Baperan


I feel exposed! Lahir dan besar di tengah budaya yang penuh sopan santun dan andhap asor membuat treshold baper saya rendah ternyata. Bukan baper dalam artian romantis, tapi yang lebih umum. Ibukota dengan segala efisiensinya yang sudah mengakar bertahun-tahun tidak bisa menerima itu.

Belum saya temui di tempat lain terjadi orang beradu argumen secara keras menjurus kasar dan pribadi di ruang meeting only to be seating in the same table in coffee shop right after. Pertengkaran jarang sekali terjadi di kampung kami. Tapi sekali terjadi efeknya tidak bicara dari mingguan hingga bulanan. Gegar budaya.

Kebiasaan nggak bisa bohong. Otot yang sering dilatih menahan beban akan tumbuh, sebaliknya bisa menyusut karena terlalu banyak nganggur. Otak ter-wires untuk terbiasa merespon skenario A jika itu lebih sering terjadi daripada skenario B. Jadi kemampuan menghandle ketidaknyamanan dalam jangka waktu yang cukup lama sangat mungkin berujung terbiasa dan semua jadi baik baik saja.

Andai Golden Ways Masih Ada




Setiap Minggu malam, saya dulu selalu siap di depan TV untuk nonton Mario Teguh Golden Ways. MTGW adalah sumber quote-quote motivasi saya jaman SMP-SMA. Dari acara ini pula saya jadi tahu ada profesi yang namanya motivator. Saya follow Pak Mario di facebook sejak jumlah pengikutnya masih kurang dari 1 juta. Saya nonton MTGW sejak orang-orang masih mengira itu acara kerohanian non-muslim.

Agak sedih ketika kemudian Pak Mario terkena masalah berkaitan dengan kehidupan pribadinya dan MTGW tidak tayang lagi. 

Sebagai anak sekolah, quote-quote yang muncul dalam Golden Ways sebenarnya sering tidak relate. Saya maklum karena target utama tayangan itu adalah golongan pekerja di perkotaan. Saya jadi terbiasa cocoklogi menghubungkan kata-kata motivasi itu dengan problematika anak sekolah -- yang baru kemudian saya sadar bahwa tidak ada apa-apanya dibandingkan masalah orang dewasa.

Dari caranya tampil dan bicara, saya melihat Pak Mario ini seperti seorang bos perusahaan multinasional yang sudah sangat sukses dan selesai dengan dirinya sendiri lalu turun gunung membantu anak muda yang baru merangkak naik. Secara teknis memang begitu, beliau adalah mantan vice-president bank. Sekarang beliau memanfaatkan FB dan YouTube sebagai media komunikasinya. Tapi andaikan MTGW masih ada itu akan sangat berguna.

Hari yang Berat? Sama


Dalam sepakbola ada yang namanya statistik expected goal (xG). Sekarang angka xG inilah yang sering dipakai pengamat untuk menilai apakah suatu tim bola bermain dengan baik. Jumlah asli gol mulai dipinggirkan dalam hal analisis karena kadang-kadang memuat unsur keberuntungan. Statistik xG mengeliminasi faktor-faktor itu sehingga penilaian lebih akurat.

Dalam suatu pertandingan suatu tim bisa saja mencetak gol lebih banyak daripada xG-nya. Misal xG 1,5 tapi berhasil membuat 4 gol. Artinya tim ini antara beruntung, penyerangnya terlalu jago, atau bek lawan yang lawak. Menang sih, tapi dari kacamata pengamat atau data scientist tim hal macam ini kurang disukai, menangnya karena bejo.

Sebaliknya bisa saja jumlah gol tercipta kurang dari xG. Ini bisa terjadi karena tim ini kurang beruntung atau pertahanan lawan terlalu rapat. Dalam jangka panjang, kejadian ini lebih diinginkan. Kalau kalah sesekali nggakpapa, kalau menang berarti karena kualitas.

Sama bola sama pula sekolah. Rangking yang diberikan di kelas-kelas adalah jumlah gol, belum tentu mencerminkan kualitas sebenarnya. Bisa jadi orang ranking teratas tapi karena beruntung, nyontek, atau memang punya bakat jadi bisa juara tanpa usaha. Dalam jangka pendek bagus, tapi pondasinya rapuh.

Orang seperti ini belajar secara sporadis, pokoknya yang penting hasil akhir. Gol dianggap lebih penting karena itu yang dilihat kebanyakan orang. Tanpa sadar jumlah golnya jauh melebihi xG. Pada saatnya ketika xG lebih diperhitungkan, dia tumbang.

Sebaliknya ada orang yang tidak selalu terdepan tapi mampu mempertanggungjawabkan hasil dengan proses yang dilakukan. Tidak tampak spesial di luar, tapi pondasinya kuat. Orang lurus pasti ada saatnya bersinar.

Hmm..namanya juga hidup, kadang-kadang kudu dipithes

Ridwan Kamil




Saat ramai-ramai aksi menentang pengesahan UU Ciptaker kemarin, sejauh penglihatan saya Ridwan Kamil adalah gubernur yang pertama menemui peserta aksi dan bersuara menyatakan diri berpihak pada pihak pekerja/buruh/mahasiswa. Ada yang mengapresiasi tindakan tersebut, namun tidak sedikit pula yang mengatakan RK hanya cari panggung, colongan kampanye untuk 2024. Good gesture, questionable motives katanya.

Hanya Ridwan Kamil dan orang-orang terdekatnya yang tahu motif sebenarnya. Sama seperti ketika beliau mengajukan diri menjadi volunteer untuk ujicoba vaksin Covid-19. Ada yang nyinyir bahwa itu tipu-tipu dan RK tidak benar-benar divaksin, sampai-sampai harus di-debunk oleh Ridwan Kamil sendiri lewat instagram beliau. Not sure if it is a campaign, but it works. 

Pilpres 2024 masih lama dan banyak plot twist masih bisa terjadi. Tapi andaikata pemilu diadakan tahun ini (dan tidak ada pandemi), saya akan pilih Ridwan Kamil. Bahkan kalau apa yang terjadi beberapa waktu terakhir dinihilkan, saya sudah punya cukup alasan untuk memilih beliau.

Throwback ke tahun 2013. Ridwan Kamil terpilih menjadi Walikota Bandung setelah mengantongi lebih dari 45% suara. Angka yang menakjubkan dan langka mengingat saat itu ada 8 pasangan calon, iya delapan, empat berpartai empat independen. Peringkat kedua dan ketiga hanya mendapat 17 dan 15 persen suara. Edan.

Yah siapa yang nggak silau dengan CV Ridwan Kamil waktu itu. Tergolong angkatan muda, track record bersih, nonpartisan, golongan profesional, dan yang paling penting orang bandung aseli. Angin segar untuk Bandung setelah pemimpin sebelumnya terjerat kasus korupsi.

Tahun 2013 itu pula saya menginjakkan kaki di Bandung untuk kuliah. Waktu daftar ulang ITB di Bulan Mei, spanduk cawalkot ada dimana dimana, Agustusnya ketika masuk kuliah Ridwan Kamil sudah jadi calon walikota terpilih. Saya yang baru datang sekalipun merasakan optimisme yang tumbuh di tengah masyarakat Bandung bahwa kota ini bisa maju. Apalagi di jagad dunia maya, barudak bandung merasa punya walikota yang bisa dipamerkan pada teman-teman dari kota lainnya. 

Agak jarang di jaman itu ada pejabat yang aktif di sosial media, padahal itu cara mudah dan murah untuk dekat dengan rakyat. Ada pimpinan daerah yang trending karena keberhasilannya memajukan wilayahnya. Tapi RK sudah jadi sensasi bahkan sejak hari pertama menjabat, sebelum benar-benar melakukan apapun untuk kotanya.

Saya masih ingat hal-hal yang awal dilakukan ketika mulai menjabat adalah memerintahkan seluruh pejabat Kota Bandung untuk aktif di twitter. Waktu itu twitter adalah sosial media terbesar dan banyak akun-akun macam JogjaUpdate, InfoBandung, dll yang menjadi tempat masyarakat sambat termasuk soal problematika kota. Di Bandung orang yang berwenang disuruh turun gunung memantau keadaan di sosial media. 

Selain itu, mudah ditebak bahwa Ridwan Kamil akan membangun dan mempercantik infrastruktur fisik kota sesuai latar belakang akademiknya, arsitektur dan urban planning. Disebut membangun saja tidak cukup karena faktanya fasilitas yang dibangun selalu memperhatikan estetika. Salah satu karya paling mahsyur ketika itu: Taman Jomblo.

Taman Jomblo | Tribun


Zebra cross Bandung | Merdeka.com


Dalam beberapa bulan muncul taman-taman baru di Bandung. Tanah kosong di tengah kota didandani, kolong jembatan layang dan bantaran sungai disulap jadi tempat bermain. Mural dan seni jalanan difasilitasi untuk menghasilkan karya yang bagus dan rapi. Slogan Bandung Creative City terus didengungkan. Anak-anak muda digerakkan untuk berkreasi, bahkan dibuatkan gedung sendiri yang dinamai Bandung Creative Hub.

Mobilisasi anak muda paling masif tentu ketika peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika. Ribuan anak muda menjadi volunteer tanpa dibayar. Saya adalah satu diantaranya, rasanya senang sekali mendapat kesempatan berkontribusi untuk Kota Bandung dan bekerja di bawah kendali Ridwan Kamil.

Volunteer gathering Peringatan 60 tahun KAA | Svaradiva.id

Setelah proyek-proyek kreatif, infrastruktur fungsional mulai dikebut seperti perbaikan gorong-gorong, trotoar, jalan, dan jembatan layang. Infrastruktur yang flop tentu juga ada, misalnya Teras Cihampelas yang hangat hangat tai ayam, hanya rame di awal. Tapi jumlah yang gagal ini minor kalau dibandingkan dengan keseluruhan pembangunan. Overall Bandung tetap sebuah kota yang rapi dan nyaman, kota dimana saya bisa mengerjakan soal mekanika fluida di sebuah taman.

