Showing posts with label note at work. Show all posts

Akhirnya Tahu Juga

Setelah berbulan-bulan low profile dalam hal keyakinan, akhirnya kemarin saya harus terus terang bilang. Di luar dugaan, ini justru memantik diskusi yang menarik.


Selama ini saya men-disguise salat saya di tempat kerja sebagai coffee atau toilet break. Pun saat lunch time di bulan puasa saya milih menyendiri di meeting room kosong atau tidur di parkiran. Waktu pergi umrah kemarin juga saya tidak bilang apa-apa jadi kebanyakan mengira saya sekedar pergi holiday ke middle east. Ketika balik dengan kepala gundul pun mereka kira itu hanya lucu-lucuan saja. Di tanah yang lebih dari setengah penduduknya tidak beragama, tidak mudah untuk secara terus terang menunjukkan kita memegang suatu keyakinan, apalagi Islam.

Sebenarnya tidak ada larangan untuk beribadah di tempat kerja, di 'AD/ART' pun diatur tempat dan waktu yang bisa dipakai karyawan yang perlu beribadah, otomatis berarti agama di-acknowledge di sini. Tapi pada prakteknya keyakinan tetap seperti sesuatu yang lebih baik disimpan sendiri. Keep it private.

Sampai akhirnya minggu lalu team manager mengagendakan farewell drink untuk melepas salah satu kolega yang akan resign. Acaranya di bulan puasa pukul 4 sampai 6 sore (buka di hari itu jam 7 malam). Saya datang, dan mau tidak mau bilang bahwa saya tidak pesan minum karena sedang puasa. Fine-fine saja, walaupun responnya bermacam-macam.

Jenis respon pertama adalah dari yang tahu bahwa saya muslim, tahu sekarang ini ramadhan, dan tahu bahwa bulan ini muslim berpuasa. Ada rekan yang beragama kristen tapi karena berasal dari Mesir dia tahu persis apa yang saya lakukan. Di hari pertama puasa pun ujug-ujug dia mengucapkan selamat ramadhan (dia sehari-hari pakai kalender hijri dan gregorian sekaligus). Dia juga sempat bekerja beberapa tahun di Arab Saudi sehingga saat umrah kemarin saya tanya beberapa hal terkait akomodasi dan visa ke dia, baik sekali.

Jenis respon kedua adalah yang tahu bahwa saya muslim karena berasal dari Indonesia, tapi belum familiar dengan ramadhan dan puasa. Jadi pertanyaan yang muncul adalah "are you also doing ramadhan?". Tentu ini pertanyaan yang sangat langka di Indonesia di mana hampir semua muslim doing ramadhan, bahwa ada bolong atau mokel itu urusan lain, minimal hatinya ramadhan. Dari situ kemudian berlanjut dengan beberapa pertanyaan teknis seperti "not even drinking?", "for how long?", "you feel tired?", atau becandaan "come on, windows are closed". 

Jenis respon ketiga adalah yang tidak tahu bahwa saya muslim, tapi tahu soal puasa ramadhan. Ini dari teman-teman yang berasal dari negara dengan populasi muslim lumayan banyak seperti Nigeria. Ketika saya bilang fasting, dia tanya "are you moslem?", "yes" jawab saya. Ini bukan salah mereka kalau mereka tidak tahu banyak muslim di Indonesia, Indonesia memang the biggest invisible country in the world, negara besar tapi nggak kelihatan.

Jenis respon keempat adalah yang tidak tahu bahwa saya muslim dengan alsan yang sama seperti jenis ketiga, tapi juga tidak tahu apa itu ramadhan dan fasting. Tidak semua orang familiar atau pernah bersinggungan dengan Islam. 

Di meja itu ada yang Kristen dengan berbagai denominasinya, Islam, agnostik, dan atheist. Di tim ini sebenarnya ada Buddha juga tapi tidak hadir karena sedang parental leave. Keberagaman bukan hanya soal keyakinan, dari aspek yang lain ada kolega yang meat-eater, vegetarian, dan vegan. Menyala gak tuh diskusinya, padahal jumlahnya tidak sampai 15 orang.

Dari sana saya jadi tahu bedanya vegetarian dan vegan: vegetarian masih makan telur dan minum susu sementara vegan secara total menghindari konsumsi hewani. Saya juga jadi tahu soal konsep registered partnership di Belanda. Jadi di sini pasangan tidak harus menikah untuk tinggal bersama, cukup dengan mendaftarkan partnershipnya mereka punya hak legal yang sama dengan pasangan menikah termasuk perkara pajak, anak, tempat tinggal, dll. Banyak fakta menarik yang baru saya tahu, seperti ternyata tidak semua negara mencantumkan kolom agama di KTP-nya, pentingnya family name bagi orang barat, dan pengalaman pasangan non-menikah yang mengalami kesulitan ketika mau checkin hotel di beberapa negara.

Farewell drink itu akhirnya bablas sampai jam 7 lebih. Saya akhirnya sempat berbuka di sana dengan memesan secangkir teh hangat. Karena pada akhirnya semua sudah tahu bawah saya muslim, beberapa hari kemudian ketika saya menginfokan bahwa akan ambil cuti tanggal 28 dan 31 Maret, saya bilang bahwa "for me this is the end of ramadan and I will have eid al fitr, I'm taking day off for that.


Selamat Hari Raya Idul Fitri
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Eid Mubarak

Chandra

Gambar hanya pemanis, suatu hari sebelum bulan puasa ada bagi-bagi sandwich di kantor, ada beberapa opsi seperti rosi isi sosis, keju, dan bacon. Untungnya mereka juga menyiapkan 'sate' buah untuk teman-teman vegan. Saya macak vegan supaya aman dan minta buah, another jalan tengah antara lingkungan dan keyakinan

00:30

Perbedaan yang saya rasakan antara kuliah dan bekerja adalah intensitas versus durasinya. Satu long duration medium intensity, satunya medium duration high intensity. Ketika kuliah dulu saya masih bisa rileks dan pasif mendengarkan saat dosen mengajar. Hadir setor muka sudah cukup asal tidak bikin gaduh atau tidur di kelas. Santai memang, tapi di sisi lain nanti ketika pulang masih ada tumpukan tugas yang menanti dan menuntut untuk dikerjakan sampai begadang. Menurut kampus, 1 SKS ekuivalen dengan 3 jam aktivitas per minggu: 1 jam di kelas, 1 jam tugas, 1 jam belajar mandiri. Jadi jika sebuah mata kuliah berbobot 3 sks, dosen mendesain bebannya sedemikian sehingga kira-kira mahasiswa akan menghabiskan 9 jam di mata kuliah itu dalam seminggu. Maka untuk jumlah SKS standar yang biasa diambil mahasiswa, anggap 20 SKS, teorinya dalam seminggu dia harus belajar selama 60 jam. Ini belum termasuk kegiatan ekstrakurikuler seperti himpunan, unit kegiatan, dan lomba. 

Sementara itu rata-rata orang bekerja 40 jam per minggu. Lebih pendek, tapi stress dan intensitasnya lebih tinggi karena apa yang dikerjakan adalah kasus di dunia nyata bukan simulasi dan soal ujian lagi, plus kita dibayar untuk melakukan itu. Kalau orang dipaksa bekerja dalam intensitas tinggi selama 60 jam+ seminggu seperti orang kuliah maka sangat mungkin dia akan burnout. 

Tapi kalau lembur sekali-sekali saja boleh lah. Se-worklife balance-worklife balance-nya sini kadang masih perlu bedagang untuk membereskan beberapa hal. Butuh push untuk menjalani lembur setelah hari yang panjang dan melelahkan, apalagi di budaya kerja yang tidak didesain untuk mengakomodir lembur,  saat itulah saya berusaha channeling my mahasiswa energy: membayangkan apa yang biasa saya lakukan dulu, dari mana motivasi dan energi saya dapat, what kept me going ketika lelah, dan berpikir kalau dulu bisa kenapa sekarang tidak.

