Showing posts with label family. Show all posts

Tweedehands


Di tengah gempuran barang-barang Temu dari Tiongkok,  orang-orang sini tampaknya masih lebih loyal dan percaya pada marketplace lokal Bol.com atau kalau mau lebih global Amazon. Bol.com dan Temu ini analoginya kalau di Indonesia seperti Tokopedia dan Shopee, hanya saja lebih ekstrem lagi. Untuk pernak-pernik, aksesoris, dan fast fashion memang produk made in China/Asia Selatan/Asia Tenggara masuk, tapi untuk barang-barang lanang merk lokal tampaknya masih menang. 

Produk-produk Philips harganya bisa 10 kali lipat lebih mahal daripada kompatriotnya dari China. Tapi produk mereka juga yang paling dicari ketika orang masuk toko elektronik di Belanda. Mahal memang, tapi kualitas dan dirabilitasnya luar biasa. Seorang teman punya pemutar vynil merk Philips yang diproduksi tahun 70an dan sampai sekarang masih berfungsi baik, gokil. Karena itu merk Philips kemudian juga jadi simbol status sosial, walaupun di Belanda masyarakatnya tidak terlalu mementingkan status dan pandangan orang. Babe-babe beli lampu Philips ya karena nggak mau repot bolak-balik ganti lampu, pasang sekali nanti gantinya bisa 20 tahun lagi.

         Klaim Philips soal ketahanan lampunya

Sepeda sebagai moda transportasi favorit orang Belanda juga sama, ada segmentasi merk Belanda dan merk luar. Sepeda buatan Belanda didesain untuk bisa dipakai sampai belasan hingga puluhan tahun. Bahkan seseorang di Reddit bilang 'If you get a Gazelle it will probably last forever' wkwk. Karena durability-nya ini, pasar sepeda bekas jadi sangat besar di Belanda, apalagi harga bekas jauh lebih terjangkau daripada harga barunya. Banyak bengkel dan toko sepeda baru/bekas tersebar di berbagai kota. Pemilik personal pun banyak yang bertransaksi via Marktplaats, sebuah platform jual beli barang bekas seperti Olx. Saya salah satunya, saya sudah beli Gazelle seken di Marktplaats untuk saya dan istri. Kesimpulan saya pas sudah nyoba Gazelle ternyata beneran kokoh dan halus. Nggak heran kalau dulu mbah-mbah dan pakde-pakde middle-upper class di Indonesia suka ngoleksi sepeda merk ini. 

Sepeda kami, hasil berburu di Marktplaats (credit: dok. pribadi)

Saya sudah beberapa kali bertransaksi di Marktplaats, bahkan di waktu senggang saya lumayan sering scroling di bagian In je buurt (in your neigborhood) untuk lihat barangkali ada barang bagus dengan harga menarik. Beberapa kali saya COD, sekalian menguji kemampuan broken Dutch ini untuk ngobrol dengan total stranger yang kadang-kadang tidak terlalu bisa Bahasa Inggris karena sudah sepuh atau tinggal di kawasan yang sangat Dutch. Turnover warga Belanda lumayan tinggi jadi sering ada orang pindahan, biasanya ada barang-barang ajaib dari orang seperti ini.

                        Marktplaats in je buurt

Kalau saya anak Markplaats, istri saya anak flea market. Dia senang sekali window shopping di berbagai flea market, kadang-kadang pulang bawa barang-barang lucu (menurut dia). Favoritnya adalah IJ-Hallen, event flea market terbesar di Eropa yang digelar hari Sabtu-Minggu setiap 3 atau 4 minggu sekali. Lokasinya di Amsterdam dan banyak wisatawan yang juga datang kesana, bukan hanya warga lokal. Kami pernah datang dan beli beberapa barang seperti postcard vintage yang bagus dan sudah tidak ada di toko manapun. Saat musim panas pasarnya digelar outdoor, tapi karena sekarang sedang dingin sebagian besarnya pindah ke dalam ruangan yang sepertinya bekas gudang atau pabrik.

                     Akun Instagram IJ-Hallen

Selain flea market, di Belanda ada banyak Kringloop. Secara bahasa kringloop artinya recycle, jadi mereka adalah toko yang menjual barang-barang bekas yang sudah terkurasi. Jualannya mulai dari furniture, elektronik, buku & ATK, pecah belah, perkakas pertukangan, aksesoris, dan pakaian. Ini bisnis besar, beberapa brand kringloop bahkan punya jaringan toko di beberapa kota besar di Belanda. Kalau saya lihat di masyarakat sini there's no shame pakai barang secondhand karena balik lagi kualitas dan durabilitasnya sangat oke, lifespan-nya masih panjang walaupun sudah pernah dipakai orang. Daripada beli barang baru murah tapi cepat rusak, mending pakai barang bekas merk terjamin yang awet supaya tidak nyampah. Get rid of something seperti perabot yang sudah rusak seringkali harus bayar, nggak bisa asal buang, jadi make sense kalau orang-orang maunya barang yang awet.

        Kringloop tradisional (credit: dok.pribadi)

            Kringloop brand (credit: dok. pribadi)

     Salah satu isi kringloop (credit: dok. pribadi)

Kadang ketika jalan ke flea market atau kringloop, ingatan saya terlempar pada deretan bapak-bapak yang menjual peralatan, aksesoris sepeda/motor, dan barang elektronik bekas yang berjejer sepanjang jalan menuju pasar tradisional sebelah rumah. Paling rame setiap hari minggu pahing karena saat itulah banyak orang libur dan mau self reward. Kadang barang-barangnya nggak make sense buat saya seperti kipas angin tapi baling-balingnya tok atau slebor motor tapi hanya yang depannya. Tapi nyatanya agenda itu bertahan puluhan tahun, jadi InsyaaAllah ya ada berkahnya di sana.

Budaya barang bekas di Jogja secara keseluruhan saya rasa lumayan kuat, setidaknya dibandingkan kota lain yang pernah saya tinggali yaitu Bandung dan Jakarta. Untuk ukuran kota yang tidak terlalu besar ada cukup banyak pasar barang loak yang terkenal seperti Pasar Senthir, Pasar Pakuncen, Pasar Niten, dan Pasar Kotagede (malam). Ini belum menghitung yang digelar di pasar-pasar tradisional di desa atau yang sifatnya insidental seperti sekaten, sunmor, atau event thrifting.

