Perpanjang SIM di SIM Keliling ITC BSD


Angkatan 95-96 yang punya SIM di umur 17 atau 18, siap-siaplah tahun ini untuk perpanjang SIM. Karena kalau sampai masa berlaku habis harus buat baru, lebih repot dan mahal. Meskipun tetap bukan aktivitas yang menyenangkan, setidaknya kini banyak layanan SIM keliling atau gerai SIM yang dibuka. Karena weekend ini masa berlaku SIM habis, saya harus cari dimana bisa perpanjang SIM di sekitar Tangsel atau Tangkot. Dari Twitter saya dapat informasi berikut





Hari ini, Senin (27/2) saya meluncur ke ITC BSD. Disini saya coba share ya proses perpanjangan SIM-nya, berapa biaya yang dikeluarkan, berapa lama prosesnya, dan apa yang perlu disiapkan.

Sebelum masa berlaku habis, pastikan cek dimana ada layanan SIM keliling di sekitarmu. Di Jabodetabek dan berbagai daerah lumayan banyak sampai level kecamatan, jadi harusnya ada yang dekat dengan tempatmu. Yang perlu diperhatikan adalah tidak semua tempat SIM keliling buka setiap hari. Pastikan cek hari dan jam layanannya. Untuk dokumennya, bawa SIM asli yang mau habis masa berlaku, fotokopi KTP 3 buah, dan pulpen. Di lokasi biasanya ada jasa fotokopi dan jual pulpen, tapi lebih mahal.

Usahakan datang agak awal karena blangko di lokasi bisa jadi terbatas. Saya tadi tanya ke petugas, hari ini di ITC BSD sedia 200 form. Saya sampai di lokasi pukul 10.20 dan dapat urutan ke 75. Secara umum alur dan proses di lokasi cukup jelas. Berikut rincian prosedur yang saya lakukan untuk perpanjangan SIM

10:20 - sampai lokasi, ambil formulir
10.30 - selesai isi formulir dan mendengar penjelasan
10.35 - selesai cek kesehatan
10.45 - selesai isi soal psikotes
11.20 - selesai foto, antri agak lama
11.25 - SIM dapat diambil

Dari awal sampai SIM selesai butuh waktu 1 jam lebih sedikit. Masih aman lah bisa perpanjang SIM dengan ijin atau cuti setengah hari.


Untuk biayanya sendiri, total yang dikeluarkan 220 ribu dengan rincian sebagai berikut
- registrasi: 130 ribu 
- cek kesehatan: 30 ribu
- psikotes: 60 ribu
Kalau belum bawa fotokopi KTP atau pulpen, di lokasi ada yang jual masing-masing 5000. Ada jasa laminasi SIM juga seharga 10 ribu, tidak wajib.

Bagaimana menurutmu apakah mahal atau normal? Registrasi dan cek kesehatan masih make sense, tapi psikotes ini syarat tambahan yang ngadi-ngadi menurut saya biayanya. Padahal hanya formalitas mengerjakan 35 soal yang sudah jelas jawabannya dan pasti lolos.

Proses untuk SIM A dan C sama, hanya ada selisih 5 ribu untuk biaya registrasinya. Secara umum pengalaman perpanjangan SIM di ITC BSD baik. Prosesnya cepat, efisien, dan ada arahan yang jelas. Lokasi SIM keliling di ITC BSD ada di parkir GF, cukup mudah untuk dicari. 

Terimakasih, semoga bermanfaat

Chandra

Cerita Ambil Rush 2011


Kombinasi dari kembali padatnya jalanan ibukota selepas pandemi, macet dan polusi, kebutuhan mengakses banyak tempat, serta naiknya tarif taksi online dan tiket kereta/pesawat, membuat saya dan keluarga memutuskan untuk ambil mobil akhir tahun kemarin. Alhamdulillah kesampaian Toyota Rush 2011. Ini ceritanya dari sebelum beli hingga 4 bulan pemakaian.




