Showing posts with label relationship. Show all posts

Rajin Ngaji, Jangan Lupa Belajar


Saat belajar puasa dulu, ibadah ramadhan adalah ibadah yang sangat fisik. Sebagai anak-anak tantangan beratnya adalah bangun jam 3 pagi untuk sahur, memaksa melek untuk subuhan, lalu menahan lapar dan haus sampai maghrib dengan siang harinya tetap sekolah dan TPA, malamnya salat minimal belasan rakaat. Itu diulang selama 29 atau 30 hari. 

Sementara kini setelah dewasa orang secara fisik sudah lebih kuat. Lapar dan haus sudah bukan tantangan terberat, kecuali memang punya aktivitas yang sangat menguras tenaga. Masalah tidak makan di luar ramadhan pun orang berkreasi dengan intermittent fasting dengan alasan kesehatan. Bangun dini hari mestinya biasa kalau sering bangun nonton bola. Tarawih kalau sampai ngos-ngosan berarti orangnya yang kurang olahraga atau salatnya kecepetan.

Untuk orang dewasa ramadhan itu game-nya bukan di fisik tapi di prioritas. Mau pilih mana,  perbanyak ibadah sunnah atau kembali bekerja, buka puasa di masjid atau buka bersama di rumah saudara, usai tarawih tadarusan atau nge-gym, pulang kerja buka di luar atau dengan keluarga, baca buku umum atau nyimak video kajian, safari masjid atau main dengan anak, kajian sore atau menyiapkan makanan berbuka,  belajar atau mengejar target bacaan, dll. Keputusan akan lebih mudah diambil kalau pilihannya yang satu baik yang satu tidak, tapi dalam ramadhan sering harus memilih di antara dua yang baik. Ramadhan banyak baik-baiknya. Alhamdulillah.

Ramadhan jadi makin spesial karena terbatas, hanya 1 bulan saja. Karenanya semestinya ramadhan dijalani dengan prioritas yang berbeda. Teringat sebuah pesan:

̶R̶̶a̶̶j̶̶i̶̶n̶ ̶b̶̶e̶̶l̶̶a̶̶j̶̶a̶̶r̶, ̶j̶̶a̶̶n̶̶g̶̶a̶̶n̶ ̶l̶̶u̶̶p̶̶a̶ ̶n̶̶g̶̶a̶̶j̶̶i̶
Rajin ngaji, jangan lupa belajar

Selamat menjalankan ibadah Ramadhan, semoga Allah SWT menerima amal baik dan mengampuni kesalahan kita. Mohon maaf lahir dan batin, jika saya punya hutang atau janji mohon diingatkan.


Thanks,
Chandra

Fans dari Sebuah Cara



Semua pasti setuju kalau saya bilang bulan Syawal ini banyak banget yang nikah. Weekend ini aja saya menerima beberapa undangan tapi nggak bisa datang dan cuma nitip amplop karena terlanjur punya acara.

Itu baru yang mengundang, lebih banyak lagi kalau digabung dengan yang tidak. Kakak tingkat yang agak jauh, kenalan jaman sekolah, dan teman yang nggak begitu dekat biasanya saya tahu kabar pernikahannya dari media sosial saja.

Dari semua yang menikah, kalau dicermati setiap pasangan punya cara dan ceritanya masing-masing hingga sampai ke jenjang pelaminan. Ada yang sudah bisa diduga karena sudah pacaran sejak lama dan selalu update di sosial media. Ada yang ujug-ujug nyebar undangan di grup yang mana calon mempelai putra dan putrinya berasal dari grup itu juga (seangkatan). Ada teman sekelas jaman SMA yang sudah dekat sejak dulu tapi saya baru tahu. Ada adik tingkat yang baru sidang kemarin langsung nyebar undangan. Ada cerita pasangan yang persiapan nikahnya kilat, sebulan tok. Ada yang lama nggak ada kabar tahu-tahu menutup beberapa medsosnya, ternyata mau nikah juga. Macem-macem lah kisahnya.

