Lebaran
Sebagai orang yang kurang suka keramaian dan tidak mudah akrab sama orang, saya kadang kurang menikmati acara syawalan atau sowan ke tempat saudara yang tingkat kedekatannya nanggung. Saya tetap ikut walau lebih karena social pressure. Tapi seiring tuntutan untuk makin fully developed sebagai anggota masyarakat, tahun ini saya up for challange untuk menikmati lebaran sepenuh-penuhnya. Mumpung lebaran kali ini sudah tidak ada batasan-batasan pandemi seperti tahun-tahun kemarin.Ibu
Syawalan
Alhamdulillah sejak saya masih bocah hingga sekarang lebaran biasanya menyenangkan. Tapi kalau boleh menyebut satu hal yang jadi beban waktu kecil dulu adalah syawalan (halal bihalal) trah (keluarga besar). Saya merasa acara syawalan diciptakan untuk simbah-simbah dan bapak-bapak, bukan untuk anak-anak.
Pasalnya tahun-tahun sebelumnya acara syawalan di tempat kami skalanya masih level mbah buyut, 4 generasi di atas saya. Jadi yang rawuh mulai dari kakak-adiknya simbah saya, lalu bapak/ibu dan sepupu-sepupunya, lalu baru kami generasi berikutnya yang tidak kenal dengan 70-80% yang hadir disana. Rumit ya? ya intinya saudara yang separasinya sudah jauh.
Acaranya pun dikemas dengan cara lama. Biasanya konsepnya 'pesta duduk' dengan.susunan acara yang sistematis (re: kaku), dibuka dengan berbagai sambutan, dan harus duduk dari awal sampai akhir. Bahasa pengantarnya Jawa halus yang saya hanya bisa memahami tapi tidak bisa ngomongnya. Makanan dan snacknya disuguhkan per orang dan banyak yang tidak habis dan jadi mubazir karena memang tidak cocok (bukan tidak enak ya).
Saya paham bahwa acara seperti ini perlu apalagi untuk orang Jawa. Saya pun biasanya hadir, karena meskipun malas tapi dari dulu selalu mikir kayanya acara begini banyak baiknya walaupun saya nggak/belum tahu dalilnya, lagipula cuma sekali dalam setahun.
Dari tahun ke tahun sebenarnya acaranya pun semakin sepi. Kakak-adiknya simbah hanya tinggal sepasang dan sudah sepuh. Kami-kami lebih memilih sowan langsung ke rumahnya daripada menyelenggarakan acara rame-rame yang mungkin melelahkan. Ada faktor pandemi juga disini yang membuat kebiasaan ini stop sejak 2020.
Jadilah di tahun 2022 ini syawalan tidak lagi bersama saudara se-mbah-buyut seperti sebelumnya. Kini turun 1 generasi ke level simbah sehingga yang datang pakdhe/budhe/om/tante yang memang kenal dekat dan sepupu-sepupu akrab (plus pasangan dan anaknya) yang dulu kalau libur sekolah sering main dan nginep rame-rame di rumah simbah. Kebanyakan sudah terpapar budaya populer sehingga tidak terlalu memusingkan kebiasaan dan aturan. Jadilah acara syawalan yang inklusif, menyenangkan, seru, tapi tetap ada intinya.
Tetap ada acara ikrar syawalan, maaf-maafan, pembacaan yasin, doa, dan tahlil. Tapi di luar itu bebas mau ngobrol apa saja sama siapa saja. Karena jumlahnya tidak banyak semua bisa masuk di 'aula' rumah pakdhe yang memang lumayan luas, tidak perlu panas-panasan buka tenda di halaman. Yang bawa bayi bisa di dalam kamar ber-AC, yang mau cari angin bisa di teras dan taman depan.
Makanan dan minuman prasmanan free flow sehingga bisa ambil sesuai selera dan secukupnya. Ada teh panas dan air putih tetep, tapi ada juga es krim dan jajanan bocah biar anak-anak betah. Bajunya tidak harus rapi kemeja berpeci, mau pakai kaos dan sarungan pun boleh. Acaranya cair, penuh obrolan dan becandaan yang tentu saja organik bukan karena disuruh kenalan sama sebelahnya.