Saya punya kebiasaan beranjak tidur jam 00:30 waktu di Bandung dulu. Ini sweetspot buat saya, jam segitu biasanya kegiatan sudah rampungan atau bisa dianggap cukup, tapi tidak terlalu pagi juga sehingga menyebabkan kurang tidur. Saya tandai kalau tidur jam 01.30, hanya mundur 1 jam dari kebiasaan, paginya badan nggak karuan banget dan recovery-nya butuh setengah hari sendiri. Kebiasaan saya adalah tutup laptop dan buku jam 00:30, gosok gigi dll, nyetel ESPNFC di NET sambil mengaktifkan timer biar TV mati sendiri, lalu mapan tidur. Biasanya saya bisa terlelap dalam 30 menit ditemani analisis para pandit ESPN Indonesia, tapi kalau mblandang ya sampai ke acara Breakout yang dibawakan Boy William dan Sheryl Sheinafia di jam 01:00. Saya nggak terlalu suka acaranya, tapi terlalu tanggung kalau harus bangun lagi karena TV saya tidak ada remote-nya. Paginya salat subuh, cek-cek HP, dan menyiapkan segala yang dibutuhkan hari itu, lalu jalan keluar sarapan nasi kuning.

Malam ini saya lalukan itu, setelah istri tidur saya buka laptop lagi dan bekerja sampai 00:30. Tidak ada yang nyuruh, ini inisiatif sendiri untuk nyicil kerjaan minggu depan. Sangat-sangat tabu bagi orang sini untuk bekerja di malam minggu. Kalau kata buku The Good Enough Job (Simone Stolzoff), ada istilah integrator dan separator. Budaya Indonesia itu integrator, jadi di tengah-tengah jam kerja bisa disusupi aktivitas pribadi seperti ambil rapot anak, perpanjang SIM, dan beberes rumah tapi tidak keberatan untuk mulai kerja lebih awal atau selesai kerja lebih akhir. Sementara Belanda sangat separator, mereka secara tegas memisahkan jam kerja dan jam pribadi. Saya bahkan punya teman yang di jam kerja handphone-nya dimatikan karena tidak ingin terganggu urusan selain kerjaan. Orang sini kalau makan siang jam 1 teng sudah balik meja, nggak molor sampai setengah 2 karena keasyikan ngobrol. Di sisi lain jam 5 waktunya pulang ya pulang. Tenggo adalah budaya, kalau kerja lebih dari itu malah dipandang aneh. Kami-kami anak baru dari Asia dan Amerika Latin culture shock dengan ini.


Saya batasi sampai 00:30 karena saya ingin functioning properly esok hari. Pada akhirnya saya tidur jam 1 lewat sedikit, mirip-mirip dulu. Bedanya sekarang tidak ada ESPNFC dan Breakout, diganti dengan YouTube dan Noice kalau mau ada backsound pengantar tidur. Pagi harinya tidak ada lagi nasi kuning, harus terima roti tawar dikasih blue band dan meses. Tapi Alhamdulillah pagi ini saya punya cukup kesadaran dan waktu untuk menulis ini. Balik lagi karena budaya yang sangat separator, di hari senin sampai jumat sulit buat saya menemukan bandwidth untuk membuat tulisan, maka postingan saya dua bulan terakhir rata-rata di akhir pekan.

Menulis ini mengingatkan pada tempat kami biasa sarapan di Bandung dulu, nasi kuning dan sambalnya enak banget, semoga bapak ibu sehat dan bahagia selalu.



Thanks,
Chandra

Sign Out


Bahkan saat sudah 1-2 tahun di Jakarta, District 8 SCBD masih 'angker' di bayangan saya. Saya nggak tahu kalau pakai motor parkirnya dimana. Bahkan kalau jalan kaki pun saya nggak yakin mana pintu masuknya. Kalau lewat bundaran Grand Lucky dan melihat ke arah D8 terlihat seolah jalannya buntu mentok tembok, tentu saya nggak mau kisinan sudah masuk kesitu lalu cuma puter balik. Saat itu ada juga yang viral di media sosial tentang orang yang komplain tidak bisa masuk salah satu resto di Ashta karena di jam tertentu hanya untuk yang 'well groomed' saja. Entah itu benar atau tidak, tapi dahlah aku tak Blok M aja.

Tapi pada akhirnya saya masuk juga karena diajak istri untuk lihat spot foto di Ashta yang viral. MasyaAllah sekali dalamnya, nggak berasa seperti sedang di Indonesia karena 360 derajat mata memandang nggak ada kabel listrik, jalan cor-coran kasar, pedagang, atau satupun motor. Semua orang tampak rapi dan elegan. Gimana rasanya kerja di gedung ini ya, batin saya. Alhamdulillah Allah sudah kasih kesempatan saya untuk sempat bekerja di beberapa office building. Itu sudah saya syukuri sebagai perwujudan cita-cita saya pas SMA: kerja di gedung tinggi di Jakarta. Tapi Ashta dan office towernya beyond my imagination.

Sampai suatu hari..
Lalu jadilah dua tahun bekerja yang luar biasa. Tempat yang tadinya saya ragu memasukinya jadi tempat yang saya masuki sehari-hari. Akhirnya jadi kenyataan saya berada di antara orang-orang suits and dress, walaupun saya tetep celana jeans dan sepatu running. Saya kini tahu dimana parkiran motor District 8 dan dimana tempat makan siang 'rakyat'. Foto yang dulu saya ambil di balkon Ashta dengan tujuan 'buat foto linkedin', jadinya saya pakai untuk profil picture Teams. Rencana Allah..

Tapi, awal 'kan berakhir, terbit 'kan tenggelam, pasang akan surut, bertemu akan berpisah.

Tiba juga hari terakhir bekerja di sini. Saya bersyukur sekali datang dengan baik-baik dan pergi dengan baik-baik. Saya nggak berambisi untuk jadi karyawan teladan atau semacamnya, cukup bisa pamit tanpa meninggalkan beban dan tanpa membakar jembatan. Di usia begini warm farewell ternyata bukan dari foto-foto atau makan donatnya, tapi dari handshake yang firm, respectful, dan supportive. 

Hari terakhir bekerja ditutup dengan mengembaliman laptop lalu bertemu HR untuk menyerahkan segala form dan kartu-kartu. And for one last time jalan pulang









Stay keep in touch

Thanks & Regards,
Chandra

Macam-Macam Employer

*di bidang IT, pada sektor banking/insurance/finance

Ini berdasarkan pengalaman saya selama bekerja di bidang IT pada sektor perbankan dan finance. Ada beberapa tipe perusahaan employer di bidang ini yang satu sama lain saling terkait. Talent-nya pun begitu, perpindahan dari satu employer ke employer yang lain banyak terjadi. Jadi bukan barang langka coworker yang kerja bareng di satu kantor beberapa tahun yang lalu ketemu lagi di company baru setelah berpisah melewati jalur karir yang berbeda.

Field of view saya tentu tidak mencakup semuanya, orang lain dengan jalur karir yang berbeda pasti punya insight yang lain lagi dan bisa saling melengkapi. Tapi menurut pengalaman saya ada 4 jenis employer, berikut listnya beserta kelebihan dan kekurangannya.

1. Perusahaan User
Ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang finance itu sendiri. Jadi perusahaan seperti Bank Mandiri, BSI, Asuransi Allianz, atau Adira Finance termasuk di dalamnya. Kelebihannya kalau sudah masuk ke perusahaan seperti ini adalah career continuity dan benetif yang relatif baik, apalagi jika company-nya adalah perusahaan dengan nama besar, bagian dari jaringan multinasional, perusahaan publik (Tbk), dan punya performa bisnis yang sehat. Kalau sudah jadi pegawai tetap, bekerja di sana sampai pensiun pun bisa dibilang sebuah pilihan yang masuk akal. Sektor jasa keuangan adalah sektor yang diawasi secara ketat oleh regulator, jadi biasanya perusahaan di bidang ini relatif taat pada UU, termasuk dalam bidang ketenagakerjaan.

Kekurangannya adalah lowongan di perusahaan seperti ini biasanya tidak banyak. In quite rare occasion ketika perusahaan berpikir untuk melakukan external recruitment barulah lowongan akan muncul. Selain itu biasanya ada syarat pengalaman atau skill minimal yang harus dipenuhi. Tapi untuk freshgrad sering ada program semacam Graduate Development Program atau MT, tentu dengan segala ikatan dan TnC-nya. Setahu saya, jumlah full time employee (FTE/pegawai tetap) perusahaan jasa keuangan termasuk item yang perlu dilaporkan ke regulator (OJK), jadi tidak bisa tiba-tiba nambah banyak atau lay-off banyak. Kekurangan lain, yaitu soal preferensi pribadi boleh tidaknya bekerja untuk bank. 

