Starstruck
Orang bisa starstruck misalnya saat bertemu public figure yang ia ikuti kehidupannya, seniman yang ia sukai karyanya, politisi yang ia dukung sejak lama, penulis yang bukunya ia baca, dan lain sebagainya. Saya barusan starstruck karena ketemu sebuah lukisan.What 'Belum Ada Zonasi' Did To You?
Banyak yang bilang, 'andai dulu sudah ada zonasi, tentu saya yang dari kampung ini tidak akan bisa masuk SMP A, SMA A, lalu kuliah di A, sehingga sekarang jadi A'.Fiets Gazelle
Madesu
Mas-mas di Paksi Band menyuarakan sebuah keresahan melalui lagu berjudul Madesu. Lagu ini menyoroti fenomena kenalakan remaja yang marak terjadi di Jogja. Lebih spesifik, ini soal gejala klithih dan konvoi kendaraan bermotor yang sangat mengganggu dan membahayakan masyarakat umum. Jalur cepat ring road yang secara aturan diperuntukkan bagi roda empat, dilalui konvoi puluhan motor anak-anak muda yang membawa petasan hingga sajam.Syawalan
Alhamdulillah sejak saya masih bocah hingga sekarang lebaran biasanya menyenangkan. Tapi kalau boleh menyebut satu hal yang jadi beban waktu kecil dulu adalah syawalan (halal bihalal) trah (keluarga besar). Saya merasa acara syawalan diciptakan untuk simbah-simbah dan bapak-bapak, bukan untuk anak-anak.
Pasalnya tahun-tahun sebelumnya acara syawalan di tempat kami skalanya masih level mbah buyut, 4 generasi di atas saya. Jadi yang rawuh mulai dari kakak-adiknya simbah saya, lalu bapak/ibu dan sepupu-sepupunya, lalu baru kami generasi berikutnya yang tidak kenal dengan 70-80% yang hadir disana. Rumit ya? ya intinya saudara yang separasinya sudah jauh.
Acaranya pun dikemas dengan cara lama. Biasanya konsepnya 'pesta duduk' dengan.susunan acara yang sistematis (re: kaku), dibuka dengan berbagai sambutan, dan harus duduk dari awal sampai akhir. Bahasa pengantarnya Jawa halus yang saya hanya bisa memahami tapi tidak bisa ngomongnya. Makanan dan snacknya disuguhkan per orang dan banyak yang tidak habis dan jadi mubazir karena memang tidak cocok (bukan tidak enak ya).
Saya paham bahwa acara seperti ini perlu apalagi untuk orang Jawa. Saya pun biasanya hadir, karena meskipun malas tapi dari dulu selalu mikir kayanya acara begini banyak baiknya walaupun saya nggak/belum tahu dalilnya, lagipula cuma sekali dalam setahun.
Dari tahun ke tahun sebenarnya acaranya pun semakin sepi. Kakak-adiknya simbah hanya tinggal sepasang dan sudah sepuh. Kami-kami lebih memilih sowan langsung ke rumahnya daripada menyelenggarakan acara rame-rame yang mungkin melelahkan. Ada faktor pandemi juga disini yang membuat kebiasaan ini stop sejak 2020.
Jadilah di tahun 2022 ini syawalan tidak lagi bersama saudara se-mbah-buyut seperti sebelumnya. Kini turun 1 generasi ke level simbah sehingga yang datang pakdhe/budhe/om/tante yang memang kenal dekat dan sepupu-sepupu akrab (plus pasangan dan anaknya) yang dulu kalau libur sekolah sering main dan nginep rame-rame di rumah simbah. Kebanyakan sudah terpapar budaya populer sehingga tidak terlalu memusingkan kebiasaan dan aturan. Jadilah acara syawalan yang inklusif, menyenangkan, seru, tapi tetap ada intinya.
Tetap ada acara ikrar syawalan, maaf-maafan, pembacaan yasin, doa, dan tahlil. Tapi di luar itu bebas mau ngobrol apa saja sama siapa saja. Karena jumlahnya tidak banyak semua bisa masuk di 'aula' rumah pakdhe yang memang lumayan luas, tidak perlu panas-panasan buka tenda di halaman. Yang bawa bayi bisa di dalam kamar ber-AC, yang mau cari angin bisa di teras dan taman depan.
Makanan dan minuman prasmanan free flow sehingga bisa ambil sesuai selera dan secukupnya. Ada teh panas dan air putih tetep, tapi ada juga es krim dan jajanan bocah biar anak-anak betah. Bajunya tidak harus rapi kemeja berpeci, mau pakai kaos dan sarungan pun boleh. Acaranya cair, penuh obrolan dan becandaan yang tentu saja organik bukan karena disuruh kenalan sama sebelahnya.