Kapan acara selesai tidak jelas karena ngobrolnya nggak putus-putus, kalau tidak karena ada acara berikutnya mungkin bisa pada lebih lama disana. Anak-anak tidak ada yang merengek minta pulang. Indikasi acaranya nyaman buat mereka.
Setiap keluarga punya caranya sendiri untuk merayakan hari raya. Saya tentu sangat menghormati itu. Disini saya hanya sharing tentang salah satu acara halal bihalal paling nyaman yang pernah saya ikuti. Ada rencana untuk membuat acara yang sama tahun depan. Semoga kita semua dikaruniai kesempatan sehingga bisa ketemu dengan ramadhan dan lebaran berikutnya. aamiin.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443H. Taqabalallahu minna waminkum. Mohon maaf lahir dan batin.
Orang yang Tak Pernah Mengeluh
Resilient
Perseverance
Tough
Persistent
Di atas adalah kata-kata yang menggambarkan bapak, dan seiring berjalannya waktu saya semakin paham bahwa apa yang dilalui bapak selama ini tidaklah mudah. Sedikit-sedikit saya mulai menapaki jalan yang dilalui bapak dulu, namun masih jauh dan mustahil mengatakan pengalaman saya setara dengan beliau, masih sangat-sangat jauh.
Tanpa harus banyak berkata-kata bapak sudah jadi sumber motivasi terbaik saya, salah satunya dalam bekerja. Bapak punya prestasi yang bagi saya sangat menakjubkan: bertahan di satu tempat saja sejak pertama kali bekerja tahun 1990, 30 tahun dilalui sampai memasuki masa purna tahun lalu tepat sebelum pandemi. Perbedaan jaman tidak memungkinkan saya untuk meniru itu sama persis, toh sekarang saya sudah bekerja di perusahaan ketiga.
Tapi satu hal besar yang saya ambil adalah bagaimana beliau tidak pernah mengeluh tentang pekerjaan di depan anak-anaknya. Saya tahu pekerjaan orang tua berat, tapi setelah saya tahu dunia yang sebenarnya ternyata jauh lebih berat dari yang saya bayangkan. Baru setelah purna bapak akhirnya cerita soal drama-drama pekerjaannya, untuk memotivasi dan menguatkan anak-anaknya yang baru mulai bekerja.
Pernah saya dengar bapak agak mengeluh karena disuruh masuk pada hari libur natal. Yang saya tahu saat itu hanya agak siang bapak mendadak siap-siap dan berangkat kerja. Baru kemarin bapak cerita bahwa sebenarnya pagi itu ditelpon atasannya, kena marah karena tidak masuk kantor padahal yang boleh libur hanya yang merayakan natal. "Kok buat aturan sendiri?", kata atasannya dengan nada yang begitulah.
Saya di masa kecil kadang mempertanyakan kenapa dulu bapak kadang temperamen di hari minggu. Saya baru paham ketika sudah bekerja bahwa mungkin ada beban dalam pekerjaannya pada hari senin.
"Biyen nek minggu sore ngene wis kebayang senin, kebayang diseneni" (Dulu kalau minggu sore begini sudah kebayang senin, kebayang kena marah)
Ketika long weekend bapak suka bilang, "Lumayaan, preine 3 hari" (Lumayaan, liburnya 3 hari). Baginya hari libur sangat berharga.
Mungkin ketika lagi suntuk banget, "Sesuk do prei to, pokoke ayo dolan" (Besok pada libur kan, pokoknya ayo jalan-jalan)
Sekarang saya tidak lagi mempertanyakan sikap-sikap itu, karena saya juga merasakannya.
Bapak dulu kerja di bank, sehari-harinya berkejaran dengan target. Kalau target tidak terpenuhi bisa kena peringatan. Kalau tercapai mungkin akan dikasih target lebih tinggi lagi. Sekarang saya di posisi yang sering bekerja dengan orang bank, dan merasakan betapa tingginya standar performa mereka. Kesimpulan: pekerjaan bapak dulu berat.
