Bus: Biarkan Tetap Sederhana


Segala yang pertama biasanya berkesan, itu pula yang saya rasakan waktu kemarin untuk pertama kalinya naik bis AKAP komersial semenjak dewasa. Pernah sebelumnya naik bis ke luar kota, tapi bis carteran untuk serombongan. Seminggu yang lalu atas seijin istri akhirnya kesampaian ngebis dari Jakarta ke Tegal.

Kali ini keperluannya adalah menghadiri pernikahan teman kuliah sekaligus teman sekosan yang acaranya di daerah sekitar pemandian air panas Guci, Tegal. Saya baru tahu kalau lokasi ini jauh dari Kota Tegal. Menimbang opsi transportasi yang tersedia, bis tampak sebagai pilihan terbaik karena bisa turun di Kabupaten Tegal yang sudah lebih dekat, tepatnya di kecamatan Slawi. Sementara kalau via kereta harus turun di Tegal atau Prupuk yang cukup jauh dari lokasi.



Selama ini saya lebih memilih kereta sebagai moda transportasi untuk ke luar kota (Jawa). Alasannya peace of mind, lebih tenang dan jelas. Lebih jelas jadwalnya, rutenya, lokasi pemberhentian, hingga sistem pemesanan dan layanan pelanggan. Terutama setelah revolusi kereta api di era Pak Jonan ya, segalanya jadi modern, teratur, dan jelas.

Ketika kereta api sudah senyaman itu dan penerbangan sudah punya sistem sendiri dari dulu, manajemen perjalanan bis rasanya masih begitu-begitu saja. Meskipun beberapa armada mulai menjual tiket secara online, prakteknya sebagian besar tiket bis masih dijual melalui agen-agen di lapangan. Tiketnya pun masih ditulis tangan. Bahkan saya yang punya PDF hasil booking online akhirnya perlu menukar tiket ini dengan tiket manual dari agen. 




Walaupun para agen mungkin sudah bersepakat soal jatah tiket dan saling berkomunikasi, selama tiketnya masih manual menurut saya masih mungkin ada tiket yang overlap, dua penumpang punya nomor kursi yang sama. Apalagi kalau di tengah jalan harus pindah bis karena transit beda tujuan. Ticketing kereta yang diatur by system tentu bisa mengeliminasi kemungkinan ini, tapi bis tidak. Walaupun ketika di lapangan saya lihat penumpang bis ini lebih santai masalah nomor kursi jika dibandingkan penumpang kereta.

Mestinya saya kemarin berangkat dari terminal Grogol pukul 19.00. Faktanya, bis baru sampai terminal jam setengah 8 lebih dan baru berangkat menjelang jam 8. Kalau naik pesawat dan kereta kita bisa dapat estimasi delay sehingga tahu kapan harus bersiap. Sementara untuk bis, kita tanya agennya pun dia tidak bisa memastikan jam berapa bisa akan masuk. Yang bisa dilakukan hanya duduk-duduk sambil ngobrol dengan sesama penumpang. 

Di terminal banyak hal yang terjadi. Sejak masuk kawasan terminal calon penumpang sudah langsung didekati calo untuk ditanya tujuannya kemana. Mau sudah pegang tiket pun tetap ditanya. Lalu ketika menunggu di dalam bisa meskipun naiknya bis eksekutif pun tetap ada pedagang dan pengamen yang naik, 3 kali hanya dalam kurun waktu 15 menit. Vibe-nya terminal itu lho, lebih mudah dirasakan daripada dijelaskan.

Tapi salah satu enaknya pakai bis ya, kita bisa turun di berbagai titik selama itu masih di jalurnya, tidak harus sampai ke terminal kalau itu lebih jauh dari lokasi tujuan. Beberapa saat setelah berangkat kondektur memeriksa tiket sekaligus mencatat di mana nanti setiap penumpang akan turun. Masinis kereta punya manifest penumpang di ponsel, kondektur mencatat di buku batik.



Tapi apakah segala kesederhanaan dan chaos itu selalu yang buruk? Menurut saya belum tentu. Karakter perjalanan bis yang 'no order' membuat beberapa hal jadi lebih luwes. Mau beli tiket tinggal datang ke terminal atau agen bis, telat-telat dikit biasanya masih ditunggu, mau pembatalan tinggal deal-deal-an sama agen, lupa bawa makanan ada yang jual, dan lain sebagainya.

Masalah bis yang kadang ngaret tidak masalah bagi orang yang tidak ketat soal waktu. Dari Jakarta jam 7 malam sama saja nanti mau sampainya jam 3 atau jam 5, tidak perlu sedetail sampai tujuan jam 03:23. Lalu meskipun ticketing-nya belum rapi-rapi amat, jangkauan bis bisa sampai kabupaten-kabupaten kecil yang tidak dilayani kereta. Contohnya Bantul dan Gunungkidul tidak punya stasiun kereta yang beroperasi, tapi bis Rosalia Indah bisa punya rute sampai Kecamatan Semin di rural Gunungkidul.



Hal-hal seperti pedagang masuk bis, tiket yang masih tulis tangan, transit yang kadang kurang jelas, dan ketidakprofesionalan yang lain tadi selama tidak mengorbankan keamanan dan masih bisa diterima penumpang saya pikir nggak masalah. Bis punya pasarnya sendiri yang mungkin justru menikmati semua itu. Kalau sistem bis dibuat 'in order' seperti kereta dan pesawat mungkin justru bis akan kalah saing. Bis punya lahannya sendiri dan sebaiknya tetap disana.

Bolehlah terminal-terminal dibersihkan supaya tidak becek dan kriminalitas diberantas agar keamanan pengguna jasa terjaga. Sisanya biarkan yang sederhana tetap sederhana dan luwes, apa yang mudah tidak perlu dipersulit. Sedikit chaos tidak selalu buruk. 

Btw feel free to disagree ya, teman-teman yang lebih sering pakai bis pasti lebih banyak punya pengalaman. Cheers!