Showing posts with label rantau. Show all posts

Mulai Dari Masjid

 

Bismillah..

Maybe some of you know, saya pindah domisili beberapa kali. Sebagai orang yang tidak terlalu pandai bergaul dan cenderung pemalu sebenarnya ini salah satu ketakutan saya waktu kecil dulu. Saya kurang nyaman masuk ke lingkungan baru yang belum dikenal. Kalau mau begitu harus ada teman orang dalam atau kenalan yang menyambungkan.

Tapi setidakmau-tidakmaunya saya tetap saja suatu hari harus mengalami. Yang paling serius tentu saja waktu saya pindah dalam posisi sudah menikah. Kali ini tanggung jawab sosial masyarakatnya beneran dan wajib, bukan opsional lagi. Waktu ngekos sebagai mahasiswa dulu, karena saya hanya satu diantara banyak yang lain, plus masih ada bapak/ibu kos sebagai interface dengan dunia luar, bergaul dengan tetangga rumah terasa nggak wajib-wajib amat.

Meski begitu, pengalaman ngekos itu membawa pelajaran yang ternyata berguna untuk sekarang. Bahwa kalau dasarnya kita tidak pandai bergaul, cara paling mudah untuk mengakrabkan diri dengan lingkungan adalah lewat masjid. Kebetulan kos saya di Bandung sebelahan dengan mesjid dan ada 2-3 teman yang rajin mengingatkan untuk salat jamaah.

Masjid adalah tempat paling strategis dimana kita bisa hadir menampakkan diri tanpa wajib bercengkrama dengan orang lain, diem tok wes gak masalah. Datang, salat, duduk sebentar setelah salat, lalu pulang, sudah cukup dan nggak akan jadi perhatian (teks ini untuk orang yang tidak nyaman jadi pusat perhatian). Beda dengan kerja bakti ahad pagi misalnya, nggak bisa diem aja, harus ngobrol, ya kalau nyambung, kalau enggak?

Melakukan hal diatas setiap hari membuat lama-lama muka kita dikenal, setidaknya orang tahu kita sebagai orang baru yang tinggal di daerah itu. Untuk mempercepat proses bisa ditambah mengajak salaman orang-orang, ini juga hanya butuh senyum tidak perlu skill basa-basi. Datang lebih awal lalu pulang lebih akhir juga membuat lebih gampang dihafal minimal sama marbot masjid.

Next stepnya ketika jalan pulang dari masjid barengi jamaah yang lain. Ini memberikan beberapa keuntungan. Pertama, lebih gampang membuka obrolan privat daripada di forum yang ramai, saya lebih suka begitu. Kedua, kalau tidak nyambung pun kita cuma perlu bertahan paling lama 5 menit sampai salah satu sampai di rumah, exit plan jelas wkwk. Dengan melakukan ini kita juga jadi tahu rumah beliau dimana dan mungkin tahu hobi atau kebiasaannya.

Kalau sudah kenal dengan sejumlah warga, jauh lebih mudah untuk bergaul di aktivitas-aktivitas yang lebih variatif. Undangan-undangan semakin tidak menjadi beban, bahkan cenderung menyenangkan. Kerja bakti pun outputnya jadi seru karena masuk obrolan dan guyonannya, walaupun hanya bantu-bantu bebersih ranting atau nyapu jalan karena tidak terampil pakai alat-alat.

Buat orang yang supel dan pede jadi pusat perhatian mah nggak perlu repot-repot seperti ini, langsung aja nimbrung. Tapi baby step ini perlu untuk orang seperti saya karena menurut saya bergaul di masyarakat ini ada seninya sendiri, beda dengan di tempat kerja atau sekolah. Klasifikasi hal-hal yang bisa dan tidak bisa dibicarakan berbeda karena luasnya variasi latar belakang dan interes di masyarakat.

Saya nggak tahu ini urusan berkahnya masjid atau apa ya. Tapi ya begitulah, masjid bukan cuma urusan vertikal, efek horizontalnya pun besar. Masjid adalah pintu masuk ke sebuah tempat.