Taman Musik, pernah garap tugas disini | Phinemo.com

Ridwan Kamil mengakhiri masa jabatan sebagai Walikota Bandung pada 2018 tanpa meninggalkan record berbau dugaan korupsi atau semacamnya. Kalau dibilang kecolongan mungkin dalam hal pembangunan yang tetap berjalan di kawasan Bandung utara. Tapi ini pun tidak benar-benar dalam kontrolnya karena kawasan itu bukan hanya meliputi wilayah administrasi Kota Bandung saja tapi juga Kabupaten Bandung Barat.

Saat terpilih menjadi gubernur Jawa Barat saya sudah tidak terlalu merasakan influencenya seperti ketika menjadi walikota. Lagipula saya pindah dari Bandung tahun 2019. Tapi melihat keberhasilannya mengalahkan duo Dedi dan pasangan Asyik (bandwagon Prabowo-Sandi dan Anies Baswedan dengan pendukung super militan) rasanya bisa disimpulkan kalau masyarakat tetap percaya pada RK.

Apa yang saya rasakan ketika tinggal di Bandung plus beberapa sentimen lain seperti kesamaan almamater menjadikan saya punya penilaian yang tinggi pada seorang Ridwan Kamil. Andai saya masih sekolah, beliau adalah orang yang saya harapkan hadir menjadi pembina upacara di hari senin pagi.

Kembali ke Jogja?


Drama-drama 2020 menggariskan saya untuk test drive merasakan WFH yang benar-benar WFH karena dikerjakan dari rumah bukan kosan. Saya sudah pulang 2x, masing-masing satu bulan dan dua minggu. Pulangnya karena ada keperluan, tapi extend-nya karena belum perlu ke kantor dan rasanya lebih aman tetap disana.

Untuk teman-teman yang memang ada kepentingan atau sudah sangat rindu pulang, pulang saja nggakpapa. Pastikan badan dalam kondisi sehat dan bugar. Seminggu sebelum tanggal perjalanan jaga diri baik-baik dan tingkatkan standar prokes minimal di diri sendiri. Siapkan masker, face shield, hand sanitizer dan jangan lupa dibawa pas jalan. Jangan lupa tes rapid atau swab dan tetap berdoa semoga diberi keselamatan. 

Saya khawatir kalau menunggu pandemi selesai atau vaksin valid bakal sampai tahun depan. (P.S. tanggal 9 Desember masih ada rame-rame pilkada...)

Total 1,5 bulan kerja dari Jogja membuat saya menyimpulkan: kerja di Jogja itu enak banget asal gaji tetap ngikut Jakarta wkwkw

Saya mungkin ada bias sebagai orang Jogja. Masyarakat Jogja adalah masyarakat yang kebanggaan akan daerahnya tinggi. Jadi mohon dimaklumi kalau orang Jogja bias dalam menilai sesuatu tentang kotanya. Kadang disengaja, kebawa romantisme daerah istimewa.

Kembali ke WFH, rumah saya tidak ada WiFI karena pernah mau pasang tapi jaringannya belum sampai. Tethering dari HP jadi andalan ketika kerja dari rumah. Kuota lebih boros tapi nutup karena nggak perlu transport dan jajan. Beranjak sedikit dari laptop di meja makan sudah ada pisang goreng anget.

Kalau butuh internet yang kencang dan bisa diandalkan, sesekali saya ke kota. Pernah saya tuliskan di sini: https://www.chandranurohman.id/2020/08/45-menit-di-jalan.html

Keluar rumah = kulineran. Self reward afterwork jadi sangat menyenangkan karena dimana mana makanan murah dan enak. Makanan mahal dan enak ada juga sih, tapi mahalnya Jogja tetep bukan tandingannya ibukota. Kalau yang mahal dan gak enak jarang. Mie ayam 12 ribu udah sama minumnya dan enaknya gak kira-kira (re: Karman). 

Faktor lain yang membuat betah kerja dari Jogja adalah orang-orangnya. Walaupun sebagian sudah merantau, tapi masih banyak teman dan saudara yang tinggal di Jogja. Nggak tau ya, tapi di Jogja itu sering kalau mau main nggak usah janjian dulu, langsung datang aja ke rumah atau tempat nongkrongnya. Kalau ke rumah dan nggak ketemu, ya ngobrol aja sama bapaknya. Berasa orangnya selo selo gampang dicari, nggak kemrungsung dikejar dunia.

Jujur saya jadi kepikiran untuk kerja dari atau di Jogja. Tapi syarat dan ketentuan berlaku, offer harus cocok dulu. Di sisi lain sekarang banyak bermunculan kantor-kantor teknologi dan startup di Jogja. Bahkan kemarin ketemu seorang teman dan dia mem-forward info lowongan software engineer. 

Jogja punya banyak kampus dengan keilmuan teknik yang bagus, banyak anak muda lokal dan pendatang, biaya sewa tempat dan sumber daya murah, dan akses makin mudah dengan bandara baru dan tol. Kayanya 3-5 tahun yang akan datang bakal makin banyak bermunculan kantor digital di Jogja. Secara ladang ada kemungkinan untuk balik kesana.

Tapi di atas itu semua alasan terkuatnya adalah keluarga. Orang tua di Jogja dan sepertinya memilih untuk tetap disana. Bersama mereka satu bulan lebih menyadarkan saya bahwa ketika kita sibuk mengejar cita-cita kadang kita lupa mereka juga menua. 

Opsi untuk dalam tahun-tahun ke depan berkarir di Jogja kembali saya buka. Filter job vacancy sekarang tidak hanya DKI Jakarta tapi juga D.I.Yogyakarta. Saya belum tahu jalannya akan bagaimana jadi tidak mau mengkhayal di awang-awang. Tapi kalau niatnya untuk menemani orang tua, semoga Allah berikan rute paling mulusnya. Aamiin

Finally, hari ini tanggal 2 Oktober selain hari batik adalah hari ulang tahun ibu saya. Mohon doanya beliau sehat dan bahagia. 

Thanks!


Sponsor Rokok


Kalau suatu saat akrab sama orang barat atau malah tinggal di negeri barat, ada pertanyaan yang ingin sekali saya tanyakan ke mereka, kenapa mereka anti tembakau tapi pro alkohol?

Begini begini, hipotesis saya ini sangat mungkin salah karena referensi utama saya adalah balapan Formula 1. Sejak tahun 2006, FIA selaku panitia balapan Formula 1 melarang adanya iklan produk tembakau atau rokok dalam event olahraganya. Larangan ini tidak lepas dari dorongan dari WHO dan negara-negara tempat balapan dihelat. Sementara itu iklan produk-produk alkohol masih diijinkan sampai sekarang.

Saya coba mengesampingkan bias yang mungkin terjadi karena saya orang Indonesia dan muslim yang normalnya menganggap rokok masih mending daripada minumal beralkohol. Tapi meski begitu dalam benak saya tetap logisnya kalau tembakau dilarang seharusnya alkohol juga dilarang, atau sebaliknya dibolehkan dua-duanya saja.

Saya sebagai penonton tidak lantas pengen ngrokok hanya karena lihat iklan rokok. Apalagi di Indonesia iklan rokok ada di mana mana di seluruh sudut kota, sudah kebal. Lagipula sponsor-sponsor rokok di body mobil F1 punya nilai nostalgia dan membuat tampilan tampak lebih maskulin.


Karena larangan iklan rokok ini, Ferrari yang pada era Schumacher sangat identik dengan logo Marlboro-nya mengubahnya menjadi barcode yang katanya kalau dilihat sekilas dalam kecepatan tinggi akan mereplikasi logo Marlboro. 

Sekarang logo barcode berubah lagi menjadi Mission Winnow yang ternyata adalah bagian dari gerakan CSR-nya Phillip Morris International, pemilik merk Marlboro. Hal serupa dilakukan McLaren dengan A Better Tomorrow-nya yang ternyata milik British American Tobacco.


Negara seperti Australia lebih ketat lagi sampai sampai Ferrari dan McLaren harus menghapus logo yang nyrempet-nyrempet rokok itu. Kalau kata kementerian kesehatan Australia :

The laws aim to limit messaging that may persuade people to start or continue using tobacco.

Salut sih dengan keberanian pemerintah Australia melawan kapitalisme rokok. Padahal Phillip Morris sudah membayar Ferrari lebih dari 150 juta dollar untuk memasang logo Misson Winnow. Kebijakan yang nggak bisa 'dibeli', Ferrari tetap muncul di balapan polosan.

Kembali ke pertanyaan awalnya, kalau iklan produk tembakau dilarang kenapa produk alkohol enggak ya? Alfa Romeo masih menyematkan logo Singha, sebuah produk beer. Bahkan Heineken masih bisa menjadi title sponsor untuk Zandvoort Grand Prix 2020 meskipun batal karena pandemi.

Kalau dari sisi kesehatan bukannya tembakau dan alkohol sama sama punya efek negatif ya? Soal terlarang bagi anak-anak juga sama kan. Alasan yang valid mungkin karena efek alkohol dirasakan sendiri sedangkan rokok karena mengeluarkan asap membuat orang di sekitar ikut terdampak. 

Saya ada pikiran yang agak sinis, entah benar atau tidak, bahwa secara kasta sosial rokok itu ada di bawah alkohol. Faktanya rokok kan memang makanannya negara berkembang macam Indonesia. Mungkin mereka menganggap rokok adalah komoditi rakyat jelata jadi dianggap bukan domain mereka dan nggak masalah mengeluarkan kebijakan yang kontra.

Formula 1 masuk kategori olahraga mahal walaupun masih di bawah golf dan tenis. Sindrom orang kaya ogah memakai barangnya orang biasa mungkin ada di seluruh dunia, dan mungkin salah satu barangnya adalah rokok.

