Ilmu Logika : Cerita Warung Kopi



Seorang pengacara kasus korupsi masuk ke sebuah warung kopi. Dengan wajah kusut ia duduk di salah satu sudut. Yang ia inginkan saat itu adalah menjauh dari semrawutya urusan pekerjaan dan mengambil sedikit jeda, semoga cukup untuk membuat pikiran lega dan sejenak lupa dengan urusan perkaranya. Klien yang tidak jujur dan banyak mau serta kenyataan bahwa korupsi itu benar terjadi cukup membuatnya pusing tujuh keliling.

Warung kopi itu adalah milik Yanto. Sesungguhnya ini hanyalah warung kopi sederhana di salah satu gang di sudut kota Jakarta. Sebenarnya tidak cocok dengan profil dan penampilan sang pengacara. Dengan jas dan dasinya dia seharusnya masuk ke kedai kopi di mall-mall yang menyajikan berbagai jenis racikan kopi. Sedangkan warung kopi Yanto hanya menyediakan beberapa merk kopi sachet, gorengan, dan indomie sebagai maincourse-nya.

Bermodal keramahan, Yanto menghampiri sudut meja tempat pak pengacara duduk lalu bertanya.

"Kok saya perhatikan dari tadi ngalamun saja Pak ? Mau dibikinkan kopi ?", tanya Yanto.

"Iya Mas, lagi pusing soal kerjaan ini", jawab pak pengacara.

"Kalau boleh tahu bapak ini kerjanya apa ya ?"

"Saya pengacara"

"Pengacara itu kerjanya ngapain ya Pak ?"

"Yaa begitulah Mas, susah dijelaskan, kerja dengan logika pokoknya"

"Saya ini cuma tukang kopi Pak, mbok bahasanya jangan tinggi-tinggi, logika itu apa ya Pak ?"

"Hmm..gini aja saya contohkan. Saya lihat disitu ada akuarium tuh, pasti kamu penyayang binatang, kemungkinan di rumah punya kucing atau anjing".

"Oh iya Pak betul, saya punya kucing, dua kucing saya".

"Oke, kalau sayang binatang harusnya kamu sayang keluarga juga. Kalau dilihat umurnya harusnya sudah punya anak, betul ?"

"Wah betul Pak, anak saya satu perempuan"

"Kalau begitu pasti sudah menikah"

"Ya jelaslah Pak, mosok belum"

"Kalau gitu bisa saya simpulkan kamu bukan LGBT"

"Astaga, jelas bukan lah Pak, amit-amit. Wuuh hebat dari akuarium bisa tahu kalau saya nggak LGBT. Jadi itu kerjaan logika yaa Pak, terima kasih saya paham."

"Sudah sana, bikinkan saya kopi"

Pembicaraan yang seru ini mengundang perhatian dua pengunjung lain warung kopi tersebut, Salah satu dari mereka bertanya.

"Ngobrolin apa eh Pak kok kayak serius banget ?", tanya dua orang itu.

"Logika le"

"Wah..logika itu apa Pak ?"

"Susah, kalian nggak akan paham", kata Yanto dengan nada guyon.

"Gini, tak kasih contoh aja", kata Yanto melanjutkan,"kalian punya akuarium nggak di rumah ?"

"Enggak", jawab kedua orang itu sambil agak bingung.

dengan lantang Yanto menjawab, "berarti kalian homoo!!!"

***

Kisah di atas terinspirasi dari sebuah sharing session di Youtube. Ada dua hal yang bisa kita petik dari cerita tersebut.

Pertama, betapa seringnya kita terburu-buru mengambil kesimpulan atas sesuatu yang kita tidak tahu ada apa di baliknya. Kita terbiasa pegang satu ujung dan langsung loncat ke ujung yang lain, tanpa merunut satu-satu apa yang ada di antaranya.

Kita terlalu malas untuk membaca paragraf-paragraf berita sehingga membagikannya begitu saja di media sosial. Kita juga merasa sibuk dan tidak punya waktu untuk menonton video di YouTube sampai akhir dan langsung berkomentar pedas hanya bermodal membaca judul dan melihat thumbnail-nya.

Entah itu faktor budaya literasi yang rendah, kebiasaan sekolah yang mementingkan tahu daripada paham, atau memang secara genetik kita punya tingkat rasa ingin tahu yang kurang. Hmm mungkin yang terakhir itu salah, rasa ingin tahu kita tinggi, tapi sering ditempatkan pada hal-hal yang tidak begitu penting.

Kedua, dalam cerita itu Yanto melihat dengan begitu sempit hubungan antara akuarium dan (maaf kalau tabu) orientasi seksual. Pak pengacara menyambungkan dua hal itu untuk memberikan ilustrasi yang mudah dipahami, tapi tentu hubungannya tidak sesederhana dan sesempit itu.

Dalam banyak hal kita memandang sesuatu dari lubang kunci. Perspektif kita sangat sempit sehingga mudah menyalahkan, mudah marah, dan selalu ingin menghakimi. Kita tidak bisa melihat alasan-alasan lain yang menjadi latar belakang terjadinya sesuatu. Kita mencaci orang yang ugal-ugalan di jalan karena kita tidak terima disalip, tapi siapa tahu dia sebenarnya sedang buru-buru ke rumah sakit karena ada saudaranya yang kecelakaan.

Orang disebut dewasa jika sudah bisa menemukan posisi salahnya pada setiap kejadian. Atau setidaknya dia bisa memaklumi dan memahami posisi benarnya orang lain.

Sekian cerita dari warung kopi, semoga punya arti.

