Here I Am



"Iya Pak sekarang banyak waktu luang ini saya, kalau ada kerjaan boleh lah saya diajak"
"Wess tenang, akeh kerjaan, tak bagi"

Itu adalah kutipan percakapan saya dengan mantan dosen pembimbing semasa kuliah. Percakapan itu terjadi awal November kemarin dan saya kutip apa adanya. Memang dosen saya ini sering bicara dalam bahasa daerah di kampus sekalipun kalau lawan bicaranya orang Jawa.

Jadi sejak awal oktober saya sudah tidak bekerja di perusahaan yang lama. Bukan karena saya nggak betah lalu resign, tapi perusahaan ini terkena masalah yang membuatnya terpaksa merumahkan seluruh karyawannya. Agak pahit memang awalnya. Sama-sama pengangguran, tapi kalau sudah pernah bekerja sebelumnya ternyata lebih berat daripada kalau baru lulus kuliah.

Pertengahan Oktober saya masih mempunyai sebuah agenda penting sehingga waktu dan pikiran pasca keluar dari pekerjaan saya arahkan kesana. Namun lepas itu saya jadi merasa kaku, waktu luang jadi terasa melimpah. Maklumlah, berubah dari bekerja setiap hari jadi tidak ada aktivitas sama sekali. Sebelum keadaan memburuk sampai merasa diri ini tidak berguna, saya tahu kemana harus menuju : FTMD.

Alhamdulillah tidak sulit untuk kembali dan 'bekerja' di FTMD. Walaupun dulu selepas lulus saya langsung ngilang karena harus bekerja di perusahaan, mereka ternyata dengan senang hati menerima saya bergabung kembali. Bergabung dalam apa ? dalam tim penelitian yang sebenarnya tidak resmi tapi karena banyaknya proyek yang dikerjakan di sini jadi tenaga dosen saja tidaklah cukup, butuh lebih banyak personel.

Hanya dengan menjelaskan bahwa sekarang saya sudah tidak bekerja, available di Bandung, dan bisa ke kampus setiap hari saya langsung diberi pekerjaan. Pertama-tama baru satu proyek, tapi sekarang setelah 1,5 bulan kembali ke FTMD alhamdulillah saya ditugaskan dalam 3 proyek sekaligus, Skala proyek ini tidak kalah besarnya dengan proyek-proyek yang saya kerjakan di perusahaan dulu.

Saya bersyukur sekali atas kepercayaan yang diberikan oleh dosen-dosen dan senior. Saya jadi merasa seperti pemain bola yang ditransfer dari satu klub ke klub lain, lalu di klub barunya langsung menjadi pemain utama tanpa harus mulai dari bangku cadangan. ahaha

Itu bukan karena saya hebat, tapi karena kebutuhan personel memang mendesak. Sebelumnya beberapa proyek sampai didelegasikan ke mahasiswa tingkat 3. Jadi ketika saya menyatakan ingin bergabung langsung terbuka pintu lebar-lebar. Kedekatan saya dengan dosen saat kuliah dulu juga sangat membantu, koneksi memang penting.

Pekerjaan saya sekarang tidak jauh berbeda dengan ketika di perusahaan kemarin. Setelah saya pikir-pikir FTMD itu sendiri sudah seperti sebuah perusahaan -- disamping tugasnya sebagai institusi pendidikan. Jika kemarin saya mengerjakan proyek dari Pusdikkav TNI AD dan Sesko AU, proyek yang sekarang saya ikuti di FTMD adalah dari BIN dan PTDI.

Namun hal yang saya rasa berbeda. Bekerja dengan orang-orang di FTMD bukan hanya soal gaji, tapi lebih dari itu ada unsur trust disana, kebanggaan, apresiasi, dan...rekomendasi.

Hampir semua dosen dan asisten yang ada di FTMD adalah alumni sini juga. Ada rasa kekeluargaan karena dulu sejak mahasiswa sudah satu himpunan. Rasanya sudah bukan atasan dan bawahan, tapi hanya beda angkatan, kakak tingkat. Ini hal yang benar-benar membuat saya nyaman di lingkungan ini. Sulit dijelaskan betapa cairnya interaksi antara (mantan) mahasiswa dan dosen.

Intinya saya kagum.

Ada lagi contoh. ITB punya agenda tahunan berupa lari maraton, ITB Ultra Marathon Jakarta-Bandung, 170 km, hmm..