Kesimpulan dari itu semua adalah tidak ada cara pasti bagaimana kita akan bertemu jodoh. Bahkan jika pun kita fokuskan pada golongan anti pacaran saja. Anti pacaran seolah sudah sebuah pendirian keras, tapi ternyata di dalamnya masih banyak variasi cerita. Seperti yang dicontohkan tadi, ada pasangan yang adalah teman seangkatan dan sudah kenal selama 4 tahun (tapi tidak ada apa-apa), ada juga yang memang baru kenal sebulan dua bulan sebelumnya.

Pemahaman dan pilihan soal mana cara yang kita pilih pasti berubah seiring berjalannya waktu. Manusia dibekali dengan kemampuan belajar sekaligus ingatan. Semakin mendewasa semakin banyak pula insight yang diterima. Di sisi lain ingatan yang terbatas membuat kita lupa dengan yang sudah lama. Ingatan lama yang sudah nggak relevan diganti dengan pemahaman baru. Banyak hal dari masa lalu yang menjadi tidak menarik lagi.

Contoh paling gampang barangkali malah pada remaja putri seusia saya. Jaman usia awal-awal SMP mungkin mereka membaca teenlit dan impressed dengan kisah percintaan remaja yang ada di dalamnya. Tapi bayangkan kalau mereka membacanya sekarang, pasti dianggap kekanak-kanakan. Mereka sudah hijrah dalam arahnya masing-masing. Mereka tidak akan kagum lagi.

Bertanya pada orang soal cara mana yang dia sukai sebenarnya antara bisa dan tidak bisa. Kenapa ? Karena pemahaman tentang itu bisa berubah dalam hitungan bulan, minggu, bahkan hari. Jadi daripada merisaukan bagaimana pilihan orang lain, lebih baik perbarui terus referensi kita.

Karena logikanya, dengan ini otomatis jodoh terseleksi,

kenapa ?

Karena pernikahan selalu berpasangan, sedangkan dua orang bisa jadi berpasangan jika dan hanya jika mereka bersepakat menjadi pengikut dari cara yang sama.

yang baik untuk yang baik, penjagaan diri itu penting

-chandra-

gambar : YouTube : Awakening Record

Review Tulisan : Tips PDKT Usia 20 Tahun ke Atas by iBas


Barusan dapat broadcast ini di LINE terus jadi pengen komentar. Kebetulan udah lama nggak nyentuh blog juga (relative to my usual rate). Judulnya Tips PDKT usia 20 tahun ke atas a la iBas dari akun Baskoro Aris Sansoko. Cekidot

*****

[Tips PDKT usia 20 tahun ke atas a la iBas]

Entah ya, aku merasa usia 20 tahun ke atas itu sudah mulai mertimbangkan buat pernikahan. Ya walaupun rencana nikah umur 25 atau bahkan belum ada rencana, tetapi setidaknya mulai ada kecenderungan untuk berpikir ke arah sana.

Ditambah dengan mulai sibuknya hidup cari tambahan penghasilan, kuliah, atau apapun. Mulai berpikir gimana caranya biar enggak banyak minta sangu. Belum ketambahan sering begadang dan sebagainya. Apalagi kalau ikut kepanitiaan, organisasi, gerakan, macam-macam.

Intinya waktu jadi tambah sempit.

Dulu jaman SMP atau SMA yang masih longgar, rasanya "mengejar" sosok yang kita sukai itu perlu pelan-pelan, slow, dan penuh langkah hati-hati.

Yang entahlah untuk itu kalau hari ini ngerasa kelamaan. Terlalu sayang sama waktu. Belum ditambah dengan drama-drama yang rentan terjadi.

Got no time for that kind of shit lah intinya.

Jadi kira-kira gini tips PDKT dariku.