Saran saya ke FIA mbok sudah biarin tim-tim F1 bekerja sama dengan sposor rokok. Ikuti saja cara negara kami: yang penting nggak muncul gambar produk rokoknya. Perusahaan rokok adalah satu dari sedikit perusahaan yang mampu menggelontorkan dana ratusan juta dollar untuk aktivitas olahraga. Cocok untuk membantu tim-tim yang kesulitan pendanaan seperti sekarang ini.

Saya bukan perokok tapi mendukung sponsor rokok kembali menempelkan namanya di body mobil F1 karena keren. Formula 1 tidak perlu terlalu kejam pada brand rokok kalau Sugarbook saja masih bisa jadi sponsor.





Kenapa Orang Indonesia Mengemudi di Kiri?


Sejarah kenapa kita orang Indonesia mengemudi di kiri dan mengendarai mobil setir kanan berawal dari jaman kekaisaran Romawi. Saat itu Romawi menguasai nyaris seluruh Eropa termasuk sebagian Britania. Mereka membangun jaringan jalan di daratan Eropa dan berkendara di sisi kiri. 

Berkendara di sini tentu bukan mengendarai kendaraan bermotor. Saat itu transportasi utama manusia adalah kuda. Karena sebagian besar orang tidak kidal alias lebih banyak menggunakan tangan kanan, untuk naik ke atas punggung kuda akan lebih mudah dilakukan dari sisi kiri kuda, kebayang maksudnya? Cek gambar di bawah.

Tapi normalnya orang tidak akan naik kuda di tengah jalan seperti itu. Untuk alasan keamanan mereka akan naik dari tepian jalan seperti gambar di bawah. Kebiasaan ini berulang dan memunculkan kebiasaan baru yaitu untuk berkendara di sisi kiri jalan.


Ketika rezim berganti dan Napoleon menguasai Eropa, dia mengubah kebijakan sisi berkendara menjadi di sebelah kanan, alasannya supaya beda aja. Jadilah seluruh Eropa daratan berubah menjadi berkendara di kanan. Negara yang tidak mau tunduk adalah Inggris, mereka tetap di kiri, yakali tunduk sama orang Perancis.

Perancis dan Inggris membawa kebiasaan berkendara ini ke negara-negara jajahannya. Itulah sebabnya negara jajahan Inggris banyak berkendara di kiri dan jajahan Perancis di kanan. Pengecualian yang paling kentara adalah Amerika Serikat. AS adalah jajahan Inggris namun sampai sekarang berkendara di kanan a la Perancis. Kenapa?

Amerika adalah negara dengan daratan yang sangat luas. Seekor kuda tidak cukup untuk ditumpangi atau menarik kereta kuda melintasi negara. Dibutuhkan dua, empat, atau enam ekor untuk menempuh jarak yang akan dilalui. Masalahnya ketika ada lebih dari 1 kuda, sang kusir duduk dimana?


Kecenderungannya dia akan duduk di sisi kiri belakang karena harus mengontrol (memecut) kudanya dengan tangan kanan - which is lebih mudah kalau tidak kidal. Karena ada di kiri, akan lebih aman kalau mereka berkendara di sisi kanan jalan. Ini dilakukan untuk mencegah adu banteng dengan orang yang berpapasan.

Di jaman kuda urusan berkendara di kanan atau kiri ini hanyalah kebiasaan. Tapi lama kelamaan seiring lalu lintas yang semakin padat dan diciptakannya mobil, banyak negara meresmikan dasar hukumnya, Industri mengikuti dengan membuat dua versi kendaraan, setir kiri dan setir kanan, tergantung ke negara mana kendaraan itu akan dijual.

Indonesia sendiri berkendara di sisi kiri karena mengikuti Belanda. Meskipun saat ini Belanda memilih sisi kanan, tapi ketika datang ke Nusantara mereka masih berkendara di kiri. Napoleon hadir dan mengubah sistem di sana baru tahun 1800an, sedangkan Belanda sudah datang jauh sebelum itu. 

Fakta menarik tentang ini misalnya Jepang yang tidak dijajah oleh Inggris maupun Perancis. Mereka berkendara di kiri sebagai warisan nenek moyang seperti jaman Romawi. Kebiasaan ini diubah jadi kebijakan resmi ketika mereka berkawan dengan Inggris (yang juga di kiri) dalam pembangunan sistem rel dan kereta Jepang.

Kedua, negara-negara kecil di sekitar Australia ikut berkendara di kiri walaupun tidak dijajah oleh Inggris. Alasannya karena mereka banyak mengimpor mobil setir kanan dari AUS dan NZ. Ingat rumusnya: setir kanan - jalan di kiri seperti di negara kita, dan sebaliknya. 

Sekian

100.000


Wow, lama nggak nulis dan sekalinya ngecek ternyata pageview blog ini sudah menyentuh angka seratus ribu. Yah jangan dibandingkan sama blog yang dikelola profesional dan berisi konten-konten bermanfaat, karena pastilah jauh. Ini blog pribadi yang isinya random dengan tema tergantung suasana hati penulisnya.

Saya dulu lumayan rajin nulis, bisa sepuluh bahkan belasan tulisan per bulan pas tahun 2016. Waktu itu saya masih belum beli domain, namanya masih nurohmanchandraaa.blogspot.com. Iya namanya nggak enak karena susah milih nama yang bagus dan masih available di blogger, bahkan a di belakang harus tiga biar diterima. Alasan lain belum beli domain ya karena waktu itu dompet tipis.

Dulu sering nulis karena layaknya mahasiswa lainnya: ingin jadi sosok inspiratif. Tapi kayanya nggak berhasil jadi seiring berjalannya waktu arahnya jadi makin pribadi dan apa adanya. Sempat juga saya perlakukan blog ini seperti instagram dimana saya sering upload foto. Jangan suruh saya baca tulisan-tulisan lama karena saya nggak mau, malu wkwk

Satu titik saya terpikir untuk me-monetize blog ini dengan mendaftarkan google adsense. Sayangnya ditolak oleh google dengan alasan konten blog terlalu random sehingga tidak jelas akan dipasang iklan apa. Okelah nggakpapa, cuma iseng-iseng berhadiah.

Saya telat masuk blogger yang mana awal 2010an dulu ada tren 'berteman' di blogger dan mencantumkan alamat blog orang lain di blog sendiri. Tapi walau begitu bukan berarti saya tidak punya penpal. Ada masanya tulisan-tulisan di sini adalah bentuk komunikasi saya dengan orang lain (re: kode). Kalau kepo silakan digali sendiri ada beberapa yang mengandung mention hahaha

Ketika sadar bahwa blog bisa juga jadi platform branding, saya akhirnya memutuskan beli domain yang lebih rapi. Kebetulan di dekat kampus dulu ada QWords, sebuah provider layanan web hosting. Saya langganan ke mereka karena dulu cuma itu yang saya tahu. Awalnya saya pakai chandranurohman.com, lalu saya ubah lagi ke chandranurohman.id.

Terlepas dari waktu itu men-challenge diri untuk menulis setiap hari selama 30 hari, saya sekarang sudah lebih jarang menulis. Rasanya kok pertimbangannya macam-macam kalau mau nulis nggak seperti dulu yang kalau terpikir sesuatu langsung buka laptop dan post. Padahal yang baca juga nggak banyak-banyak amat.

Tulisan paling sering dibaca orang sampai saat ini adalah soal perpanjang paspor yang penuh drama dulu dan ATM yang punya pecahan 20 ribu di Bandung. Tips-tips seperti ini selain terindeks secara lebih baik di google juga lebih menarik minat orang untuk membacanya daripada tulisan soal diri saya. Tulisan pribadi biasanya yang baca nggak terlalu banyak, mungkin teman-teman yang kenal saja.

Yah, apapun itu semoga apa yang saya taruh disini bermanfaat. Maaf kalau banyak sambat karena ternyata jadi orang dewasa itu mayan berat. Thanks!

Chandra


45 Menit di Jalan


Dinamika pandemi yang terjadi di Jakarta membuat saya merasakan bekerja benar-benar dari rumah. Kesempatan langka yang belum tahu kapan lagi akan terjadi. Selagi masih bisa saya mau tetap di rumah. Alhamdulillah

Pekerjaan sehari-hari bisa saya kerjakan tanpa perlu keluar rumah. Tapi kalau ada video conference atau pekerjaan yang membutuhkan koneksi internet cepat biasanya saya memilih nongkrong di internet cafe yang ada di kota Jogja. Saya seperti flashback ke jaman TA dulu. Karena sudah bebas teori jadi saya bisa pulang kampung dalam waktu lumayan lama, agar supaya TA tidak terbengkalai, biasanya saya gegarapan di internet cafe.

Orang Jogja atau yang pernah kuliah di Jogja pasti tahu tempat-tempat macam Luxury, Platinum, Net City, Merapi Online, Expresso, dll. Ketika warnet-warnet konvensional berguguran, mereka masih eksis karena menawarkan sesuatu lebih misalnya tempat yang cozy banget, AC dingin, musik, dan menjual voucher wifi (tanpa bundling syarat beli makanan atau apapun) jadi bisa pakai laptop sendiri, enak kali buat nugas.

Sebagai warga Bantul selatan, butuh waktu sekitar 45 menit untuk motoran sampai Luxury. Akhirnya saya merasakan sensasi jadi commuter Bantul - Jogja, hal yang belum saya rasakan karena setelah lulus SMA langsung pindah ke Bandung. Sedangkan pas SMP SMA walaupun nglaju tapi nggak sejauh itu, 15-20 menit sampai.

Jarak kosan Cisitu dengan kampus plus minus 2 km, jarak kosan Kuningan sama kantor sekitar 1,5 km, sedangkan jarak rumah ke luxury kira-kira 27 kilo wkwk. Tapi ya karena jalanan nggak macet bisa ditempuh dalam waktu 45 menit, paling mentok 1 jam. 