Mendapat gambaran tentang pekerjaan bapak membuat level kegigihan dan ketekunannya makin mindblowing buat saya. Saya jadi malu kalau mau mengeluh karena paham apa yang dilalui bapak jauh lebih berat. Kondisinya dulu tidak memberikan banyak pilihan untuk kuliah dimana atau bekerja apa, alhamdulillah nasib dan bakat menempatkan beliau pada pekerjaan yang layak. Sementara saya sejak dulu dibebaskan mau bercita-cita jadi apa, untuk urusan sekolah support tidak pernah kurang.
Beliau bekerja sambil menanggung adik-adiknya, sedangkan saya paling hanya dimintai topup OVO atau pesan taxi online oleh satu orang adik. Saya menyusuri rute yang sama dengan bapak, tapi bapak melaluinya ketika jalannya masih terjal berbatu. Sedangkan sekarang saya melewatinya dalam kondisi halus beraspal, dan itu berkat bapak juga.
Saya bersyukur ketika akhirnya bapak purna tugas dengan lancar. Sekarang sudah tidak ada anxiety menyambut hari senin. Setiap pagi tidak lagi terburu-buru pergi, punya waktu mengurus ayam dan menthoknya sampai tuntas. Tanggungjawab di pekerjaannya telah ditunaikan dengan baik. Cerita tidak menyenangkan yang pernah dialaminya dalam bekerja keluar bukan sebagai keluhan, tapi dibungkus menjadi sebuah pelajaran
Belajar dari Statistik Bola Part 2
disclaimer: tulisan ini tentang keluarga saya dan mungkin mengandung unsur riya yang kurang enak dibaca, agak susah bagi saya untuk menulis ini tanpa menuliskan 'yang baik-baik', kalau ada kemungkinan membuat Anda tidak nyaman tidak usah dilanjutkan :)Bagian bertama bisa dibaca di sini: Belajar dari Statistik Bola Part 1
Pada bagian pertama saya menulis tentang metode analisa kualitas permainan sepakbola jaman now menggunakan expected goals (xG) dan expected points (xP). Metode ini dipercaya lebih akurat dalam menggambarkan sebuah pertandingan sepakbola dibandingkan melihat hasil akhir pertandingannya saja.
Gagasan penggunaan expected goals sudah muncul sejak awal dekade 1990-an. Seperti yang telah saya tulis sebelumnya, xG dan xP membedah lebih dalam apa yang ada di belakang hasil sebuah pertandingan. Namun, sejatinya filosofi ini bisa digunakan secara lebih luas daripada hanya di lapangan bola. Organisasi, tim, perusahaan, keluarga, bahkan individu dapat diramalkan nasibnya dengan melihat apa yang terjadi di dalamnya.
Meskipun pergaulan saya belum luas-luas amat, tapi alhamdulillah persebarannya merata, tidak itu-itu saja. Saya punya kenalan warga kampung prasejahtera hingga keluarga menteri. Ada teman saya yang (maaf) hanya lulus SD dan ada yang kuliah doktoral di Amerika. Saya kenal keluarga harmonis, keluarga brokenhome, keluarga kaya, keluarga kekurangan, keluarga yang beribadah ke masjid, sampai keluarga yang menikmati alkohol.
Saya suka mengamati dan menyimpulkan namun saya simpan untuk diri sendiri karena menyangkut keluarga atau pribadi orang lain. Kadang-kadang berlebihan sih sampai terbersit "wah calon orang berpengaruh nih" atau malah "wah kayanya susah diajak maju ni orang". Astaghfirullah, tapi itu tidak pernah saya keluarkan kok, cuma sampai di alam pikiran.
Dari pengamatan itu saya melihat bahwa privilege bukan segalanya. Ada beberapa kenalan dari keluarga underprivilege yang dewasanya punya banyak prestasi. Saya percaya banyak faktor lain yang memengaruhi seseorang hidupnya baik atau tidak.
Selain itu, kondisi keluarga terkini juga tidak berkorelasi langsung dengan berhasil tidaknya anggota keluarga itu di luar rumah. Dalam keluarga, kuantitas dan kualitas interaksi orang tua-anak, penurunan ilmu agama, kebersihan dan kesehatan rumah, hubungan dengan tetangga, kedermawanan, kemauan belajar satu sama lain, dan lain lain memegang peranan penting.