1. Pastikan ada targetnya. Obvious. Duh.

2. Jangan pupuk harapan dan eskpektasi berlebih. Biasa aja gitu. Dia bukan the one, satu-satunya, atau siapapun yang pasti berhasil membahagiakanmu. Tanamkan pada dirimu kalau kebahagiaanmu ya tanggung jawabmu. Orang lain itu penambah saja.

Plus kamu enggak tahu dia the one atau enggak kalau belum interaksi banyak. Jangan kemakan romantisasi cinta pandangan pertama di film, literatur, atau cerita pengalaman.

3. Langsung aja samperin atau hubungi dia dan bilang, "Halo. Aku jujur ada interest sama kamu. Well, kalau kamu enggak keberatan, bisa enggak kita buat lebih saling kenal?"

4. Respon dia positif? Bagus. Lanjutkan. Kenali dia dulu. Enggak usah buru-buru nawarin komitmen. Sayang pun enggak harus nawarin komitmen. Sans dulu. Tarik napas.

Ketemuan sekali dua kali. Ngobrol. Nonton. Makan. Apapun buat cek kalian obrolannya nyambung enggak, jalan hidup kalian compatible enggak. Kamu consider develop hubungan buat have fun aja atau emang serius. Itu harus cukup terlihat jelas dari awal.

Jadi biar enggak nawarin komitmen padahal cuma mau have fun. Biasanya banyak yang gini biar dapet fun-nya ntar kalau udah bosen dibuang.

5. Responnya negatif? Yaudah. Move. Orang lain masih banyak hadeuh. No time for lingering to that one.

6. Kalau udah beberapa kali ketemu, cocok, senang, dan ada clue-clue mau ke hubungan yang berkomitmen. Mulai dengan bicarakan deal breaker masing-masing. Apa yang tidak bisa ditoleransi dan apa yang masih bisa dibicarakan.

Sometimes ada orang yang butuh bisa have sex di luar relationship yang ada. Nah itu perlu dibicarakan di awal, bukan waktu sedang dalam hubungan.

Biar nanti masuk hubungan itu enggak ribet "kok kamu begini?" ya salah kalian berdua karena enggak dibicarakan di awal.

7. Kalau ternyata kalian berdua bisa deal with it, ngerasa enggak keberatan dengan kondisi satu sama lain. Ya mulai saja hubungannya. Jaga keterbukaan. Dan berusahalah untuk menjadi lebih pengertian pada pasangan. Make sure bukan cuma kamu yang berusaha menjalankan hubungan yang baik; itu bukan relationship tapi relationself.

Yasudah. Gitu aja. Enggak kebanyakan ruwet. Enggak pake waktu banyak. Enggak pake drama ribet follow prestigeholic nangis-nangis ke temenmu.

Life is already hard.

Ditambah relationship atau pre-relationship kebanyakan drama, passive aggresive, gatel-gatel tembel*k kucing, dan semacamnya itu kayak ngapain banget.

Usaha setia? Ujian cinta? Ogah.

Ada cinta yang woles dan happy. Ngapain pilih yang kebanyakan cing cong.

#hubungansehat

*****

#hubungansehat

Bagus sih saya bilang. I mean, belum bicara kontennya, tulisan ini menjadi legitimasi bagi pemuda pemudi yang sedang mencari bahwa kamu nggak sendirian berpikir ke arah pernikahan di umur 20an ke atas. Galau itu normal. Jatuh cinta itu wajar. Yang dipesankan oleh Mas Ibas itu adalah untuk menjaga dinamika masa-masa itu tetap sehat. 

Legitimasi itu, setidaknya bagi saya, menambah kepercayaan diri karena yakin bahwa bukan hanya saya yang mencari. Sesungguhnya kita saling mencari. Ada yang cepat ada yang lambat. Ada yang lancar ada yang terjal. Lebih dari itu ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Nyarinya dimana ? Nyari yang seperti apa ? Tapi buat saya yang paling membingungkan adalah Bagaimana memulainya ?