Kapan acara selesai tidak jelas karena ngobrolnya nggak putus-putus, kalau tidak karena ada acara berikutnya mungkin bisa pada lebih lama disana. Anak-anak tidak ada yang merengek minta pulang. Indikasi acaranya nyaman buat mereka.
Setiap keluarga punya caranya sendiri untuk merayakan hari raya. Saya tentu sangat menghormati itu. Disini saya hanya sharing tentang salah satu acara halal bihalal paling nyaman yang pernah saya ikuti. Ada rencana untuk membuat acara yang sama tahun depan. Semoga kita semua dikaruniai kesempatan sehingga bisa ketemu dengan ramadhan dan lebaran berikutnya. aamiin.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443H. Taqabalallahu minna waminkum. Mohon maaf lahir dan batin.
Yogyakarta International Airport
Boleh kan ya setuju dengan bandara YIA sambil tetap merasa prihatin pada penduduk setempat yang tidak rela kepemilikan lahannya dialihkan untuk pembangunannya?
Bandara adalah salah satu aspek yang dipelajari waktu kuliah teknik penerbangan dulu. Dari insight yang saya dapat, saya berpendapat bahwa Jogja tidak bisa terus mengandalkan bandara Adi Sutjipto (JOG) untuk jangka panjang. Pembangunan fasilitas secara sporadis seperti terminal baru tidak sustainable. At some point perlu ada bandara modern yang dibangun.
JOG adalah bandara milik TNI AU, otoritasnya di bawah Danlanud. Oleh karenanya pada saat-saat tertentu pesawat komersial harus bergantian dengan jet militer untuk take-off dan landing. Bandara modern tentu tidak bisa seperti ini, terlalu banyak syarat dan ketentuan untuk bisa berkembang.
Secara lokasi JOG memang strategis karena dekat dengan kota. Di sisi lain hal ini menjadi masalah karena menyulitkan pembangunan infrastruktur bandara, lahannya tidak ada. Banyaknya gedung tinggi kota di sekitar bandara juga bukan sesuatu ideal dalam dunia penerbangan. Ada faktor safety dan polusi cahaya disana. Inilah alasannya banyak bandara modern nyaris di seluruh dunia dibangun di pinggiran kota.
Oleh karenanya, tidak bisa tidak Jogja harus membangun bandara baru dan memindahkan penerbangan komersil kesana. Bandara ini harus memberikan ruang untuk pengembangan jangka panjang ketika nanti semakin banyak rute penerbangan yang beroperasi. Lokasi yang dipilih di Kulonprogo menurut saya sudah keputusan yang paling tepat. Yang jadi masalah adalah waktunya, apakah harus sekarang?
Harus diakui pembangunan YIA ini tampak agak buru-buru sehingga pembebasan lahan terkesan agak dipaksakan. Sialnya ketika bandara jadi malah ada pandemi yang membuat penerbangan jadi sepi. Kalau tahu begini mending jangan dibangun dulu, JOG masih bisa digunakan sampai beberapa tahun ke depan.
Banyak diberitakan operasi YIA ini merugi, hal ini tidak terhindarkan. Hampir seluruh bandara di dunia rugi ketika pandemi. Simply karena jumlah penumpang dan penerbangan berkurang. Tak pelak ini jadi bahan argumen pihak yang kontra dengan YIA.
Argumen lain yang dilontarkan adalah masalah jarak yang memang jauh dari kota Jogja. Ada dua hal dalam pikiran saya untuk merespon ini. Pertama berhubungan dengan pembangunan YIA yang terburu-buru. Ketika bandara sudah jadi dan beroperasi, akses ke pusat kota belum ready. Shuttle dan kereta yang kemudian diluncurkan kurang sesuai dengan kebutuhan sebagian orang. Infrastruktur paling disukai belum jadi: jalan tol.
Kedua, permasalahan jarak ini subyektif. Bagi orang Kulonprogo, Purworejo, dan sebagian besar Bantul tentu YIA lebih dekat. Tapi bagi penduduk Kota Jogja, sebagian besar Sleman, dan Klaten tentu ingin tetap terbang dari JOG. Alasan ini sangat masuk akal, namun rasanya sulit mencari lokasi yang strategis untuk sebuah bandara besar baru selain di Kulonprogo.
Ada dua harapan saya, yang pertama adalah masalah pembebasan lahan kemarin segera beres seberes-beresnya sehingga tidak menjadi duri dalam daging. Saya lihat ada beberapa pemukiman baru di sekitar bandara yang katanya ditempati oleh warga yang direlokasi. Semoga semua mendapat ganti untung sesuai haknya.
Harapan yang kedua, semoga ekosistem penerbangan segera normal dan kerusakan yang timbul selama pandemi dapat dipulihkan oleh pelaku industri bersama pihak terkait.