Di rumah saya ada satu sudut berantakan yang isinya toolbox-nya bapak, berbagai macam obeng dan kunci, barang elektronik lawas, oli minyak pelumas, dan lain sebagainya. Maka sekarang salah satu sisi impulsif saya adalah beli kunci pas, obeng, dan kawan-kawannya juga, bahkan di sini pun saya sudah punya. Bapak juga dulu yang mengenalkan pada Pasar Kuncen dan menunjukkan aksi merawat kendaraan tua yang teknologinya jauh lebih primitif jika dibandingkan yang ada saat ini. Sampai sekarang di rumah juga masih ada motor Honda C70 dan Win yang lama-lama jadi collectible items. Maka segala interaksi saya dengan barang bekas ini bukan hanya soal harga yang lebih terjangkau atau sustainability karena turut mengurangi limbah, tapi juga sentimen nostalgia.

Salam,
Chandra





Lebaran

Sebagai orang yang kurang suka keramaian dan tidak mudah akrab sama orang, saya kadang kurang menikmati acara syawalan atau sowan ke tempat saudara yang tingkat kedekatannya nanggung. Saya tetap ikut walau lebih karena social pressure. Tapi seiring tuntutan untuk makin fully developed sebagai anggota masyarakat, tahun ini saya up for challange untuk menikmati lebaran sepenuh-penuhnya. Mumpung lebaran kali ini sudah tidak ada batasan-batasan pandemi seperti tahun-tahun kemarin.



Ternyata ketika saya coba embrace the moment dan aktif berusaha mengenal orang-orang, hasilnya sangat menyenangkan. Ketika ikut ke keluarga besar istri, instead of duduk doang saya nimbrung obrolan bapak-bapak di kebon tentang bisnis ternak kambing, mobil tua, sampai ikan arwana. Dua tahun menikah saya belum paham silsilah keluarga besar istri karena tidak pernah kumpul-kumpul, pulang dari syawalan kemarin sebagian besar saya sudah hafal.

Enaknya bapak-bapak sekarang lebih santai, tidak mensyaratkan yang muda-muda harus bicara krama alus, setidaknya di keluarga besar saya ya. Ceplosan-ceplosan ngoko bikin obrolan jadi hangat dan santai. Saya nggak ada keinginan untuk segera pulang padahal banyak disitu yang baru saya temui pertama kali. Acara syawalan selesai sebelum dzuhur, saya baru pulang sekitar jam 2.


Dulu sebelum jadi menteri dan politisi, Pak Anies pernah bicara di TEDx tentang pentingnya seseorang punya dua hal: world class competence dan grass root understandning. Kompetensi kelas dunia sih belum ya, semoga suatu saat, tapi untuk pemahaman mengenai akar rumput saya rasa cukup okelah, terutama grass root di pedesaan karena saya lahir dan besar di sana. Itu jadi modal untuk masuk ke banyak obrolan hari-hari ini. Yang fancy-fancy biar nanti ketika sudah masuk kerja di kota lagi, waktu mudik saya pakai setingan andhap asor. Matter of fact, saya malah sangat tidak nyaman ketika sebagai pemudik dianggap eksklusif dan 'berbeda'. 

Kalau ke masjid dekat rumah saya usahakan pergi pakai sarung bukan celana panjang. Yes saking conform-nya lingkungan desa saya, pakai celana ke masjid saja sudah sebuah perbedaan yang mencolok. Saya coba kurangi penggunaan handphone ketika sedang bertamu atau bersama orang-orang, karena ini efeknya besar. Begitu saya genggam handphone, meskipun tidak dilihat layarnya, langsung kelihatan bahwa saya tidak memprioritaskan orang di depan saya.

Saya awalnya juga malas dan mau ambil sikap defensif kalau ditanya-tanya di lebaran kali ini. Tapi akhirnya wis lah los wae, kalau kitanya berniat baik semoga orang di sekitar juga nangkapnya baik. Kadang simbah-simbah itu di-iya-in saja sudah happy kok. Ada kemarin simbah yang mengira saya kerja di Garuda dan ngajak ngobrol tentang pesawat, yawis ikutin saja apa yang beliau sampaikan. Teknis jawaban kita menjadi tidak penting setelah pertemuan itu, tapi raut muka dan intonasi jawaban kita akan sampai dan diingat oleh beliau. 

Ditawarin suguhan ya saya coba makan, lagipula dari sekian banyak toples selalu ada yang saya suka. Nggakpapa lah kebanyakan kalori untuk satu dua hari, daripada mengecewakan tuan rumah yang sudah nyuguh tapi tidak disentuh. Nggak perlu berkali-kali dipersilakan baru ambil, sekali bilang monggo langsung gas. Sebenarnya sebelum monggo langsung ambil pun nggak akan marah.

Sama seperti saya yang ingat om dan tante yang sering ngasih uang dulu saat lebaran, anak sekarang pun begitu. Kalau ada rejeki boleh lah bagi-bagi amplop untuk ponakan-ponakan, anak-anak om tante yang dulu ngasih juga. Ada anak saudara yang sebelumnya tidak masuk list THR karena orang tuanya sangat kaya (tapi membumi dan hobi ajak nongkrong adek-adek sepupunya), tapi ibuk tetap suruh kasih karena namanya anak kecil pasti tetap senang dapat amplop seperti teman-teman sebayanya.

Terakhir, pelajaran yang saya ambil selama ini, nggak usah sok tahu dan komplain begini begitu. Nilai dan kebiasaan yang ada di kehidupan fancy-mu di kota belum tentu cocok dibawa mudik ke desa. Ikuti saja apa yang ada, pemudik nggak cukup mengerti keadaan untuk berhak membuat perubahan, dah nikmati saja libur lebaranmu. 

Setelah itu semua lalu tiba-tiba libur dan cuti bersama lebaran habis. Semoga kita semua jadi versi lebih baik dari sebelum puasa dan lebaran kemarin. Selamat kembali beraktivitas, yang dalam perjalanan hati-hati di jalan.