Sebelum beli kami ngobrol-ngobrol dan diskusi dengan orang tua serta kenalan yang mengerti mobil, didapatlah kriteria-kriteria berikut yang akan kami gunakan untuk memfilter mobil apa yang mau dipinang. 
1. Harga masuk secara cash karena tidak ingin memikirkan angsuran bulanan, budget untuk mobil diputuskan maksimal 130 juta all in termasuk dandan-dandan.
2. Karena di harga segitu sudah pasti dapatnya second, prioritas kami beli dari pemilik langsung bukan showroom. Walaupun mobil showroom biasanya lebih kinclong karena sudah dipoles, tapi saya ingin kenal langsung dengan pemiliknya, syukur-syukur pemilik tangan pertama dari baru.
3. Mobil jenis SUV karena muat banyak dan ground clearance tinggi. Sehingga kalau dibawa ke luar kota termasuk mudik nyaman dan bisa bawa banyak barang. My inner child sih inginnya sedan wkwk tapi yang rasional ya SUV. Kalau MPV memang agak kurang suka.
4. Mobil dari merk yang umum sehingga perawatan mudah dan murah. 
5. Matic, karena Jakarta macet.

Ada tiga mobil yang memenuhi kriteria tersebut, yaitu Toyota Rush, Daihatsu Terios, dan Suzuki Grand Vitara kisaran tahun 2011-2013. Grand Vitara saya coret karena menurut info konsumsi BBM-nya boros. Terios memang lebih murah untuk tahun dan kondisi ya sama. Tapi secara merk Toyota lebih kuat. Akhirnya kami putuskan untuk memilih Toyota Rush. CRV, XTrail, Pajero, Fortuner masih kemahalan, ya harap maklum middle class.

Kami pelototi banyak iklan mobil dan datang ke showroom sambil belajar metode inspeksi dasar sebelum membeli mobil. Kami sadar namanya mobil bekas pasti tidak ada yang sempurna, tapi juga jangan sampai terkecoh. Setelah beberapa waktu mencari, kami menemukan iklan mobil Rush 2011 yang sepertinya menarik. Pengiklannya pemilik langsung tangan pertama. Kondisi mobilnya baik karena rawatan rutin dealer dari baru sampai sekarang. Harga yang ditawarkan standar harga pasar dan masih bisa nego.

Saya lakukan background check dan hasilnya legit. Pemilik bekerja di perusahaan alat berat/tambang sekaligus dosen di sebuah kampus swasta. Profil dan nomor yang digunakan asli. Berbekal informasi awal dari penjual, saya dan istri meluncur ke Jakarta Timur untuk cek unitnya langsung. Panas-panas kesana berharap kondisi mobilnya baik seperti yang diiklankan.


Alhamdulillah sampai di sana saya cek mobilnya tidak tampak bekas insiden tabrak atau banjir. Suratnya lengkap dengan nomor rangka dan mesin tembus. Eksterior kondisinya baik, tidak ada lecet atau dent besar. Interior utuh, hanya agak kotor kena bulu kucing karena pemiliknya punya banyak kucing ras. Yes I guess mobil ini ditawarkan murah biar segera laku saja, harga nggak terlalu ambil pusing kayanya. 

Saya ijin test drive sambil ngrobrol-ngobrol dengan pemilik. AC dingin, mesin halus, transmisi responsif. Mobil ini sebelum dijual ternyata sudah diganti oli mesin, transmisi, dan gardannya. Aki juga baru diganti Juni 2022 dan masih bagus. Pajaknya pun baru dibayar. Minusnya hanya kaca film yang sudah agak pudar karena belum diganti dari baru dan ban yang sudah berumur 5 tahun. Itu pun pemiliknya ngasih tahu, tidak ada upaya menutup-nutupi agar laku. Kami DP langsung hari itu, kemudian transaksi pelunasan di bank beberapa hari kemudian. Bismillah


***

Alhamdulillah mobil bisa langsung dipakai tanpa harus servis-servis dulu. Barulah ketika mobil ini mau kami bawa ke Jogja saya masukkan ke Auto2000 untuk memastikan kondisi keseluruhan mobil. Waktu itu saya ke Auto2000 Alam Sutera, biaya untuk general check-up 300 ribu. Dari sana saya dapat catatan lengkap apa saja yang perlu diservis menurut standar bengkel resmi.