Masa Transisi
Alhamdulillah sebulan terakhir angka positif covid di Indonesia menunjukkan tren penurunan. Mungkin herd immunity mulai bekerja, baik yang terbentuk karena terpapar langsung atau oleh vaksinasi. Aturan aktivitas mulai dilonggarkan meski tetap dengan semboyan protokol kesehatan. Meski mengendur sepertinya situasi tidak akan kembali seperti semula masa pre-covid. Pertama karena covid kemungkinan tidak akan hilang, kedua masyarakat mulai terbiasa dengan prokes yang ringan-ringan seperti memakai masker dan cuci tangan.
Walaupun begitu, menurut saya tidak efisien juga kalau kita mempertahankan cara hidup seperti saat pandemi. Buat saya new normal yang ideal itu pakai masker hanya ketika berada di kerumunan, di jalan, atau situasi tertentu. Selain untuk menangkal covid juga menghindarkan diri dari penyakit lain dan polusi. Tapi rasanya pada satu titik seharusnya tidak ada lagi beban untuk tidak memakai masker ketika ke masjid, berkunjung ke rumah orang, bekerja, aktivitas outdoor, dan event-event yang menurut ahli resikonya ringan hingga sedang.
Poin prokes lain seperti kursi yang disilang-silang di tempat makan serta pembatasan kapasitas di tempat yang sebenarnya bersih juga perlahan perlu dikurangi. Obyek wisata dan tempat publik juga pada satu titik harusnya dibuka untuk umum tanpa batasan usia dan domisili. Selanjutnya penggunaan aplikasi yang agak kontroversial itu tidak lagi perlu dijadikan syarat masuk ke berbagai tempat.
Semua perubahan itu tidak mungkin dilakukan seketika. Perlu proses pelonggaran sedikit demi sedikit. Sekarang pun kita bisa merasakan proses itu berjalan. Pengambil kebijakan punya hak dan kewajiban untuk menentukan aturan-aturan bagi publik. Tapi di level pribadi dan keluarga kita perlu membuat keputusan seberapa kita bisa atau perlu melonggarkan diri?
Apakah saya sudah bisa ke warung tanpa masker? Apakah masih penting membawa sajadah sendiri kemana-mana? Apakah hand sanitizer masih diperlukan setiap saat? Apakah sudah aman untuk nonton film di bioskop? Apakah masih perlu melakukan rapid test mandiri secara rutin? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab sendiri. Inilah masa transisi yang sama rumitnya dengan pertanyaan "seberapa saya harus menjaga diri?" dan "apakah saya terlalu nekat atau terlalu parno?" yang sering muncul tahun lalu.
Masa seperti ini mirip dengan yang dialami masyarakat Bantul pasca gempa Jogja tahun 2006 silam. Sekedar cerita, bukan keluhan, sebagai epicentrum gempa tingkat kerusakan yang timbul di Bantul cukup besar. Kerusakan fisik paling besar disebabkan gempa utama pada tanggal 27 Mei pagi itu. Tapi hal yang membuat letih secara batin saat itu adalah gempa susulan yang terjadi hingga 2-3 bulan berikutnya.
Keputusan kapan bisa kembali masuk rumah dan bisa tidur di dalamnya, kapan sekolah bisa membongkar tendanya dan mengembalikan kegiatan belajar di dalam ruang kelas, apakah sudah aman untuk masuk bangunan besar dan tinggi, kapan pedagang bisa pindah dari parkiran ke bangunan pasar, dan lain sebagainya adalah pertanyaan yang harus dijawab masing-masing orang.
Saya mengalami sendiri tinggal di pengungsian, lalu ketika dirasa sudah cukup aman bisa kembali ke rumah. Ketika di rumah pun tidak langsung masuk, tinggal dulu di tenda sampai hitungan minggu. Perlahan berani masuk rumah pada siang hari namun tidur malam masih di luar. Lama-lama bisa tidur di ruang tamu dengan pintu terbuka sebelum berangsur normal tidur di kamar meskipun beberapa kali lari karena gempa susulan tengah malam.
Di sekolah pun kami mengalami proses dari belajar di tenda, lalu pindah ke bangunan semi permanen dari bambu, sebelum pindah ke ruang kelas yang sebenarnya setelah selesai diperbaiki. Di masjid dalam suatu salat jumat ketika sedang khotbah tiba-tiba sebagian jamaah berhamburan keluar karena merasakan getaran. Pada saat itu berada di pinggir jalan lalu ada truk besar lewat saja sensasinya seperti ada gempa, saking parnonya.