2. Outsource / Talent Provider
Perusahaan jasa keuangan banyak memanfaatkan skema outsourcing untuk memenuhi kebutuhan personelnya. Biasanya ini untuk posisi teknikal, pelaksana, atau junior. Meski ada juga yang untuk posisi tinggi. Ada alasan perusahaan melakukan strategi itu, tapi saya nggak ingin bahas itu di sini. Yang ingin saya bilang adalah dari sudut pandang talent, perusahaan penyedia outsource adalah pilihan lain untuk berkarir. Kelebihannya adalah perusahaan outsource akan membantu talent mencari pekerjaan, bisa sampai dibantu proses pembuatan CV-nya. Talent tinggal menjalani interview saja. Jika diterima, talent akan ditempatkan di kantor user, reporting kepada user, namun status kontrak tetap dengan perusahaan outsource/penyalur. Perusahaan user akan membayar tagihan bulanan pada penyalur. Penyalur akan membayar gaji pekerja sesuai kesepakatan, sisanya tentu jadi 'fee manajemen'.

Kekurangannya tentu saja sistem kontrak yang kurang baik secara sustainability. Jadi biasanya talent yang sudah ada tanggungan keluarga kurang cocok dengan model ini, kecuali salary dan benefit yang ditawarkan sangat tinggi. Tapi untuk fresh grad yang belum ada pengalaman kerja, skema ini bisa membantu karena punya entry barrier yang relatif rendah. Kekurangan lain karyawan oursource kadang tidak mendapat fasilitas 'sosial' yang sama dengan FTE, misal annual gathering ke luar kota atau parcel lebaran khusus FTE saja. 


3. Kontraktor / Konsultan / Service Provider
Pekerjaan yang dilakukan baik oleh karyawan organik perusahaan (no 1) maupun pegawai outsource yang ditempatkan di perusahaan user (no 2) sama-sama bersifat in-house. Tapi dalam proyek atau aktivitas tertentu perusahaan akan butuh resource dan expertise dari luar, di sini lah hadir perusahaan kontraktor atau konsultan yang mengerjakan paket-paket pekerjaan dari user.

Kelebihan dari perusahaan jenis ini adalah pengalaman yang didapatkan sangat banyak karena sebagai engineer akan mendevelop barang yang berbeda untuk masing-masing klien. Portfolio akan cepat bertambah, dan ini bisa dikonversi menjadi nilai jual (read: power nego gaji) di masa yang akan datang. Barrier untuk masuk juga tidak terlalu tinggi, fresh grad pun bisa karena perusahaan biasanya akan memberikan training dan menyediakan referensi dari proyek-proyek serupa yang pernah dikerjakan sebelumnya. Kelebihan lain adalah bisa mengerjakan proyek dari berbagai bidang, bukan hanya banking/finance saja karena technology stack-nya mungkin sama.

Kekurangannya adalah tekanan pekerjaan yang biasanya agak tinggi karena tuntutan klien bisa macam-macam dan kadang tidak terukur. Kalau manajemen proyek kurang bagus, bisa jadi ada hari yang kosong tapi di lain hari lembur sampai tidak tidur. Bekerja sebagai konsultan juga bisa jadi sasaran lemparan kerjaan, pekerjaan yang tidak bisa atau tidak ingin dikerjaan oleh klien bisa dilempar ke kita.

4. Principal
Kontraktor seperti di nomor 3 biasanya juga merupakan vendor yang men-deliver product dari brand tertentu. Contohnya dulu saya pernah bekerja di IT Consultant yang merupakan vendor I** (sebuah brand computing Amrik, maaf ada NDA) di Indonesia. Jadi kami meng-implement produk mereka di klien-klien kami. Nah dalam hal ini, I** adalah perusahaan principal, atau gampangnya yang punya barang. 

Principal ini ada yang skalanya nasional maupun global. Jika bekerja pada perusahaan principal besar, tentu benefit yang didapat juga tinggi. Tapi di sisi lain harus punya skill dan pengetahuan yang benar-benar mumpuni soal produk yang dijual. Principal adalah tempat bertanya melalui support ticket jika ada kendala pada produknya yang diimplemen di sistem milik user. Klien sudah bayar license mahal, tentu mereka mengharapkan support yang prima.

***

Itu tadi 4 jenis employer yang saya pernah bersinggungan selama bekerja di industri ini. Saya tidak bisa bilang mana yang paling baik dan mana yang kurang karena preferensi pekerjaan sifatnya sangat personal. Apa yang baik buat saya belum tentu baik buat Anda, dan sebaliknya. Ada orang yang memilih pekerjaan karena passionnya, atau lokasi kerjanya, atau gajinya, atau lingkungannya. Pun sebenarnya salary, benefit, work life balance, prospek jangka panjang, dan kualitas manajemen tergantung pada perusahaannya. Untuk setiap kategori di atas ada perusahaan yang bagus dan ada pula yang tidak, meski begitu masing-masing kategori punya 'spektrum' yang sedikit berbeda satu sama lain. Sebagai contoh salary di principal pada umumnya punya range lebih tinggi daripada outsource. Ya karena yang kerja di principal sudah punya pengalaman dan skill yang cukup.

Ketika dulu terjun ke industri ini saya tidak tahu apa-apa soal dalamannya. Waktu itu saya sedang menjadi jobseeker jadi bermacam-macam jenis perusahaan saya daftari. Semoga tulisan ini sedikit memberikan gambaran terutama untuk teman-teman fresh grad dan yang mau switch karir ke dunia IT corporate. Sebagai disclaimer, meskipun saya bilang IT, tapi ini tidak sesempit posisi software engineer atau orang yang bisa coding ya. Di divisi IT ada juga peran sebagai project manager, UI UX designer, product owner, business analyst, audit, dll. 

Meski tulisan ini berdasarkan pengalaman pada bidang banking/finance, tapi saya pikir bidang corporate lain juga masih bisa relate. Technology stack yang dipakai di perusahaan banking/finance ada kesamaan dengan di bidang lain seperti telekomunikasi dan ecommerce. Jadi talent juga punya pilihan untuk pindah industri. 


Semoga ada manfaatnya
Thanks,
Chandra

Working with Millenials



Kebetulan di pekerjaan saya sekarang, saya banyak bekerja dengan orang-orang yang lebih tua. Dalam tim rekan sebaya hanya satu, sisanya umur 35an dan satu usia bapak-bapak sebagai lead saya. Dalam tingkat yang lebih luas seperti satu departemen pun demografinya kira-kira seperti itu. Ini lumayan berbeda dengan di tempat kerja sebelumnya dimana tim saya diisi lebih banyak angkatan 95an dan freshgrad. 
Saya umur 28, 7 tujuh tahun lebih muda daripada mean/median umur pegawai di tim saya. Karena para 35s ini mayoritas, ada beberapa hal menarik yang saya temui saat bekerja dengan mereka. Pertama secara teknis mereka sudah bekerja lebih lama, otomatis kemampuannya memang rata-rata mumpuni. Enak kerja dengan mereka karena masing-masing sudah menguasai bidang yang dia pegang. Termasuk kemampuan mereka dalam menulis, mendokumentasikan, presentasi, negosiasi, dan komunikasi bahasa inggris sudah bisa dibilang cakap. Wajar sih ini, pengalaman gak bohong.

Kedua, mereka secara sosial sudah lebih mature. Ini berpengaruh ke obrolan sehari-hari. Rata-rata di usia segitu sudah punya anak yang sekolah TK atau SD awal. Sebagian sudah punya rumah dan/atau mobil. Di komunitas yang usianya 35an sudah ada obrolan tentang asuransi swasta, investasi, sekolah anak, dan semacamnya. Saya bersyukur bisa ikut mendengarkan pembicaraan-pembicaraan produktif macam ini, nabung wawasan.