Pertama saya ganti ban langsung 4 biji, ini tanpa check-up sudah tahu kalau harus ganti sih, dan sudah diperhitungkan ketika nego. Saya pasang ban GT Radial Savero SUV 236/60 R16 habis sekitar 3,5 juta termasuk spooring dan balancing 4 roda. Bengkelnya Eka Mandiri Jaya di dekat bundaran Alam Sutera. Kaca film juga saya ganti dengan merk CPF1. Setahu saya ini kaca film yang dipakai Toyota dan Daihatsu di mobil barunya (mid level). Saya pasang di Rapi Auto Film di Pamulang.





Untuk bagian mesin saya ada ganti engine mounting dan baut oli di Bunda Jaya Motor Alam Sutera. Lalu saya ganti seal packing dan O-ring serta kuras radiator di Cahaya Motor Ciledug. Total biaya untuk dandanin permesinan ini sekitar 1,1 jutaan sudah kering sehat enak. Kemarin karena sudah sampai waktunya ganti oli mesin, saya ganti di Shop & Drive kena 312 ribu, olinya Rush pakai 3 liter.

Waktu di Jogja saya bawa mobil ini ke bengkel langganan bapak karena merasa ada bunyi-bunyi dari remnya. Ternyata pistonnya agak seret. Biaya servis rem depan sekaligus ganti kampasnya habis 590 ribu. Bengkelnya Dwi Jaya Motor Bantul, dekat SMA saya. Agar semakin nyaman saya sekalian masukkan ke bengkel kaki-kaki dan per. Untuk kaki-kaki perlu ganti bearing ban depan kanan, biaya part dan jasa pasang kena 500 ribu di bengkel kaki-kaki Mitra Sejati, Sewon Bantul. Untuk per depan saya ganti di One Spring Jogja, 700 ribu kanan kiri termasuk pasang.

FYI untuk yang di Bantul dan sekitarnya, kalau mau cek atau servis kaki-kaki mobil saya sangat rekomendasikan bengkel Mitra Sejati. Lokasinya di Gabusan, kecamatan Sewon, Bantul. Lokasinya gampang dicari karena di pinggir jalan Parangtritis. Pemiliknya langsung yang garap dan benar-benar pekerja keras. Diagnosanya akurat dan diganti yang perlu saja, kelihatan banget sudah berpengalaman. Biaya jasanya relatif murah untuk kerja yang dilakukan. Review googlenya belum banyak karena sebelum disini sepertinya bapaknya buka di tempat lain. 


***

Beli mobil berumur lebih dari 10 tahun bukanlah keputusan yang populer. Mobil tahun 2011 sudah pasti ada PR-nya, makanya saya spare 5-10 juta untuk dandan-dandan. Karet dan seal mulai getas karena pemakaian dan umur, beberapa part perlu diganti. Karena itulah awal-awal saya general check-up mobil ini di Auto2000, supaya dicek kondisinya dan ketika direpair sesuai dengan standar dealer Toyota. Kalau soal desain yang ketinggalan saya nggak masalah wong saya seleranya lawas, mobil tercantik menurut saya BMW E46 dan Civic FD2.

Lack of feature masih bisa saya terima mengingat harganya. Lagipula mobil itu sangat upgradable. Head unit bisa diupgrade dengan yang android, jok bisa dilapis kulit berkualitas agar semakin nyaman, kaki-kaki bisa diganti jika ingin bantingan yang lebih empuk. Pasar aftermarket sangat besar dan banyak bengkel variasi bagus apalagi di Jakarta. Saya senang menyetir tapi tidak hobi kebut-kebutan, jadi mesin standar 1500cc sudah cukup.

Perks lain dari melihara mobil bekas adalah bisa sekalian belajar maintenance basic mobil. Mobil bekas pasti ada saja yang bunyi-bunyi sedikit atau sesuatu yang kendor. Kalau belum bisa repair sendiri minimal bisa diagnosis sehingga kalau ke bengkel gampang menjelaskan dan nggak ketipu. Saya join forum di facebook untuk belajar dan cari info dari sesama pemilik. Overall keputusan ambil Rush 2011 ini saya syukuri, alhamdulillah.