Sekarang untuk kedua kalinya saya merasakan berada di masa transisi. Tahun 2006 yang saya lakukan menikmati saja prosesnya, serba yawis, toh saya masih SD tidak banyak yang bisa dilakukan. Melangkah ke new normal harus tapi kalau resiko terlalu besar mending jaga-jaga tetap aman. Sebulan lebih setelah gempa ketika orang-orang mulai berani masuk rumah saya masih hidup di tenda, simply karena waktu itu baru sunat dan saya tidak bisa lari kalau ada apa-apa.
Menikmati rasa takut sepertinya agak susah, tapi menikmati kewaspadaan harusnya bisa dilakukan.
Salam,
Chandra
Akseyna
Setelah 6 tahun peristiwa duka itu terjadi, berita tentang Akseyna kembali melintas di timeline twitter saya. Keluarganya sampai saat ini masih terus berusaha mencari keadilan atas kasusnya. Ketika peristiwa itu terjadi Maret 2015 silam dan langsung menjadi headline berita, saya termasuk yang terkejut karena secara pribadi saya kenal Akseyna.
Almarhum Akseyna Ahad Dori adalah siswa SMAN 8 Yogyakarta angkatan 2013, satu angkatan dengan saya. Karena DIY adalah provinsi yang kecil namun padat akan event pendidikan, menjadi hal yang wajar waktu itu ketika seorang siswa punya kenalan dari berbagai sekolah lain seprovinsi. Bisa jadi ketemu di lomba, seminar, try-out, jambore, dan semacamnya. Begitu juga dengan saya kenal dengan Ace, panggilan Akseyna.
Kami sempat mewakili Provinsi D.I.Yogyakarta dalam OSN tingkat nasional tahun 2012 di Jakarta. Bersama sekitar 35an siswa lainnya dari SMA-SMA di DIY kami sempat nge-camp dan mendapat pelatihan di salah satu hotel kawasan Malioboro. Pelatihannya sekitar satu bulan dan karena dikarantina harus ijin tidak ikut pembelajaran di sekolah.
Meskipun beda cabang sehingga kelasnya terpisah (saya matematika, dia biologi), aktivitas lain seperti makan sahur dan buka, salat, tarawih, dan lain-lain dilakukan bersama-sama. Tidak bisa tidak lama-lama kenal juga, beberapa diantaranya bahkan berteman akrab sampai sekarang. Sayang waktu itu belum jamannya cekrek upload jadi saya tidak berhasil menemukan dokumentasi yang bagus.
Akseyna adalah siswa yang brilian. Tahun sebelumnya ketika masih kelas 10 dia sudah lolos OSN 2011 Manado. Jadi di 2012 dia jadi ujung tombak tim biologi DIY dan salah satu yang paling berpengalaman di kontingen OSN Jogja. Mengingat prestasinya di bidang biologi wajar jika dia meneruskan studinya di Biologi UI.
Selepas SMA saya sudah tidak keep in touch dengan Ace memang. Tapi ketika tiba-tiba berita yang muncul adalah berita duka saya tentu ikut merasa kehilangan. Ace adalah anak muda dengan potensi yang sangat besar, di masa depan dia pasti jadi 'orang'.
Tentu kesedihan saya tidak ada apa-apanya dengan apa yang dirasakan keluarganya. Apalagi sampai sekarang peristiwa ini masih jadi misteri dengan banyak dugaan dan teori-teori. Sampai lebih dari 6 tahun kepergiannya belum ada penjelasan gamblang tentang apa yang sebenarnya terjadi, tidak banyak kasus kriminal yang bisa 'tersembunyi' sampai se-lama ini.
Keluarga, terutama sang ayah, Pak Mardoto terus mengusahakan keadilan untuk anaknya. Kalau kamu baca ini yuk ikut tandatangani petisi ini: Sudah 6 Tahun, Segera Ungkap Pembunuh Putra Kami Akseyna!
Terima kasih!
Chandra
Hiburan dari Grup Mancing Mania Jogjakarta
Saya bukan orang yang hobi mancing, portfolio mancing saya minim, hanya beberapa kali mancing di pemancingan dan kali kecil samping rumah. Teknis mancingnya mungkin bisa, tapi kesabarannya saya nggak punya. Waktu kecil, kalau ada ajakan main bola atau nyepeda ke kampung-kampung sebelah saya semangat, tapi kalau diajak mancing paling cuma nonton.Kembali ke Jogja?
Drama-drama 2020 menggariskan saya untuk test drive merasakan WFH yang benar-benar WFH karena dikerjakan dari rumah bukan kosan. Saya sudah pulang 2x, masing-masing satu bulan dan dua minggu. Pulangnya karena ada keperluan, tapi extend-nya karena belum perlu ke kantor dan rasanya lebih aman tetap disana.