Chandra

Ibu



Ini mungkin salah satu konten YouTube paling menyentuh yang pernah saya tonton. Cek video ini terutama dari timestamp 1:16:30 sampai 1:25:00.



Banyak dari kita merantau ketika mulai bekerja, kuliah, bahkan ketika masih sekolah menengah. Sepertinya ini sudah jadi norma yang umum, bahwa suatu hari anak akan keluar dari rumah untuk meneruskan sekolah atau bekerja. Konsekuensi dari merantau adalah munculnya jarak fisik antara kita dengan orang tua, keluarga, dan saudara. Tapi tanpa disadari kesibukan untuk sekolah atau bekerja yang direstui orang tua itu, justru jadi sebab munculnya jarak batin dengan mereka.

Saya menemukan video itu bertepatan dengan masa dimana saya merasa sedang jauh dengan orang tua. Saya hanya menelepon orang tua seminggu sekali, itupun hanya 20-30 menit. Sementara itu kalau tidak urgen ibuk sangat jarang menelepon duluan karena berpikir saya sedang bekerja. Video ini jadi wake-up call bahwa saya harus lebih sering menelepon mereka, atau minimal menghidupkan group chat keluarga. Ibuk tidak akan protes sesedikit apapun anaknya menghubungi, semata-mata karena kebesaran hatinya. Tapi kita sebagai anak yang sering lupa pada mereka.

Akhir tahun kemarin bapak ibuk berkunjung dan menginap. Tempat tidur ready, tapi saya berinisiatif membelikan dua buah bantal baru. Saya belikan dua bantal itu dengan merk yang berbeda, karena iseng saja. Agar tetap baru, bantal ini baru saya buka ketika mereka mau datang dan tidak saya coba lebih dulu. Betapa menyesalnya saya karena setelah bapak ibuk pulang, saya pakai bantalnya ternyata yang satu sama sekali tidak enak dipakai. Untuk saya saja tidak nyaman, apalagi ibuk, tapi beliau sama sekali tidak berkomentar, blas nggak ada. Menyesalnya luar biasa. Penyesalan ini nggak bisa ditutup pakai keberhasilan apapun di pekerjaan atau lainnya.

Pendek saja, sisanya silakan lihat videonya.
Chandra


Syawalan

Alhamdulillah sejak saya masih bocah hingga sekarang lebaran biasanya menyenangkan. Tapi kalau boleh menyebut satu hal yang jadi beban waktu kecil dulu adalah syawalan (halal bihalal) trah (keluarga besar). Saya merasa acara syawalan diciptakan untuk simbah-simbah dan bapak-bapak, bukan untuk anak-anak. 

Pasalnya tahun-tahun sebelumnya acara syawalan di tempat kami skalanya masih level mbah buyut, 4 generasi di atas saya. Jadi yang rawuh mulai dari kakak-adiknya simbah saya, lalu bapak/ibu dan sepupu-sepupunya, lalu baru kami generasi berikutnya yang tidak kenal dengan 70-80% yang hadir disana. Rumit ya? ya intinya saudara yang separasinya sudah jauh. 

Acaranya pun dikemas dengan cara lama. Biasanya konsepnya 'pesta duduk' dengan.susunan acara yang sistematis (re: kaku), dibuka dengan berbagai sambutan, dan harus duduk dari awal sampai akhir. Bahasa pengantarnya Jawa halus yang saya hanya bisa memahami tapi tidak bisa ngomongnya. Makanan dan snacknya disuguhkan per orang dan banyak yang tidak habis dan jadi mubazir karena memang tidak cocok (bukan tidak enak ya).

Saya paham bahwa acara seperti ini perlu apalagi untuk orang Jawa. Saya pun biasanya hadir, karena meskipun malas tapi dari dulu selalu mikir kayanya acara begini banyak baiknya walaupun saya nggak/belum tahu dalilnya, lagipula cuma sekali dalam setahun. 

Dari tahun ke tahun sebenarnya acaranya pun semakin sepi. Kakak-adiknya simbah hanya tinggal sepasang dan sudah sepuh. Kami-kami lebih memilih sowan langsung ke rumahnya daripada menyelenggarakan acara rame-rame yang mungkin melelahkan. Ada faktor pandemi juga disini yang membuat kebiasaan ini stop sejak 2020.

Jadilah di tahun 2022 ini syawalan tidak lagi bersama saudara se-mbah-buyut seperti sebelumnya. Kini turun 1 generasi ke level simbah sehingga yang datang pakdhe/budhe/om/tante yang memang kenal dekat dan sepupu-sepupu akrab (plus pasangan dan anaknya) yang dulu kalau libur sekolah sering main dan nginep rame-rame di rumah simbah. Kebanyakan sudah terpapar budaya populer sehingga tidak terlalu memusingkan kebiasaan dan aturan. Jadilah acara syawalan yang inklusif, menyenangkan, seru, tapi tetap ada intinya.

Tetap ada acara ikrar syawalan, maaf-maafan, pembacaan yasin, doa, dan tahlil. Tapi di luar itu bebas mau ngobrol apa saja sama siapa saja. Karena jumlahnya tidak banyak semua bisa masuk di 'aula' rumah pakdhe yang memang lumayan luas, tidak perlu panas-panasan buka tenda di halaman. Yang bawa bayi bisa di dalam kamar ber-AC, yang mau cari angin bisa di teras dan taman depan.

Makanan dan minuman prasmanan free flow sehingga bisa ambil sesuai selera dan secukupnya. Ada teh panas dan air putih tetep, tapi ada juga es krim dan jajanan bocah biar anak-anak betah. Bajunya tidak harus rapi kemeja berpeci, mau pakai kaos dan sarungan pun boleh. Acaranya cair, penuh obrolan dan becandaan yang tentu saja organik bukan karena disuruh kenalan sama sebelahnya.

Kapan acara selesai tidak jelas karena ngobrolnya nggak putus-putus, kalau tidak karena ada acara berikutnya mungkin bisa pada lebih lama disana. Anak-anak tidak ada yang merengek minta pulang. Indikasi acaranya nyaman buat mereka.