Sejak ada mobil, akses untuk ke berbagai lokasi jadi lebih mudah. Apalagi di Jakarta yang tol ada dimana-mana. Lokasi di luar kota yang lebih jauh juga semakin terjangkau, tidak bergantung pada kereta, bis, atau pesawat. Mobil juga mendukung untuk beberapa keperluan urgen saat malam hari atau hujan. Mobil memberikan ruang privat untuk ngobrol dengan keluarga, ini sih yang seru. Banyak waktu kita habiskan di jalan, menjadi lebih manfaat karena bisa sambil Q-time di mobil. Nyetir nggak bisa sambil main HP, penumpang juga pusing kalau kebanyakan lihat layar, mending ngobrol ya kan.

Tapi yang perlu diperhatikan adalah bahwa memelihara mobil butuh biaya. Seminimal-minimalnya running cost untuk bensin, tol, maintenance rutin, dan pajak. Karena sudah ada biaya-biaya itulah salah satu alasan kami memilih membeli mobil secara cash walaupun bekas sehingga tidak perlu mikir angsuran, dan beberapa alasan lain. Maunya sih mobil baru dan cash, tapi kalau belum cukup dananya ya settle dengan 2nd best choice lah, mobil bekas dan cash. Pemikiran ini saya terinfluence oleh Ridwan Hanif dan Mas Wahid. Semoga kita semua rezekinya dibaikkan sehingga bisa beli mobil baru yang diimpikan secara cash, aamiin.


Memang butuh ketelitian dalam memilih mobil bekas. Tapi sekarang sudah banyak yang menawarkan jasa inspeksi mobil bekas, cari saja di instagram. Kalau merasa ragu untuk inspeksi sendiri bisa pakai jasa mereka, harganya juga terjangkau kok. Kalau ada teman yang mengajak saya untuk menemani cek mobil bekas dengan senang hati saya mau, for free. Cheers.



Chandra



WFH, WFO, atau Keduanya?




Sama seperti tulisan saya sebelumnya mengenai layoff, saya mau menulis tentang topik WFH-WFO karena pernah mengalami keduanya, termasuk versi hybrid-nya. Orang yang seangkatan dengan saya rata-rata mulai bekerja sejak sebelum pandemi, dimana kalau bekerja ya ke kantor. Mindsetnya yang namanya karyawan itu mau baru masuk sampai direktur sekalipun aktivitasnya dilakukan di office, pagi berangkat sore pulang. Dulu tidak terpikir bekerja dari rumah itu memungkinkan, kecuali buka usaha sendiri.

Saat pandemi datang, seperti banyak yang lainnya saya juga bekerja dari rumah. Kantor kerepotan waktu awal-awal harus beralih dari cara kerja konvensional ke sistem remote. Tapi dua tiga bulan berlalu lama-lama terbiasa juga. Bahkan karena pandemi awalnya diperkirakan hanya sebentar tapi ternyata jadi tahunan, banyak yang baru kembali bekerja di kantor pada 2022. Menyadari bahwa WFH ada manfaatnya juga, sebagian perusahaan mempertahankannya dan menerapkan metode hybrid atau campuran WFO dan WFH.

Work From Home punya banyak benefit, bahkan term 'WFH' atau 'remote' itu sendiri menjadi sebuah benefit yang ditawarkan beberapa perusahaan dengan harapan bisa menarik talent berkualitas yang ingin bekerja dengan fleksibel, atau nampani pindahan orang dari perusahaan yang memutuskan return to office. Iming-iming bisa WFH ini sangat seksi apalagi di Jakarta dimana commuting adalah sesuatu yang menjadi momok karena macet, polusi, dan transportasi massal yang belum merata dan kurang armada. 

Argumen bahwa WFH membuat karyawan bisa bekerja lebih panjang karena waktu 1-2 jam (2-4 jam PP) yang digunakan untuk commute bisa diconvert menjadi waktu kerja efektif adalah argumen yang valid. Ketika di kantor, jam 5 sudah tenggo tutup laptop lalu jalan pulang, unreachable sampai jam 7 ketika sampai di rumah. Itupun masih bebersih dan lain sebagainya dan baru rampungan jam 8 malam. Sementara kalau dari tadi di rumah ada meeting sore yang bablas lewat jam 5 pun nggak masalah, batasannya paling adzan maghrib. 