Untuk teman-teman yang memang ada kepentingan atau sudah sangat rindu pulang, pulang saja nggakpapa. Pastikan badan dalam kondisi sehat dan bugar. Seminggu sebelum tanggal perjalanan jaga diri baik-baik dan tingkatkan standar prokes minimal di diri sendiri. Siapkan masker, face shield, hand sanitizer dan jangan lupa dibawa pas jalan. Jangan lupa tes rapid atau swab dan tetap berdoa semoga diberi keselamatan.
Saya khawatir kalau menunggu pandemi selesai atau vaksin valid bakal sampai tahun depan. (P.S. tanggal 9 Desember masih ada rame-rame pilkada...)
Total 1,5 bulan kerja dari Jogja membuat saya menyimpulkan: kerja di Jogja itu enak banget asal gaji tetap ngikut Jakarta wkwkw
Saya mungkin ada bias sebagai orang Jogja. Masyarakat Jogja adalah masyarakat yang kebanggaan akan daerahnya tinggi. Jadi mohon dimaklumi kalau orang Jogja bias dalam menilai sesuatu tentang kotanya. Kadang disengaja, kebawa romantisme daerah istimewa.
Kembali ke WFH, rumah saya tidak ada WiFI karena pernah mau pasang tapi jaringannya belum sampai. Tethering dari HP jadi andalan ketika kerja dari rumah. Kuota lebih boros tapi nutup karena nggak perlu transport dan jajan. Beranjak sedikit dari laptop di meja makan sudah ada pisang goreng anget.
Kalau butuh internet yang kencang dan bisa diandalkan, sesekali saya ke kota. Pernah saya tuliskan di sini: https://www.chandranurohman.id/2020/08/45-menit-di-jalan.html
Keluar rumah = kulineran. Self reward afterwork jadi sangat menyenangkan karena dimana mana makanan murah dan enak. Makanan mahal dan enak ada juga sih, tapi mahalnya Jogja tetep bukan tandingannya ibukota. Kalau yang mahal dan gak enak jarang. Mie ayam 12 ribu udah sama minumnya dan enaknya gak kira-kira (re: Karman).
Faktor lain yang membuat betah kerja dari Jogja adalah orang-orangnya. Walaupun sebagian sudah merantau, tapi masih banyak teman dan saudara yang tinggal di Jogja. Nggak tau ya, tapi di Jogja itu sering kalau mau main nggak usah janjian dulu, langsung datang aja ke rumah atau tempat nongkrongnya. Kalau ke rumah dan nggak ketemu, ya ngobrol aja sama bapaknya. Berasa orangnya selo selo gampang dicari, nggak kemrungsung dikejar dunia.
Jujur saya jadi kepikiran untuk kerja dari atau di Jogja. Tapi syarat dan ketentuan berlaku, offer harus cocok dulu. Di sisi lain sekarang banyak bermunculan kantor-kantor teknologi dan startup di Jogja. Bahkan kemarin ketemu seorang teman dan dia mem-forward info lowongan software engineer.
Jogja punya banyak kampus dengan keilmuan teknik yang bagus, banyak anak muda lokal dan pendatang, biaya sewa tempat dan sumber daya murah, dan akses makin mudah dengan bandara baru dan tol. Kayanya 3-5 tahun yang akan datang bakal makin banyak bermunculan kantor digital di Jogja. Secara ladang ada kemungkinan untuk balik kesana.
Tapi di atas itu semua alasan terkuatnya adalah keluarga. Orang tua di Jogja dan sepertinya memilih untuk tetap disana. Bersama mereka satu bulan lebih menyadarkan saya bahwa ketika kita sibuk mengejar cita-cita kadang kita lupa mereka juga menua.
Opsi untuk dalam tahun-tahun ke depan berkarir di Jogja kembali saya buka. Filter job vacancy sekarang tidak hanya DKI Jakarta tapi juga D.I.Yogyakarta. Saya belum tahu jalannya akan bagaimana jadi tidak mau mengkhayal di awang-awang. Tapi kalau niatnya untuk menemani orang tua, semoga Allah berikan rute paling mulusnya. Aamiin
Finally, hari ini tanggal 2 Oktober selain hari batik adalah hari ulang tahun ibu saya. Mohon doanya beliau sehat dan bahagia.
Thanks!
45 Menit di Jalan
Dinamika pandemi yang terjadi di Jakarta membuat saya merasakan bekerja benar-benar dari rumah. Kesempatan langka yang belum tahu kapan lagi akan terjadi. Selagi masih bisa saya mau tetap di rumah. Alhamdulillah
Pekerjaan sehari-hari bisa saya kerjakan tanpa perlu keluar rumah. Tapi kalau ada video conference atau pekerjaan yang membutuhkan koneksi internet cepat biasanya saya memilih nongkrong di internet cafe yang ada di kota Jogja. Saya seperti flashback ke jaman TA dulu. Karena sudah bebas teori jadi saya bisa pulang kampung dalam waktu lumayan lama, agar supaya TA tidak terbengkalai, biasanya saya gegarapan di internet cafe.