Jakarta Jam 2 Pagi

Jakarta jam dua pagi adalah
Travel menuju Blora dan Luwansa yang kepagian
Stasiun Senen dengan dentuman orkes dan jajanan
Busway malam yang kosong namun tetap lalu lalang

Jakarta jam dua pagi adalah
Jalanan yang panjang lebar namun lengang
Gedung-gedung tinggi yang sunyi
Lampu merah yang semakin tidak dipatuhi

Jakarta jam dua pagi adalah
Kopi sepeda rehat di bahu jalan raya
Tunawisma lelap di trotoar
Warung kopi yang mulai sepi

Jakarta jam dua pagi adalah
Pekerja proyek LRT yang tengah bekerja
McD Sarinah yang tetap sarat anak muda
Bapak-bapak bercengkrama di pos ronda

Jakarta jam dua pagi adalah
Orang-orang yang masih terjaga
Mengendapkan pikiran setelah hari yang berat sebelumnya
Dan kembali harus berjuang beberapa jam setelahnya

Jakarta jam dua pagi
Bebersih sejenak sebelum kembali melayani penduduknya
Yang selalu punya mimpi dalam tidur lelapnya

Rute Galau

Sebagai orang yang coping mechanism-nya riding naik motor tanpa tujuan, saya lumayan rajin eksplor jalanan di kota-kota tempat saya tinggal. Kadang untuk membersihkan pikiran atau sekedar membunuh waktu menunggu buka puasa. Beban kuliah maupun pekerjaan, aktivitas yang memosankan, konflik pertemanan hingga percintaan semua butuh pelampiasan. Tiga kota Jogja, Bandung, dan Jakarta memberikan jalan.

Jogja

Anak muda Jogja pasti sepakat bahwa tidak ada rute yang lebih baik untuk merenung bahkan menangis di Jogja selain sepanjang Ring Road. Jalannya lebar, lampu merahnya jarang, bebas macet, dan jalur motor terpisah dari jalur cepat sehingga kalau sedang sedikit melamun nggak akan tiba-tiba disalip bus Mira. Helm dan maskermu akan menutupi air matamu.

Karena Ring Road mengitari Kota Jogja jadi mudah dijangkau dari segala penjuru. Jadi orang Bantul, Sleman, Kulonprogo, dan Gunungkidul tinggal menuju ke persimpangan Ring Road terdekat untuk kemudian masuk jalur dan berkontemplasi. Pelaku juga tidak perlu memikirkan belok, ikuti saja jalan utamanya maka setelah satu putaran akan kembali ke titik yang sama.

Kalau sebenarnya punya tujuan, atau lewat Ring Road dalam perjalanan pulang, hal yang sama bisa dilakukan. Sebab secara teknis jalan ini adalah alternatif paling nyaman dan sejuk (karena bisa ngebut) untuk pindah dari satu tempat ke tempat lainnya di Jogja. Daripada lewat dalam kota, macet bos!

Flyover Janti, Jombor, underpass Kentungan, dan jembatan layang di Ring Road barat yang saya nggak tahu namanya itu juga bikin perjalanan nggak datar-datar amat. Kalau jalur cepat sedang kosong bolehlah sekali-kali masuk pakai motor. Tapi ya biar wangun lakukan jika dan hanya jika motormu minimal 250cc, kalau Beat mending tetap di jalur lambat. *guyon dab

Bandung

Motoran di Bandung adalah hal yang menyenangkan karena sejuk dan banyak jalan dipayungi pepohonan rimbun. Bahkan kalau terpaksa tengah hari masih di jalan juga panasnya tidak membakar. Suhu di Bandung rata-rata 5-6 derajat celcius lebih rendah daripada Jogja, lebih-lebih Jakarta.

Tapi kalau mau rute yang lebih dingin lagi, saya tahu jawabannya. Sekaligus ini rute yang sering saya lewati ketika menjadi penduduk Bandung bagian utara. Rute merenung sekaligus ngadem paling paten di Bandung: naik ke Lembang via Dago, bukan via Setiabudi ya, disana mah isinya mobil-mobil dari Jakarta, macet, dan kanan kirinya villa.