Alhamdulillah, saya sangat bersyukur tinggal di keluarga yang lebih mementingkan kualitas-kualitas internal itu daripada apa yang terlihat di luar. Keluarga kami kurang terbiasa dengan selebrasi-selebrasi. Kalau mendapat suatu kebahagiaan jarang ada perayaan, disyukuri secara sederhana saja.
Celebration does not make a good thing better, gratitude does.
Lalu salah satu hal paling mencolok yang saya pelajari dari kedua orang tua adalah kemurahannya dalam membantu sesama. Beberapa kali saya dapat cerita tentang ini. Bahkan kadang-kadang yang diberikan ke orang itu agak susah diterima akal saya.
Pernah suatu waktu ada tetangga mau pinjam uang untuk men-DP motor. Motor itu akan digunakan anaknya yang mau penelitian skripsi. Alih-alih dipinjami uang, sama bapak malah dipinjami motor sampai penelitiannya selesai. Pernah ada tetangga yang terjerat hutang pada rentenir dalam jumlah yang tidak sedikit, dibantu oleh bapak urusannya.
Beberapa tahun yang lalu ada saudara yang ditawari daftar polisi namun harus membayar sejumlah uang. Orang tua saya ikut nomboki walaupun akhirnya tidak jadi ketrima polisi, uangnya dibawa lari yang menawari itu. Itu hanya beberapa yang saya dengar ceritanya, mungkin ada lagi yang saya tidak tahu karena sudah 6 tahun ini pindah ke Bandung.
Juga beberapa kali bapak ibuk berinisiatif mengundang tetangga pengajian dan makan-makan di rumah. Agak berbeda karena di desa biasanya makan-makan itu kalau ada momen tertentu saja (pernikahan, khitanan, kelahiran), lha ini tidak ada acara apa-apa, cari berkah aja katanya.
Makanan sengaja pesan catering supaya setiap tetangga suami istri bisa ikut acara, tidak perlu banyak tenaga rewang. Ini juga agak tidak biasa karena lazimnya acara seperti ini hanya untuk bapak-bapak, misal kenduri.
Di sisi lain, di dalam rumah dibiasakan untuk sederhana. Mobil keluarga yang sekarang dipakai adalah Avanza generasi paling tua tahun 2005. Bapak menolak untuk ganti karena masih aman dikendarai. Mesin cuci yang sudah jadi barang lazim baru kami punya tahun ini.
Permintaan adik untuk pasang AC ditolak, atau kalaupun mau pasang buangannya harus disembunyikan agar tidak dilihat tetangga. Bapak baru ganti handphone setelah hp-nya hilang atau tidak bisa lagi dipakai untuk kerja karena sudah terlalu tua (aplikasi dari kantor tidak kompatibel lagi)
Tapi kami juga diajari prioritas. Keperluan sekolah (termasuk kos, makan, kebutuhan di rantau) jangan kurang-kurang. Gizi harus cukup karena kesehatan itu mahal dan badan sehat itu investasi. Kami anak-anaknya juga diminta sesegera mungkin setelah punya tabungan segera ikut berkurban. Kami dibukakan rekening tabungan sejak SD.
Kebiasaan-kebiasaan itu selain berguna secara praktek juga membuat saya jadi lebih tenang. Saya merasa punya role model yang sangat dekat dan saya punya akses langsung kepadanya. Melihat bapak ibuk hidupnya damai, tenang, banyak teman, serba (merasa) cukup menjadikan saya ikut bahagia juga.