Orang Jogja atau yang pernah kuliah di Jogja pasti tahu tempat-tempat macam Luxury, Platinum, Net City, Merapi Online, Expresso, dll. Ketika warnet-warnet konvensional berguguran, mereka masih eksis karena menawarkan sesuatu lebih misalnya tempat yang cozy banget, AC dingin, musik, dan menjual voucher wifi (tanpa bundling syarat beli makanan atau apapun) jadi bisa pakai laptop sendiri, enak kali buat nugas.
Sebagai warga Bantul selatan, butuh waktu sekitar 45 menit untuk motoran sampai Luxury. Akhirnya saya merasakan sensasi jadi commuter Bantul - Jogja, hal yang belum saya rasakan karena setelah lulus SMA langsung pindah ke Bandung. Sedangkan pas SMP SMA walaupun nglaju tapi nggak sejauh itu, 15-20 menit sampai.
Jarak kosan Cisitu dengan kampus plus minus 2 km, jarak kosan Kuningan sama kantor sekitar 1,5 km, sedangkan jarak rumah ke luxury kira-kira 27 kilo wkwk. Tapi ya karena jalanan nggak macet bisa ditempuh dalam waktu 45 menit, paling mentok 1 jam.
Waktu 45 menit di jalan ini lho yang seru. Pertama, walaupun sudah masuk jam kerja tapi saya punya alasan yang legit untuk mengabaikan WA atau email kantor, karena lagi di jalan wkwk. Bayangkan di hari senin pagi yang hectic punya waktu 'merdeka' sebanyak itu.
Waktu 45 menit juga cukup untuk merenung kemana-mana, memikirkan hal yang nggak perlu dipikirkan. Setengah dari perjalanan itu dihabiskan masih di area Bantul yang hijau, membuat perenungan jadi lebih paripurna. Benar-benar beda dengan di Jakarta dimana pikiran penuh usaha mencari rute paling nggak macet ke kantor, lalu tahu-tahu sampai.
Kenikmatan lain adalah karena di sepanjang jalan yang saya lalui ada beberapa spot tempat makan favorit, termasuk yang saya tulis disini. Trust me fren, makanan-makanan ini bukan cuma kasih nutrisi untuk badan, tapi juga pikiran, mood auto naik habis makan. Fyi, di samping Luxury banget ada Tempo Gelato, kurang nikmat apa coba?
Selain deretan tempat makan juga ada deratan tempat penuh kenangan haaiyaa...
Kadang sepanjang jalan juga ketemu yang lucu-lucu, misal bapak-bapak bawa gerobak ditarik 2 sapi besar di Jalan Parangtritis. Jangan dibayangkan seperti delman atau dokar, ini gede ukurannya nyaris menghabiskan satu lajur jalan, jadi mobil harus gantian lewat. Kalau disapa bapaknya nyahut.
Man, I spent the whole August till now in Bantul, banyak ide tapi nggak gerak nulis. Sekian dulu barangkali tulisan pertama dari Jogja di Agustus ini. Terima kasih sudah membaca.
Chandra
Rute Galau
Sebagai orang yang coping mechanism-nya riding naik motor tanpa tujuan, saya lumayan rajin eksplor jalanan di kota-kota tempat saya tinggal. Kadang untuk membersihkan pikiran atau sekedar membunuh waktu menunggu buka puasa. Beban kuliah maupun pekerjaan, aktivitas yang memosankan, konflik pertemanan hingga percintaan semua butuh pelampiasan. Tiga kota Jogja, Bandung, dan Jakarta memberikan jalan.Bola Sepak Plastik
![]() |
SD saya dulu, entah gawangnya ditaruh mana, gambar dari google street view |
Kami bermain tanpa alas kaki. Sayang sepatunya kalau dipakai main bola. Sebenarnya ada sepatu bola, tapi dalam permainan kami satu nyeker semua nyeker. Kasihan kalau ada yang telanjang kaki lalu terinjak sepatu, tentu sakit sekali. Kaki berdarah adalah sebuah keniscayaan. Kami bermain di sembarang tempat. Di sana ada batu, sisa akar pohon, bekas pondasi bangunan, dan lain sebagainya.
Apa yang kita pengen di masa lalu kalau sekarang ada duitnya kita bisa beli barangnya tapi nggak bisa beli kebahagiannya.
Adzan maghrib berkumandang, saatnya untuk pulang.