Dari seluruh penjuru Bandung menujulah ke Simpang Dago yang terkenal dengan mekdi-nya itu. Lalu naik ke arah Dago Pakar. Setelah melewati terminal Dago ambil jalan yang nyempal ke kiri menuju Desa Mekarwangi. Nah dari situ ikuti terus jalannya maka kita akan disambut pemandangan bukit hijau, lembah, dan sawah. Filing gud lakasud.

Ikuti jalan itu terus dan udara akan terasa semakin dingin sampai akhirnya tiba di Lembang. Kalau waktu masih ada bisa dilanjut sampai Cikole lalu ngadem di kebun teh. Kalau lapar bisa mampir Punclut, makan sambil memandang Kota Bandung dari atas bukit. 

Jakarta

Saya belum lama di Jakarta tapi sudah punya satu rute recommended yaitu memanjang dari Monas ke selatan sampai ujung Jaksel. Keliling kompleks Monas lewat Jalan Medan Merdeka enak asal tidak sedang macet. Lalu disambung ke arah Bundaran HI dan menyusuri jalan Sudirman. Simpang susun Semanggi bablas tapi jangan lewat jalur mobil karena pasti ditilang. 

Selanjutnya adalah jalan paling rapi di Indonesia dengan pemandangan sebelah kanan kompleks Gelora Bung Karno dan sebelah kiri perkantoran mewah SCBD. Tentu ada stasiun MRT dan jembatan penyeberangan fancy berkah Asian Games. Jalannya lebar banget tapi pelan-pelan saja nikmati momen.

Sampai Bundaran Senayan bisa putar balik atau lanjut menyusuri jalan Panglima Polim - Fatmawati di bawah rel MRT. Agak menyempit dan sarat traffic light tapi lumayan rapi karena belum lama dibangun. Lurus sampai tembus JORR. Tapi karena ini membahas soal motor jadi kita nggak bisa masuk jalan tol. 

Belok kiri lewat depan Cilandak Town Square. Lalu kiri lagi masuk ke Jalan Pengeran Antasari. Jalannya lega juga dan tinggal diikuti terus jalan utamanya maka kita akan balik lagi ke Blok M, kalau lurus lagi tembus ke Bundaran Senayan. Tibalah kita kembali di jalan paling rapi di Indonesia.

----

Tulisan diatas di-compile dari pengalaman pribadi dan beberapa teman. Intinya, seruas jalan walaupun nggak benar-benar sunyi tapi bisa jadi salah satu tempat untuk menyepi. Tapi di jalan yang banyak orang berlalu lalang, sedang semewek apapun pastikan untuk tetap berhati-hati. Ride safe!


Banyak kenangan terserak di jalanan
Chandra

Tidak Ada Lebaran Tahun Ini

Sejak pertama merantau, Idul Fitri adalah satu satunya momen yang bagi saya tidak bisa tidak harus dirayakan bersama keluarga di rumah. Saya pernah merayakan Idul Adha di perantauan, tapi tidak dengan Idul Fitri. Biasanya paling lambat H-5 lebaran saya sudah di kampung halaman, taraweh di masjid dekat rumah. Tahun ini adalah pertama kalinya saya akan merayakan lebaran jauh dari rumah dan jauh dari keluarga. 

Ramadhan dan lebaran tahun ini disponsori pandemi virus Covid-19 yang mungkin masih akan terkenang sebagai salah satu pandemi terbesar abad ini. Di tengah semrawutnya kebijakan, saya termasuk golongan yang memutuskan untuk tidak pulang demi kebaikan diri dan keluarga. Kalau ibu sudah meminta untuk jangan, maka alasan apa lagi yang mau kamu gunakan untuk pulang?

Ramadhan tahun ini sangat berbeda? Ya. Jakarta adalah zona merah. Tidak ada tarawih berjamaah di masjid dekat tempat saya tinggal. Tidak ada kajian menjelang berbuka puasa, Tidak bisa berdiam diri di masjid pada malam hari atau sekedar membunuh waktu merenung di siang hari karena masjid dalam kondisi tertutup untuk umum. 