Setiap keluarga punya caranya sendiri untuk merayakan hari raya. Saya tentu sangat menghormati itu. Disini saya hanya sharing tentang salah satu acara halal bihalal paling nyaman yang pernah saya ikuti. Ada rencana untuk membuat acara yang sama tahun depan. Semoga kita semua dikaruniai kesempatan sehingga bisa ketemu dengan ramadhan dan lebaran berikutnya. aamiin.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443H. Taqabalallahu minna waminkum. Mohon maaf lahir dan batin.






 


Orang yang Tak Pernah Mengeluh

Resilient

Perseverance

Tough

Persistent

Di atas adalah kata-kata yang menggambarkan bapak, dan seiring berjalannya waktu saya semakin paham bahwa apa yang dilalui bapak selama ini tidaklah mudah. Sedikit-sedikit saya mulai menapaki jalan yang dilalui bapak dulu, namun masih jauh dan mustahil mengatakan pengalaman saya setara dengan beliau, masih sangat-sangat jauh.

Tanpa harus banyak berkata-kata bapak sudah jadi sumber motivasi terbaik saya, salah satunya dalam bekerja. Bapak punya prestasi yang bagi saya sangat menakjubkan: bertahan di satu tempat saja sejak pertama kali bekerja tahun 1990, 30 tahun dilalui sampai memasuki masa purna tahun lalu tepat sebelum pandemi. Perbedaan jaman tidak memungkinkan saya untuk meniru itu sama persis, toh sekarang saya sudah bekerja di perusahaan ketiga.

Tapi satu hal besar yang saya ambil adalah bagaimana beliau tidak pernah mengeluh tentang pekerjaan di depan anak-anaknya. Saya tahu pekerjaan orang tua berat, tapi setelah saya tahu dunia yang sebenarnya ternyata jauh lebih berat dari yang saya bayangkan. Baru setelah purna bapak akhirnya cerita soal drama-drama pekerjaannya, untuk memotivasi dan menguatkan anak-anaknya yang baru mulai bekerja.

Pernah saya dengar bapak agak mengeluh karena disuruh masuk pada hari libur natal. Yang saya tahu saat itu hanya agak siang bapak mendadak siap-siap dan berangkat kerja. Baru kemarin bapak cerita bahwa sebenarnya pagi itu ditelpon atasannya, kena marah karena tidak masuk kantor padahal yang boleh libur hanya yang merayakan natal. "Kok buat aturan sendiri?", kata atasannya dengan nada yang begitulah.

Saya di masa kecil kadang mempertanyakan kenapa dulu bapak kadang temperamen di hari minggu. Saya baru paham ketika sudah bekerja bahwa mungkin ada beban dalam pekerjaannya pada hari senin. 

"Biyen nek minggu sore ngene wis kebayang senin, kebayang diseneni" (Dulu kalau minggu sore begini sudah kebayang senin, kebayang kena marah)

Ketika long weekend bapak suka bilang, "Lumayaan, preine 3 hari" (Lumayaan, liburnya 3 hari). Baginya hari libur sangat berharga.

Mungkin ketika lagi suntuk banget, "Sesuk do prei to, pokoke ayo dolan" (Besok pada libur kan, pokoknya ayo jalan-jalan)

Sekarang saya tidak lagi mempertanyakan sikap-sikap itu, karena saya juga merasakannya.

Bapak dulu kerja di bank, sehari-harinya berkejaran dengan target. Kalau target tidak terpenuhi bisa kena peringatan. Kalau tercapai mungkin akan dikasih target lebih tinggi lagi. Sekarang saya di posisi  yang sering bekerja dengan orang bank, dan merasakan betapa tingginya standar performa mereka. Kesimpulan: pekerjaan bapak dulu berat.

Mendapat gambaran tentang pekerjaan bapak membuat level kegigihan dan ketekunannya makin mindblowing buat saya. Saya jadi malu kalau mau mengeluh karena paham apa yang dilalui bapak jauh lebih berat. Kondisinya dulu tidak memberikan banyak pilihan untuk kuliah dimana atau bekerja apa, alhamdulillah nasib dan bakat menempatkan beliau pada pekerjaan yang layak. Sementara saya sejak dulu dibebaskan mau bercita-cita jadi apa, untuk urusan sekolah support tidak pernah kurang.

Beliau bekerja sambil menanggung adik-adiknya, sedangkan saya paling hanya dimintai topup OVO atau pesan taxi online oleh satu orang adik. Saya menyusuri rute yang sama dengan bapak, tapi bapak melaluinya ketika jalannya masih terjal berbatu. Sedangkan sekarang saya melewatinya dalam kondisi halus beraspal, dan itu berkat bapak juga. 

Saya bersyukur ketika akhirnya bapak purna tugas dengan lancar. Sekarang sudah tidak ada anxiety menyambut hari senin. Setiap pagi tidak lagi terburu-buru pergi, punya waktu mengurus ayam dan menthoknya sampai tuntas. Tanggungjawab di pekerjaannya telah ditunaikan dengan baik. Cerita tidak menyenangkan yang pernah dialaminya dalam bekerja keluar bukan sebagai keluhan, tapi dibungkus menjadi sebuah pelajaran



Belajar dari Statistik Bola Part 2

disclaimer: tulisan ini tentang keluarga saya dan mungkin mengandung unsur riya yang kurang enak dibaca, agak susah bagi saya untuk menulis ini tanpa menuliskan 'yang baik-baik', kalau ada kemungkinan membuat Anda tidak nyaman tidak usah dilanjutkan :)


Bagian bertama bisa dibaca di sini: Belajar dari Statistik Bola Part 1

Pada bagian pertama saya menulis tentang metode analisa kualitas permainan sepakbola jaman now menggunakan expected goals (xG) dan expected points (xP). Metode ini dipercaya lebih akurat dalam menggambarkan sebuah pertandingan sepakbola dibandingkan melihat hasil akhir pertandingannya saja.

Gagasan penggunaan expected goals sudah muncul sejak awal dekade 1990-an. Seperti yang telah saya tulis sebelumnya, xG dan xP membedah lebih dalam apa yang ada di belakang hasil sebuah pertandingan. Namun, sejatinya filosofi ini bisa digunakan secara lebih luas daripada hanya di lapangan bola. Organisasi, tim, perusahaan, keluarga, bahkan individu dapat diramalkan nasibnya dengan melihat apa yang terjadi di dalamnya.