Jogja dan UMR-nya
Saya adalah orang yang mengapresiasi proses yang dialami oleh seseorang atau sesuatu daripada kondisi dimana dia memulai dan dimana dia sekarang. Bagi saya seberapa istiqomah seseorang memperbaiki diri lebih penting daripada bagaimana keadaannya sekarang. Saya pernah menulis soal ini di Posisi, Kecepatan, Percepatan
Posisi yang tinggi saat ini tidak berarti banyak kalau setiap hari trennya terus menurun. Sebaliknya orang yang awalnya diremehkan kalau dalam setiap waktunya selalu introspeksi diri dan melakukan perbaikan lambat laun (bahkan ada yang dengan cepat) akan naik. Itu yang membuat roda kehidupan terus berputar.
Bukan hanya dalam menilai seseorang. Pendekatan yang sama juga saya gunakan dalam melihat benda-benda mati, bahkan non-fisik. Salah satunya UMR Jogja yang selama ini dikeluhkan angkanya terlalu kecil
Jogja itu terbuat dari UMR terendah, kesenjangan ekonomi terparah (indeks gini tertinggi), tapi pembangunan manusia tertinggi (IPM tertinggi) dan paling bahagia (indeks kebahagiaan tertinggi di jawa). Jadi, cari materi yang gak gampang di Jogja. Carilah sehat, cerdas dan bahagia - @iqbal_kautsarJogja adalah daerah istimewa dengan sejarah yang panjang. Jogja adalah kota yang besar sejak ratusan tahun yang lalu bahkan pernah menjadi ibukota sementara. Semua cerita-cerita manis masa kerajaan Mataram hingga penjajahan tentulah menunjukkan Jogja adalah kota yang maju sejak dulu. Foto-foto lama membuktikan bahwa infrastruktur kota ini modern pada masanya dengan jalan yang lebar dan bagunan-bangunan kokoh.
Jogja, atau DIY pada umumnya adalah daerah yang dihormati karena sejarah dan tradisinya. Sampai saat ini dalam benak saya Jogja sejajar dengan kota-kota besar macam Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang dan lain sebagainya. Sayangnya tidak begitu, setidaknya dari sisi ekonomi.
Budaya merasa cukup dan tidak banyak menuntut adalah salah satu yang lekat dengan masyarakat Jogja. Tapi seiring berjalannya waktu, ketika arus informasi kian tak terkendali, sebagian masyarakat Jogja tidak lagi menganggap itu cara hidup yang rasional.
Ekonomi cakupannya luas, saya ingin mempersempitnya menjadi kesejahteraan. Walaupun rejeki bukan hanya uang, tapi kalau mau mengukur kesejahteraan suatu wilayah salah satu parameternya adalah UMR daerah tersebut. Sebab, UMR ini diturunkan dari perhitungan Kebutuhkan Hidup Layak (KHL).
Biaya hidup di Jogja murah. Budaya gotong royong dan kerukunan antar warganya juga membantu menekan biaya hidup di atas kertas. Penghasilan 1,8 juta perbulan cukup untuk hidup layak di Jogja, tapi apa cukup untuk hidup nyaman dan aman? Untuk makan sehari-hari cukup, tapi bagaimana kalau pekerja dengan upah sekian ingin memiliki hunian?
Apakah angka 1,8 juta perbulan kecil? Iya. Mari jangan bicara dulu soal Surabaya dan Bandung, UMR Kota Yogyakarta (Rp1.846.000) yang tertinggi di Provinsi DIY bahkan lebih kecil daripada Banyuwangi (Rp2.132.779), serta jauh lebih kecil dari Kota Malang (Rp2.668.420), Denpasar (Rp2.553.000), dan Kota Semarang (Rp2.498.587), serta tidak sampai setengahnya Sidoarjo (Rp3.864.696). See?
Apakah sekarang Jogja sudah beda level dengan kota itu? Sekarang Jogja satu level dengan Kabupaten Garut, Majalengka, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lumajang, dll kalau dilihat dari segi UMR yang di angka 1,8 juta-an.
Lupakan daerah-daerah middle class macam Cirebon, Kediri, Lombok, Bengkulu, dll karena mereka lebih tinggi dari Jogja. Fakta lain, UMK terendah di Jawa Timur adalah Ngawi (Rp1.763.267) masih lebih tinggi dari Kabupaten Sleman (tertinggi kedua di DIY setelah Kota Yogyakarta).
Mengenai angka-angka itu silakan dicari lebih jauh datanya banyak tersebar di internet. Saya coba bergerak sedikit lebih jauh dengan berbekal pertanyaan: angkanya memang kecil, lalu bagaimana dengan perubahannya dari tahun ke tahun?
Saya coba kumpulkan data UMR beberapa daerah tahun 2009 dan 2019. Namun untuk kota dan kabupaten di DIY saya hanya menemukan data dari tahun 2014.