Dari tulisan di atas, nomor 1 sampai 3 adalah penegasan bahwa "normal kok melakukan bidding untuk urusan mengenal orang lain (lawan jenis)", dengan nomor 2 adalah rambu-rambu untuk tidak terlalu jauh melangkah dalam proses itu. Memang datangnya jodoh nggak bisa dikira-kira. Ada yang awalnya sama sekali nggak kenal tiba-tiba dipertemukan-Nya. Tapi akui saja bahwa di usia 20an ini kecenderungan tarik menarik itu pasti ada. 

Tentang bagaimana biddingnya, nah itu banyak caranya. Anak muda harus banyak akal. Melihat kondisi, latar belakang, kesamaan, dan informasi awal harus dipilih cara yang paling mungkin berhasil. Buat apa bidding kalau tujuannya bukan untuk berhasil ?

Dalam kondisi apapun yang namanya bidding belum tentu berhasil. Malah kadang kemungkinan gagal lebih besar karena bisa jadi banyak 'saingan' yang menginginkan hal yang sama. Makanya nomor 4 dan 5 kondisional, kalau respon positif lanjutkan, kalau negatif ya sabar wkwk, move on, move up. Lanjutkan-nya tetap pada batasan nomor 2 tadi, jangan over, tapi percayalah bahwa nambah kenalan itu baik. Kalaupun gagal, teman yang baik itu investasi.

Nomor 6, sejujurnya saya baru dengar istilah deal breaker. Tapi bener juga, nggak usah dipaksakan kalau memang ada yang tidak bisa disatukan. Sama-sama salah langkah mendingan diketahui lebih awal biar ada lebih banyak waktu untuk memperbaiki keadaan. Plus tentu saja sebelum kesalahan itu merusak nama baik. Katanya nama naik itu lebih berharga daripada uang.

Terakhir pendapat saya soal nomor 7, prosesnya lebih cepat lebih baik dan harus jadi lah kalau sudah sampai tahap ini...

Layaknya minum obat, kita tidak tahu bagaimana prosesnya obat itu bekerja tapi tetap meminumnya. Kita percaya bahwa obat itu bisa membuat kondisi kita membaik. Mungkin mekanisme jodoh juga begitu. Harus percaya bahwa sudah disiapkan-Nya orang yang tepat, di tempat yang tepat, dan pada waktu yang tepat. Mungkin jauh atau bisa juga dekat. Mungkin bukan hari-hari ini tapi semoga nggak lama-lama hahahaha. Modal iman, manusia lebih banyak nggak tahunya daripada tahunya.

Tentu setiap orang punya preferensinya masing-masing soal ini. Seperti broadcast-broadcast pada umumnya, tulisan ini pun menuai pro kontra, terlihat dari kolom komentarnya. Tapi saya salut pada mas Baskoro Aris yang menuliskan hal ini. Good Job!



Chandra



Belum Kok, Belum

Pagi tadi waktu lagi jaga di stand ITB di Saba Education Fair tiba-tiba ada LINE masuk (dikutip seperti aslinya) :

+ "Chan denger2 akan nikah ya?"

- "Woooh siapa yang bilang??"
- "Enggak euy hahaha"

Kaget lah saya. Itu pesan tiba-tiba yang nggak bisa dianggap becanda. Yang ngirim ketua salah satu himpunan mahasiswa besar di ITB, sekaligus teman mentoring. It must be "nanya serius". Gile po wkwkw

No no, saya belum siap. Saya belum sampai pada tahap dimana saya bisa dan 'boleh' untuk melakukan itu. Pernah saya tanya orang tua tentang ini juga memang belum boleh kalau dalam waktu dekat ini. Saya anak pertama dari dua bersaudara, adik saya cewek. Juga masih ada harapan-harapan orang tua yang belum terpenuhi terhadap saya.