Tidak pulang artinya menggenapkan ramadhan sendirian di kosan. Banyak waktu untuk dihabiskan dengan diri sendiri. Tapi juga banyak momen berharga bersama keluarga yang terpaksa direlakan. Dibangunkan ibuk tiap pagi untuk sahur via telepon bukan dengan digerak-gerakkan kakinya. Berbuka dengan beli makanan di kaki lima atau warung makan bukan masakan ibu di rumah atau takjil di masjid. Tidak ada meja makan yang diatasnya tersaji berbagai jenis sajian. Tidak ada saling menyampaikan besek berisi lauk pauk dengan tetangga yang membuat hampir tiap hari ada makanan tak terduga.

Tidak ada safari masjid Jogokaryan, Suciati Saliman, Jamasba, dan Kauman seperti biasanya bersama teman-teman. Buka bersama yang direncanakan sebelumnya tidak ada yang terlaksana. Tidak ada seremoni bakti sosial, digantikan sedekah via transfer ke lembaga penyalur bantuan atau crowdfunding acara kemanusiaan. Pengajian digantikan zoom atau live instagram.

Begitu pula menjelang lebaran tidak ada ketupat dan gulai menthok buatan ibuk. Saya mungkin masih bisa beli ketupat dan kue-kue lebaran di Jakarta. Tapi bukankah rasa adalah soal yang tak bermassa? Sungkem akan tergantikan dengan video call. Kunjungan ke saudara-saudara sekarang berwujud kiriman bingkisan dan ucapan. Betapa banyak hal yang berubah.

Sebenarnya saya sudah rindu berkeliling dari satu simbah ke simbah lainnya seperti tahun-tahun sebelumnya. Disuguh berbagai cemilan dan minuman yang saya tidak pernah jaim menyantapnya bahkan ketika sudah dianggap dewasa. Lebaran juga momen dimana bisa makan sampai enam-tujuh kali sehari dalam rangka menghargai tuan rumah yang sudah menyiapkan.



Kalau kata ibuk beberapa hari yang lalu, lebaran ini adalah momen untuk belajar ikhlas berpuasa tanpa mengharapkan 'lebaran'. Nilai ramadhan tahun ini mungkin bukan pada menahan haus dan lapar. Tapi pada kerelaan bahwa akan ada sesuatu yang hilang dan tak biasa pada ramadhan dan lebaran yang sekarang. Lalu melihat seberapa kita bisa bersyukur dan berbahagia karenanya.

Rasanya kita jadi perlu mengevaluasi diri. Ketika kita berdoa untuk dipertemukan dengan ramadhan berikutnya apakah saat itu yang kita harapkan adalah keberkahan dan ibadahnya atau hanya semata-mata kebiasaan dan kebahagiannya? Atau libur panjang dan THR-nya?

Tidak ada lebaran tahun ini bukanlah kampanye untuk mengutuk keadaan yang terjadi saat ini. Tapi ajakan untuk memilah mana yang sebenarnya menjadi inti dari lebaran. Faktanya ibadah puasa adalah ibadah yang bisa kita lakukan 'sendirian'. Semoga kita tidak perlu bersedih jika yang terhalang untuk melakukannya hanyalah komponen tambahan yang kita inginkan tetapi sebenarnya bukan yang esensial. 

Tidak kurang-kurang kita mesti bersyukur telah diberi kesempatan dan kesehatan untuk menjalani ibadah ramadhan tahun ini. Semoga ibadah kita mendapat nilai yang baik dari-Nya dan hal-hal yang belum maksimal bisa kita perbaiki di kesempatan berikutnya. Semoga kita dipertemukan dengan ramadhan tahun depan dalam keadaan yang tanpa kurang suatu apapun. Aamiin

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441H/2020M
Taqabalallahu minna waminkum
Mohon maaf lahir dan batin

Chandra

Apa Kabar?

Semakin hari semakin banyak yang nanya soal kabar saya di masa isolasi corona ini. Alhamdulillah saya sehat. Soal yang lain-lainnya saya mau ceritakan di sini.

Makan
Sejak corona heboh dan banyak perusahaan menerapkan WFH, omset pedagang makanan di daerah kawasan perkantoran turun drastis. Sepertinya kebanyakan dari mereka yang biasa berjualan sudah pulang kampung sejak akhir Maret.