Pertama bahagia sebagai anak yang melihat orang tuanya bahagia. Kedua bahagia karena jika saya bisa mencohtoh beliau berdua semoga di masa tua sama damainya. aamiin
@chandranrhmn
sumber gambar
Tradisi Rewang
Rewang adalah salah satu tradisi masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai salah satu cara membantu keluarga atau tetangga yang sedang mengadakan kenduri, pesta, maupun perhelatan pesta adat di mana membutuhkan tenaga bantuan untuk mengurus konsumsi dan kesibukan rumah tangga lain. - Kompasiana
Saya baru sampai di Bandung setelah seminggu terakhir mudik ke Bantul. Selain Idul Adha, di rumah juga ada acara peringatan 2 tahun meninggalnya Mbah Upi (nama aslinya Supiah, nenek saya). Karena rumah saya di desa, ada adat untuk memeringati 40 hari-an, 100 hari-an, setahun-an, 2 tahun (peling), dan 1000 hari-an. Kalau kamu tinggal di desa pasti paham bahwa ngumumi itu penting, walaupun di keluarga kami konten acaranya dimodifikasi. Kebetulan rumah saya ini rumah tabon[1] jadi sering menjadi tempat acara keluarga, bahkan sengaja dibangun pendopo yang berfungsi seperti aula dan dapur yang mendukung.
Acara mengundang tetangga-tetangga, bapak dan ibu, totalnya sekitar 150 orang dan diisi pengajian dengan menghadirkan pembicara, plus ada pembacaan surat Yasin. Kebiasaan-kebiasaan macam ketan kolak apem, sanggan, atau simbol-simbol lain diputuskan untuk dihilangkan. Bahkan pemilihan tanggal sengaja dipilih tanggal 2 kemarin ngepasin libur idul adha biar saudara-saudara bisa mudik, tidak tepat 2 tahun. Karena ini termasuk tindakan yang kurang ngumumi untuk ukuran masyarakat desa, wajar kalau mengundang komentar. Tapi mungkin memang sifat 'bodo amat' saya menurun dari ibuk. Diniati sedekah saja.
![]() |
Pak Ustadz yang memang disukai warga di sekitar rumah, sering ceramah di masjid-masjid sekitar |
![]() |
Untuk alasan simplicity, besek diganti dengan tas |
Tapi di luar itu semua, ada budaya yang saya sangat suka dari penyelenggaraan acara semacam ini, yaitu tradisi rewang. Konsep rewang hampir sama dengan jasa katering. Kalau katering kita bayar dan tahu beres, tradisi rewang menganut paham bahwa tuan rumah tidak perlu ikut masuk dapur, ra ilok. Hanya saja jasa katering dibayar uang, sedangkan ibu-ibu yang rewang biasanya imbalannya berupa bingkisan, bukan uang (umumnya ya, walaupun ada juga yang menyertakan amplop). Memang yang lebih repot kalau ada hajatan begini kaum perempuan. Yang laki-laki paling hanya menyiapkan tempat acara atau menjadi sopir ngalor-ngidul seperti saya.
![]() |
lemper, jepretan Bayu Sustiwi |
![]() |
Memasak gulai |
![]() |
Suasana dapur belakang |
Militansi armada rewang ini luar bisa. Kemarin waktu membuat lemper[2] ibu-ibu itu begadang entah sampai jam berapa, menjelang pagi mungkin. Menjelang malam mulai dikerjakan, paginya sudah matang dan saya diminta mengantar ke rumah beberapa saudara. Belum lagi harus memasak gulai sapi memanfaatkan daging kurban kemarin, itu juga memakan waktu cukup lama, tapi hasilnya luar biasa enak, sepertinya saya nambah berat beberapa kilo selama libur kemarin.
Susah lho jaman sekarang mencari orang yang mau bekerja keras berbekal niat gotong royong, tak berbayar. Tapi sebenarnya tak sesederhana itu, rewang adalah investasi. Karena nantinya jika diantara yang rewang ini ada yang punya hajatan maka dia akan gantian dibantu oleh yang lain. Dari segi biaya penyelenggaraan acara, konsep ini menghemat anggaran dalam jumlah yang lumayan.
Kemarin saya juga kedatangan Ega dan Ifa yang ikut membantu rewang. Ifa memang masih terhitung tetangga, rumahnya tidak terlalu jauh dan memang sudah kenal lama. Sedangkan Ega adalah teman di kampus yang libur idul adha kemarin dolan ke Jogja dan nginep di rumah Ifa. Ega orang Padang, sengaja diajak oleh Ifa biar tahu rewang ala Jawa katanya.