Lalu yang terpenting dalam konteks pekerjaan adalah generasi milenial yang asli ini kalau saya perhatikan punya etos kerja yang lebih baik daripada generasi yang lebih muda. Menurut mereka ketika kita sudah mengikatkan diri dalam suatu pekerjaan maka kita wajib mengikuti arahan yang diberikan. Mereka cenderung tidak pilih-pilih kerjaan, selama itu masuk dalam persetujuan awal tentang jobdescnya berarti wajib dikerjakan. Mereka nggak terlalu bawa-bawa mood, passion, etc ketika sudah dalam kerangka bekerja. Bagi mereka perjanjian kerja itu sakral (dan mereka cermat soal itu), karena hak dan kewajiban pegawai maupun perusahaan refer kesana. Buat mereka penilaian tentang kemauan kerja itu nggak relevan, kalau sudah jadi kewajibannya ya harus mau, bukan lagi pilihan. Bagi mereka aneh ketika orang sudah deal untuk bekerja kok kerja ogah-ogahan atau pilih-pilih.

Baik buruknya debatable ya, tergantung preferensi pribadi. Tapi untuk saya, berada diantara orang-orang yang driven seperti ini menyenangkan. Yaa walaupun dorongan seperti ini kalau nggak bisa ngikutin rawan jadi sumber stress haha. 


Chandra


pict: Impossible Foods

Low Hanging Fruit


Sebagai orang yang tidak belajar software engineering secara akademis, saya sadar bahwa untuk berkarir di dunia IT modal saya tidak sebaik teman-teman yang memang belajar itu selama bertahun-tahun. Saya lulusan teknik penerbangan. Kalau ditanya spontan di jalan, saya lebih lancar menjelaskan tentang aerodinamika daripada perbedaan list, map, dan set di Java. Ibaratnya buah matang di pohon sama dikarbit tetep beda manisnya.

Saya itu career switch antara sengaja dan nggak sengaja. Saya mendapat pekerjaan pertama di bidang IT lebih karena koneksi daripada seleksi. Dari sana saya jadi masuk semakin jauh sampai saat ini aktivitas hari-hari saya sama sekali tidak berhubungan dengan aerospace. Pesawat terbang saya simpan sebagai hobi saja.

Baru di tahun ke-4 bekerja saya memiliki sedikit bayangan industri ini seperti apa. Sebelumnya saya bekerja dari hari ke hari saja, menyelesaikan pekerjaan yang diminta dengan apa yang saya bisa. Saya belum ngegrip sampai sempat juga berpikir untuk insyaf kembali berkarir di bidang penerbangan. (Yes, mindset saya sejauh ini memang untuk bekerja profesional, saya belum terpikir menjadi entrepreneur atau aktivitas produktif lainnya)

Saya katakan saya relate dengan tweet di atas karena mungkin selama ini itu yang saya rasakan dan alami tapi tidak bisa saya katakan. Kenapa tidak bisa? karena saya belum bisa mendefinisikan secara mantap dimana saya berada sekarang dan mau mengarah kemana.

Catching low hanging fruit. That's exactly what I've been doing for the last couple of years. Saya ambil kesempatan bekerja di posisi yang tidak mengharuskan punya keterampilan bahasa pemrograman level native. Fortunately, ternyata low hanging fruit ada yang lumayan matang dan manis.

Tapi ini masih jauh dari selesai. Kalau mau memetik buah yang lebih tinggi tentu ada harga yang harus dibayar: work on skills at nights. Inspiration gets you started, discipline takes you there. Apalagi kalau there-nya adalah winter olympics.


Chandra

Subordinat

Tanggal 1 September saya tepat 3 bulan bekerja di tempat baru. Masa probation saya selesai hari ini. Saya tidak terlalu mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan kantor baru. Lokasinya masih satu kawasan, hanya pindah gedung. Jalan-jalannya lumayan hafal luar dalam karena dulu ngekos daerah sana. Secara budaya dan orang-orangnya agak beda, tapi justru yang sekarang ini terasa lebih cocok buat saya daripada sebelumnya.

Satu hal yang masih membuat saya awkward adalah kenyataan bahwa sekarang saya punya bawahan. Ini pertama kalinya dalam perjalanan karir profesional saya dimana saya tidak lagi jadi staf tapi punya staf. Sebagai orang yang sering nggak enakan hal macam ini bagi saya perlu pembiasaan.

Ternyata punya bawahan bukan cuma urusan nyuruh-nyuruh. Saya punya kewajiban mendelegasikan tugas secara tepat sesuai kompetensi masing-masing, di waktu yang lain saya harus bisa menjelaskan apa yang harus mereka pelajari untuk bisa menjalankan tugas pada project yang sedang berjalan. Tujuannya agar semua pekerjaan dapat terdeliver dengan optimal. 

Saya harus memberikan cukup pekerjaan supaya mereka ada bahan untuk memenuhi KPI dan tugas tim beres, tapi juga tidak terlalu banyak sehingga membuat mereka burnout. Saya harus cukup akomodatif supaya tidak dikenal otoriter, tetapi tidak terlalu lunak sehingga disepelekan. 

Sekarang saya jadi tahu pentingnya berorganisasi waktu sekolah dan kuliah. Agak menyesal dulu pengalaman kurang banyak jadi sekarang merasa kurang modal hahaha. Dengan alasan lebih suka yang praktek-praktek dulu lebih banyak milih jadi orang lapangan/eksekutor. Alergi sama yang namanya posisi 'ketua'. Pernah sih, tapi jarang. Mau nggak mau belajarnya sekarang.

Bawaan sifat anak daerah asal daerah yang andhap asor juga rada jadi problem, apalagi ketika harus mengatur orang yang sebaya atau lebih tua. Dipanggil 'mas' sama orang seumuran pun awalnya berasa aneh, mau minta panggil nama aja tapi yaudahlah. Kecenderungan tidak mau berkonflik ini jan hmmmmm...

Semoga yang baca ini dilancarkan karir, pekerjaan, dan tanggungjawabnya. Dilindungi dari masalah-masalah yang tidak diharapkan, ditempatkan di posisi yang sesuai, diapresiasi karyanya, dan dimudahkan aksesnya menuju kesempatan-kesempatan baik. Aamiin.

Love Hate Relationship with Engineering

Saya merasa mulai mencelupkan kaki ke dunia engineering waktu kuliah tingkat dua. Tahun pertama di ITB lebih kaya ekstensi SMA daripada kuliah. Waktu itu saya pun masih belum bisa menjelaskan kenapa pesawat bisa terbang secara memuaskan. Setelah di tingkat dua baru ada project-project yang walaupun belum terlalu memakai skill tapi setidaknya sudah menunjukkan bagaimana rekayasa bekerja. 

Kalau dihitung sejak tingkat dua alias tahun 2014, sampai sekarang sudah 6 tahun saya mempelajari dan menggarap bidang engineering. Ada beberapa hal yang membuat jatuh cinta sekaligus malas di waktu yang bersamaan.

Hal yang membuat saya jatuh cinta
1. Eksplorasi nyaris tak terbatas
Rekayasa (engineering) adalah soal mengeksplorasi kemungkinan yang bisa di capai di waktu yang akan datang lalu berusaha mewujudkannya. Karena sifatnya yang menghadap ke depan maka tidak banyak unsur yang menjadi batasan dalam eksplorasi di pikiran seorang perekayasa. Kalaupun ada batasan akan tiba waktunya seseorang menemukan cara untuk menghalau batasan tersebut atau melampauinya sekalian. Contohnya, karena perkembangan kecepatan komputasi terbatas rate perkembangan teknologi chip berbasis silikon maka orang menemukan dan mengembangkan quantum computing.

Kalau dilihat seminar-seminar teknologi atau engineering kebanyakan membahas hal-hal yang belum terjadi, misal revolusi mobil elektrik, nuclear power, atau unmanned aerial vehicle. Selanjutnya yang dibahas adalah soal target, timeline, dan pihak-pihak yang akan diajak berkolaborasi untuk mewujudkan cita-cita ini. Kadang tampak absurd, tapi begitulah engineering bekerja, dimulai dari visi dulu lalu mencari cara untuk menggapainya. 

2. Do it your way
Engineering sangat menekankan yang namanya dokumentasi (pembuatan dokumen). Sampai sekrup-sekrup terkecil pun harus tercantum. Tujuannya untuk mempermudah replikasi sekaligus pengurusan paten dan lain sebagainya. Hasil yang paling mahal harganya dalam sebuah pengembangan teknologi adalah dokumennya.