Kalau kuat boleh dilaju sendiri 170 km, setengah juga boleh, dibagi empat orang boleh, boleh membuat tim maksimal 16 orang. Dua tahun penyelenggaraan ITB Ultra Marathon ITB selalu mengirimkan tim, bahkan tahun ini 2 tim, relay 16 orang dan relay 8 orang.



Nama timnya Dosen Lari FTMD 2018, anggotanya dosen dan asdos. Tertua Prof Ichsan angkatan 77, termuda seangkatan sama saya 2013. Sudah nggak ada perbedaan antara pejabat rektorat, kaprodi, kepala lab, dosen galak, sampai anak yang baru lulus, laki-laki dan perempuan, semua tergabung dalam satu tim, berlari masing-masing 10 dan 20 km, dengan seragam yang sama.

Mungkin teman-teman yang membaca biasa saja, tapi saya yang mengenal beliau-beliau merinding. Pertama perlu diingat bahwa medan yang dilalui adalah jalan raya Jakarta-Bandung (bukan tol), non-stop relay artinya ada yg kebagian lari tengah malam, lalu sebagiannya udah sepuh. Kalau bukan karena latihan serius dan solidaritas lalu apa lagi?

Saya berdiri agak lama di lobby FTMD memandangi foto-foto ketika beliau-beliau berlari dan melakukan relay di titik-titik cekpoin. Kalau ada kesempatan di tahun-tahun mendatang saya ingin ikut :)

Alhamdulillah


Salam,
Chandra

Pameran Buku Paling Dahsyat



Saya tipe orang yang lumayan suka baca buku tapi malas datang ke pameran buku. Kalau mau cari buku ya ke toko buku aja nggak usah nunggu pameran, begitu pikir saya. Tapi Big Bad Wolf beda, ini bukan sekedar pameran buku tapi bisa jadi tujuan jalan-jalan.

Kabar gembira buat para pemburu buku, tahun ini BBW nggak cuma hadir di Jakarta dan Surabaya seperti tahun-tahun sebelumnya tapi ada juga di Bandung, Jogja, Balikpapan, Makassar, dan Medan. Nggak cuma di Jawa bro sis. Tapi Jakarta tetap jadi yang pertama dan mungkin yang terbesar, karena saya ragu ada gedung sebesar ICE di kota lain.

Ya, BBW Jakarta sebenarnya nggak benar-benar di Jakarta tapi di BSD Tangerang, tepatnya di Indonesia Convention Exhibition (ICE). Tempat yang paling cocok untuk pameran-pameran akbar. Auditoriumnya gede banget, di dalam kawasan elit, dekat dengan Jakarta, akses gampang. Perfect!

Saya datang ke BBW hari ke-3 pameran, tanggal 3 Maret hari Minggu. Agak salah datang hari libur karena ramenya luar biasa. Jauh lebih nyaman seperti yang saya lakukan 2 tahun lalu, BBW Jakarta 2016, yang mana waktu itu saya datang weekday dari jam 00.00 tengah malam sampai subuh. Merdeka leluasa banget milih buku, aisle-nya lengang, bisa sambil baca-baca dikit. Oh ya, pameran buka 24 jam ya.

Kalau kepepet harus datang hari sabtu/minggu/tanggal merah coba pahami psikologi masyarakat. Pengunjung yang memboyong keluarganya kemungkinan datang siang hari dan pulang sorenya. Apalagi kalau ada anak-anak. Terbukti sekitar jam 5-7 malam antrian kasir luar biasa bejubel. Antrian mengular kalau dihitung mungkin sampai 250 meter ke belakang wkwkwk. Saking panjangnya sampai ada petugas bawa tanda “Antrian mulai di sini”.



Saya kemarin datang jam 4 sore, awalnya ingin keluar sekitar jam 7 malam tapi melihat antrian sebegitu rupa jadi nggak minat, mending lanjut belanja. Akhirnya saya keluar jam 9, saat antrian keluarga sudah hampir habis dan pemburu malam belum pada datang. Sarana penunjang kehidupan lengkap kok di dalam, termasuk foodcourt.

Ada banyak cara menuju lokasi BBW Jakarta. Kalau Anda dari luar kota datanglah ke Jakarta atau Tangerang via moda transportasi yang ada. Kalau sudah di Jakarta bisa memanfaatkan taksi online atau konvensional dari manapun Anda berada. Tapi kalau mau lebih hemat disarankan mendekat dulu ke kawasan BSD dengan transportasi umum seperti Transjakarta atau KRL.