Meskipun pergaulan saya belum luas-luas amat, tapi alhamdulillah persebarannya merata, tidak itu-itu saja. Saya punya kenalan warga kampung prasejahtera hingga keluarga menteri. Ada teman saya yang (maaf) hanya lulus SD dan ada yang kuliah doktoral di Amerika. Saya kenal keluarga harmonis, keluarga brokenhome, keluarga kaya, keluarga kekurangan, keluarga yang beribadah ke masjid, sampai keluarga yang menikmati alkohol.

Saya suka mengamati dan menyimpulkan namun saya simpan untuk diri sendiri karena menyangkut keluarga atau pribadi orang lain. Kadang-kadang berlebihan sih sampai terbersit "wah calon orang berpengaruh nih" atau malah "wah kayanya susah diajak maju ni orang". Astaghfirullah, tapi itu tidak pernah saya keluarkan kok, cuma sampai di alam pikiran.

Dari pengamatan itu saya melihat bahwa privilege bukan segalanya. Ada beberapa kenalan dari keluarga underprivilege yang dewasanya punya banyak prestasi. Saya percaya banyak faktor lain yang memengaruhi seseorang hidupnya baik atau tidak.

Selain itu, kondisi keluarga terkini juga tidak berkorelasi langsung dengan berhasil tidaknya anggota keluarga itu di luar rumah. Dalam keluarga, kuantitas dan kualitas interaksi orang tua-anak, penurunan ilmu agama, kebersihan dan kesehatan rumah, hubungan dengan tetangga, kedermawanan, kemauan belajar satu sama lain, dan lain lain memegang peranan penting.

Alhamdulillah, saya sangat bersyukur tinggal di keluarga yang lebih mementingkan kualitas-kualitas internal itu daripada apa yang terlihat di luar. Keluarga kami kurang terbiasa dengan selebrasi-selebrasi. Kalau mendapat suatu kebahagiaan jarang ada perayaan, disyukuri secara sederhana saja.

Celebration does not make a good thing better, gratitude does.

Lalu salah satu hal paling mencolok yang saya pelajari dari kedua orang tua adalah kemurahannya dalam membantu sesama. Beberapa kali saya dapat cerita tentang ini. Bahkan kadang-kadang yang diberikan ke orang itu agak susah diterima akal saya.

Pernah suatu waktu ada tetangga mau pinjam uang untuk men-DP motor. Motor itu akan digunakan anaknya yang mau penelitian skripsi. Alih-alih dipinjami uang, sama bapak malah dipinjami motor sampai penelitiannya selesai. Pernah ada tetangga yang terjerat hutang pada rentenir dalam jumlah yang tidak sedikit, dibantu oleh bapak urusannya.

Beberapa tahun yang lalu ada saudara yang ditawari daftar polisi namun harus membayar sejumlah uang. Orang tua saya ikut nomboki walaupun akhirnya tidak jadi ketrima polisi, uangnya dibawa lari yang menawari itu. Itu hanya beberapa yang saya dengar ceritanya, mungkin ada lagi yang saya tidak tahu karena sudah 6 tahun ini pindah ke Bandung.

Juga beberapa kali bapak ibuk berinisiatif mengundang tetangga pengajian dan makan-makan di rumah. Agak berbeda karena di desa biasanya makan-makan itu kalau ada momen tertentu saja (pernikahan, khitanan, kelahiran), lha ini tidak ada acara apa-apa, cari berkah aja katanya.

Makanan sengaja pesan catering supaya setiap tetangga suami istri bisa ikut acara, tidak perlu banyak tenaga rewang. Ini juga agak tidak biasa karena lazimnya acara seperti ini hanya untuk bapak-bapak, misal kenduri.

Di sisi lain, di dalam rumah dibiasakan untuk sederhana. Mobil keluarga yang sekarang dipakai adalah Avanza generasi paling tua tahun 2005. Bapak menolak untuk ganti karena masih aman dikendarai. Mesin cuci yang sudah jadi barang lazim baru kami punya tahun ini.

Permintaan adik untuk pasang AC ditolak, atau kalaupun mau pasang buangannya harus disembunyikan agar tidak dilihat tetangga. Bapak baru ganti handphone setelah hp-nya hilang atau tidak bisa lagi dipakai untuk kerja karena sudah terlalu tua (aplikasi dari kantor tidak kompatibel lagi)

Tapi kami juga diajari prioritas. Keperluan sekolah (termasuk kos, makan, kebutuhan di rantau) jangan kurang-kurang. Gizi harus cukup karena kesehatan itu mahal dan badan sehat itu investasi. Kami anak-anaknya juga diminta sesegera mungkin setelah punya tabungan segera ikut berkurban. Kami dibukakan rekening tabungan sejak SD.

Kebiasaan-kebiasaan itu selain berguna secara praktek juga membuat saya jadi lebih tenang. Saya merasa punya role model yang sangat dekat dan saya punya akses langsung kepadanya. Melihat bapak ibuk hidupnya damai, tenang, banyak teman, serba (merasa) cukup menjadikan saya ikut bahagia juga.

Pertama bahagia sebagai anak yang melihat orang tuanya bahagia. Kedua bahagia karena jika saya bisa mencohtoh beliau berdua semoga di masa tua sama damainya. aamiin


@chandranrhmn

sumber gambar

Tradisi Rewang




Rewang adalah salah satu tradisi masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai salah satu cara membantu keluarga atau tetangga yang sedang mengadakan kenduri, pesta, maupun perhelatan pesta adat di mana membutuhkan tenaga bantuan untuk mengurus konsumsi dan kesibukan rumah tangga lain. - Kompasiana

Saya baru sampai di Bandung setelah seminggu terakhir mudik ke Bantul. Selain Idul Adha, di rumah juga ada acara peringatan 2 tahun meninggalnya Mbah Upi (nama aslinya Supiah, nenek saya). Karena rumah saya di desa, ada adat untuk memeringati 40 hari-an, 100 hari-an, setahun-an, 2 tahun (peling), dan 1000 hari-an. Kalau kamu tinggal di desa pasti paham bahwa ngumumi itu penting, walaupun di keluarga kami konten acaranya dimodifikasi. Kebetulan rumah saya ini rumah tabon[1] jadi sering menjadi tempat acara keluarga, bahkan sengaja dibangun pendopo yang berfungsi seperti aula dan dapur yang mendukung.

