saya pikir orang-orang bodoamat sama lirik yang sebenarnya nggak cocok untuk acara nikahan tapi karena lagu-lagu Didi Kempot bisa buat joget ya show must go on. Kalau ada orang sedang renovasi atau bangun rumah biasanya lagu campursari juga jadi backsound. Tukang-tukang andalan asal Gunungkidul mungkin sudah menemukan bahwa musik meningkatkan efisiensi energi ketika bekerja. (Fun Fact: di daerah DIY, tukang bangunan paling elit adalah yang berasal dari Gunungkidul, mungkin seperti orang India di dunia tech Amrik sekarang)

Karena saya hanya mendengar sepotong-sepotong lagu campursari terutama karya Didi Kempot tanpa ada keinginan untuk tahu lebih lanjut, saya hanya tahu lagunya tanpa tahu judulnya. Walaupun tidak diinginkan kadang sampai hafal reff-nya juga sih. Sekarang ketika ada akses ke internet untuk cari lirik lagu dan chord baru ngeh 'oh lagu ini judulnya ini'.

Fast forward ke masa SMA. Saya buta alat musik hingga SMA. Tiga tahun di SMP saya cuma bisa main recorder. Walaupun pernah dibelikan keyboard tapi tetep hanya bisa doremi sederhana tanpa bisa main kombinasi kunci. Baru di SMA saya ketemu guru seni musik yang paten, namanya Pak Achid Nur Hidayat, beliau aktif di IG dan FB dengan nama Pakdhe KliminZs, silakan dicari kalau kepo. Bapake orang Gunungkidul, ngajar di dua sekolah sekaligus, SMAN 1 Bantul dan SMAN 1 Wonosari (sekolah favorit di GK).

Di SMA, seni musik di hari sabtu jadi pelajaran paling menyenangkan ke-2 setelah matematika (hehehe). Salah satu tugas yang masih saya ingat adalah kami per orang diminta belajar gitar lalu penilaiannya adalah main gitar sambil nyanyi lagu campursari. Lagu yang dipilih bebas asal ber-genre campursari. Lagu yang saya pilih waktu itu judulnya Layang Kangen, by Didi Kempot tentu saja. Tidak ada larangan menyanyikan lagu yang sama, tapi hasil eksplorasi teman-teman menghasilkan lagu yang sangat beragam. Khasanah pengetahuan saya tentang campursari otomatis bertambah.

Pada tugas-tugas berikutnya kami disuruh untuk main drum, cover lagu bebas, saya pilih Seventeen - Selalu Mengalah, dapat nilai 8 nggak jelek-jelek amat wkwk. Kami juga sempat dibagi kelompok untuk bikin band bawakan lagu Lestari Alamku Lestari Desaku alias Berita Cuaca by Gombloh, saya main keyboard. Tapi tugas yang paling kena tentu yang campursari, karena itu pertama kalinya saya main alat musik dan bisa 'bunyi'.

Ketika kuliah, karena sudah tidak lagi di tanah jawa, melodi yang sayup-sayup terdengar bukan lagi campursari tapi lagu Sunda yang saya nggak tahu artinya. Tapi dalam beberapa titik heavy rotation di youtube laptop saya adalah konser live-nya Didi Kempot. Entah kenapa saya lebih suka nonton versi live-nya daripada versi rekaman. Suara dan ekpresi melas para sad boys dan sad girls jadi bumbu yang bikin tontonan lebih menyala. Lip service dari Didi Kempot juga one of the best. Saya mau tunjukkan rekaman konser yang menurut saya bagus banget. Visual Full HD, sound mantap, musiknya bagus, Pakdhe Didi jempolan. Hebatnya, ini sebuah pensi SMA di Jogja!



Kemarin kita dapat kabar kalau Didi Kempot meninggal dunia. Saya nggak ingin mengaku sebagai orang yang sangat attach pada beliau. Pun saya nggak mau mengklaim sebagai fans berat. Namun setidaknya penghujung tahun lalu saya sudah berhasil mencoret satu bucket list saya yaitu nonton Didi Kempot secara live. Terima kasih Family Day BRI alias Brifest 2019. 

Bagi saya lagu Didi Kempot adalah media nostalgia yang mengingatkan saya pada rumah. Merefresh ingatan tentang lingkungan masa kecil dan tetangga-tetangga, tentang siang hari terik ketika saya bermain di halaman tetangga tanpa merasa kepanasan karena rimbunnya pohon-pohon di atas kepala. Menjadi pengingat bahwa sejauh apapun pergi, tidak boleh ada jarak dan sekat antara kita dan kampung halaman. Kalau pendidikan dan pengalaman menjadikan kita tidak lagi bisa melebur, ada yang salah dengan yang kita lakukan.

Selamat jalan Pakdhe Didi Kempot...


HCB



Merinding boss, ketika tahu orang yang selama ini kita anggap akan punya masa depan yang cerah mendapat masalah yang bener-bener mengancam masa depannya. Menulis nama seoarang kawan di google biasanya direspon dengan deretan sosial media dan portal akademik. Aku yakin begitupun dia setahun yang lalu, sebelum sebuah kejadian memukul jiwanya yang aku yakin sebenarnya sangat kuat. Sekarang kamu telusuri namanya dan yang keluar adalah sebuah berkas persidangan.

Dulu dia tak ubahnya seperti teman lama yang kalau kita ada perlu tinggal cari instagram atau twitternya, buka DM, lalu ucapkan salam dan sampaikan keperluan. Bahkan kutahu dia mempublish kontak pribadinya dimana-mana karena tuntutan dan kesibukannya. Tapi kini not a single documentation can be found in the ordinary internet. Dia seperti hilang, tapi aku yakin dia masih ada.

Sebagai orang yang imannya masih naik turun, bukan sekali dua kali aku dalam hati masih biasa saja atau bahkan menyembunyikan senyum ketika orang lain jatuh, astaghfirullah. Tapi sejujurnya kali ini aku ikut jatuh melihat dia jatuh. 

Melihat jalan hidupnya, aku memposisikan diri sebagai orang yang akan tepuk tangan keras sekali saat dia sampai pada tujuan dan cita-citanya. Sambil menyanyikan sebuah lagu berjudul Rayakan Pemenang, "kau tiada pernah bisa terbantahkan, semua baru terbukti di jaman sekarang". Iya terbukti kalau dulu aku salah besar, dan sekarang mau minta maaf pun sudah sangat susah sekali.

Ramadhan ini, kalau mau diambil intisarinya adalah bahwa kita nggak pernah tahu apa yang kita lakukan ke orang lain efeknya baik atau buruk. Menyakiti orang dengan pembenaran bahwa dia akan memaafkan menjadi tidak valid ketika tidak ada jaminan bahwa kita akan bisa minta maaf. 

Aku nggak ingin punya pikiran bahwa setelah kejadian itu aku jadi orang lebih baik dari kamu. Tidak sama sekali. Aku berharap kamu bisa bangkit, kembali menjalani hidup, dan kita berpotongan jalan lagi suatu saat di masa depan nanti, teman.