Stasiun KRL terdekat dari ICE adalah Stasiun Cisauk yang beberapa waktu yang lalu sempat viral di twitter setelah kecantikannya diupload oleh Pak Sutopo BNPB. Stasiun ini memang tampak lebih modern daripada stasiun KRL lain. Banyak ojek online siap mengantar dari stasiun ini sampai ke ICE dan sebaliknya.

Hub yang menghubungkan jalur Cisauk/Serpong/Rangkasbitung ini dengan kota Jakarta adalah Stasiun Tanah Abang, jadi kalau posisi di kota langsung saja menuju Tanah Abang.

Kalau sudah sampai di ICE, carilah Gate 7 karena ini pintu masuknya. Datanglah di waktu yang tepat biar bisa cepet masuk tanpa harus antri panjang. Nggak usah bawa makanan ke dalam karena akan disita. Alternatif kalau lapar bisa makan di foodcourt dengan harga layaknya makanan mall/event atau keluar gedung cari di luar. Keluar masuk pameran gratis dan tanpa tiket.

Saya nggak tahu kenapa BBW tahun ini kid-friendly sekali. Selain disediakan area permainan, porsi buku dan alat peraga anak di pameran ini bisa dibilang banyak, mungkin sampai 35-40% area. Jatah buku impor jadi berkurang apalagi buku Indonesia juga banyak masuk ke pameran ini. Sebuah penurunan sih menurut saya dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Tapi tak apalah, mungkin nanti kalau sudah punya anak jadi mensyukuri kondisi seperti ini. Karena sekarang datang sendiri aja jadi nggak tertarik masuk ke area anak.

Karena niat datang ke BBW bukan untuk belanja buku melainkan untuk jalan-jalan, saya tidak  menyiapkan list target buku yang mau dibeli. Prinsipnya saya datang kesana, lihat-lihat, kalau ada yang eyecathcing ambil, kalau kebablasan sampai di luar budget eliminasi beberapa buku lalu kembalikan ke tempatnya.

Kembalikan ke tempatnya ya kalau ada buku yang nggak jadi dibeli biar rapi dan nggak menyulitkan orang yang serius mau beli buku itu. Sekalian meringankan kerjaan para volunteer BBW yang bekerja shift-shiftan selama 11 hari.

Memilih buku mana yang harus dieliminasi bukan urusan gampang karena buku yang dipamerkan di BBW memang kebanyakan best seller internasional. Tapi tentu harus tetap rasional dan ingat bahwa tiga bulan lagi BBW datang ke Bandung. Artinya, sebagai responsible buyer sebaiknya beli buku sejumlah yang habis dibaca dalam 3 bulan saja, besok beli lagi kalau habis.

Saya keluar dengan hanya membawa 12 buku, itupun yang benar-benar untuk saya hanya 7, sisanya titipan dan buku yang memang saya rencanakan untuk diberikan ke orang. Kebanyakan yang saya ambil buku nonfiksi karena lagi tertarik dengan yang semacam time traveller, sejarah manusia, teknologi luar angkasa & interstellar, dan hal-hal yang menjadikan tampak keren kalau kita bisa ngobrol soal itu wkwkwk

Kalau harga buku-buku yang dijual di BBW diplot dalam grafik nantinya akan muncul distribusi normal dimana mayoritas buku dijual antara 70-90 ribu. Kalau dilihat harganya saja memang jadi nggak murah-murah amat walaupun sudah didiskon 60-80% (menurut poster), mending beli di gramedia atau togamas, mungkin ada yang mikir begitu.

Tapi hanya sedikit buku BBW yang bisa didapat di Gramedia, itupun paling versi terjemahan bahasa Indonesianya. Kalau datang ke Periplus atau Books&Beyond mungkin lebih banyak dan versi English, tapi harganya diatas 300 ribu, begitu pula kalau beli online. Jadi worth it banget beli buku di BBW sampai para penyedia jastip banjir orderan gara-gara banyaknya peminat buku-buku berkualitas ini yang nggak bisa datang ke tempat pameran.

Hari ini (12 Maret) BBW Jakarta 2019 sudah berakhir. Untuk kamu-kamu yang belum sempat datang atau yang masih lapar mari sama-sama kita tunggu kehadiran BBW Bandung beberapa bulan lagi.
See you!

Salam,
Chandra