Tapi di luar itu engineering sangat luwes dan fleksibel. Luasnya bahasan dalam engineering membuat sulit untuk mengatur cara kerja orang-orang di dalamnya. Beda kasus menuntut metode yang berbeda pula. Orang-orang di dalamnya cenderung kreatif menjurus suka-suka. Jadi adanya dokumentasi juga penting untuk memvalidasi proses. Asal prosesnya valid, maka hasilnya diterima. Fleksibilitas ini menyenangkan untuk orang yang tidak suka diatur bagaimana dia sebaiknya bekerja.

3. No routine
Orang yang bekerja dalam bidang engineering setiap hari akan menemukan tantangan yang beragam. Untuk setiap masalah yang berbeda ada reward yang berbeda-beda pula. Jarang dilanda kebosanan yang disebabkan rutinitas berulang. Self satisfaction seorang engineer akan meroket ketika dia berhasil menembus tembok masalah yang sudah berhari-hari dia pikirkan. 

Tidak ada jaminan kalau hari ini sukses maka besok juga akan sukses, begitu juga sebaliknya. Itu juga menjadi sebab kesepahaman bahwa dalam engineering gagal itu tidak dosa. Tidak masalah gagal, asal tahu penyebabnya dan punya rencana solusi. 

4. Seragam di seluruh dunia
Disparitas perkembangan keilmuan engineering di seluruh dunia mungkin termasuk yang deviasinya rendah. Ada negara yang lebih dulu mengembangkan dan mengimplementasikan suatu teknologi karena fasilitas penelitian dan sumber daya yang lebih baik. Namun tidak lama berselang teknologi itu akan menyebar ke tempat lain di seluruh dunia. Lagi-lagi thanks to documentation.

Alhasil, forum-forum diskusi engineering biasanya melibatkan banyak orang dari berbagai penjuru dunia. Pertukaran dokumen dan informasi juga terjadi sangat cepat. Jadi ketika menemui suatu masalah biasanya tersedia referensi solusi entah dari mana. Jarang ada masalah yang belum ditemukan penyelesaiannya oleh seseorang di belahan dunia yang lain. Kalau sampai menemukan masalah seperti itu berarti itu sebuah masalah yang mahal.

Tapi di sisi lain ada hal-hal yang suka membikin saya gemas dan rasanya ingin pindah ke bidang lain...

1. Unpredictable
Yap, masalah dalam sebuah pekerjaan atau project engineering bisa datang kapan saja, kadang di saat yang tidak tepat. Mood yang bagus bisa tiba-tiba runtuh hanya karena satu masalah yang kita sadar kita adalah salah satu penyebabnya. Kayanya dalam hal apapun jadi orang yang bertanggung jawab atas terjadinya sesuatu itu nggak enak. Pekerjaan dalam skala apapun punya kemungkinan untuk gagal, misalnya Space Shuttle Challenger. Bayangkan proyek tahunan dengan biaya jutaan dollar gagal dalam 73 detik, dan engineer dipaksa menyaksikannya, pasti sakit sekali.

2. Maximum RPM
Bukan cuma harus menyelesaikan persoalan rumit, engineer kadang-kadang juga diminta untuk berusaha menyelesaikan sesuatu yang tidak ada penyelesaiannya. Otak dipacu bekerja pada RPM tertingginya. Salah satu hal yang saya pelajari selama ini adalah untuk tahu kapan harus berhenti dan di satu titik bilang "ini nggak bisa diselesaikan". 



3. Butuh proses
Engineer (dan scientist) adalah profesi yang butuh waktu untuk matang. Jarang ada engineer yang bisa langsung ngetop di usia muda. Engineering adalah bidang yang sangat mengagungkan nurture daripada nature. Banyak orang di dunia engineering yang menghabiskan masa mudanya berada di belakang layar jauh dari spotlight padahal sedang melakukan sesuatu yang berarti untuk masa depan. Mereka memang minim recognition. Orang yang konsisten dengan keahliannya baru akan muncul ke permukaan pada usia 40 tahun ke atas, berbicara sebagai 'Ahli xxx', 'Praktisi di bidang xxx'. Jujur saja, tidak semua orang bisa bersabar.

Sekian curhatan dari saya. Kalau kata orang jawa hidup itu wang sinawang alias tergantung bagaimana kita melihat positif dan negatifnya. Setiap profesi dan bidang pasti punya plus minusnya masing-masing. Saya nggak berniat bilang engineering itu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Overall saya merasa profil diri saya cocok dengan tipe profesi di dunia engineering jadi saya selalu coba untuk mengambil angle bersyukur dalam hal ini. Saya senang kalau nanti ada yang share pengalamannya dari profesi lain, pasti menarik.

Selamat berpuasa!

Networking


Saya punya abang sepupu, dia ini yang dulu membawa saya masuk bekerja di PT TES segera setelah lulus kuliah. Kami sempat bersama sama mengerjakan sebuah proyek simulator tank di Pusat Pendidikan Kavaleri (Pusdikkav) di Padalarang Bandung. Pagi ini tadi dia menelepon,

Puncak: Ndra, punya kenalan anak mikrobiologi ITB cewek?

Chandra: Yo ada beberapa sih, piye?

P: Yang bapaknya tentara di Pusdikkav ada?

C: Oalah, ada, lha itu anaknya Pak Malik, Ibang atau siapa pernah cerita Pak Malik itu jaman dulu orang yang jadi PIC di proyek simulator kita, pas aku belom masuk tapi. Pas akhir-akhir kemaren diganti Pak Rohmani itu.

P: Woo gitu, jadi pernah liat aku yo sebagai orang TES?

C: Mestine pernah. Anak Pak Malik namanya Ulya Alviredita Malik. Piye emang?

P: Jadi tadi aku dari Pusdikkav terus ngobrol sama Pak Malik ini ditanya punya kenalan yang paham drone gak. Katanya temen anaknya ini orang drone, kalo ada kenalan yang bisa di-link boleh nih lagi ada proyek-proyek butuh tenaga.

C: Lha yo itu pacarnya Ulya itu temen kosku dan sejurusan juga. Emang dia punya start-up mapping dan monitoring pakai drone. Kenal itu mah, bahkan di awal dulu aku yang ngedesain website mereka tahun 2017. Kemaren temenku ini juga rada-rada ngode ngajakin proyek, tapi karena di luar jawa jadi gak bisa. Aku masih ada kerjaan di Bandung

P: Ooh cocok berarti sing dibilang Pak Malik.

C: Iyo gitu bener, temenku akrab itu. Nek Ulya aku gak terlalu kenal cuma beberapa kali ketemu, tapi si Randhy nya ini sih akrab. Jadi misal ada kontak-kontak yo aman, aku kenal. Lanjut.

P: Okesip besok nek ada update dan butuh bantuan tak calling yo.

C: Siyaap

Sebuah usaha masuk ke dalam lingkaran pekerjaan, sebagai orang yang digunakan, untuk mencari jam kerja dan tentu tabungan. Ada dua cara datangnya rejeki. Pertama nemu. Kedua dari orang lain. Kalau tidak pandai nemu, berkenalanlah dengan banyak orang. Networking.

Pernah dengar alasan kenapa anak dari kelas menengah justru banyak yang tidak sesukses anak dari kelas atas atau kelas bawah sekalian?

Karena anak kelas menengah kurang bisa melihat peluang. Anak kelas atas memiliki peluang terhampar di depan matanya, dengan segala priviledge mereka tinggal menjalani saja. Anak kelas bawah dengan keterbatasannya memiliki kemampuan yang terasah untuk melihat sekecil-kecilnya peluang.

Anak kelas menengah kurang tinggi untuk mendapat ke

mudahan melihat peluang dan terlalu tinggi untuk belajar melihat peluang. Setahun terakhir saya tidak terikat dengan perusahaan apapun, justru disini saya melihat jelas bagaimana orang-orang mengubah peluang menjadi uang. Alhamdulillah

Cuma Punya 1 Jam


Sekarang jam 23:00 waktu Bandung ketika tulisan ini mulai dibuat. Bukan karena malas atau bingung mau menulis apa, tapi karena saya benar-benar baru pulang. Sesuai rencana, saya sedang dalam proses mencapai target 30 hari 30 tulisan. Saya khawatir jika bernegosiasi dengan target satu kali saja berikutnya jadi gampang kepengen untuk nego-nego lagi.