Sekali-kali pernah terpikir untuk itu juga. Tapi melihat diri yang masih perlu banyak evaluasi ini rasanya memang belum waktunya buru-buru. Apalagi ini urusan jangka panjang dengan banyak sekali tanggung jawab menyertai. So, masih ntar-ntar lah. Wong belum tau juga kalih sinten-nya sama siapa...

Anw, chat di atas sungguh-sungguh terjadi lho, walaupun belakangan dia bilang mungkin Chandra yang lain yang mau nikah. Tapi yawislah, semoga gak banyak yang salah paham.


Salam,
Chandra

Bukan Tulisan Saya : Sebuah Kisah Cinta


Sebelumnya saya peringatkan, ini bukan tulisan saya. Ada seorang teman yang mengirim ini lewat LINE kemarin pagi. Saya pikir sangat bagus untuk dibaca.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


SEBUAH KISAH CINTA
Telah meriwayatkan kepada kami Ustadz @Cahyadi_Takariawan dan lafazh ini adalah dari keterbatasan ingatan @salimafillah:
Ketika itu Mbak Siti Syamsiah sudah seorang pengajar di Jurusan Teknik Kimia, Universitas Gadjah Mada. Seorang dosen cemerlang yang menyelesaikan pendidikan lanjutnya di Swedia. Adapun suaminya, Mas Rahman Sudiyo, adalah mahasiswa yang diajarnya.
Usia mereka terpaut 10 tahun. Semangat berislam dan semangat berdakwah yang mempertemukan mereka. Allah yang menganugrahi mereka cinta.
Dan Profesor yang membimbing Siti Syamsiah tak habis pikir, bagaimana wanita cerdas yang sudah bergelar Ph.D itu rela kembali lagi ke Swedia hanya untuk mendampingi suaminya belajar di jenjang S-2 dan S-3. Allah mengaruniakan pesona pada tiap manusia, dan pesona pasangan suami istri ini adalah kecintaan pada ilmu dan totalitas pengabdian yang tanpa pamrih.
Ketika mereka berdua pulang, Sang Profesor mengaku. “Baru kali ini aku bertemu muslim cerdas dan berdedikasi tinggi seperti kalian.”
Ya, karena di Swedia, citra tentang para muslim pencari suaka adalah mereka yang suka menggantungkan diri pada jaminan negara, tak merasa perlu bekerja, dan keterlibatan dalam berbagai persoalan sosial yang terasa membebani masyarakat pembayar pajak.
“Kalau Anda ingin bertemu orang-orang muslim yang jauh lebih hebat dari kami”, demikian keduanya tersenyum, “Datanglah ke Indonesia.”
Dan Sang Profesor menerima tantangan itu. Melihat para dosen dan mahasiswa yang rajin ke mushalla, menyaksikan para mahasiswi berjilbab yang begitu tekun di dalam laboratorium, dia tertegun. Universitas Gadjah Mada meruntuhkan gengsi yang selama ini membuatnya mengunci dalam-dalam keimanannya. Untuk kali kedua, dia merasa dilahirkan kembali sebagai muslim dengan kesadaran baru. Airmata di pipi menjadi saksi syahadat ulang dan komitmennya untuk mengamalkan Islam.
Mas Rahman Sudiyo dan Mbak Siti Syamsiah juga punya cita tinggi tentang pendidikan putra-putranya dan seluruh anak-anak muslim sedunia. Dengan penuh pengorbanan, mereka turut membidani berdirinya SDIT Lukman Hakim Internasional di Yogyakarta. Sang Profesor mengerahkan jejaringnya, dan decak takjub tular-menular di Eropa hingga Australia melihat guru-guru dan murid-murid sekolah islami begitu fasih berkomunikasi antar-bangsa, percaya diri, dan yakin mempresentasikan konsep-konsep pendidikan yang luar biasa.
Orang baik begitu dicintai Allah. Mas Rahman Sudiyo meninggalkan kita satu setengah tahun lalu dalam usia sekira 43 tahun. Kanker hati dari semula hepatitis menjadi jalannya menghadap Allah setelah bertahun-tahun tak diperlihatkan pada siapapun dengan kerja keras memforsir diri yang membuat iri.
Dan kemarin, Mbak Siti Syamsiah, yang juga mengidap lupus namun tak pernah mengeluh dan tak suka mengurangi segala dedikasinya untuk ilmu dan ummat meski sering hanya untuk memakai pakaian pun beliau sudah harus jeda beristirahat berulangkali, menyusul kekasih tercintanya.
Ini adalah duka kami semua, duka sedalam cinta. Ghafarallahu lahuma wa rahimahuma rahmatan wasi'ah.😭
(Ust. Salim A Fillah)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Innalillahi wainnailaihi rajiun
Mungkin kalau saya masih berdomisili di Jogja atau kuliah di UGM saya akan banyak mendengar kisah-kisah inspiratif dari beliau-beliau. Sayangnya tidak, baru kemarin saya mendapat cerita itu.
Judulnya saja "Sebuah Surat Cinta", maka bisa dipastikan salah satu point dari tulisan ini adalah kisah cinta antara Bapak Rahman Sudiyo dan Ibu Siti Syamsiah. Keduanya berselisih 10 tahun, dengan Pak Rahman lebih muda.  Bu Siti dengan setia menemani sang suami belajar di Swedia padahal sendirinya sudah selesai menjalani studi lanjut. Pasangan yang inspiratif dan pantas diteladani. Belum lagi, keduanya memiliki dedikasi yang tinggi dalam pengembangan manusia terutama melalui pendidikan. 
Beliau berdua itu sendiri-sendiri saja sudah baik, apalagi menjadi pasangan suami istri. Walaupun saya belum mengalami, tapi dalam bayangan saya menikah dan hidup berumah tangga bisa membuka kebaikan-kebaikan yang sebelumnya belum muncul. Jika masing-masing memiliki kualitas bernilai 9 dan 9. Maka jika digabungkan dalam pernikahan nilainya akan lebih dari 18.
Ndherek bela sungkawa, semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan.