Yang masih bertahan adalah yang memang penduduk setempat, restoran yang mengandalkan order online, dan franchise fast food. Sedangkan warung non permanen yang biasa berjualan di pinggir jalan mungkin tinggal 30% yang masih buka.

Saya sendiri sejak awal ada perintah social distancing sudah menyiapkan keperluan untuk bisa memasak di dalam kosan. Saya beli penanak nasi, teflon, panci, dan alat masak lain, serta beberapa macam sembako. Untuk kompornya kebetulan saya sudah punya kompor listrik. Air minum saya pakai galon seperti biasa.

Namun karena tidak banyak variasi masakan yang bisa saya buat, saya masih mengandalkan delivery online grabfood dan gofood. Saya pilih restoran yang memberikan promo besar sehingga sisanya bisa digunakan untuk tip saja. Rekomendasi saya untuk yang berlokasi di sekitar Kuningan/ Sudirman: Bebek BKB dan Ngikan.

Aktivitas
Sejak 4 minggu lalu tempat kerja saya sudah menerapkan WFH. Walaupun di awal sedikit kurang efektif tetapi makin kesini produktivitas makin mendekati level normal. Jam kerja saya memang jadi lebih pendek yaitu jam 9 sampai 4 sore. Siang hari tetap ada istirahat makan siang.

Di luar itu, saya baca buku, nonton film yang lalu saya buat review super singkat di instagram, nulis-nulis sedikit, riset kecil-kecilan soal beberapa hal, belajar main saham, dan main gitar. Iya saya memutuskan beli gitar untuk mengisi masa isolasi, siapa tau jadi jago mainnya habis ini.

Pagi atau sore hari saya jalan keluar untuk memastikan saya tetap bergerak minimal 6000 langkah. Biasanya sambil ke minimarket atau warung beli kebutuhan. This to preserve my sanity as well.

Komunikasi dan Hiburan
Alhamdulillah tidak ada masalah dengan jaringan internet dan listrik sehingga saya masih bisa dengan mudah terhubung dengan dunia luar. Ini sangat membantu karena di dalam kos, walaupun sesekali ngobrol dengan penghuni kanan kiri, tetap saja akan terasa sepi.

Hiburan saya di internet antara lain youtube (saya sedang suka nonton basket NBA dan video woodturning) dan film. Sejujurnya saya nonton film gratisan mengandalkan keluarga indoxxi. Masih mempertimbangkan apakah akan ambil langganan Netflix atau tidak, what do you think?

Ibadah
Jakarta termasuk kota yang gercep sejak awal meminta social distancing dan membuat himbauan untuk beribadah di rumah. Sekarang masjid-masjid di sekitar tempat tinggal saya sudah tidak menyelenggarakan salat berjamaah apalagi salat jumat. Masjid hanya dibuka untuk adzan.

Saya tidak tahu bagaimana nanti ibadah di bulan puasa yang notabene tinggal beberapa hari lagi. Kemungkinan akan jadi ramadhan paling sepi.

Transportasi
Meskipun harus physical distancing, kadang-kadang saya juga perlu pergi ke luar rumah. Saya yang sebelumnya sangat mengandalkan angkutan umum atau online sekarang beralih pakai motor sendiri untuk kemana-mana. Kalau tidak terlalu jauh saya memilih jalan kaki.

Sekarang pemprov DKI Jakarta sudah secara resmi menerapkan PSBB. Layanan transportasi umum di Jakarta dipangkas dan kapasitas dibatasi hanya 50% kapasitas normal.

Apa lagi ya yang perlu ditulis? Nanti diupdate kalau kepikiran. Stay safe everyone, sehat sehat. Begini banget ya jadi saksi sejarah dunia.

Isolasi

Masih dalam rangka corona, sebagai seorang introvert akut (pernah test sampe dapat introvert 80%), harusnya social distancing bukan masalah. Bahkan kalau bisa malah inisiatif isolasi diri sejak dini. Faktanya, ini memang sudah saya lakukan sejak hari Sabtu tanggal 14 kemarin.