Waktu 45 menit di jalan ini lho yang seru. Pertama, walaupun sudah masuk jam kerja tapi saya punya alasan yang legit untuk mengabaikan WA atau email kantor, karena lagi di jalan wkwk. Bayangkan di hari senin pagi yang hectic punya waktu 'merdeka' sebanyak itu.

Waktu 45 menit juga cukup untuk merenung kemana-mana, memikirkan hal yang nggak perlu dipikirkan. Setengah dari perjalanan itu dihabiskan masih di area Bantul yang hijau, membuat perenungan jadi lebih paripurna. Benar-benar beda dengan di Jakarta dimana pikiran penuh usaha mencari rute paling nggak macet ke kantor, lalu tahu-tahu sampai.

Hijau kan kanan kiri..

Kenikmatan lain adalah karena di sepanjang jalan yang saya lalui ada beberapa spot tempat makan favorit, termasuk yang saya tulis disini. Trust me fren, makanan-makanan ini bukan cuma kasih nutrisi untuk badan, tapi juga pikiran, mood auto naik habis makan. Fyi, di samping Luxury banget ada Tempo Gelato, kurang nikmat apa coba? 

Selain deretan tempat makan juga ada deratan tempat penuh kenangan haaiyaa...

Kadang sepanjang jalan juga ketemu yang lucu-lucu, misal bapak-bapak bawa gerobak ditarik 2 sapi besar di Jalan Parangtritis. Jangan dibayangkan seperti delman atau dokar, ini gede ukurannya nyaris menghabiskan satu lajur jalan, jadi mobil harus gantian lewat. Kalau disapa bapaknya nyahut.

Man, I spent the whole August till now in Bantul, banyak ide tapi nggak gerak nulis. Sekian dulu barangkali tulisan pertama dari Jogja di Agustus ini. Terima kasih sudah membaca.

Chandra

Butuh 1,5 Tahun


Hari ini saya sedang dalam mode hemat energi. Tidak ada kegiatan berarti yang saya lakukan sepanjang hari, hanya beberes, cuci-cuci, makan, ibadah, istirahat, dan ber-media sosial. Topik yang sedang naik di twitter tentang dikotomi agama vs sains menggerakkan jari saya untuk mengutip sebuah quote dari Mas Sabrang.

Orang yang belajar sains setengah-setengah pasti meragukan agama
Orang yang belajar agama setengah-setengah pasti meragukan sains

Saya cari video seminar dimana beliau menasehatkan itu untuk kemudian saya bagikan link-nya di twitter. Pencarian saya ternyata berlanjut pada keadaan dimana saya dengan nyaman membiarkan videonya berjalan. Saya menyimak seminar PK LPDP itu dengan seksama karena memang saya suka dengan tema dan pembicaranya. Ini adalah pertama kalinya dalam 1,5 tahun terakhir saya bisa menerima sesuatu yang berkaitan dengan LPDP secara lapang dada.

Kegagalan saya pada seleksi beasiswa LPDP 2018 sejujurnya bukan sesuatu yang dengan gampang saya cerna. Saya merasa sudah menyiapkan diri sebaik-baiknya. Semua dokumen lengkap, sertifikat bahasa Inggris saya siapkan dua, IELTS dan TOEIC dengan nilai diatas kriteria. Nilai tes komputer termasuk tinggi di Bandung. Bahkan selama proses seleksi LPDP saya secara paralel mendaftar ke kampus tujuan dan sudah diterima di Imperial College London. Tapi pengumuman beasiswa LPDP di akhir tahun 2018 menyatakan saya belum diterima. Saya sempat tidak percaya sampai butuh waktu untuk shalat dan lain sebagainya sebelum memberi tahu orang tua.

Bulan berikutnya saya sempat mendaftar universitas dan beasiswa lain tapi jiwa saya nggak disana, karena memang dari awal cita-citanya adalah ICL. Pergulatan batin terjadi dan saya berusaha menghindar dari segala bahasan soal beasiswa. Hanya permintaan sharing dimana saya bisa membumbuinya dengan curhat yang saya layani, selain itu biasanya secara naluri ingin menjaga jarak.

Saya dulu orang yang akademisi sekali, bahkan waktu kuliah sempat ada teman memberikan julukan Unstoppable karena selalu beruntung dan mulus kalau soal akademik dan kampus. Sampai sekarang masih sering ada yang bertanya apakah saya sudah S2. Faktanya saya malah belum punya rencana untuk apply lagi sampai saat ini. Sejak awal 2019 belum satupun usaha berkaitan dengan pascasarjana yang saya lakukan.

Pengumuman di akhir Desember (dan beberapa pengumuman sesudahnya) itu membelokkan semua rencana saya. Sampai akhirnya jalan saya terarah ke ibukota pun saya masih belum bisa lega. Masih lebih menyenangkan membicarakan pekerjaan daripada beasiswa.

Saya tahu kalau tidak ada yang bisa disalahkan atas kegagalan ini, ya yang salah saya sendiri. Tapi ternyata ikhlas tidak semudah itu. Atau lebih tepatnya mudah atau tidaknya ikhlas itu ditentukan dari hal-nya apa dulu. Karena meaning yang diletakkan seseorang atas sesuatu bisa berbeda-beda. Sepertinya bidang pendidikan yang bertahun-tahun menjadi zona nyaman bagi saya justru adalah tempat dimana saya paling lemah menghadapi kegagalan. 

Sampai suatu titik saya bertekad untuk berkarir di luar negeri dan menjadi diaspora. Menetap di negara orang sekedar untuk bisa menjawab ketika ditanya alasan tidak kembali ke Indonesia: "Saya pernah mendaftar beasiswa pemerintah yang punya ikatan untuk kembali, tapi ditolak. Jadi sekarang saya tidak punya kewajiban untuk mengabdi". Maaf kalau gumedhe, memang keadaannya lagi emosi waktu itu.

Pelan-pelan porsi dari diri saya yang bisa menerima keadaan kian bertambah. Seiring berjalannya waktu ada jawaban-jawaban yang bikin mbatin "oh mungkin ini alasannya". Menasehati orang untuk menyelesaikan masalahnya lebih mudah karena kita tidak terlibat langsung dan bisa melihat dari jarak dan sudut yang lebih jelas, tapi kalau mengalami sendiri jadi paham bahwa memaafkan dan berdamai dengan keadaan tidak sesederhana itu.

Butuh 1,5 tahun bagi saya untuk bisa kembali bersinggungan dengan hal-hal tadi tanpa menghidar atau menyembunyikan ekspresi. Alhamdulillah saya bahagia dengan apa yang saya jalani sekarang dan tidak berkurang bahagianya ketika tahu ada orang yang berhasil mendapatkan apa yang dulu saya harapkan. Alhamdulillah...

Mungkin orang menyangka, ku tak pernah terluka
Tegar bagaikan karang, tak mencucurkan air mata
- Seurieus

Best regards,
Stoppable

Tentang Medhok


Hari-hari ini sedang ramai di twitter bahasan tentang gaya bicara logat jawa alias medhok. Pakai h ya, medhok bukan medok. Gara-garanya ada orang yang membuat status WhatsApp mendiskreditkan orang yang gaya bicaranya medhok. Katanya bagi dia medhok itu bikin malu, nggak mau berteman sama orang medhok, dan cuma akan jadi ceng-cengan di tongkrongan.

Screenshotnya tersebar di twitter dan jadi bahan olok-olokan. Banyak yang terpancing, kalau ketahuan identitasnya pasti sudah habis itu diserbu netizen. Nggak salah sih kalau dikatakan rasis karena logat bahasa ada hubungannya sama suku, dan disana ada unsur perendahan. 

Saya sih bukannya nggak pernah mendapat perlakuan diskriminatif karena logat masih medhok walaupun sudah 7 tahun merantau. Nggak sampai disakiti lah, hanya kadang ada perasaan tidak bisa ngeblend dengan lingkungan sekitar. Kemarin sempat ada yang mengkuantifikasi privilege. Suku Jawa dapat skor paling positif diantara suku lainnya, tapi entah kenapa logat jawa malah dianggap setback.

Tapi alhamdulillah yang nggak enak-nggak enak itu tidak terjadi di lingkungan utama. Di lingkungan tempat tinggal, kuliah, kerja, semua tetap kondusif. Saya dikelilingi orang-orang yang nggak mengernyitkan dahi mendengar logat medhok saya. Di sisi lain saya juga memahami mereka yang geli dengan aku-kamu sehingga sebisa mungkin saya tidak mengucapkan itu.

Karena lidah masih kaku untuk berkata lu-gue jadi ini bukan solusi terbaik. Baru setelah bekerja saya lebih terbiasa. Sebelumnya waktu kuliah sulit sekali karena saya dikelilingi banyak orang Jawa baik di kosan maupun di kampus. ITB adalah tempat yang membuat Anda belajar bahasa Jawa walaupun tidak menginginkannya.

Seiring berjalannya waktu saya bisa mengotak atik kalimat sehingga tidak perlu mengucap aku-kamu maupun lu-gue, dengan maksud yang tetap tersampaikan. Percakapan lisan kan nggak harus semuanya sesuai SPOK untuk bisa dipahami. Kalau konteksnya komunal biasa pakai kita-mereka-kalian yang berterima di kedua belah budaya. Jadi saya juga nggak primordial mentok yang menganggap logat dan kebiasaan bahasa saya yang terbaik. Saya sadar saya berada di tanah orang.

Saya bersyukur tidak punya teman seperti orang yang membuat status WA tadi. Kalaupun ada perasaan berjarak dengan lingkungan tertentu itu terjadi secara mutual understanding. Saya tahu saya nggak nyaman dalam pergaulan yang terlalu ibukota. Di sisi lain orang lain juga berhak merasa tidak nyaman di lingkungan saya. 

Kebahagiaan dalam aktivitas seperti badminton, nonton film, makan, karaoke, atau futsal itu tentu akan maksimal jika dilakukan dengan orang yang satu selera. Semakin tidak ada batasan maka semakin momen itu bisa dinikmati. Semua orang ingin menikmati momen secara penuh sehingga cenderung berkumpul dengan sesamanya. That's totally fine.