WFH memberikan fleksibilitas pada karyawan untuk memenuhi kebutuhan lain di luar pekerjaan. Bisa nyicil kerja dulu dari pagi supaya nanti jam 10 bisa ditinggal untuk perpanjang SIM, atau di sela-sela bekerja bisa sambil membetulkan alat elektronik dan bebersih rumah. Kalau sedang kurang sehat, WFH jauh lebih nyaman untuk tetap bisa bekerja daripada harus berangkat ke kantor. Semakin panjang kebijakan WFH ini diterapkan, karyawan semakin lanyah dan terbiasa untuk memaksimalkan benefit ini hingga inginnya status quo. 

Sebenarnya dari sisi perusahaan pun sadar bahwa menyuruh karyawan return to office pasti butuh effort, minimal pasti ada resistensi. Tapi ini cara pragmatis yang bisa ditempuh dengan ekspektasi produktivitas akan meningkat karena keryawan tidak lagi bisa nyambi-nyambi. Terkini, GOTO yang dianggap sebagai salah satu kiblat start-up digital di Indonesia ramai karena mengadakan townhall untuk meminta karyawan kembali WFO 4 kali seminggu. Katanya alasannya ingin memastikan bahwa para karyawan benar-benar bekerja.

Saya tidak bisa berkomentar banyak tentang GOTO karena saya tidak tahu seperti apa dapur mereka. Faktanya di tempat kerja saya pun beda departemen bisa beda arragement kerja karena sifat pekerjaannya yang berbeda. Nah GOTO ini sudah perusahaan lain, di bidang industri yang berbeda, punya stature yang berbeda pula, siapa saya untuk berpendapat. 

Tapi meanwhile WFH banyak baiknya, menurut saya WFO tetap diperlukan. Lagi pula bukankah di kontrak kerja biasanya diatur waktu dan lokasi kerja ya, yang mana lokasinya di kantor. Dengan ini perusahaan punya dasar untuk meng-enforce WFO. Menurut saya karyawan tidak sepatutnya menolak mentah-mentah, apalagi jika ada di perjanjian kerja. Kalau punya argumen kuat kenapa WFH itu baik dan tidak mengurangi produktivitas, bisa dirundingkan dan dicari titik tengah antara WFH dan WFO, biasanya jadi hybrid.

Secara teknis pun pertemuan tatap muka di kantor ada positifnya. Brainstorming dengan ngeriung di depan papan tulis sering kali lebih efektif daripada call meeting jarak jauh. Hasilnya bisa sama-sama bagus, tapi papan tulis menang cepat. Setelah idenya dapat lalu mengerjakan bagian masing-masing, nah ini masuk akal untuk dikerjakan anywhere senyamannya. Lalu untuk peran yang mengharuskan berkoordinasi dengan banyak orang, WFO lebih praktis. Ketika butuh orang lain bisa langsung datangi mejanya dan tepuk pundaknya lalu tanya kapan bisa quick talk, tidak perlu nunggu status di Teams available.

And then this is the killer, bekerja di kantor memudahkan untuk kenal lebih banyak coworker, terutama dari tim atau divisi lain. Masalah kenal ini sering diabaikan padahal penting. Sesoliter-soliternya sebuah peran di pekerjaan pasti masih bersinggungan dengan orang lain. Manusia bukan mesin, kita punya fitur yang namanya simpati. Makanya banyak kantor mengadakan kegiatan outbond atau semacamnya, untuk membuat anggotanya saling kenal. Kalau sudah kenal lalu muncul simpati, lebih enak untuk komunikasi dan kerja sama. 

Kalau sudah kenal, ketika nanti ketemu di meeting tidak gampang terjebak debat kusir membela kepentingan masing-masing. Kepala relatif lebih dingin kalau merasa ngobrol dengan teman instead of stranger. Ketika belum kenal kalau ada perlu dikit-dikit email dengan bahasa formal, kalau lama belum dibalas nge-remindnya pakai email lagi. Sedangkan ketika sudah akrab, chat di aplikasi kantor atau whatsapp pun jadi. 