Meski begitu saya nggak bisa sepanjang hari mengurung diri. Entah kenapa badan ini malah jadi anget kalau hanya berdiam di dalam ruangan 9 meter persegi ini. Dalam darurat virus begini badan anget dikit ngeri sendiri membayangkan yang tidak-tidak. Ternyata solusinya jalan keluar kosan 15-30 menit.

Kayanya ini gara-gara trauma. Walaupun badan alhamdulillah sehat, tapi situasi isolasi begini melempar pikiran saya ke tahun 2015 waktu kena cacar, Ya, saya kena cacar pas udah gede, awal semester 4 kuliah, dan kata google ternyata kena cacar pas dewasa akan lebih parah daripada kalau kena pas masih bocah. Waktu itu dua minggu saya bedrest termasuk skip the whole minggu pertama kuliah.

Posisi waktu itu sudah di Bandung karena ada acara perwalian dan lain sebagainya. Saya kemana-mana pakai masker, takut nular sekaligus takut ditanya kenapa. Maklum muka bentol-bentol khas cacar.

Empat hari saya mengisolasi diri di dalam kamar. Saat itu belum ngetren yang namanya food delivery jadi kalau mau makan ya harus jalan ke luar. Malas keluar = kelaparan. Obat dari dokter sampai habis belum sembuh juga. Ditambah kepikiran udah mau mulai kuliah dan harus muncul dengan bekas-bekas cacar di wajah.

Yang menemani saya waktu itu hanya tv yang saya nyalakan sekedar sebagai backsound. Nggak saya tonton karena lagi heavy rotation video klipnya OK GO di YouTube. Satu lagu yang spaling sering diulang judulnya Writings On The Wall. Lagunya bagus, video klipnya bagus banget. Saking seringnya, sekarang kalau muter lagu itu saya psikosomatis juga.

Setelah 4 hari akhirnya memutuskan pulang ke Bantul sebelum masuk kuliah. Selain Bantul nggak sedingin Bandung, namanya di rumah pasti selalu tersedia makanan haha

Alhamdulillah sekarang lebih baik. Saya mengurung diri dalam kondisi sehat dan menikmati hidup. Kemarin sabtu men-set-up dapur di dalam kamar berbekal kompor yang dulu dibawa dari Bandung. Kondisi di luar makin kacau. Orang-orang mulau mengurangi keluar rumah walaupun tadi saya lihat sepanjang jalan Karbela biasa saja seperti tidak kejadian apa-apa.

Semoga masalah corona ini masih dapat tertangani ya. Masyarakat menjaga diri dengan sosial distancing, semua pihak memahami kondisi upnormal ini, dan pemerintah berhenti denial!

Setiap Jam di Jakarta Rush Hours



Saat masih di Jogja bisa dibilang saya jarang pergi ke luar kota. Lebih jarang lagi pergi untuk tujuan liburan. Perjalanan yang saya alami lebih banyak karena urusan sekolah dan semacamnya. Pertama kali naik pesawat, pertama kali ke luar negeri, tujuannya keperluan akademik, lomba lah, pertukaran pelajar lah. 

Ketika saya pindah ke Bandung tahun 2013 saya menemukan konsep yang sebelumnya jarang saya pikirkan. Ternyata ada sebagian orang yang menjadikan 'liburan tahunan' sebagai sebuah rutinitas. Saya mulai menjumpai pertanyaan 'tahun ini liburan kemana?', 'tahun baru kemana?'. Walaupun disebut liburan tahunan pada prakteknya bisa 2 sampai 2 kali dalam setahun.

Bukannya saya nggak pernah liburan, pernah. Tahun baruan di luar kota juga pernah. Tapi itu nggak rutin. Sebagian besar tahun baru di masa ABG saya dihabiskan bersama teman pemuda sekampung atas instruksi bapak untuk sering-sering bermasyarakat dengan tetangga kiri kanan. 

Liburan juga pernah ke Jakarta, Kalimantan, Lombok, dll tapi lebih banyak waktu libur sekolah dihabiskan di rumah aja. Kalau ke luar kota biasanya ke tempat saudara yang lokasinya nggak jauh-jauh amat dari Jogja. Sedangkan liburan yang benar-benar private sekeluarga sangat jarang dan memang sepertinya bukan begitu budayanya.