Salam,
Chandra


Untuk yang Akan Menjadi Orang Tua


Saya bukan peramal, tapi projectionist. Saya kadang-kadang merasa bisa mem-project masa depan seseorang dengan melihat kesehariannya. Tampak sok tahu memang, oleh karenanya perkiraan-perkiraan itu hanya untuk konsumsi pikiran saya sendiri.

Sepertinya akurasi dan tingkat keyakinan saya lebih tinggi ketika melihat teman seumuran. Setelah berinteraksi sekian waktu saya sering berucap dalam hati, "orang ini besok jadi orang besar" atau "dia akan jadi bussinessman hebat nih" atau "dia di jalan yang benar, cita-citanya jadi penulis bisa tercapai  suatu saat nanti", dll.

Sebagian prasangka adalah salah. Memang. Namun disini hampir semua proyeksi saya mengarah ke sisi positif. Sebenarnya saya hanya mengubah kalimat "kecilnya gini gedenya jadi apa" menjadi gambaran yang lebih real.

Lebih jauh, selain sok-sok memprediksi seperti yang di atas. Akhir-akhir ini sering pula muncul pertanyaan di kepala saya, "anaknya begini, seperti apa ya didikan orang tuanya ? siapa ya orang tuanya ?"

Saya punya teman yang mempunyai leadership dan skill komunikasi di atas rata-rata. Belakangan saya tahu bahwa orang tuanya sudah membiasakan anak ini untuk mandiri sejak kecil dan tidak melarangnya untuk berinteraksi dengan orang baru/asing.

Saya lihat teman sebaya yang sudah dipercaya untuk berdakwah, ternyata orang tuanya juga pendakwah yang pasti sering dia lihat ceramahnya dan serap ilmunya.

Saya lihat teman yang tidak bisa tidur dengan lampu mati, ternyata di rumahnya memang terbiasa tidur dengan lampu menyala.