Nggak usah terlalu baper dengan kasus "kita ada grup yang nggak ada kamunya lho" karena kecocokan dalam pergaulan orang dewasa tidak bisa dipaksakan. Asalkan kita being left out bukan karena melakukan kesalahan atau jadi orang yang terlalu menyebalkan itu nggak masalah. 

Saya punya geng namanya Batan Community bersama teman-teman sejurusan yang dulu kalau siang suka rebahan menjurus tidur siang di masjid Batan samping kampus. Temanya memang jowo tapi ada teman dari Cirebon dan Bekasi juga yang ikut di dalamnya. Di tempat kerja ada grup Beruang Sopodel bersama teman-teman yang tahu-tahu cocok aja kalau ngobrol. Kebanyakan dari Jawa juga walaupun ada satu orang dari Sulteng.

Dalam pergaulan sehari-hari saya jarang menyebut soal grup itu pada orang yang tidak ada di dalamnya. Tapi beberapa teman dekat sudah tahu dan tidak menanyakan apalagi mempermasalahkannya. Sama halnya saya happy-happy saja kalau teman punya circle lain yang saya tidak ikut di dalamnya. Intinya nggak usah baper.

Apakah saya ingin meninggalkan logat medhok? Saya ingin menguranginya sampai level dimana itu tidak lagi menjadi batasan bagi saya untuk berhubungan dengan siapapun. Tapi saya tidak ingin menghilangkannya babar blas. Selain sebagai penghargaan akan identitas, kadang medhok ada untungnya juga. Misal dalam pekerjaan sebagai engineer, menjadi orang medhok (berarti dari daerah) menguntungkan karena dianggap pekerja keras dan tidak banyak nuntut sehingga lebih disukai, begitu kata senior saya. 

Bagi saya nggak ada gunanya merasa rendah karena medhok. Lihat tu video-video yang menampilkan crazy rich surabaya, banyak yang logat Suroboyonan-nya minta ampun kentalnya dan mereka tidak malu dengan itu. Tapi kita juga jangan me-roasting orang yang pakai lu-gue apalagi kalau memang berasal atau tinggal di ibukota. Faktanya sapaan elo dan gue itu bagian dari budaya Betawi juga.

Mari melihat persoalan logat ini tidak lebih dari kenyamanan pergaulan. Keinginan untuk berada di lingkungan yang nyaman ini sangat wajar. Apapun yang ada di alam cenderung mencari posisi kesetimbangan dimana di tempat itu resistansinya minimal. Jangan sampai masalah ini mengganggu kolaborasi dan silaturahmi. 

Soal oknum yang membuat status WA tadi, saya nggak yakin dia nggak ikut heboh dengan revival Pakde Didi beberapa waktu terakhir ini.


Chandra

Hujan dan Bandung


Hujan sudah mulai kembali turun. Satu dua bulan ke depan ia mungkin sudah akan hadir tiap hari. Hujan sering disalahkan sebagai sebab munculnya ingatan dan kenangan yang telah lalu. Begitu juga kenangan saya soal Bandung. 

Bukan, bukan karena saya pernah punya seseorang di Bandung. Saya cleansheet ya disana btw. Tapi bagi saya Bandung dan hujan itu perpaduan yang ultimate. Saya suka Bandung dan saya suka hujan. Ketika keduanya hadir bersamaan maka yang muncul adalah kesempurnaan. Ada beberapa alasan kenapa Bandung dan hujan adalah salah satu perpaduan tempat dan waktu yang terbaik. One of the best, if not the best. 

Kota Bandung berada pada ketinggian lebih dari 750 meter di atas permukaan laut. Tempat tinggal dan kampus saya di kawasan bandung utara lebih tinggi lagi, mungkin 850 atau 900 mdpl. Jadilah suhu udara disana rata-rata 5-6 derajat lebih dingin daripada Jogja dan Jakarta. Jam 1 siang disana sama dengan jam 9 pagi di Jakarta.

Suhu udara yang sudah sangat nyaman itu menjadi makin sejuk ketika hujan datang. Banyaknya pepohonan dan tanah terbuka di tengah kota menghadirkan petrichor, alias bau tanah kering yang baru saja terkena hujan, pleasing relaxing. Pohon-pohon menjadi kanopi alami ketika hujan belum terlalu menjadi-jadi. Kalaupun akhirnya deras dan harus berteduh, selepas hujan tetesan air dari dedaunan menghadirkan nuansa yang masih bisa dinikmati.

Ada yang menarik jika hujan dan saya sedang berada di kosan. Kebetulan garasi kosan saya diatapi dengan kanopi dari bahan yang kalau terkena hujan bunyinya nyaring sekali. Alhasil dalam hujan yang tidak terlalu deras pun suaranya sudah berasa lebat. Di dalam kamar, matikan lampu, lalu tarik selimut sambil berharap hujan jangan cepat-cepat reda sebelum saya bisa memejamkan mata.

Kampus adalah tempat kedua dimana saya sering mengalami hujan. Kali ini tidak semua pengalamannya menyenangkan karena hujan membuat lorong-lorong licin karena tampias. Gedung fakultas saya juga tidak terintegrasi dengan jalur teduh yang memanjang dari depan sampai belakang kampus. Menyeberang dari satu gedung ke gedung lain bisa membuat sedikit basah. Tapi tetap saja saya lebih sering tidak punya payung. 

Hujan membuat lapak-lapak penjual makanan depan kampus jadi becek. Begitu pula kalau mau jalan ke masjid Salman terkadang harus agak mengangkat celana dan mengamakan sepatu ketika melewati beberapa genangan. Yang paling parah tentu saja paving block boulevard yang sudah ngangkat-ngangkat dan kalau hujan lalu diinjak airnya suka muncrat. Entah sudah dibenerin apa belum yang ini.

Tapi lagi-lagi bau tanah basah, tetesan air dari daun dan talang gedung, nuansa wet look di taman-taman kampus, dan angin yang menjadi semakin sejuk cukup untuk membayar ketidaknyamanan yang terjadi. Belum termasuk lapangan saraga yang menjadi tidak berdebu selepas hujan. 

Sepanjang pengalaman saya di Bandung selama kurang lebih enam tahun, hujan disana adalah yang paling bisa diprediksi dibanding Jogja dan Jakarta. Di Bandung sangat jarang ada hujan di pagi hari. Biasanya mendung baru mulai datang sekitar jam 11, lalu mulai turun hujan jam 1 atau 2 siang. Pagi yang cerah membuat orang tidak perlu berangkat kerja secara rempong karena harus pakai jas hujan, pakai sandal dengan sepatu ditaruh tas, dan juga anak sekolah tidak perlu meringkuk di dalam ponco dibonceng bapaknya ke sekolah.

Saya sempat menuliskan rute galau terbaik di Bandung adalah naik ke Lembang. Pengalaman ini akan menjadi makin paripurna kalau dilakukan selepas hujan. Warna dedaunan menjadi semakin hujau dan sedap dipandang, angin semakin dingin semilir, dan kabut yang turun menebal menambah nyaman perjalanan. Walaupun harus lebih berhati-hati karena jalan yang naik turun jadi lebih licin.

Kalau dibagi lagi menjadi episode-episode per musim hujan selalu saja ada pengalaman yang berkesan. Ngarak wisuda di tengah hujan deras pernah, kejebak hujan di Ciwidey lalu terpaksa neduh karena jas hujan cuma satu model celana pernah, kehujanan waktu nobar Liverpool di Alpina pernah, dan masih banyak lagi. Sebuah sountrack soal hujan yang jadi teman merenung jaman awal-awal kuliah, lagunya The Cascades - Rhythm of the Rain, hehe

Listen to the rhythm of the falling rain
Telling me just what a fool I've been
I wish that it would go and let me cry in vain
And let me be alone again
Rain please tell me now does that seem fair
For her to steal my heart away when she don't care?
I can't love another when my hearts somewhere far away 

Membandingkan Bandung dengan Jogja selalu ada bias romantisme kampung halaman, tapi soal hujan Bandung miles ahead. Bandung adalah tempat yang dapat dinikmati hujannya. Hujan membuat repot kadang-kadang, tapi suasananya, ketenangannya, sejuk udaranya tetap jadi hal yang dirindukan orang-orang yang pernah mengalami hujan disana.


Chandra, kehujanan di Bandung 2013-2019

Jakarta Jam 2 Pagi


Jakarta jam dua pagi adalah
Travel menuju Blora dan Luwansa yang kepagian
Stasiun Senen dengan dentuman orkes dan jajanan
Busway malam yang kosong namun tetap lalu lalang

Jakarta jam dua pagi adalah
Jalanan yang panjang lebar namun lengang
Gedung-gedung tinggi yang sunyi
Lampu merah yang semakin tidak dipatuhi

Jakarta jam dua pagi adalah
Kopi sepeda rehat di bahu jalan raya
Tunawisma lelap di trotoar
Warung kopi yang mulai sepi

Jakarta jam dua pagi adalah
Pekerja proyek LRT yang tengah bekerja
McD Sarinah yang tetap sarat anak muda
Bapak-bapak bercengkrama di pos ronda

Jakarta jam dua pagi adalah
Orang-orang yang masih terjaga
Mengendapkan pikiran setelah hari yang berat sebelumnya
Dan kembali harus berjuang beberapa jam setelahnya

Jakarta jam dua pagi
Bebersih sejenak sebelum kembali melayani penduduknya
Yang selalu punya mimpi dalam tidur lelapnya

Rute Galau


Sebagai orang yang coping mechanism-nya riding naik motor tanpa tujuan, saya lumayan rajin eksplor jalanan di kota-kota tempat saya tinggal. Kadang untuk membersihkan pikiran atau sekedar membunuh waktu menunggu buka puasa. Beban kuliah maupun pekerjaan, aktivitas yang memosankan, konflik pertemanan hingga percintaan semua butuh pelampiasan. Tiga kota Jogja, Bandung, dan Jakarta memberikan jalan.