Ide nulis Cuma Punya 1 Jam terlintas tiba-tiba dalam perjalanan pulang dari PT LEN. Saya sedang mengerjakan suatu proyek di sana dan karena besok akan ada audit maka hari ini harus menyelesaikan banyak hal. Sedangkan saya belum menulis, belum punya draft, dan menolak bernegosiasi.

Begitulah kalau bekerja secara project-based. Jam kerja yang nine to five itu hanya sebagai formalitas saja, faktanya bisa geser maju atau mundur. Suatu waktu harus lembur karena project akan diperiksa atau diuji fungsi. Tapi di hari lain bisa keluar di jam kerja jika ada keperluan di tempat lain. Termasuk juga bisa memperpanjang libur ketika lebaran atau hari besar lain. Kerjanya fleksibel, asal kerjaannya selesai.

Dalam bidang teknologi IT maupun penerbangan, pekerjaan-pekerjaan seperti ini semakin banyak dilakukan. Seiring berkembangnya dunia digital dan internet bahkan sekarang antara client dan kontraktor tidak perlu bertatap muka. Banyaknya channel pembayaran digital semakin mempermudah kerjasama dan transaksi hingga level internasional.

Dokumentasi pekerjaan dan portfolio menjadi penting karena itu yang bisa ditawarkan ke calon client untuk menunjukkan apa yang pernah dan bisa kita kerjakan. Sehingga tanpa harus kenal secara personal client mau mempercayakan pekerjaannya pada kita dan tentu saja mau membayar waktu dan tenaga yang dikeluarkan. Sosial media seperti LinkedIn sangat cocok untuk menampilkan portfolio. Namun tidak ada salahnya pula mengunggahnya di sosial media lain seperti Facebook dan Instagram. Bisa jadi di sana kita akan ditemukan.

Semakin banyak orang yang butuh kemampuan kita, semakin mahal bayarannya. Uang memang bukan segalanya, dan tidak semua profesi memberikan bayaran sesuai kontribusinya. Namun menurut saya hakikat gaji sebenarnya adalah seberapa besar yang kita kerjakan bermanfaat bagi orang lain dan masyarakat.

Sometimes, it has nothing to do with your formal education. 

Kenapa? karena jika kita hanya mengunggulkan apa yang kita dapat dari sekolah atau universitas, kita tidak akan jadi orang yang unik. Semua teman sekelas kita mendapatkan pelajaran yang hampir-hampir sama. Kalau tidak unik kita susah dicari oleh yang membutuhkan. Jadi skill yang mahal belum tentu adalah yang kita dapat di sekolah.

Militansi dalam mempelajari disiplin ilmu baru adalah kunci. Saya coba menetapkan standar minimal untuk diri saya sendiri bahwa saya harus bisa menjawab dua pertanyaan berikut dengan mantap. Pertama, apa keahlianmu. Kedua, apa olahragamu.

Beberapa waktu yang lalu seseorang membuat google doodle versinya dan menyebut dia membuat itu karena sepertinya google lupa. Doodle-nya bagus, beberapa hari kemudian dia dikontak oleh Google dan mendapatkan tawaran pekerjaan.

Pamer kemampuan beda dengan pamer harta atau kedudukan, asal masih dalam batasan niat untuk berbagi kemanfaatan, bukan untuk gaya-gayaan. Jika kita punya kemampuan lebih dalam sesuatu, tunjukkan saja. Siapa tahu ada orang di luar sana yang memerlukan kita. Siapa tahu tidak lama kemudian ada ajakan kolaborasi untuk membuat sesuatu yang lebih besar.

Orang-orang yang bisa secara militan mendalami sesuatu biasanya sudah tidak lagi berpikir tentang uang. Dia menyukai apa yang dia kerjakan. Bahwa nanti dia bisa sejahtera berkat kemampuannya itu sudah sewajarnya. Militansi diuji ketika kita sudah belajar banyak tapi belum menemukan apa yang bisa didapatkan dari yang sudah dipelajari ini. Kalau berhenti ya cuma akan sampai di titik itu. Tapi kalau dilanjutkan bisa jadi ada sesuatu yang besar kemudian.

Tidak ada kata terlambat untuk mulai mengulik sesuatu, bahkan ketika sudah terikat pada profesi tertentu. Cobalah jadi dokter yang pandai melukis, polisi yang didengarkan ceramahnya, guru yang lihai berwirausaha, pegawai bank yang terbiasa lari marathon, dosen yang gemar membuat robot, programer yang menulis novel, dan lain sebagainya.

Marilah kita berdoa untuk diberi kekuatan agar bisa memanfaatkan sebanyak-banyaknya kesempatan. Karena kita tidak tahu pasti apakah yang kita lakukan memberikan efek baik atau buruk. Semoga kita selalu berada di jalan yang benar. aamiin

ditulis dalam 42 menit.

@chandranrhmn


sumber gambar

Menjaga Rencana


Masuk ke dunia kerja, mau tidak mau menjadikan saya banyak bergaul dengan orang yang lebih dewasa (atau tua). Sebagian dari mereka sudah berkeluarga dan sudah ngomah di Bandung. Mereka punya atau ngontrak rumah di sini, anak-anaknya juga sekolah di kota ini. Live happily and settled lah pokoknya.

Lupakan soal adaptasi bahasa sunda, dinginnya udara lembang, dan pola kerja. Sembilan bulan di sini cukup lah untuk menyesuaikan diri. Tapi ada satu hal yang memang agak susah untuk disamakan.

Seperti yang saya bilang tadi, sebagian besar pegawai di sini sudah berkeluarga. Umur juga banyak yang sudah kepala tiga. Apalagi ada bapak-bapak eks IPTN yang sudah relatif sepuh. Artinya apa ? Memang bagi banyak pegawai pilihan terbaiknya adalah bekerja di sini sampai datang masa pensiun. 

Umur membatasi seseorang untuk pindah kerja karena rasanya tidak banyak lowongan yang terbuka kalau sudah berumur 35 tahun ke atas. Ada memang, tapi biasanya posisi berlabel 'senior' yang mensyaratkan pengalaman kerja dan referensi yang excelence. Jadi intinya kurang ideal untuk lompat dari satu kantor ke kantor lain kalau sudah berumur.

Belum lagi beliau-beliau yang senior biasanya sudah berkeluarga. Berkeluarga artinya income yang stabil itu penting. Agak beresiko untuk melepas pekerjaan jika sudah ada tanggungan

Di sisi lain, saya pribadi sejak awal sudah menyampaikan pada atasan bahwa saya nggak akan disini dalam jangka panjang. Alasannya karena punya keinginan untuk sekolah lagi. Saya nggak sendiri, tapi bagaimanapun hanya sedikit rekan disini yang punya pikiran seperti itu. 

Dulu di kampus punya cita-cita jadi Master hunter adalah hal yang biasa, mayoritas kawan di ITB gitu. Tapi sekarang saya berada pada kondisi dimana kebanyakan orang di sekitar sudah pada masa ingin hidup yang stabil, nggak ingin coba-coba. Seolah saya gedabikan sendiri di tengah orang-orang yang anteng.

Saya nggak bilang anteng itu jelek. Kalau sudah seumur para senior itu juga saya nggak akan sehiperaktif ini. Soal waktu dan kondisi saja.

Orang kalau kumpul dengan kelompok yang cita-citanya serupa, majunya cepet. Tapi kalau kebetulan berada di lingkungan yang orientasi umumnya berbeda butuh beberapa adjusment supaya tetap bisa bergaul sekaligus rencana terjaga.

Sebagai contoh, sebenarnya sangat memungkinkan bagi saya untuk tidak langsung pulang selepas kerja. Bahkan menginap pun ada tempatnya. Tapi ketika beberapa rekan bersantai di kantor sampai malam saya nggak bisa karena harus pulang ada yang perlu dikerjakan di rumah, yaa nggak jauh dari urusan menyiapkan studi lanjut. 

Hal yang sederhana memang, tapi ketika pilihan dan godaan semacam itu hadir hampir setiap hari butuh energi yang besar juga untuk tetap istiqomah. Lebaran kemarin ketemu dan ngobrol dengan beberapa teman jaman sekolah dan kuliah, dari sana saya menyimpulkan bahwa cukup banyak yang mengalami hal serupa. Bukannya nggak bahagia, tapi karena lebih banyak hal yang meminta fokus dan waktu, jadi lebih exhausting aja kita. 