Dari data yang berhasil saya dapatkan, angkanya saya tabulasikan dalam tabel berikut:
Dari tabel tersebut bisa dilihat bahwa selain nilai UMR yang rendah, pertumbuhan UMR di D.I.Yogyakarta juga alon-alon waton kelakon. Untuk Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Bantul saya melakukan ekstrapolasi linear sehingga angka persentase kenaikan di situ sudah dinormalisasi sesuai data yang lain yaitu kenaikan selama sepuluh tahun terakhir. Sementara untuk Provinsi DIY secara keseluruhan data tahun 2009 tersedia sehingga tidak perlu dilakukan ekstrapolasi serupa.
Hasilnya, dapat dilihat bahwa UMR DIY hanya naik 124% selama 10 tahun terakhir. Bahkan Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul memiliki angka pertumbuhan yang lebih kecil. Peningkatan ini hanya sekitar setengah pertumbuhan UMR di kawasan Jabodetabek, Bandung, dan Semarang. Kota-kota besar di Jawa Timur bahkan tumbuh hingga 300% lebih.
Kita perlu berdiskusi tentang penyebab rendahnya rate kenaikan UMR di DIY dibandingkan daerah lain di Indonesia. Dalam pikiran saya, kondisi ini disebabkan oleh faktor dari dalam yaitu masyarakat DIY sendiri. Sebagai wilayah dengan sejarah yang panjang dan budaya yang melekat, warga DIY tampaknya mengambil posisi konservatif dalam menghadapi perkembangan jaman.
Nilai-nilai seperti sopan santun, gotong royong, dan lain sebagainya diturunkan dari generasi ke generasi dan membuat nilai ini terjaga sampai saat ini. Kerukunan dan kepedulian antar warga membuat cost hidup di Jogja menjadi jauh lebih murah daripada daerah-daerah lain.
Pada level pengambil kebijakan, dengan masih kuatnya supremasi Kraton, ditambah gerakan para SJW (social justice warrios) membuat Jogja tidak begitu friendly bagi pemodal besar yang ingin menanamkan investasi di daerah ini dalam bentuk usaha atau infrastruktur masif. Pada satu sisi ini menjadi penyebab tertinggalnya Jogja dibanding kota-kota macam Bandung, Semarang, dan Surabaya dalam hal pembangunan. Namun di sisi lain warga lokal Jogja tidak merasa perbandingan itu penting, yang penting mereka dapat hidup nyaman dan stabil di kota tercintanya.
Adanya Sultan Ground (SG) yang tersebar di seluruh penjuru DIY membuat hampir tidak mungkin di DIY akan berdiri kota mandiri raksasa seperti BSD atau Kota Baru Parahyangan. Dalam pembangunan infrastruktur jalan tol juga Sultan tidak ingin tol dibangun di permukaan tanah tetapi harus elevated walaupun biayanya jauh lebih mahal. Hal ini membuat infrastruktur Jogja tidak semaju kota-kota besar lainnya di Indonesia.
DIY kurang menggiurkan bagi investor karena aksesnya yang terisolasi dari kota besar lain dan tidak memiliki infrastruktur penunjang produksi skala besar. DIY tidak (atau belum) terhubung jaringan tol, tidak punya pelabuhan untuk pengiriman logistik, dan operasi bandara baru belum maksimal. Akibatnya tidak banyak modal (uang) masuk ke Jogja. Hidup masyarakat Jogja adem ayem, namun kalau dihitung dengan uang kurang menggiurkan.
Tapi kebahagiaan tidak semata-mata uang. Kedamaian dan kemudahan hidup di Jogja adalah sesuatu yang menggoda bagi orang yang ingin tinggal di sana. Banyak pertimbangan orang ingin bekerja dimana dan tidak semuanya bisa kita pahami. Pertimbangan dekat dengan keluarga adalah sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan angka.
Jogja dikenal sebagai kota pelajar dengan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang namanya harum hingga tingkat nasional. Jogja juga kota yang mampu mempertahankan budayanya ditengah gempuran modernisasi. Tinggal di Jogja sama sekali bukan pilihan yang buruk.
Kita sebagai generasi milenial punya pertimbangan yang lebih besar dalam memilih dimana kita akan tinggal. Marilah kita bertanya dimana kita akan lebih bermanfaat, lalu tujulah tempat itu.
Khairunnas anfa'uhum linnasSebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi manusia lainnya. Jika memang kita akan lebih berguna di ibukota, pergilah walaupun orang bilang ibukota kejam. Jika memang mampu mengembangkan daerah-daerah terdepan, berangkatlah, rangkul masyarakat di sana dan tingkatkan taraf hidupnya. Jika memang lebih baik di Jogja, pergilah dan rasakan kenyamanan hatinya.