Jogja

Anak muda Jogja pasti sepakat bahwa tidak ada rute yang lebih baik untuk merenung bahkan menangis di Jogja selain sepanjang Ring Road. Jalannya lebar, lampu merahnya jarang, bebas macet, dan jalur motor terpisah dari jalur cepat sehingga kalau sedang sedikit melamun nggak akan tiba-tiba disalip bus Mira. Helm dan maskermu akan menutupi air matamu.

Karena Ring Road mengitari Kota Jogja jadi mudah dijangkau dari segala penjuru. Jadi orang Bantul, Sleman, Kulonprogo, dan Gunungkidul tinggal menuju ke persimpangan Ring Road terdekat untuk kemudian masuk jalur dan berkontemplasi. Pelaku juga tidak perlu memikirkan belok, ikuti saja jalan utamanya maka setelah satu putaran akan kembali ke titik yang sama.

Kalau sebenarnya punya tujuan, atau lewat Ring Road dalam perjalanan pulang, hal yang sama bisa dilakukan. Sebab secara teknis jalan ini adalah alternatif paling nyaman dan sejuk (karena bisa ngebut) untuk pindah dari satu tempat ke tempat lainnya di Jogja. Daripada lewat dalam kota, macet bos!

Flyover Janti, Jombor, underpass Kentungan, dan jembatan layang di Ring Road barat yang saya nggak tahu namanya itu juga bikin perjalanan nggak datar-datar amat. Kalau jalur cepat sedang kosong bolehlah sekali-kali masuk pakai motor. Tapi ya biar wangun lakukan jika dan hanya jika motormu minimal 250cc, kalau Beat mending tetap di jalur lambat. *guyon dab

Bandung

Motoran di Bandung adalah hal yang menyenangkan karena sejuk dan banyak jalan dipayungi pepohonan rimbun. Bahkan kalau terpaksa tengah hari masih di jalan juga panasnya tidak membakar. Suhu di Bandung rata-rata 5-6 derajat celcius lebih rendah daripada Jogja, lebih-lebih Jakarta.

Tapi kalau mau rute yang lebih dingin lagi, saya tahu jawabannya. Sekaligus ini rute yang sering saya lewati ketika menjadi penduduk Bandung bagian utara. Rute merenung sekaligus ngadem paling paten di Bandung: naik ke Lembang via Dago, bukan via Setiabudi ya, disana mah isinya mobil-mobil dari Jakarta, macet, dan kanan kirinya villa.

Dari seluruh penjuru Bandung menujulah ke Simpang Dago yang terkenal dengan mekdi-nya itu. Lalu naik ke arah Dago Pakar. Setelah melewati terminal Dago ambil jalan yang nyempal ke kiri menuju Desa Mekarwangi. Nah dari situ ikuti terus jalannya maka kita akan disambut pemandangan bukit hijau, lembah, dan sawah. Filing gud lakasud.

Ikuti jalan itu terus dan udara akan terasa semakin dingin sampai akhirnya tiba di Lembang. Kalau waktu masih ada bisa dilanjut sampai Cikole lalu ngadem di kebun teh. Kalau lapar bisa mampir Punclut, makan sambil memandang Kota Bandung dari atas bukit. 

Jakarta

Saya belum lama di Jakarta tapi sudah punya satu rute recommended yaitu memanjang dari Monas ke selatan sampai ujung Jaksel. Keliling kompleks Monas lewat Jalan Medan Merdeka enak asal tidak sedang macet. Lalu disambung ke arah Bundaran HI dan menyusuri jalan Sudirman. Simpang susun Semanggi bablas tapi jangan lewat jalur mobil karena pasti ditilang. 

Selanjutnya adalah jalan paling rapi di Indonesia dengan pemandangan sebelah kanan kompleks Gelora Bung Karno dan sebelah kiri perkantoran mewah SCBD. Tentu ada stasiun MRT dan jembatan penyeberangan fancy berkah Asian Games. Jalannya lebar banget tapi pelan-pelan saja nikmati momen.

Sampai Bundaran Senayan bisa putar balik atau lanjut menyusuri jalan Panglima Polim - Fatmawati di bawah rel MRT. Agak menyempit dan sarat traffic light tapi lumayan rapi karena belum lama dibangun. Lurus sampai tembus JORR. Tapi karena ini membahas soal motor jadi kita nggak bisa masuk jalan tol. 

Belok kiri lewat depan Cilandak Town Square. Lalu kiri lagi masuk ke Jalan Pengeran Antasari. Jalannya lega juga dan tinggal diikuti terus jalan utamanya maka kita akan balik lagi ke Blok M, kalau lurus lagi tembus ke Bundaran Senayan. Tibalah kita kembali di jalan paling rapi di Indonesia.

----

Tulisan diatas di-compile dari pengalaman pribadi dan beberapa teman. Intinya, seruas jalan walaupun nggak benar-benar sunyi tapi bisa jadi salah satu tempat untuk menyepi. Tapi di jalan yang banyak orang berlalu lalang, sedang semewek apapun pastikan untuk tetap berhati-hati. Ride safe!


Banyak kenangan terserak di jalanan
Chandra

Ngerandom Smartphone Murah Wish Dot Com


Bro, lu mau hape flagship sejutaan kagak?

Lah, hape apaan??

Nih ada nih flagshipnya Samsung S20 ceng go doang

Apa nambah 200an dapet ni kakaknya S21 (kameranya rapi bener)

Nanggung sih, mending langsung lompat aja ke S30, gapapa notchnya kaya siomi 

Apa ini aja hapenya para bos bos, harga sama udah dapet S Pen pula

Apa Nova eh Nowa 1,5 udah dapet Deca Core sama 32 Million HD Rear Cameras

Cuma mau ngasih tahu aja nih, yang bener tu Wawei bukan Huawei, eh tapi deskripsinya Hawei, gimana sih ini, yang penting 4K

Edan po P40 14 juta gaada Google-nya, kita nih bikin P41 under 2 juta udah bisa buka maps

Tambahin dikit gan, jadiin P43 Pro sekalian

Teruntuk sobat Oppo, yang asli mah Rino bukan Reno, btw udah 3G lho

Apple product gaada KW-nya? Jare sopo. Nih kamera boba bisa lah buat selfie di toilet XXI

Yang gedean nih, I Pad Android, buat pegangan anak boleh juga sih

Itu aja dulu, maaf random dan nggak berfaedah wkwk

Mau cek produk-produk lain cek wish.com

Hape-hape diatas for gaya-gayaan purpose only, kalau dibayar tetep datang barangnya tapi jangan berharap spek sama desainnya sama kaya yang difoto ya. Ada uang ada barang.

Cen ampuh tenan negara yang satu itu soal berburu dan meramu meniru.

Internal Memo


Alasan saya tidak banyak bicara ketika berkumpul dengan orang-orang adalah karena takut kata-kata saya akan menyakiti mereka. Hurt someone's feeling the last thing I want to do. Tapi dalam perjalanannya ada momen-momen dimana saya tidak dapat menghindar untuk tidak melakukannya.

Sejak awal blog ini dibuat sebagai dokumentasi sekaligus branding diri. Tapi saya tidak ingin apa yang terlihat disini menjadi terlalu palsu. Orang perlu tahu bahwa saya punya banyak belang, bahwa saya jauh dari kata sempurna, even jauh dari baik. Saya merasa memakai topeng yang sudah terlalu tebal dan merasa berat menaggungnya.

Saya adalah pengambil keputusan yang belum dewasa, tidak pandai menakar batas-batas. Lalu terjebak pada kondisi dimana keputusan harus diambil, dan yang tidak kalah sulit, disampaikan. Sering terbayang orang-orang yang pernah saya sakiti selama perjalanan ini. Rasanya ingin kembali ke masa lalu membawa pengetahuan masa sekarang, meminta maaf dengan sebenar-benarnya lalu mengatakan bahwa masa depanmu hebat, you deserve the better.

Berada di persimpangan dua pilihan, belum tentu yang tidak dipilih adalah yang lebih tidak baik. Terlalu banyak variabel disana untuk dijelaskan dalam paragraf-paragraf. Tanpa diminta bertanggung jawab pun saya sudah merasa sangat bersalah. Saya buruk dalam mengukur, melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang akan seperti apa juntrungannya.

Saya terlalu dingin dan kaku sehingga sering lupa memikirkan perasaan orang. Coba saja dulu, efeknya kaya apa dipikir belakangan. Mesin bisa diperlakukan begitu, tapi tidak dengan manusia. Kurang ajar memang. Kalau mau marah, silakan. 

Kumohon tetaplah tegak, kamu hebat.

Maafkan aku untuk kesekian kali...

Salam,
Chandra

Ikan Kecil di Kolam Besar


Dalam periodisasi major selama 25 tahun usia, saya beberapa kali pindah dari kondisi ikan kecil di kolam besar ke ikan besar di kolam kecil dan sebaliknya. Kadang mengagetkan berubah dari inferior jadi superior lalu jadi inferior lagi. Tapi kalau diingat-ingat rasanya memang itu jalan yang tepat. Perpindahan itu perlu karena menjadi ikan yang terlalu besar di sebuah kolam kecil menyesakkan, dan menjadi terlalu kecil di sebuah lautan mengerdilkan.

Babak 1: 2001-2007 Masa-masa sekolah dekat rumah
Saya sekolah di SD inpres dekat rumah. Sekolah yang sangat sederhana dan lokasinya di desa. Semua muridnya adalah penduduk sekitar. Beberapa angkatan jumlah muridnya kurang dari 15 orang. Bahkan secara de jure sekolah ini sudah tidak ada karena tepat setelah saya lulus digabung dengan sekolah lain. 