Yang kerjaannya berkaitan dengan sering minta approval atau tanda tangan, pasti setuju kalau sudah kenal lebih gampang urusannya. Saya tidak bilang bahwa lingkungan pekerjaan harus dekat seperti keluarga, saya juga tidak setuju dengan konsep itu. Tapi percayalah tatap muka dan simpati bisa membawa perbedaan. Dasarnya orang senang punya teman (yang baik).

Tempat kerja saya sendiri sampai saat ini alhamdulillah masih menerapkan mode hybrid. Untuk departemen IT dua kali seminggu masuk kantor dengan hari yang dipilih sendiri dan bisa ganti hari tiap pekannya. So far saya lihat mood sebagian besar karyawan positif. Kami-kami tidak kehilangan fleksibilitas WFH, di saat yang sama koordinasi mudah dilakukan yang pada akhirnya juga meningkatkan kebahagiaan karena bisa meminimalisir kesalahpahaman dan hambatan dalam menyelesaikan pekerjaan. 

Makanya kalau ditanya preferensi pribadi, yang paling baik menurut saya adalah hybrid. Dengan begitu sisi positif dari masing-masing arrangement dapat diraih. Kita juga mesti sadar bahwa punya pilihan untuk memilih WFH atau WFO sendiri sudah sebuah privilege. Tidak semua profesi memberikan keleluasaan ini. Lebih jauh lagi, masih dapat bekerja adalah hal yang sudah selayaknya kita syukuri.


Regards,
Chandra

Layoff


Layoff, atau dalam bahasa yang lain PHK, adalah satu topik yang agak kurang enak untuk dibicarakan karena ada yang berposisi sebagai korban di sana. Tapi meskipun sulit, sebagai orang yang pernah mengalaminya saya juga punya uneg-uneg tentang itu. Saya pernah kena layoff di perusahaan tempat saya bekerja profesional pertama kali. Sebenarnya masih ada hak saya yang belum diberikan oleh ex-perusahaan, tapi agak sulit untuk ditagih karena suatu hal, nanti saya jelaskan.

Banyak artikel sudah membahas kenapa sebuah perusahaan melakukan layoff atau PHK. Faktornya ada yang dari internal maupun eksternal. Faktor internal misalnya mismanagement, kegagalan membaca pasar, overhiring-overpay, dan fraud. Lalu dari eksternal ada kondisi ekonomi global/makro yang memburuk, persaingan, intervensi investor, dan force majeur seperti pandemi. Karena sudah banyak detail tentang itu di berbagai media, saya ingin berpendapat dari sudut pandang karyawan.

Undang-undang ketenagakerjaan memberikan beberapa hak dan kuasa karyawan di hadapan perusahaan tempatnya bekerja. Tapi dalam hal PHK, agak susah bagi karyawan untuk bicara. Jika kondisi keuangan perusahaan tidak sehat, salah satu jalan yang bisa dilakukan perusahaan adalah PHK, dan sulit bagi karyawan dan serikatnya untuk mem-veto itu. Saya bisa tulis begini karena pernah mengalaminya sendiri beberapa tahun yang lalu. Perusahaan tutup dan semua karyawan dirumahkan, apa yang bisa kami lakukan?

UU memberikan aturan main tentang PHK termasuk kompensasi apa yang berhak didapat oleh karyawan. Secara teori ini bisa sedikit meningkatkan power karyawan yang berisiko terkena PHK. Tapi tingkat ketaatan perusahaan pada aturan yang ada juga berbeda-beda. Di sisi lain, banyak karyawan yang belum/kurang melek peraturan (atau malah tidak peduli) sehingga tidak bisa mengingatkan. Ada juga yang sudah tahu tapi tidak mau atau tidak bisa menuntut perusahaan untuk menjalankannya.