Acara mengundang tetangga-tetangga, bapak dan ibu, totalnya sekitar 150 orang dan diisi pengajian dengan menghadirkan pembicara, plus ada pembacaan surat Yasin. Kebiasaan-kebiasaan macam ketan kolak apem, sanggan, atau simbol-simbol lain diputuskan untuk dihilangkan. Bahkan pemilihan tanggal sengaja dipilih tanggal 2 kemarin ngepasin libur idul adha biar saudara-saudara bisa mudik, tidak tepat 2 tahun. Karena ini termasuk tindakan yang kurang ngumumi untuk ukuran masyarakat desa, wajar kalau mengundang komentar. Tapi mungkin memang sifat 'bodo amat' saya menurun dari ibuk. Diniati sedekah saja.

Pak Ustadz yang memang disukai warga di sekitar rumah, sering ceramah di masjid-masjid sekitar


Untuk alasan simplicity, besek diganti dengan tas

Tapi di luar itu semua, ada budaya yang saya sangat suka dari penyelenggaraan acara semacam ini, yaitu tradisi rewang. Konsep rewang hampir sama dengan jasa katering. Kalau katering kita bayar dan tahu beres, tradisi rewang menganut paham bahwa tuan rumah tidak perlu ikut masuk dapur, ra ilok. Hanya saja jasa katering dibayar uang, sedangkan ibu-ibu yang rewang biasanya imbalannya berupa bingkisan, bukan uang (umumnya ya, walaupun ada juga yang menyertakan amplop). Memang yang lebih repot kalau ada hajatan begini kaum perempuan. Yang laki-laki paling hanya menyiapkan tempat acara atau menjadi sopir ngalor-ngidul seperti saya.

lemper, jepretan Bayu Sustiwi

Memasak gulai


Suasana dapur belakang


Militansi armada rewang ini luar bisa. Kemarin waktu membuat lemper[2] ibu-ibu itu begadang entah sampai jam berapa, menjelang pagi mungkin. Menjelang malam mulai dikerjakan, paginya sudah matang dan saya diminta mengantar ke rumah beberapa saudara. Belum lagi harus memasak gulai sapi memanfaatkan daging kurban kemarin, itu juga memakan waktu cukup lama, tapi hasilnya luar biasa enak, sepertinya saya nambah berat beberapa kilo selama libur kemarin.

Susah lho jaman sekarang mencari orang yang mau bekerja keras berbekal niat gotong royong, tak berbayar. Tapi sebenarnya tak sesederhana itu, rewang adalah investasi. Karena nantinya jika diantara yang rewang ini ada yang punya hajatan maka dia akan gantian dibantu oleh yang lain. Dari segi biaya penyelenggaraan acara, konsep ini menghemat anggaran dalam jumlah yang lumayan.

Kemarin saya juga kedatangan Ega dan Ifa yang ikut membantu rewang. Ifa memang masih terhitung tetangga, rumahnya tidak terlalu jauh dan memang sudah kenal lama. Sedangkan Ega adalah teman di kampus yang libur idul adha kemarin dolan ke Jogja dan nginep di rumah Ifa. Ega orang Padang, sengaja diajak oleh Ifa biar tahu rewang ala Jawa katanya.

"Rewang"   |    ig : megalianiputri

Rewang selesai ketika semua kebutuhan konsumsi siap. Saat itu lah giliran pemuda-pemuda yang membantu laden[3]. Hampir sama dengan konsep rewang tadi, tuan rumah tidak boleh ikut laden menyajikan makanan dan minuman. Dulu saya juga aktif ikut laden kalau ada tetangga yang punya acara. Tapi sejak pindah ke Bandung sudah tidak pernah lagi, lagipula sekarang giliran angkatan yang lebih muda. Laden dimulai dengan menyajikan minuman dan snack. Lalu menunggu komando untuk menyajikan makanan utama. Setelah acara selesai mereka bertugas mengambil kembali piring bekas makan tamu.








Acara selesai dan satu per satu tamu pulang. Keluarga tuan rumah biasanya masih mengobrol sambil membereskan tempat. Lalu saudara-saudara satu per satu juga pulang ke rumah masing-masing. Rumah yang beberapa hari terakhir riuh oleh aktivitas rewang menjadi kembali lengang.


Chandra


[1] serumah dengan orang tua, tujuannya menemani
[2] makanan dibuat dari ketan berisi daging, dibungkus daun pisang
[3] penyaji makanan dalam sebuah acara

Ekspektasi


Ramadhan sebentar lagi, itu artinya lebaran juga sudah tidak lama lagi. Artinya akan segera datang masanya kumpul-kumpul keluarga besar, makan bersama, bermain bersama. Menyenangkan sekali.

Tapi belakangan ini kadang ada hal yang agak mengganggu. Bukan pertanyaan kapan nikah atau pacarnya mana, bukan itu. Tapi pertanyaan-pertanyaan tentang studi saya.

Alhamdulillah studi saya baik-baik saja, belum ada masalah berarti, InsyaAllah bisa selesai tepat waktu. Tapi bagaimana pun kuliah di sini menjadi perhatian dan topik pembicaraan. Beberapa kesempatan silaturahmi ke tempat saudara selalu ada percakapan yang kurang lebih begini :

Q : Sudah selesai kuliahnya ?
A : InsyaAllah tahun ini Pakde/Budhe/Om/Tante/Mbah, mohon doanya
Q : Aamiin, yaa gek ndang lulus, jadi penerusnya Pak Habibie
A : Aamiin :)

You see ? Those expectation, almost everytime.

Alhamdulillah, itu saya anggap sebagai doa. Siapa yang tidak mau berkontribusi besar untuk bangsa dan negara. Saya juga tidak mau menyalahkan beliau-beliau karena wajar jika berbicara Teknik Penerbangan maka role model yang ada adalah B.J. Habibie. Memberikan sumbangsih besar dalam dunia penerbangan nasional hingga menjadi Presiden RI.