Sekolah dekat rumah tidak bisa lepas dari sosiologi masyarakat desa, saya yang alhamdulillah berasal dari keluarga 'pegawai' jadi dapat predikat ikan besar yang tidak saya inginkan. Tapi secara akademik juga alhamdulillah saya tidak keluar dari 2 besar. Jadilah ketempelan status ikan besar yang sebenarnya mempersulit pergaulan. Kalau pernah di posisi saya Anda pasti paham.

Beberapa teman menganggap kehidupan saya seperti orang-orang kaya di sinetron: apa-apa dilayani pembantu, di dalam rumah pakai sandal hotel, tidur pake piyama, gak pernah panas-panasan wkwkwkwk padahal nyatanya beda 180 derajat. Aslinya tiap hari main bola sampe dengkul banyak luka, keluar rumah jarang pake alas kaki, nggak biasa gosok gigi sebelum tidur.

Babak 2: 2007-2010 Mencoba beranjak ke kota
Culture shock dong. Sebelumnya selalu ranking di SD tiba-tiba disatukan dengan ranking satu-ranking satu sekolah-sekolah bagus se-Bantul. Mana sebagian besar dari mereka gaya hidupnya lebih kota daripada saya. Ada anak pejabat Bantul, anak dokter kondang, anak pengusaha besar, dan lain sebagainya.

Nggak tahu kalau sekarang, tapi jaman dulu jalurnya anak Bantul untuk jadi dokter kondang jebolan UGM dan insinyur moncer kaya raya ya SMPN 1 Bantul. Sudah sejak tahun 70an, jamannya pakde-pakde, sekolah ini dianggap sebagai jaminan masa depan untuk masyarakat kawasan Jogja bagian selatan. 

Akademik ngedrop, pergaulan sempit, benar-benar jadi murid yang invisible alias nggak dianggap keberadaannya. Mutlak jadi ikan kecil di kolam besar.

Babak 3: 2010-2013 Ada keinginan yang tidak tercapai
For your information, jalur suteranya anak Bantul itu SMPN 1 Bantul - SMAN 1 Jogja/SMAN 3 Jogja - FK/FT UGM/ITB. Saya pun ingin dan sebenarnya memungkinkan untuk menempuh jalur itu karena walaupun di awal terseok-seok tapi di akhir masa SMP lumayan bunyi. Tapi karena beberapa alasan saya mengambil pilihan konservatif: SMAN 1 Bantul.

Sempat sedikit kecewa dan kehilangan semangat karena merasa kehilangan kesempatan. Sekolah ini bukan sekolah yang jelek, masih yang paling baik di Bantul. Tapi ibaratnya di SMP tiga tahun menapaki tangga naik, tiga tahun berikutnya seperti berjalan datar - ketika sebenarnya merasa layak naik.

Tapi dari situ saya coba terapkan standar lebih tinggi dari yang diminta. Walaupun tidak instan tapi pada saatnya terlihat hasilnya. Beda dengan di SMP yang harus sikut-sikutan di level sekolah dulu, di SMA saya seperti punya 1 slot langganan ikut lomba-lomba berbau matematika dan fisika lalu bersaing dengan teman-teman dari SMA di Kota Jogja. Di tingkat sekolah saya merasa menjadi si ikan besar.

Babak 4: 2013-2017 Kuliah dan merantau
Kehidupan berulang, saya kembali berada di sisi inferior ketika bertemu dengan anak-anak dari berbagai daerah. Saya nggak bilang semua anak ITB brilian, tapi saya katakan sebagian besar dari mereka punya high achieving mentality pada apa yang mereka kerjakan. Kebanyakan tidak suka basa-basi, tidak suka membuang waktu, militan belajar hal baru, dan bisa berdiri di kaki sendiri.

Saya terintimidasi ketika di kelas tiba-tiba banyak teman menanyakan pertanyaan-pertanyaan cerdas pada dosen. Berbeda sekali dengan budaya di SMA yang cukup mendengarkan saja, mungkin ada pengaruh dari budaya sopan santun orang Jawa merasa tidak pantas bertanya pada orang tua. Saya jadi merasa belum paham apa-apa. 

Secara pergaulan juga entah kenapa yang dari daerah ini seperti sedikit di bawah anak-anak ibukota dan anak tuan rumah Bandung. Di kampus sapaan aku-kamu untuk teman sudah dianggap aneh padahal itu default lidah saya. Saya masuk ITB sebagai ikan sangat kecil di kolam besar. Tumbuh memang, tapi sampai lulus juga belum jadi ikan besar.

Babak 5: 2017-sekarang Dunia kerja dan masyarakat
Jika selepas kuliah saya langsung bekerja di perusahaan multinasional besar saya akan menganggap diri saya seekor ikan kecil. Tapi perusahaan saya yang dulu maupun yang sekarang bukanlah perusahaan yang dikenal banyak orang, walaupun tidak bisa dibilang kecil juga karena sudah Tbk. 

Di sisi lain saya punya idealisme yang masih di atas rata-rata. Mungkin karena sebagian coworker sudah berkeluarga. Tapi seperti ada yang hilang dari lingkungan saya yaitu high achieving spirit itu tadi. Meski begitu saya sadar bahwa ini adalah anak tangga yang harus dilalui lebih dulu jika ingin berada di tempat yang lebih tinggi.

Secara skill saya masih junior dan berada di tempat yang bukan blue chip, tapi di sisi lain masih punya idealisme dan keyakinan bahwa saya worth untuk sesuatu yang lebih besar di masa yang akan datang. Maka saya consider bahwa sekarang antara ikan kecil di kolam besar dan ikan besar di kolam kecil saya bukan dua-duanya. Setidaknya untuk saat ini, tidak tahu nanti.

Lalu apa?
Dari perjalanan yang sudah saya lalui, 25 years old me merasa bahwa menjadi ikan besar di kolam kecil atau ikan kecil di kolam besar hanyalah soal waktu. Tidak ada yang lebih mulia dan jelata dari dua itu. Yang tidak baik adalah menjadi terlalu besar atau terlalu kecil seperti yang saya tulis sebelumnya.

Perpindahan dari kolam besar ke kolam kecil dan sebaliknya belum tentu sesuai rencana. Justru perubahan mendadak itu yang banyak membentuk kita. Berubah dari superior menjadi inferior mengingatkan kita bahwa diatas langit masih ada langit dan bahkan belum tentu kita adalah langit. Maka harus lebih berhati-hati dan mengerti. Berubah dari inferior menjadi superior mengingatkan kita untuk menjadi berguna selagi bisa. Menjadi pupuk yang menyuburkan sekitarnya. 

Nyaris dalam semua perkara, punya kesempatan berada di dua sisi adalah tiket untuk menjadi orang yang punya empati. Tetaplah bersinar dimanapun berada. Tetap tersenyumlah biar semakin mudah.

Salam,
Chandra

A Lonely Root Three


I fear that I will always be 
A lonely number like root 3 (three) 

A 3 is all that's good and right 
Why must my 3 keep out of sight 
Beneath a vicious square root sign 
I wish instead I were a 9 (nine) 

For 9 could thwart this evil trick 
With just some quick arithmetic 
I know I'll never see the sun 
As 1.7321 (one point seven three two one) 

Such is my reality 
A sad irrationality 
When..hark!..what is this I see 
Another square root of a 3 

Has quietly come waltzing by 
Together now we multiply 
Form a number we prefer 
Rejoicing as an integer 

We break free from out mortal bonds 
And with a wave of magic wands 
Our square root sign become unglued 
And love for me has been renewed 

I am not a poet, it's from Harold & Kumar: Escape from Guantanamo Bay


Pabrik Pesawat Terbang



Bisnis layanan penerbangan jadi salah satu sektor yang mendapat pukulan paling keras atas perubahan yang terjadi selama pandemi Covid-19. Jumlah orang yang bepergian lewat udara menurun drastis hingga 70-90%. Pemerintah juga sempat melakukan penghentian operasi penerbangan umum sebelum akhirnya dibuka kembali dengan beberapa syarat.

Efek yang terlihat misalnya Garuda meng-grounded 70% armadanya serta tidak melanjutnya kontrak sebagian pilotnya. Lion Group (Lion, Wings, Batik) yang sempat beroperasi akan menghentikan operasinya kembali mulai 5 Juni hingga waktu yang belum ditentukan.

Efek domino menurunnya okupansi perjalanan udara merembet hingga sektor lainnya seperti layanan bandara, transportasi antar moda, in-flight catering, aircraft maintenance, hingga industri pembuatan pesawat terbang itu sendiri.

Kondisi benar-benar sulit jika perusahaan sekelas Boeing sampai kembang kempis. Boeing berencana mem-PHK hingga 6000 karyawan di minggu-minggu ini. Karena penurunan produksi pula mereka terancam harus mem-PHK 10% karyawannya hingga akhir 2020 atau setara 160.000 orang di seluruh dunia. Sementara itu Airbus membukukan kerugian hingga setengah milyar dollar pada kuartal pertama 2020. Hal ini disebabkan maskapai-maskapai yang mereview dan membatalkan rencana pembelian armada pesawat terbang baru.

Kesulitan bisnis yang dialami maskapai penerbangan di seluruh dunia membuat pembelian armada baru tidak jadi prioritas. Analogi sederhananya pemilik rental mobil akan berpikir berulang kali untuk membeli unit baru dalam kondisi permintaan konsumen yang menurun seperti saat ini.

Diperkirakan butuh waktu 2-3 tahun pasca corona bagi maskapai penerbangan untuk dapat mengembalikan state bisnisnya menjadi seperti tahun 2019. Artinya dalam 2-3 tahun ke depan akan ada adjustment rute dan jadwal yang sebagian besarnya berupa pengurangan karena diperkirakan jumlah pengguna angkutan udara juga berkurang.