Ketenangan hidup di daerah mungkin berpengaruh ya. Jadi nggak merasa liburan sebagai kebutuhan yang harus disegerakan. Wisata kuliner bersama keluarga dan mampir di beberapa tempat wisata dalam kota saja sudah lebih dari cukup. Say it, mungkin hampir semua tempat makan ikonik di Jogja sudah pernah saya coba.

Tapi ketenangan ini agak sulit di dapatkan di Jakarta. Sebagai sebuah kota metropolitan, disini orang-orang sangat bersemangat mengejar impiannya (ini bahasa halusnya) dan mencari uang (ini realistisnya). Banyak hal diukur secara materialistis. Jadinya orang sibuk dan kemrungsung. 

Tidak heran kalau Bogor dan Bandung selalu macet di akhir pekan. Orang Jakarta ingin ngadem. Ngadem dari suhu Jakarta yang lumayan hot, dan ngadem menjauh dari rutinitas yang menekan di lima hari lainnya. Orang Jakarta sangat menghargai weekend (setidaknya lebih dari Jogja dan Bandung), yang ini saya suka.

Secara pekerjaan, bekerja di Jakarta atau kota besar lainnya belum tentu lebih berat daripada di daerah suburban. Tapi tekanan untuk terus bergerak dan perform itu membuat banyak orang Jakarta bundet pikirannya. Nggak heran kalau liburan tahunan jadi agenda yang nggak pernah lupa dijadwalkan. 

Dengan standar penghasilan ibukota yang lumayan tinggi memang memudahkan orang-orang ini untuk pergi ke luar kota bahkan luar negeri. Adil sih, setelah hari-hari yang menguras energi menyempatkan waktu dan biaya untuk self reward bisa dimaklumi. 

Saya senang jalan-jalan ke luar negeri. Tapi untuk saat ini destinasi yang selalu ingin saya kunjungi ya pulang ke rumah, ke Jogja. Hari Jumat dimana saya sudah booking tiket untuk pulang ke Jogja sore harinya selalu susah untuk fokus bekerja, karena sudah kebayang pulang. Lalu hari Minggunya selalu eman-eman untuk cepat pulang. Tapi bagaimanapun banyak hal ke depan harus disiapkan 

-chandranurohman-

Memuliakan Tamu




Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”. [Bukhari no. 6018, Muslim no. 47]

Itu di atas adalah foto-foto yang berhasil dikumpulkan setelah saya cari di beberapa gadget, sosmed, dan minta ke teman. Alhamdulillah setelah berdomisili di Bandung sekitar 3,5 tahun ini (wah tak terasa yaa..), lumayan sering saya kedatangan tamu. 

Mereka adalah keluarga, teman SMP/SMA, atau saudara yang lainnya. Keperluannya beragam, ada yang karena ada acara di Bandung atau di ITB, ada yang sekedar piknik, ada yang karena tidak jauh dari Bandung jadi menyempatkan main. Saya barusan hitung, yang saya ingat sudah lebih dari 20 kali saya kedatangan tamu. Alhamdulillah. 

Kegiatannya macem-macem juga, ada yang cuma meet up di kampus, ada yang ngobrol sambil makan, ada yang ngajak ke tempat wisata, sering pula ada yang nginep di kosan. Di kos kami ada kasur untuk bersama, bisa dipakai siapapun yang kedatangan tamu. Kadang saya ketemu sendiri, kadang juga ajak teman yang sama-sama kenal.

Saya sangat berharap kalau ada kenalan yang ke Bandung silakan mengabari saya. Kalau saya di Bandung dan pas sehat InsyaAllah saya sempatkan ketemu. Tak usah takut merepotkan. Justru saya senang kalau ada tamu. Saat ada kalian-lah saya ikhlas meninggalkan kesibukan kampus untuk jalan-jalan hehehe. 