Beban ? Agak, tapi tidak parah-parah amat. Kalau orang-orang menganggap saya mampu, kenapa saya tidak percaya pada diri sendiri. Masih ada waktu juga untuk saya terus memperbaiki diri hingga bisa sampai pada level itu. Lagipula, harapan yang membuat kita hidup :)

Tapi yang membuat saya kadang risau adalah bahwa beliau-beliau berekspektasi saya melalui jalan yang dilalui Pak Habibie. Memang tidak sampai berharap saya menjadi presiden. Tapi setidaknya "membangun kembali industri penerbangan nasional".

Tapi melihat kondisi terkini, saya realistis. Memang butuh waktu dan usaha besar untuk membangunkan kembali industri ini di Indonesia. Dan kalau boleh jujur, itu menjadikan bidang itu tidak begitu menarik di mata saya.

Saya jadi mikir, apakah beliau-beliau akan kecewa ya seandainya saya memilih jalan kontribusi yang lain ? Karena di sisi lain saya malah tertarik dengan bidang otomotif misalnya, pengen jadi engineer di F1. Saya pernah membuat video visualisasi mimpi (di sini) yang kurang lebih menggambarkan plot yang saya inginkan. Walaupun itu pasti akan berubah dengan berjalannya waktu seiring munculnya insight-insight baru yang saya temui.

Bagaimana dengan orang tua ? Nah ini justru menarik, bapak ibuk tidak pernah menunjukkan ekspektasi-ekspektasi seperti itu. Beliau-beliau mendukung bahwa saya ingin kuliah lagi untuk meningkatkan keahlian. Tapi mau jadi engineer di F1 atau manapun, oke. Mau tinggal di Singapura, oke. Mau berkarier di bidang yang tidak berhubungan dengan kuliah, oke. Sepertinya karena dekat, bapak ibuk jadi tahu sudut pandang saya. Alhamdulillah.

Barang bawaan yang ringan bisa jadi berat kalau salah membawanya, begitu pula sebaliknya. Jadi mungkin kawna-kawan kalau ada yang merasakan hal yang sama ayok jadikan ekspektasi itu sebagai motivasi. Ada (bahkan banyak) hal-hal yang kita harus berani mengatakan dengan tegas "this is me!".

Tapi bagaimana pun orang-orang yang lebih sepuh pasti punya lebih banyak pengalaman. Jadi tetap dengarkan nasehat-nasehat beliau. Cernalah setiap nasehat dengan bijaksana, masukkan dalam kerangka berpikir dan sudut pandangmu, lalu ambil keputusanmu.

Anggap saja itu semua adalah doa untuk menghadapi dunia yang sebenarnya :)



Chandra
Semoga kita berkesempatan berjumpa dengan Ramadhan ini dan yang seterusnya ya, aamiin


sumber gambar : www.midcitiesworship.org




Cara Berbakti

Beberapa waktu yang lalu bapak saya jatuh. Bapak sempat dirawat di rumah sakit selama seminggu. Seminggu berikutnya masih istirahat di rumah. Minggu ini baru Bapak mulai ngantor lagi. Sebenarnya saya ingin mudik dari kemarin tapi baru bisa sekarang.

Alhamdulillah sekarang aktivitas Bapak sudah semakin normal dan masih rutin fisioterapi. Meski begitu disarankan untuk jangan nyetir mobil dan motor dulu. Selama seminggu ini Bapak ke kantor diantar kenalan yang memang biasa jadi driver.

Hari ini saya pulang ke rumah. Pagi ini, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah saya mengantar Bapak ke kantor di daerah Ambarukmo. Alhamdulillah ya, cara berbakti selain makan masakan Ibu instead of makan di luar.


Salam,
Chandra

Pelajaran dari Bapak

Saya masuk TK tahun 1999 dan sekarang 2016. Artinya saya sudah belajar di institusi sekolah selama 17 tahun, sekitar 80% dari umur saya sekarang.

Bicara tentang pendidikan, sosok yang pertama terlintas di benak saya adalah Bapak. Bukan karena beliau yang selalu membantu saya mengerjakan PR atau menemani belajar - ini Ibu yang melakukan. Bukan juga karena Bapak yang membiayai pendidikan saya - walaupun ini memang Bapak yang melakukan.

Tapi karena Bapak adalah orang paling getol mendorong saya untuk belajar setinggi-tingginya dan berkarir sebaik-baiknya. Bagi beliau pendidikan adalah investasi paling penting.

Ibu saya dibesarkan di keluarga yang berkecukupan. Kakek saya dari jalur ibu adalah seorang polisi dengan jabatan lumayan tinggi. Ibu dan saudara-saudaranya bisa belajar di sekolah dan kampus favorit. Mereka sekolah di SMA 1 Teladan atau SMA 1 Bantul. Kuliah di UGM, IKIP (sekarang UNY), atau IPP (sekarang IPDN).

Keluarga bapak saya berbeda. Mereka dari keluarga yang pas-pasan. Tapi yang sangat ditekankan kepada Bapak dan saudaranya adalah mereka harus lulus kuliah. UGM adalah kampus yang utopis bagi mereka. Bapak dan saudaranya kuliah di kampus semacam akademi pariwisara, akademi akuntansi, dll. Bapak lulus D3, kerja dulu baru melanjutkan S1.

Namun, pendidikan yang 'dipaksakan' itu menjadikan Bapak punya konsep bahwa pendidikan lah investasi terpenting untuk menciptakan generasi yang semakin baik. Itu diterapkan kepada saya dan adik.

Pernah di suatu siang di sebuah kota berjarak 7 jam dari rumah - perjalanan udara - saya sedang bersama Bapak ketika itu dan beliau berkata, 

"Nek(kalau) sekolah atau kerja di luar negeri mudik sehari perjalanan nyampe to."

Di kesempatan lain beliau berkata,

"Jadi arep(mau) neruske(meneruskan) neng ngendi(dimana) ?"