***

Dua minggu yang lalu saya ketemu sama seorang bapak asal Semarang waktu nonton Indonesia Open di Senayan. Beliau datang sendirian jadi akhirnya ikut rombongan saya dan teman-teman. Waktu ngobrol-ngobrol sambil nunggu antrian masuk Istora, beliau kasih nasehat :

Kuncinya salat subuh dan sunah 2 rakaat sebelumnya. Dah pokoke mau apa aja modal itu bisa tercapai

Jangan merasa susah, banyak orang hidupnya lebih berat.


Chandra

gambar : Pixabay

Welcome to the Ownerless Era ?



Akhir-akhir ini mencuat istilah ownerless era di kalangan generasi milenial terutama di perkotaan. Kira-kira artinya adalah tidak terlalu penting lagi untuk memiliki semua hal, yang penting bisa merasakan manfaatnya.

Gojek, Grab, dan Uber telah menggerus urgensi untuk memiliki kendaraan sendiri. Kini dengan sangat mudah orang dapat pergi dari satu tempat ke tempat lain bermodal smartphone dan koneksi internet. Spotify dan Joox menjadikan kita tidak perlu menyimpan file MP3 di komputer seperti jaman Winamp dulu. Platform buku dan komik digital memungkinakn untuk membaca konten tanpa harus membeli dan mimiliki buku fisik.

Kemajuan teknologi (digital) membantu banyak aktivitas manusia dengan menjadikannya semakin efisien. Sharing economy membuat milenial tidak perlu memiliki beberapa jenis barang untuk bisa memanfaatkan nilai gunanya. Tapi perkembangan ini menimbulkan kekhawatiran. Kemudahan untuk menggunakan tanpa harus memiliki diduga membuat milenial malas untuk membeli properti, kendaraan, dll.

Dua puluh tahun yang lalu transportasi umum belum sebaik sekarang. Saat itu tempat tinggal kontrak/apartemen juga masih sulit dicari. Yang lebih jelas lagi, teknologi digital dan internet belum booming seperti sekarang. Akibatnya, generasi orang tua kita mau tidak mau harus mengusahakan untuk punya tempat tinggal dan kendaraan.

Tapi sekarang itu bukan lagi prioritas karena toh kita masih bisa wira-wiri naik mobil dengan taksi online yang harganya terjangkau. Untuk tempat tinggal ada banyak kos, rumah kontrakan, atau apartemen yang nyaman ditempati.

Beberapa waktu yang lalu tirto.id sempat merilis bahwa banyak milenial membelanjakan tabungannya untuk traveling demi mendapatkan experience dan foto untuk feed social media instead of investasi. Makan di restoran ala-ala dan gadget juga menjadi chanel pengeluaran. Ngeksis or die pokoknya. Akibatnya, kata tirto.id, mayoritas milenial (urban) tabungannya kurang dari 13 juta.

Kekhawatiran yang kemudian muncul adalah bagaimana jika nanti anak-anak milenial ini jadi tidak punya aset sama sekali ? Jaman sekarang perubahan sosial dan ekonomi bisa terjadi sangat tiba-tiba, bagaimana kalau kita-kita ini tidak siap ?

Beruntung ada media dan orang-orang yang mengangkat isu ownerless era ini. Kita jadi sadar dan bisa bercermin soal pengelolaan uang. Saya belum lama lulus kuliah, tapi selama ini saya sudah menyaksikan orang yang menderita dikejar-kejar tagihan kartu kredit, ada yang tidak bisa meneruskan kredit mobilnya sehingga terpaksa menawarkan over kredit di grup jual beli, atau ada orang yang hedon di tanggal muda tapi jadi pendiam di akhir bulan.

Baik buruk dan jalan apa yang dipilih terserah pada pribadi masing-masing. Saya juga tidak merasa sepenuhnya benar. Alangkah senangnya kalau ada teman yang bisa diajak sharing soal fenomena ini. Tapi untuk saat ini saya bersyukur masih bisa mempertahankan gaya hidup ala mahasiswa saat sudah bekerja hehe..

Sebagai penutup, "rejeki itu urusannya berkah-berkahan"


Chandra

gambar : money.usnews.com

Junior



Baru beberapa bulan yang lalu saya adalah 'angkatan tertua' di kampus. Menjadi golongan yang paling berkuasa atas fasilitas kampus, paling dekat dengan dosen, dan dianggap paling tahu seluk beluk kehidupan mahasiswa.

Beberapa bulan berlalu, saat ini, saya adalah golongan paling junior di lingkungan yang baru. Sama seperti dulu waktu baru masuk SMP, SMA, dan kuliah, banyak yang berubah. Kita bisa saja mendengar kuliah itu seperti ini, bekerja itu seperti ini, tapi banyak hal yang harus dijalani sendiri untuk kita bisa mengerti.

Sebenarnyalah saya sudah cukup familiar dengan tempat baru ini. Banyak orang-orang di dalamnya yang sudah saya kenal. Sejak awal tahun saya telah berkali-kali ke sini untuk keperluan tugas akhir. Setidaknya diantara orang-orang baru, saya adalah yang paling terdahulu.

Hari ini adalah hari terakhir masa probation (percobaan) saya di sini. Besok Senin status saya sudah berubah. Malam ini saya memutuskan untuk bermalam di kantor, awalnya karena hujan yang tak kunjung reda mengguyur daerah utara Bandung, tapi akhirnya saya putuskan untuk menginap agar lebih mengenal tempat ini. Selain udara yang sejuk dan air yang dingin, ternyata fasilitas penunjang kehidupan di sini sangat lengkap. Pantesan beberapa orang memutuskan totally tinggal di sini...

Dari seluruh drama-drama perubahan status senior menjadi junior (lagi), ada satu hal yang menurut saya layak dibagikan. Saya belajar banyak soal ini, yaitu ikhlas menerima bahwa kita ini masih junior.

Berpindah ke tempat baru, sepandai apapun kita pada suatu hal, pasti ada yang sama pandainya dengan kita tapi lebih berpengalaman. Kalau dibandingkan, kita ini lebih banyak tidak tahunya daripada tahunya.

Ikhlas menerima bahwa kita masih "muda" artinya membuka diri bagi pengalaman, pelajaran, dan cara berpikir yang baru. Hal ini lebih bijak daripada meyakini kita sudah banyak tahu. Memang pasti akan ada nilai, norma, dan budaya yang tidak sesuai dengan apa yang selama ini kita yakini, tapi justru disitulah kita diuji seberapa mampu memilih secara obyektif mana yang lebih baik.

Berinteraksi dengan orang-orang baru akan memberikan kita perspektif-perspektif yang juga baru. Ada sebuah ilustrasi yang cukup menarik :
Ada 10 orang mengelilingi seekor gajah. Masing-masing orang mengambil foto gajah itu dengan kameranya. Pertanyaannya, apakah diantara 10 foto itu ada yang sama persis ? Tidak. Tapi apakah semuanya benar gambar seekor gajah ? Ya. Artinya obyek yang sama akan tampak berbeda jika dilihat dari perspektif yang berbeda.
Dialah yang paling banyak melihat gambar orang lain yang bisa mendeskripsikan gajah dengan paling tepat. Dialah yang paling banyak belajar.

Tidak sedikit lulusan dari kampus yang katanya besar merasa sudah menguasai banyak hal sampai-sampai lupa bahwa masih banyak yang perlu dipelajari. Keikhlasan untuk selalu menempatkan diri dalam posisi belajar membuka banyak kesempatan untuk mendapatkan ilmu-ilmu baru. Dimana-mana ada ilmu, tinggal seberapa peka kita menangkapnya.

Sakit hati, dianggap kurang cakap, direndahkan oleh orang yang kita rasa harusnya di bawah kita, adalah konsekuensi dari semua itu. Belajar di sekolah sifatnya hanya menerima dan mencoba memahami (entah ini sistem belajar yang betul atau tidak). Tapi belajar di masyarakat lebih real, menuntut kemampuan beradaptasi, dan terkadang keras.

No pain, no gain. Kalau ikhlas menjalani segala prosesnya, sedikit demi sedikit kita akan dianggap semakin mampu. Kita akan bergerak dari satu tanggung jawab ke tanggung jawab lain yang lebih besar. Tapi jangan menolak sebuah tanggung jawab hanya karena kita ragu akan kemampuan sendiri, justru dalam pelaksanaan tanggung jawab itu akan ada pelajaran yang bisa diambil. Lagi-lagi pelajaran. Ini adalah cara naik yang sangat elegan.