![]() |
"Rewang" | ig : megalianiputri |
Rewang selesai ketika semua kebutuhan konsumsi siap. Saat itu lah giliran pemuda-pemuda yang membantu laden[3]. Hampir sama dengan konsep rewang tadi, tuan rumah tidak boleh ikut laden menyajikan makanan dan minuman. Dulu saya juga aktif ikut laden kalau ada tetangga yang punya acara. Tapi sejak pindah ke Bandung sudah tidak pernah lagi, lagipula sekarang giliran angkatan yang lebih muda. Laden dimulai dengan menyajikan minuman dan snack. Lalu menunggu komando untuk menyajikan makanan utama. Setelah acara selesai mereka bertugas mengambil kembali piring bekas makan tamu.
Acara selesai dan satu per satu tamu pulang. Keluarga tuan rumah biasanya masih mengobrol sambil membereskan tempat. Lalu saudara-saudara satu per satu juga pulang ke rumah masing-masing. Rumah yang beberapa hari terakhir riuh oleh aktivitas rewang menjadi kembali lengang.
Chandra
[1] serumah dengan orang tua, tujuannya menemani
[2] makanan dibuat dari ketan berisi daging, dibungkus daun pisang
[3] penyaji makanan dalam sebuah acara
Ekspektasi
Ramadhan sebentar lagi, itu artinya lebaran juga sudah tidak lama lagi. Artinya akan segera datang masanya kumpul-kumpul keluarga besar, makan bersama, bermain bersama. Menyenangkan sekali.
Tapi belakangan ini kadang ada hal yang agak mengganggu. Bukan pertanyaan kapan nikah atau pacarnya mana, bukan itu. Tapi pertanyaan-pertanyaan tentang studi saya.
Alhamdulillah studi saya baik-baik saja, belum ada masalah berarti, InsyaAllah bisa selesai tepat waktu. Tapi bagaimana pun kuliah di sini menjadi perhatian dan topik pembicaraan. Beberapa kesempatan silaturahmi ke tempat saudara selalu ada percakapan yang kurang lebih begini :
Q : Sudah selesai kuliahnya ?
A : InsyaAllah tahun ini Pakde/Budhe/Om/Tante/Mbah, mohon doanya
Q : Aamiin, yaa gek ndang lulus, jadi penerusnya Pak Habibie
A : Aamiin :)
You see ? Those expectation, almost everytime.
Alhamdulillah, itu saya anggap sebagai doa. Siapa yang tidak mau berkontribusi besar untuk bangsa dan negara. Saya juga tidak mau menyalahkan beliau-beliau karena wajar jika berbicara Teknik Penerbangan maka role model yang ada adalah B.J. Habibie. Memberikan sumbangsih besar dalam dunia penerbangan nasional hingga menjadi Presiden RI.
Beban ? Agak, tapi tidak parah-parah amat. Kalau orang-orang menganggap saya mampu, kenapa saya tidak percaya pada diri sendiri. Masih ada waktu juga untuk saya terus memperbaiki diri hingga bisa sampai pada level itu. Lagipula, harapan yang membuat kita hidup :)
Tapi yang membuat saya kadang risau adalah bahwa beliau-beliau berekspektasi saya melalui jalan yang dilalui Pak Habibie. Memang tidak sampai berharap saya menjadi presiden. Tapi setidaknya "membangun kembali industri penerbangan nasional".
Tapi melihat kondisi terkini, saya realistis. Memang butuh waktu dan usaha besar untuk membangunkan kembali industri ini di Indonesia. Dan kalau boleh jujur, itu menjadikan bidang itu tidak begitu menarik di mata saya.
Saya jadi mikir, apakah beliau-beliau akan kecewa ya seandainya saya memilih jalan kontribusi yang lain ? Karena di sisi lain saya malah tertarik dengan bidang otomotif misalnya, pengen jadi engineer di F1. Saya pernah membuat video visualisasi mimpi (di sini) yang kurang lebih menggambarkan plot yang saya inginkan. Walaupun itu pasti akan berubah dengan berjalannya waktu seiring munculnya insight-insight baru yang saya temui.