Ketika mendiskusikan studi lanjut, beliau selalu menjawab,

"Ya sak karepmu sing koe seneng dan cocok" (Ya terserah kamu, yang kamu suka dan cocok)

Itu baru beberapa contoh obrolan, belum termasuk motiavasi-motivasi beliau ketika mau ujian, lomba, atau apapun.

Bapak sangat membebaskan saya ingin jadi apa saja dan pergi kemana saja. Syarat yang diminta dari saya cuma : "Mau sekolah dan nggak nakal". Bapak mendorong saya untuk belajar setinggi-tingginya. 

Bapak juga mensupport secara materi. Pendirian Bapak adalah : jangan foya-foya, tapi kalau untuk pendidikan jangan kurang-kurang.

Sekali lagi saya tekankan karena ini adalah asbabun nuzul dari tulisan ini. "Jangan foya-foya, tapi kalau untuk pendidikan jangan kurang-kurang".

Alhamdulillah saya mendapat kost yang kondusif untuk belajar, gadget dan laptop yang memadai, kalau mau pulang tinggal beli tiket, dll. Bapak tidak mau kesusahannya ketika kuliah dulu terulang pada anak-anaknya.

Sungguh saya merasa bersalah dan merasa belum cukup bersyukur dan berusaha jika mengingat support yang diberikan kedua orang tua saya. Saya masih terlalu banyak membuang waktu dan mendustakan nikmat. Saya berhutang budi pada orang tua, dengan jumlah mendekati tak hingga.

Masih panjang perjalanan dan masih banyak tantangan yang harus saya jalani untuk memenuhi ekspektasi kedua orang tua. Saya ingin menjadi lebih dari yang beliau ekspektasikan. Mohon doanya.


And now I try hard to make it,
I just want to make you proud.
Simple Plan - Perfect


Salam,
Chandra
di kamar kost

Akhir Kelas 12 (Part 1)

Selamat kepada adikku yang telah menyelesaikan studi di SMA. Kemarin pengumuman hasil UN dan saya sampaikan selamat untuk itu. Semoga besok sore pengumuman SNMPTN juga menghadirkan kabar gembira. Aamiin YRA.


Ngledok Community : Kurang Satu

Senin siang, kemarin, saya agak kelelahan karena beberapa aktivitas selama weekend. Siang itu saya tidur cukup lama. Ketika terbangun, salah sati grup WA telah ramai, akibat postingan ini :
"Innalillahi wainnailaihi rajiun, telah berpulang ke haribaanMu ya Allah saudara kita Mas Bin. Semoga khusnul khotimah. Dan semua amalannya diterima Allah. Amin"
Grup ini bernama "Ngledok Community". Grup kami, generasi cucu-cucu mbah Dollah Winarno, Ngledok adalah sebutan daerah tempat tinggal simbah dulu, dimana sekarang rumah saya di Bantul juga disana, bukan nama wilayah administratif tapi cukup terkenal di daerah sekitar.
Semua kaget dan tidak menyangka karena sangat mendadak. Almarhum juga masih berusia 38 tahun, tapi maut siapa yang tahu. Karena ikatan persaudaraan yang kuat, tidak hanya memberi ucapan bela sungkawa, diantara kami yang mempunyai akses ke rumah duka berusaha segera datang. Termasuk kami yang berdomisili di Bandung. Saya segera janjian dengan mas sepupu saya yang lain yang ada di Bandung untuk segera berangkat ke Bekasi, tepatnya Jatiwarna.
Sambil terus memantau informasi, kami ngebut menuju Jatiwarna, semua serba rapid. Ada info bahwa almarhum akan dimakamkan di Ciamis (daerah asal istrinya) dan akan dibawa kesana senin malam setelah isya. Karena beberapa alasan, saya dan mas yang hanya bermobil berdua ini tetap mengarah ke Jatiwarna secepat mungkin agar tiba sebelum isya.
Sementara, keluarga besar di Bantul berangkat ke Ciamis langsung dan tiba selasa dini hari tadi.
Almarhum dimakamkan di Ciamis selasa pagi.
Mas Bintoro Wisnu
Beliau adalah salah satu role model diantara kami. Beliau yang memicu terbentuknya koloni Ngledok Community di Bandung. Dulu beliau kuliah di teknik sipil ITB, angkatan '96. Dan kini beberapa orang mengikuti kuliah atau bekerja di Bandung.
Orangnya baik, kalem. Dan yang cukup terkenang di kalangan Ngledok Community mungkin ketika pernikahannya dengan Mbak Ratih. Saat itu saya dan sepupu-sepupu ikut ke Ciamis and being very happy ! Piknik keluarga besar !
Selamat jalan Mas Bin, doa kami Ngledok Community untukmu, dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan.
Kurang Tidur
Sisi lain dari peristiwa, di hari-hari melelahkan ini saya harus begadang lagi. Selesai urusan di rumah duka sekitar jam 20:30, kami (berempat, bersama 2 mbak yang kerja di jakarta) makan malam, lalu mengantar mereka ke kos masing-masing dan mampir. Akhirnya saya dan mas baru jam 00:30 menuju Bandung.
Karena sepanjang perjalanan berangkat dan pulang hanya berdua. Terpaksa satu orang driver dan satu lagi jadi navigator, alhasil tak ada kesempatan tidur ketika lewat tol yang nyaman untuk tidur itu. Ketika pulang ke Bandung, saya coba tahan ngantuk, tapi tak bisa, akhirnya tidur dari km 20an sampai rest area km 57 tol Jkt Cikampek. Setelah rest area, karena merasa segar, saya gantian nyetir sampai Bandung. Tidur cuma sekitar 40 menit, dalam kondisi awal sudah lelah. Pengalaman lah, siang tadi masih agak oleng -_-
Sekian
Chandra

Keluarga Cemara

Harta yang paling berharga
Adalah keluarga
Istana yang paling indah
Adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna
Adalah keluarga
Mutiara tiada tara
Adalah keluarga
Selamat pagi Emak
Selamat pagi Abah
Mentari hari ini berseri indah
Terima kasih Emak
Terima kasih Abah
Restu sakti perkasa
Bagi kami putra putri yang siap berbakti
OST Keluarga Cemara
Dinyanyikan ulang dengan indah di :
https://youtu.be/EvZWgT5sIOw