Ijin "lagi ada tamu" berterima di ITB untuk skip sebagian besar kegiatan. Kegiatan non-akademik sih, kalau akademik ya lihat jatah absen daripada bermasalah. Saya pernah main ke Tangkuban Perahu, Floating Market, Kawah Putih, Rancaupas, Situ Patenggang, dll karena ada tamu, bukan bareng-bareng kawan di sini. Saat itu lah saya meluangkan waktu berwisata hehehe

Sekarang ada yang ke Bandung mondok tahfidz. Programnya ketat jadi nggak bisa komunikasi. Mungkin memang belum diijinkan ketemu. Dia sampai di Bandung 24 Desember, hari itu juga saya pulang ke Jogja, anggap saja papasan. Tidak biasanya saya mudik akhir tahun selambat itu, biasanya libur cepat masuk cepat. Kabarnya programnya selesai 24 Januari, hari itu juga pagi-pagi saya menuju Jakarta karena ada acara di sebelah. Atas request ortu, rute pulang saya agak aneh : Don Mueang - KL, KL - Jogja. InsyaAllah tanggal 31 Januari saya di Jogja.


Maaf lupa ngasih tahu
Salam,
Chandra

Payung-Payung Itu



Siapa payung-payung itu ? Mereka adalah orang-orang yang berusaha meraup rejeki memanfaatkan momen hujan di kompleks Trans Studio Bandung tadi siang. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak, ditambah sebagian ibu-ibu. Mereka menunggu orang-orang yang mungkin ingin menggunakan jasanya. Hari ini kebetulan kompleks TSB sedang ramai karena ada beberapa event di sana. Ditambah lagi, antara mall, masjid agung, dan tempat parkir tidak ada jalur teduh yang baik.

Dengan payung terbuka, mereka menunggu di tangga masjid dan selasar plaza mall. Rata-rata memakai kaos oblong, celana pendek, dan sandal -- sebagian telanjang kaki. Saya tidak sempat memakai jasa mereka atau setidaknya menanyakan tarif. Tapi yang jelas mereka berharap hujan yang turun deras dan lama. Saya sempat masuk sebentar, ketika keluar hujan sudah reda dan mereka sudah tidak nampak.

Ini untuk pertama kalinya saya melihat sendiri yang namanya ojek payung. Monggo dinilai sendiri :)


Salam,
Chandra

ATM Pecahan 20 Ribuan di Bandung


Mahasiswa rantau, termasuk saya, sangat akrab dengan ATM. Beberapa hari sekali pasti masuk ruang ATM untuk mengambil kiriman orang tua atau uang beasiswa. ATM yang beredar saat ini kebanyakan mengeluarkan uang pecahan 50 ribu dan 100 ribu. Namun, saya menemukan beberapa ATM yang masih mengeluarkan uang 20 ribuan.

Angpao Lebaran
Berbeda dengan ATM 50 dan 100 ribu yang menggunakan uang lama tetapi masih bagus, ATM 20 ribu berdasarkan pengalaman saya menggunakan uang baru. Saya terpikir bahwa ini bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan uang baru untuk angpao lebaran. Cara ini tentu saja lebih nyaman daripada 'membeli' uang baru yang dijajakan di pinggir jalan atau antri di Bank Indonesia. 

Pedagang Kecil
Kemarin saya mengambil uang di ATM 20 ribu dan mendapat uang baru. Saya terpikir sebuah nasehat dari sepupu, "kalau bayar tol pake uang lusuh aja, nanti Jasa Marga langsung nukar ke BI". Saya lengkapi logika itu dengan "beli di warung pake uang baru aja, karena uangnya akan muter kemana-mana". Saya praktekkan kemarin sore di kios juice ketika buka puasa. Saya beli jus seharga 6 ribu dan bayar dengan 20 ribuan baru. Penjualnya tidak ada kembalian lalu bilang "sebentar saya nuker dulu", menariknya dia menyimpan uang itu dalam lacinya lalu mengambil uang lain yang lusuh untuk ditukarkan. Kesimpulannya, masyarakat kita lebih senang uang mulus, walaupun nilainya sama. Akhirnya saya temukan bukti kata-kata Grisham, di warung juice.

Dimana ada ATM 20 ribuan ? Saya menemukan di BNI depan ITB dan ATM BNI di Bandung Electronic Center (BEC), mungkin masih cukup banyak yang lain.