-Chandra-

Apple Hanya Punya 90 Hari



Apple saat ini merupakan salah satu perusahaan teknologi terbesar di dunia dengan brand value mencapai 300bn USD. Pendapatan Apple naik dari 8bn USD pada 2004 menjadi 230bn USD pada 2015, luar biasa. Salah satu produknya, iPhone, terjual lebih dari 200 juta unit pada tahun 2017 di seluruh dunia. Tapi, flashback ke tahun 1997an, sekitar dua puluh tahun yang lalu, Apple adalah perusahaan yang hampir bangkrut.

Eksklusivitas sudah menjadi roh Apple sejak dilahirkan. Sederhananya, mereka menjual hardware dan software secara bundling, berbeda dengan Microsoft yang melepas softwarenya untuk dapat digunakan pada hardware manapun dan membuat produsen hardware saling jotos sementara Microsoft foya-foya dengan besarnya marketshare mereka.

Ekskusivitas ini membuat dari dulu hingga sekarang harga perangkat komputer Apple mahal. Pada tahun 1997 ketika hampir bangkrut itu harga Apple tidak sesuai dengan keinginan orang-orang dimana komputer kebanyakan digunakan untuk bisnis dan perkantoran. Microsoft menguasai 90% pengguna komputer.

Timpangnya jumlah user Microsoft dan Apple membuat pengembang perangkat lunak seringkali mendesain produknya kompatibel dengan OS Microsoft saja, tidak bisa dijalankan di Mac. Kondisi ini membuat penjualan komputer Apple semakin lesu. Apa gunanya membeli komputer kalau tidak ada program yang dapat dijalankan di dalamnya. Nilai saham Apple anjlok. Pada satu titik mereka punya cadangan cash yang cukup untuk bernapas hanya selama 90 hari. 

Pada saat-saat sulit ini, Steve Jobs yang sebelumnya sempat didepak ditarik lagi sebagai leader. Menghadapi persoalan perusahaan terancam bubar, tanpa berlama-lama petinggi Apple mengambil keputusan yang sangat mengejutkan. Bahkan orang-orang Apple sendiri pun banyak yang tidak percaya.

Mereka mencari investor untuk mendapatkan dana segar. Banyak pihak dihubungi untuk ditawari kerjasama. Namun, kesepakatan akhirnya tercapai justru dengan rival abadi mereka : Microsoft.

Di Macworld Boston Steve Jobs berdiri di panggung. Bukan untuk merilis produk terbaru Apple, melainkan  mengumumkan kerja sama dengan Microsoft. Tidak semua orang setuju. Ketika Steve berkata bahwa Microsoft Office akan dijalankan di Mac butuh waktu beberapa detik untuk orang percaya dan mulai bertepuk tangan. Bahkan ketika dikatakan bahwa Internet Explorer akan menjadi browser standar di Mac lebih banyak yang bersorak huuuu.

Dengan riwayat panjang mengenai perseturuan soal hak paten, petinggi Apple pasti sadar bahwa keputusan ini tidak akan dengan mudah diterima oleh setiap orang di Apple. Pasti ada orang yang secara personal 'membenci' Microsoft. Persaingan Apple dan Microsoft sama seperti Nike vs Adidas, Rossi vs Marquez, atau fans Barcelona vs fans Real Madrid.

Tapi setelah dua puluh tahun, terbukti bahwa keputusan yang diambil Apple saat itu untuk menerima investasi dari Microsoft sangatlah tepat. Kini Apple menjadi perusahaan raksasa dengan brand yang sangat prestisius. Ada beberapa hal yang dapat dipelajari dari shocking deal antara Apple dan Microsoft ini

Pertama, bahwa pada semua level tolong menolong itu perlu. Steve Jobs dan Bill Gates tahu hal itu, maka kerjasama ini tercapai. Nampaknya memang dalam kasus ini Microsoft menyelamatkan Apple, namun faktanya Apple juga menyelamatkan Microsoft dari tuntutan hukum yang mengancamnya disebabkan dugaan kecurangan bisnis dan monopoli. Kelangsungan hidup Apple adalah angin segar juga bagi Microsoft karena persaingan tetap berjalan. Jika orang sekeras Steve Jobs dan Bill Gates saja saling menyelamatkan, kenapa kita saling menjatuhkan ?

Kedua, idiom mundur satu langkah untuk maju tiga langkah memang nyata adanya. Bahkan dalam kasus ini Apple seperti mundur beberapa langkah dengan menerima Microsoft sebagai partner. Petinggi Apple pasti tahu akan ada gejolak di intern mereka. Tapi pahit pun harus diambil untuk menghidari keburukan yang lebih besar.

Ketiga, memang Steve Jobs jago negosiasi. Kepemilikan saham Apple oleh Microsoft senilai 150 juta USD adalah berupa non-voting stocks. Artinya walaupun memegang saham, Microsoft tidak akan ikut campur urusan rumah tangga Apple. Apple dapat tumbuh sesuai yang mereka inginkan. Eksklusivitas tetap mereka pertahankan hingga sekarang dan menjadi alasan orang-orang mau membeli walaupun harga produknya tinggi. Apple tidak dijajah oleh Microsoft. Maka tetap jadilah dirimu sendiri.

Mengikuti cerita Apple dan Microsoft tidak akan ada habisnya. Dua kubu ini akan terukir dalam sejarah sebagai The Innovators, punya peran sangat besar dalam kemajuan teknologi digital pada khususnya dan kemajuan peradaban pada umumnya karena Microsoft + Apple (+ Linux) = 99.99% penggunaan komputer dunia.