Bagaimana dengan orang tua ? Nah ini justru menarik, bapak ibuk tidak pernah menunjukkan ekspektasi-ekspektasi seperti itu. Beliau-beliau mendukung bahwa saya ingin kuliah lagi untuk meningkatkan keahlian. Tapi mau jadi engineer di F1 atau manapun, oke. Mau tinggal di Singapura, oke. Mau berkarier di bidang yang tidak berhubungan dengan kuliah, oke. Sepertinya karena dekat, bapak ibuk jadi tahu sudut pandang saya. Alhamdulillah.
Barang bawaan yang ringan bisa jadi berat kalau salah membawanya, begitu pula sebaliknya. Jadi mungkin kawna-kawan kalau ada yang merasakan hal yang sama ayok jadikan ekspektasi itu sebagai motivasi. Ada (bahkan banyak) hal-hal yang kita harus berani mengatakan dengan tegas "this is me!".
Tapi bagaimana pun orang-orang yang lebih sepuh pasti punya lebih banyak pengalaman. Jadi tetap dengarkan nasehat-nasehat beliau. Cernalah setiap nasehat dengan bijaksana, masukkan dalam kerangka berpikir dan sudut pandangmu, lalu ambil keputusanmu.
Anggap saja itu semua adalah doa untuk menghadapi dunia yang sebenarnya :)
Chandra
Semoga kita berkesempatan berjumpa dengan Ramadhan ini dan yang seterusnya ya, aamiin
sumber gambar : www.midcitiesworship.org
Cara Berbakti
Beberapa waktu yang lalu bapak saya jatuh. Bapak sempat dirawat di rumah sakit selama seminggu. Seminggu berikutnya masih istirahat di rumah. Minggu ini baru Bapak mulai ngantor lagi. Sebenarnya saya ingin mudik dari kemarin tapi baru bisa sekarang.Alhamdulillah sekarang aktivitas Bapak sudah semakin normal dan masih rutin fisioterapi. Meski begitu disarankan untuk jangan nyetir mobil dan motor dulu. Selama seminggu ini Bapak ke kantor diantar kenalan yang memang biasa jadi driver.
Hari ini saya pulang ke rumah. Pagi ini, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah saya mengantar Bapak ke kantor di daerah Ambarukmo. Alhamdulillah ya, cara berbakti selain makan masakan Ibu instead of makan di luar.
Salam,
Chandra
Pelajaran dari Bapak
Saya masuk TK tahun 1999 dan sekarang 2016. Artinya saya sudah belajar di institusi sekolah selama 17 tahun, sekitar 80% dari umur saya sekarang.Akhir Kelas 12 (Part 1)
Selamat kepada adikku yang telah menyelesaikan studi di SMA. Kemarin pengumuman hasil UN dan saya sampaikan selamat untuk itu. Semoga besok sore pengumuman SNMPTN juga menghadirkan kabar gembira. Aamiin YRA.Ngledok Community : Kurang Satu
Sementara, keluarga besar di Bantul berangkat ke Ciamis langsung dan tiba selasa dini hari tadi.
Beliau adalah salah satu role model diantara kami. Beliau yang memicu terbentuknya koloni Ngledok Community di Bandung. Dulu beliau kuliah di teknik sipil ITB, angkatan '96. Dan kini beberapa orang mengikuti kuliah atau bekerja di Bandung.
Sisi lain dari peristiwa, di hari-hari melelahkan ini saya harus begadang lagi. Selesai urusan di rumah duka sekitar jam 20:30, kami (berempat, bersama 2 mbak yang kerja di jakarta) makan malam, lalu mengantar mereka ke kos masing-masing dan mampir. Akhirnya saya dan mas baru jam 00:30 menuju Bandung.
Keluarga Cemara
Adalah keluarga
Istana yang paling indah
Adalah keluarga
Adalah keluarga
Mutiara tiada tara
Adalah keluarga
Selamat pagi Abah
Mentari hari ini berseri indah
Terima kasih Emak
Terima kasih Abah
Restu sakti perkasa
Bagi kami putra putri yang siap berbakti