Masih banyak contoh lain bagaimana seorang anak sangat dipengaruhi oleh didikan orang tuanya. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Bahkan, anak yang sering dikatakan "terlalu terpengaruh teman-temannya" sebenarnya mengalami "kurang mendapat pengaruh dari orang tuanya".

Saya ingin menjelaskan pemikiran saya tentang ini dengan sedikit matematika.


Pada persamaan tersebut, anggaplah :
y : kualitas anak
ai : kemampuan serap anak terhadap didikan orang tua
xi : didikan orang tua
indeks i menunjukkan bahwa didikan ini sangat luas dan menjangkau banyak sekali aspek.

Lalu apa itu K ?

K adalah kemauan dan kemampuan anak untuk mengenal dunianya di luar campur tangan orang tuanya. Nilai K dipengaruhi masalah-masalah yang dialami anak dan bagaimana dia menyelesaikannya, kerja keras anak dalam menjalani petualangannya, kemauan anak untuk masuk ke pergaulan yang baik, dan dunia anak di luar keluarganya.

Hasilnya ?

Pribadi anak sangat ditentukan oleh orang tuanya. Orang tua yang hebat memberikan start yang baik bagi perkembangan anak.

Orang tua harus memiliki pemahaman agama yang cukup dulu untuk bisa mengajarkan kepada anaknya. Orang tua perlu memiliki bisnis dulu untuk melatih anak berbisnis dari dekat. Orang tua harus memiliki kebiasaan-kebiasaan baik agar si anak bisa mengikutinya. Orang tua harus bisa mengatur dinamika keluarga, mengatur keuangan, menjaga kebersihan, mendisiplinkan waktu, aktif, bisa bermasyarakat.

Dalam contoh sehari hari, orang tua tidak boleh nonton sinetron jika ingin menjauhkan anaknya dari efek buruk sinetron. Orang tua harus rutin gosok gigi sebelum tidur jika ingin anaknya melakukan hal yang sama, dll

Namun, itu tidak mutlak. Banyak pula anak dari keluarga broken home yang berhasil dalam karirnya. Banyak anak dari keluarga kurang mampu yang punya banyak spare untuk berderma di masa dewasanya. Banyak anak pelosok yang dewasanya menjadi ahli teknologi.

Hal ini disebabkan adanya konstanta K tersebut. Konstanta K adalah nilai-nilai yang diperoleh anak tanpa campur tangan orang tuanya sama sekali. Semua bergantung pada si anak. Sungguh, kedekatan anak dengan Tuhan memiliki korelasi yang sangat erat.

Pernah saya dengar, "orang tua jangan terlalu cepat mengambil alih masalah anaknya, biarkan dia mencoba menyelesaikannya". Sesungguhnya ini untuk meningkatkan nilai K.

Bagaimana dengan Chandra ?

Alhamdulillah. Saya mensyukuri segala yang telah diberikan orang tua saya. InsyaAllah saya mensyukuri adanya saya sekarang. Justru saya yang sekarang sedang berusaha keras meningkatkan nilai K saya. Nilai variabel xi yang diberikan oleh ayah dan ibu sungguh menjadi garis start baik bagi saya. Saya sangat bersyukur.

"Jangan takut kekurangan rezeki, takutlah kekurangan rasa syukur"

Tapi saya berkata pada diri saya sendiri dan teman-teman, sebagai orang yang InsyaAllah nantinya menjadi orang tua, mari terus perbaiki diri. Mari wariskan start yang baik bagi anak-anak kita.

Marilah kita menjadi generasi yang "meledakkan silsilah". Apa maksudnya meledakkan silsilah ?

Saya beri contoh saja, lihatlah diri Bapak B.J. Habibie yang keturunannya lalu menggunakan nama belakang Habibie. Begitu pula keluarga Yudhoyono berkat sepak terjang Bapak SBY. Anak cucu beliau-beliau ketika ditanya latar belakangnya akan selalu me-refer kepada sang peledak silsilah.