Balik lagi saya mau lebih banyak bicara dari POV karyawan bukan perusahaan. Ada tiga golongan karyawan dalam hal menyikapi peraturan ketenagakerjaan: yang tahu haknya dan menuntut untuk dipenuhi, yang tahu haknya tapi tidak bisa/mau menuntut, dan yang tidak tahu haknya sehingga tidak tahu mau menuntut apa dan bagaimana. 

Golongan karyawan yang paling berdaya adalah yang pertama, dimana meraka paham aturan yang berlaku dan hak-hak yang selayaknya mereka terima. Lalu mereka secara tegas meminta perusahaan memenuhi itu dan kalau tidak mereka melakukan langkah-langkah yang diperlukan. Individu bisa melakukan ini, ada beberapa ceritanya, tapi untuk sampai di level pemahaman dan keberanian seperti ini bisanya dilakukan oleh serikat pekerja yang kuat. 

Golongan kedua ini sebenarnya cukup enlighten, tapi ada alasan yang membuat mereka tidak bisa menuntut haknya. Alasan paling banyak mungkin karena kurangnya power, individu bisa merasa sangat inferior di hadapan korporat besar. Untuk kasus saya dulu, sebenarnya kalau power sih ada, tapi lebih dominan ketidakenakan disana. Perusahaan tempat saya dulu bekerja adalah perusahaan keluarga, nyaris semua karyawannya direkrut berdasarkan hubungan keluarga atau pertemanan, dan banyak yang kerja disana bertahun-tahun. Setelah kantor tutup pun banyak yang masih keep in touch. Meskipun beberapa kali sempat memanas lagi isunya, tapi pada akhirnya lebih ke yawislah, bilangnya "tunggu aja deh ntar kapan tahun tiba-tiba ada transferan masuk". 

Golongan ketiga biasanya didominasi oleh angkatan yang baru mulai bekerja alias freshgrad. Baru selesai kuliah atau sekolah, dihantam kenyataan masuk ke dunia kerja yang tuntutannya tinggi. Menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan mengerjakan pekerjaan basic saja sering sudah keponthal-ponthal, mana sempat mempelajari undang-undang ketenagakerjaan. Sebenarnya golongan ini kasihan dan perlu dibantu, hanya saja kadang yang duluan nyemplung sebal duluan dengan angkatan baru ini karena ulah beberapa oknum tengil oversharing "one day of my life at". Lagi-lagi, nulis karena been there doing that.

Ini gejala Swiss Cheese Model ya, dimana suatu hal yang tidak diinginkan terjadi karena bertemunya multiple factors di waktu yang bersamaan. Sebenarnya mau karyawannya golongan pertama, kedua, ketiga, kalau perusahaannya comply dengan peraturan yang ada seharusnya tidak masalah. Karyawan muda lugu polos sekalipun kalau masuk di perusahaan yang manajemennya matang dan teratur relatif tetap aman dan bisa berkembang. Tapi kalau di perusahaan yang masih belum bener sana sini, mesti waspada. 

Ingat, perusahaan 'tidak baik' belum tentu karena orang-orangnya punya niat jahat, bisa saja memang baru tumbuh. Membentuk budaya dan manajemen yang kuat butuh waktu. Sebagai karyawan kita harus prepare untuk menghadapi itu karena kita tidak selalu bisa memilih untuk bekerja dimana. 

Karyawan juga harus belajar, kalau di pekerjaannya sulit untuk berserikat, minimal mau meluangkan waktu untuk membaca peraturan perusahaan. Perusahaan yang baik punya peraturan perusahaan yang sudah sesuai aturan pemerintah. Kalaupun itu belum ada juga, baca baik-baik dokumen kontrak kerja. Kalau itu juga tidak ada, berarti itu kerja kelompok bukan bekerja. Mau seegaliter apapun tempat kerjanya, perjanjian hitam di atas putih harus ada.

Hubungan pengusaha - karyawan pasti beda-beda di tiap perusahaan. Tapi keduanya punya bagiannya masing-masing dalam memajukan perusahaan, semoga itu dapat dijalankan dengan baik. Saya percaya bahwa ketika pengusaha dan karyawan sama-sama happy pekerjaan akan dapat dijalankan dengan lebih baik.