Pada akhirnya, berada di tempat baru adalah soal kemampuan beradaptasi tanpa kehilangan kebaikan yang sebelumnya sudah dimiliki dan sebisa mungkin mengubah kekurangan menjadi kelebihan yang lain, dengan belajar. Bicara soal karier, menurut saya antara belajar dan bekerja tidak bisa begitu saja dipisahkan. Bukan berarti orang yang belajar itu tidak bekerja dan orang yang bekerja tidak belajar. Alhamdulillah saya bersyukur mendapat kesempatan untuk belajar dengan dibayar.


Salam, dari saya yang juga masih belajar.


gambar by Jojo

Cerita Kerja Praktek

Hari ini, 5 Agustus 2016 adalah hari terakhir saya kerja praktek (KP) di PT T&E Simulation, Bandung. T&ES adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang 3D simulation dan semacamnya. Saya tidak menjelaskan lebih detail mengenai perusahaan ini karena tidak perlu, saya memang tidak cukup tahu, dan kurang etis hehehe. Publikasi bukan hal yang penting bagi mereka sebab customer-nya adalah kalangan tertentu saja misalnya militer dan pertahanan. 

Penerimaan
Saya agak berbeda dengan teman-teman yang mengurus KP sejak awal atau pertengahan semester kemarin. Saya mengurusnya cukup mendadak di akhir semester. Saya cukup percaya diri akan bisa jadi intern disana karena sudah punya beberapa kenalan orang dalam baik karena hubungan saudara atau pernah bekerja sama. 

Sesuai prosedur, saya meminta surat pengantar dari TU program studi untuk dikirimkan ke perusahaan. Selanjutnya surat itu saya scan dan kirimkan lewat email ke bagian HIRD. Saya mengirim email pukul 12 siang dan pukul setengah 2 saya sudah mendapat balasan email balasan yang melampirkan surat berikut


Cepat dan instan sekali bukan!

Saya KP selama 2 bulan, sebenarnya ini mungkin akibat surat dari program studi menuliskan masa KP minimal 1 bulan dan maksimal 2 bulan. Jika saja program studi menulis "masa kerja praktek adalah 1 bulan" maka kami hanya akan kerja praktek 1 bulan seperti teman-teman dari Matematika, bila ditulis 6 bulan-1 tahun Anda tahu lah apa yang akan terjadi. 



Apa yang kami kerjakan ?
Saya tidak berhak mengumumkan apa saja yang saya kerjakan di sana, karena ini termasuk dalam perjanjian. Yang bisa saya katakan, saya KP di bidang flight simulation dan yang saya lakukan adalah ngode, eeh ngoding. 

Topik KP di perusahaan ini sepertinya tergantung pada proyek apa yang sedang atau akan mereka kerjakan. Bila teman-teman ada yang berminat KP di sana tahun depan, maka tugasnya bisa berbeda. Tidak ada kurikulum atau topik-topik siap pakai di sana. Ini justru menarik karena dari pengalaman saya baru ketika saya datang pertama kali untuk KP saya diberi tahu siapa pembimbing kerja praktek dan apa yang harus saya kerjakan.





Fasilitas
Sungguh, dari segi fasilitas saya sangat bersyukur bekerja di tempat ini. Setiap pagi, ada mobil jemputan yang menjemput mahasiswa-mahasiswa KP. Assembly pointnya di gerbang Dago Asri, bagi Anda yang di sekitar Dago atau ITB tentu tahu. Sampai di kantor kami diberi ruangan dengan meja sendiri-sendiri plus akses internet. Tidak perlu mengurus surat ijin membawa laptop atau sejenisnya hehehe.

Siang harinya, pada jam istirahat 12.00-13.00 disediakan makan siang yang 4 sehat 5 sempurna. Selama KP sepertinya gizi saya lebih baik dari hari-hari biasa di tempat kos. Makanannya juga selalu enak, jago banget yang masak. Menunya mulai dari soto, rawon, rendang daging sapi, ayam lombok ijo, dll lengkap dengan sayur, sambal, krupuk, dan minum.

Anda ingin coffee break ? Tersedia kopi, susu, teh, nutrisari, dll yang bisa dinikmati. Walaupun pada hari terakhir saya ditegur karena minum pakai gelas milik orang hehehe. Sorenya, disediakan makan malam pula. Tapi untuk yang satu ini saya belum sempat menikmati karena keburu pulang kantor, mahasiswa KP pulang lebih awal karena mobil jemputan sudah terjadwal pukul 4 sore.




Buka bersama dan Rudy Habibie
Tidak hanya bekerja yang jadi kegiatan kami, ada pula acara kebersamaan yang kami ikuti yaitu buka bersama 2 kali ketika bulan puasa kemarin dan nonton bareng film Rudy Habibie di CGV Blitz BEC Bandung :D
Menyenangkan sekali








Lokasi
Ketika pusing dan bosan duduk di depan laptop memandangi kode-kode dan mencari semicolon yang menyebabkan error, tinggal keluar ruangan untuk mencari pemandangan indah. Kantor ini terletak di daerah Maribaya, sebelum Lembang lah kalau datang dari Bandung kota. Tempatnya di atas bukit, jalan untuk sampai kesana pun agak susah, dan tempatnya tersembunyi. Sangat ideal untuk pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi

Ini pemandangan dari tempat kami bekerja :








Teman-teman
Pada periode ini, saya sempat bekerja bersama teman-teman dari jurusan Teknik Elektro dan Matematika ITB walaupun dengan waktu mulai dan selesai yang berbeda. Ada pula teman dari Politeknik Negeri Bandung (Polban) namun sayangnya ditempatkan di ruangan yang berbeda sehingga hanya bertemu ketika salat dan makan siang. 

Ini salah satu foto (sebagian dari) kami, bersama pembimbing juga :




Ucapan terima kasih
Saya sungguh berterima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk bisa KP di tempat ini. Saya mendapat ilmu, pengalaman, dan wawasan baru. Terima kasih kepada Mas Avee, Mas Puncak, dan mas-mas yang lain. Terima kasih Mas Agra Barecasco atas bimbing
annya, juga Mbak Riska dan Mbak Uti. Terima kasih pula kepada bapak driver, satpam, ibu-ibu dapur, dan yang lainnya yang tentu tidak dapat saya sebut satu-persatu.




Salam,
Chandra

Kerja Praktek : Tantangan

Salah satu beban pikiran mahasiswa ITB semester 6 adalah mencari kerja praktek. Banyak yang bingung memilih mau KP dimana, di sisi lain perusahaan kadang kurang aware jika ada surat masuk. Alhasil, banyak yang mendapat kerja praktek karena bantuan koneksi pribadi. Setidaknya itu di lingkungan saya.

Sudah minggu ke-10 semester 6 dan beberapa teman belum mendapat tempat KP (semoga segera ketemu jodohnya teman-teman). Alhamdulillah nasib saya cukup baik, saya memproses administrasi di fakultas sekitar 2 hari, lalu kirim email suatu di siang jam 12 dan dibalas pukul setengah 2 : diterima KP !

Itu tidak lepas dari faktor koneksi pribadi. Saya punya kenalan di sebuah perusahaan swasta di Bandung, orang  yang juga menyarankan saya masuk teknik penerbangan, dan jadi seperti ini...
Sebelumnya kami pernah ngobrol beberapa kali tentang proyek-proyek yang tentu masih termasuk dunia aeronautics.

Sepertinya KP ini akan menarik, semoga !! Saya dan 3 teman yang InsyaAllah akan KP di perusahaan itu adalah yang pertama dari jurusan kami. Perusahaan belum punya 'kurikulum' KP yang porsinya sudah terukur untuk dikonsumsi mahasiswa seperti kami. Akhirnya saya diskusi-diskusi sendiri untuk membahas apa yang mau dikerjakan. Sepertinya, mahasiswa KP nanti akan terlibat banyak dalam proses produksi, bukan hanya dalam tataran penelitian. Berikut percakapan yang agak 'lucu' jika diketahui ini adalah komunikasi antara mahasiswa calon peserta KP dan perusahaan









Doakan kami berhasil :)


Bandung, 00:40