Namun perlu diingat, yang hebat bukan hanya Pak BJH dan Pak SBY, tapi juga orang tuanya. Orang tua yang memberikan nilai variabel xi dengan nilai tinggi.

Kesimpulannya, yang juga menjadi alasan saya menulis ini, bahwa saya ingin menjadi orang tua yang memberikan nilai xi tinggi kepada anak saya nanti. Yang perlu saya lakukan adalah memperbaiki diri dan meniru kebaikan-kebaikan para orang tua. Yang utama orang tua saya, sebagai tambahannya orang tua teman-teman saya.


Salam,
Chandra, 21 tahun.

Posisi, Kecepatan, Percepatan

Secara sederhana dalam fisika, posisi adalah kedudukan suatu entitas dalam acuan tertentu, biasa dinyatakan dalam koordinat misalnya. Kecepatan adalah rate perubahan posisi, dinyatakan dalam perubahan posisi per satuan waktu. Percepatan adalah rate perubahan kecepatan, dinyatakan dalam perubahan kecepatan per satuan waktu
Teman-teman dari fisika atau fisika teknik mungkin bisa lebih menjelaskan..

Mari beranalogi, posisi saya analogikan sebagai kelas atau kualitas diri saat ini. Dengan begitu kecepatan adalah seberapa cepat kualitas diri kita membaik atau memburuk. Kecepatan bisa positif bisa pula negatif. Selanjutnya, percepatan adalah seberapa cepat progress perbaikan kualitas diri itu berjalan. Percepatan positif artinya makin lama kita makin progresif, percepatan negatif artinya perbaikan kita melambat.

Saya ada seorang teman, yang jika dilihat berdasarkan sistem koordinat saya (sudut pandang saya) pernah mengalami saat-saat berada pada posisi negatif. Luar biasanya, terjadi turning point yang mengubah kecepatan dan percepatannya menjadi sangat positif. Jangan ditanya posisinya sekarang. Dalam sistem koordinat saya dia masuk kategori menginspirasi. Ada beberapa teman yang berada pada kategori yang sama tapi mereka memang aman sejak awal, kecepatan selalu positif walaupun landai. Tapi yang satu ini memiliki slope yang luar biasa..


ya muqallib al quloob thabbit qalbi ‘alaa deenik 

"Setiap orang punya sistem koordinat masing-masing"-CN

Kualitas Relatif : Kenapa Orang Lain Tampak Lebih Keren ?

Dalil 'rumput tetangga selalu lebih hijau' berlaku di sini. Orang cenderung menilai orang lain lebih baik daripada dirinya. Menariknya, ini bisa berlaku dua arah. Si A menilai B lebih unggul daripada dia, sebaliknya si B melihat A lebih sempurna. Hal ini wajar karena A tahu kelebihan dan kekurangannya tetapi dari si B HANYA tahu kelebihannya saja, sebab kekurangan orang biasanya tertutupi.

TIdak ada orang yang sempurna. Membandingkan kekurangan kita dengan kelebihan orang lain adalah hal yang sangat tidak perlu. Sama dengan tidak fair-nya membandingkan kelebihan kita dengan hal yang orang lain belum ahli. Sama-sama membandingkan kelebihan atau kekurangan juga tidak oke karena kualitas diri dipengaruhi kebaikan dan keburukan sekaligus.

Kesimpulannya, tidak valid membandingkan diri sendiri dengan orang lain apalagi yang tidak betul-betul kita kenal. Lebih baik kita gunakan diri kita 'yang kemarin' sebagai pembanding. Jika hari ini lebih baik dari kemarin, kita beruntung. Jika hari ini sama saja dengan kemarin, kita rugi. Jika hari ini lebih buruk dari kemarin, kita celaka.


sambil mencicil tugas minggu ke-5 semester 6
Cisitu Indah VI 271, Bandung
21:21 WIB