Oleh karenanya pengadaan armada baru menjadi tidak terlalu diperlukan. Padahal maskapai-maskapai dengan layanan berjadwal adalah pasar besar bagi pembuat pesawat terbang. Saat ini hingga maskapai besar dan kaya seperti Emirates saja berada dalam posisi yang terancam membatalkan pembelian pesawat dari Boeing dan Airbus.

Pun nanti ketika industri layanan penerbangan sudah pulih, masih butuh waktu bagi industri pembuat pesawat terbang untuk ikut bangkit. Diperkirakan butuh waktu 2-3 tahun juga setelah frekuensi dan okupansi penerbangan normal hingga permintaan pesawat terbang baru kembali ke level membahagiakan.

Artinya pelaku industri pembuatan pesawat terbang harus menunggu hingga 4-6 tahun setelah corona reda hingga bisa kembali ke kondisi seperti tahun 2019. Kita berharap industri ini tetap mampu bertahan karena akan sangat dibutuhkan di masa yang akan datang.

Indonesia sendiri tidak lepas dari tekanan negatif penurunan bisnis akibat pandemi. Indonesia memiliki beberapa proyek pesawat penumpang yang tengah berjalan seperti N219 serta yang masih dalam rencana N245 dan R18. Kita tentu berharap proyek ini tidak berhenti, namun tidak bisa dipungkiri sekarang adalah masa yang sulit bagi para stakeholder yang terlibat dalam pekerjaan besar tersebut.

Terlepas dari pertimbangan politik (jika ada), secara teknis dan bisnis keputusan pemerintah untuk lebih memprioritaskan pengembangan drone/pesawat tanpa awak dibanding pesawat penumpang adalah hal yang masuk akal. 

Pesawat tanpa awak jelas tidak terpengaruh turunnya bisnis layanan perjalanan udara selama pandemi. Selain itu ada atau tidak ada pandemi, pesawat tanpa awak tetap dibutuhkan untuk berbagai keperluan seperti servey perbatasan, mapping, dan monitoring. Modal yang lebih kecil dan regulasi industri yang lebih sederhana juga membuat pengembangan pesawat tanpa awak lebih feasible untuk digenjot saat ini.


Chandra

Ini Matematika!



Saya melihat matematika layaknya saya melihat sendok. Saya pakai sendok untuk makan dan pakai matematika untuk berpikir. Tapi kita masih bisa makan tanpa ada sendok, dan masih bisa berpikir tanpa matematika. Karena sudah masuk dalam muscle memory, kita sering tidak sadar ketika menyuapkan makanan ke mulut. Begitu pula kita sering tidak sadar telah menggunakan matematika dalam membuat keputusan.

Bagi saya, matematika jauh lebih luas daripada apa yang diajarkan di bangku sekolah. Matematika bukan soal rumus dan hitungan, tapi soal bahasa dan logika. Tanpa sadar kita sering menerapkan matematika dalam kehidupan nyata, tapi seringkali tidak mengakuinya karena masih trauma dengan apa yang terjadi di pelajaran matematika di SMA.

Saya beri contoh sederhana, ketika ingin pergi ke suatu tempat kita selalu memilih rute yang paling lurus menuju lokasi tujuan. Ini sejalan dengan konsep segitiga bahwa sisi terpanjang pasti masih lebih pendek daripada penjumlahan dua sisi lainnya. Atau konsep segitiga siku-siku dimana sisi miring lebih pendek daripada penjumlahan dua sisi yang membentuk sudut 90 derajat. Bayangkan trio panjang sisi segitiga 3-4-5.

Kalau kita mau pergi dari A ke C kita pasti akan memilih lewat AC sejauh 5 cm daripada AB lalu BC dengan total 7 cm, keputusan yang gampang bukan? Seolah hanya pengambilan keputusan biasa menggunakan 'skill kehidupan'. Tapi sebenarnya tanpa sadar kita pakai hukum phytagoras disana, hukum yang bisa juga dibahasakan dengan dua ekspresi berikut (dua bentuk yang mungkin sedikit bikin anxiety, tapi sebenarnya ini sinonim):
dan


Persamaan yang mungkin bikin pusing karena lebih banyak huruf daripada angkanya ini sebenarnya punya aktualisasi yang sangat-sangat-sangat sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya memang susah mengajarkan matematika selengkap ini ditengah banyaknya materi dan mata pelajaran yang harus ditelan anak sekolah.

Pada awalnya orang suka matematika bukan karena bisa matematika. Tapi karena dia sadar ada algoritma matematika yang ikut serta dalam processing di otak bahkan ketika melakukan dan memutuskan hal-hal sederhana. Dia menyadari proses matematis itu, ketika mungkin sebagian yang lain menyadari input (soal) dan outputnya (jawaban) saja. 

Selanjutnya, kesadaran bahwa matematika banyak muncul dalam alam nyata membuat dia lebih mudah memahami simulasi permasalahan yang ditampilkan dalam soal cerita matematika di bangku sekolah. Ketika ada soal yang menanyakan kapan Adi yang berangkat dari Kota A dan Budi yang berangkat dari kota B berpapasan setelah Budi sempat beristirahat selama 15 menit, yang dia bayangkan bukan rumus kecepatan, percepatan, waktu yang suka ketuker-tuker itu. Melainkan benar-benar ada dua orang naik NMAX, satu dari Jakarta, satu dari Bandung, lalu akan papasan di suatu tempat mungkin sekitar Jonggol, sampai sedetail itu.

Orang yang suka matematika sebenarnya juga tidak suka dengan huruf dan simbol, maka dia akan memvisualisasikan dalam imajinasinya untuk mempermudah permasalahan. Imajinasi itu muncul begitu saja, tanpa effort, sama seperti menyendok sesuap nasi. 

Dia tidak perlu hafal rumus, dari pengalamannya naik motor dia tahu kalau waktu berbanding terbalik dengan kecepatan. Dengan tahu informasi kecepatan dan jarak dia tinggal melakukan operasi tambah kurang kali bagi lalu ketemu jawabannya. Di lembar coret-coretannya tidak ada tulisan rumus, karena itu tidak perlu.

Saya kurang nyaman ketika diminta mengerjakan soal uraian matematika dimana rumus harus ditulis di baris paling awal dan harus benar. Sebaliknya saya suka soal matematika dasar dan TPA numerik berupa pilihan ganda karena banyak cara untuk memvisualisasikannya dan tidak perlu menggunakan atau menuliskan rumusnya.

Ada rumus-rumus yang memang perlu dihafal, terutama yang berupa dalil, teori, dan hukum. Tapi tidak perlulah menganggap semua rumus perlu dihafal. Hafalkan saja rumus luas persegi panjang, segitiga, dan lingkaran, maka kita bisa menghitung luas permukaan semua bangun datar dan bangun ruang karena pada dasarnya semua tersusun dari komponen itu. 

Sama seperti naik sepeda, main gitar, atau sekedar makan. Berikutnya yang berbicara adalah soal kebiasaan. Seorang murid yang terbiasa menyadari proses berpikir matematis akan semakin sering menggunakannya dan menjadi semakin bisa. Mau itu kehidupan nyata ataupun soal matematika dasar di tryout TOBAT* nyaris tidak ada bedanya.

Matematika sama sekali tidak menentukan tingkat kebijaksanaan seseorang dan tidak pula menentukan akan seberapa sukses seseorang di masa depan. Murid pintar dan tidak pintar itu juga hanya standar yang dibentuk oleh institusi sekolah dan kurikulum, tidak lantas mencerminkan kenyataan. 

Keterbatasan dalam pengajaran matematika di sekolah sehingga banyak siswa justru takut karenanya sama sekali bukan salah guru. Mereka sudah melakukan yang terbaik ditengah sistem dan kurikulum yang serba membatasi. Mungkin ada satu dua guru yang mampu mengatasi itu semua dan bisa menunjukkan bentuk matematika yang sebenarnya. 

Salah satu yang bisa adalah Pak Sudaryanta, guru matematika SMPN 1 Bantul tempat saya sekolah dulu tahun dari tahun 2007-2010. Ditunjang tinggi badan diatas rata-rata 186 cm tampilannya sudah langsung berkharisma. Langkahnya lebar dan tegap dilihat dari lantai 2 tempat kelas kami berada. Beliau adalah yang pertama kali menunjukkan pada saya "Ini Matematika!".

Beliau adalah sosok yang membuat saya tidak sepakat dengan pandangan bahwa guru adalah profesi yang sedikit inferior dibandingkan profesi lain seperti dokter atau engineer, sekaligus marah ketika ada berita tentang murid yang tidak menghormati gurunya. Sebuah quote dari motivator asal Amerika Serikat mengatakan:

a doctor can do heart surgery and save the life of a kid, but a great teacher can reach the heart of that kid and allow him to truly live - Prince Ea

Berikan satu sekolah satu guru seperti Pak Dar, dan matematika di Indonesia akan sangat berbeda. Tidak semua pengalaman selama sekolah saya menyenangkan. Tapi diajar matematika oleh beliau adalah kesempatan yang sangat saya syukuri. Tidak semua detail masa-masa saya menjadi murid beliau bisa saya tuliskan disini. Tapi percayalah saya merasa sangat berutang budi.

Sampai ketika akhir-akhir kuliah, setiap lebaran saya dan beberapa teman yang diajar oleh beliau masih rutin berkunjung ke kediamannya. Tahun ini tentu saja tidak. Tapi saya sangat ingin kapan-kapan sowan dan bertemu dengan beliau.

Pak Dar paling kanan jaket putih biru, foto ketika beliau pelatihan selama 2 bulan di Perth Australia, karena prestasinya sebagai guru matematika


Ketika Pak Dar ke Aussie, di saat yang sama saya lomba matematika di Jakarta dan alhamdulillah dapat medali perunggu. Momen yang pertama kali membuat saya memilih Jakarta sebagai kota cita-cita. Teman saya namanya Budi Azhari yang juga 'binaan' Pak Dar meraih perak, sekarang dia jadi PNS peneliti di LIPI, termasuk teman yang saya kagum dan banyak belajar darinya.