Apa yang saya tulis disini berdasarkan pengalaman pribadi, jadi mohon maaf kalau ada yang kurang sesuai. Kita bekerja niatnya kan baik ya, semoga dimudahkan dan dilancarkan dalam prosesnya. Aamiin

Rerards,
Chandra






Kenapa HP Sekarang Mahal-Mahal



sumber gambar: Kumparan



Phone prices are getting ridiculous.

Langsung ke pokok keresahan saya ya. Sejak banyaknya layanan pembelian handphone secara kredit, harga handphone jadi tidak masuk akal. Tahun 2018 seorang teman beli Samsung S8 yang mana flagship pada waktu itu seharga 8 jutaan, tahun ini Samsung mengeluarkan S23 di harga 13 juta. Untuk sama-sama versi basicnya, naiknya sekitar 50%.

Okelah kita bisa justifikasi kenaikan itu dengan mengingat bahwa 2018 itu sudah 5 tahun yang lalu, ada faktor inflasi dan perkembangan teknologi. Tapi kalau kita bandingkan versi termahalnya, S8+ atau Note waktu itu mungkin paling mahal 10-11 juta. Sekarang varian tertinggi S23 Ultra 12GB/1TB dibanderol 26 juta. Seharga Vario 150cc, tambahin dikit dapat Nmax.

Harga handphone untuk kelas midrange kenaikannya masih wajar. HP entry level baru terus bermunculan untuk mengisi slot harga bawah. Tapi kini pabrikan berani mengeluarkan spek super yang belum tentu diperlukan kebanyakan orang dengan harga sangat tinggi. Para reviewer gadget pun mengatakan bahwa fitur kamera di seri Pro Max-nya Iphone overkill untuk digunakan average user, karena levelnya sudah pro photographer. 

Saya tidak bilang bahwa semua yang beli Iphone seri Pro Max atau Samsung seru Ultra belinya dengan cara kredit. Tapi harus diakui bahwa banyaknya peluang sistem kredit ini memperbesar pasar handphone flagship secara signifikan. Cukup signifikan sehingga pabrikan merasa segmen ini profitable untuk digarap. Kalau yang memang mampu dan belinya cash mah monggo saja, konsumsi tinggi baik untuk pertumbuhan ekonomi.

Yang saya kritisi adalah sistem kreditnya, bukan produsen handphone maupun pembeli/penggunanya. Handphone mahal ini bagus bagus, not gonna lie, saya juga minat. Sementara pengguna hanya memanfaatkan sistem yang ada. Tapi soal kredit-kredit ini tampaknya masih kurang aturan. Saudara saya ada yang jadi 'korban' pinjol kredit HP. Tidak perlu keluar uang, HP sudah dikirim ke rumah. Katanya prosedurnya sangat mudah dan cepat. Tapi ketika cicilan macet ditagihnya ke keluarga atau teman.

Sistem kredit bukan satu-satunya penyebab harga handphone inflated ini. Publikasi dan media sosial juga punya peran. Tapi kalau beli handphone bisanya cash, walaupun tahu dan kepengen, masih ada barrier berupa harga kalau ingin mendapatkannya. Dengan adanya sistem kredit (setau saya bisa sampai 12 bulan), barrier itu jadi rendah atau bahkan tidak ada. Ibarat reaksi kimia yang butuh energi aktivasi tinggi untuk bereaksi, katalis ditambahkan untuk menurunkannya sehingga reaksi bisa/cepat terjadi. Sistem kredit ini adalah katalis bisnis gawai.

Meskipun menunjang perkembangan bisnis dan teknologi gadget, menurut saya regulasi sistem ini perlu diperketat. Sama dengan soal sistem pembayaran COD di marketplace, memang dia memudahkan pembeli yang belum punya atau susah mengakses rekening. Tapi dengan kenyataan banyaknya order fiktif dan kurir yang kena masalah di lapangan, seharusnya bisa ditinjau ulang. Yah tapi tidak semudah itu, pasarnya gede.

Semoga kita dimudahkan untuk membeli handphone dan barang-barang lain secara cash ya. Kalau memang jodoh sama Galaxy Z Fold 5 ya pasti Allah punya jalannya. Aamiin aamiin.

Chandra