Showing posts with label jogja. Show all posts

Fatwa Hatimu

Ah pick me banget mosok band favorit Letto.
Ah itu mah dumeh sama-sama dari Jogja.
Alah si paling maiyahan.

Yaa tentu nggak juga kalau saya cuma dengar Letto, saya pastinya growing up bersama Peterpan dan Radja juga jaman-jaman itu. Letto justru baru saya sadari karyanya bagus setelah beranjak dewasa. Gimana bisa bikin lagu dengan lirik seperti ini tapi nggak dianggap lagu religi.

Teringat ku teringat
Pada janji-Mu ku terikat
Hanya sekejap ku berdiri
Kulakukan sepenuh hati
Peduli ku peduli
Siang dan malam yang berganti
Sedihku ini tak ada arti
Jika Kau-lah sandaran hati
(Sandaran Hati)

Penggalan lirik itu bisa dianggap lagu cinta-cintaan biasa (dan itu yang saya rasa dulu). Tapi seiring berjalannya waktu justru lebih pas kalau -Mu dan Kau- nya dalam huruf besar. Banyak musik 2000an yang masih enak didengar sampai sekarang, seperti intronya Mimpi Yang Sempurna atau bagian solo gitarnya Manusia Biasa. Sayangnya kebanyakan lagu-lagu itu liriknya terasa cringe kalau didengar dan dibaca sekarang. Itulah yang menurut saya beda dari Letto, liriknya age well, makin tua tidak jadi cringe tapi malah makin enak dirasakan.

A soft summer rain
A smile that hides a pain
Why should you be ashamed
'Cause in every life a little rain must fall
(Truth, Cry, and Lie)

Di jaman itu tidak banyak musisi atau band Indonesia yang merilis lagu dalam bahasa asing karena 'tekanan' label. Beda dengan sekarang yang semua bisa merilis sendiri/indie sehingga variasinya sangat beragam. Dulu satu Melayu ya Melayu semua. Letto satu dari beberapa yang bisa agak melenceng, dan melencengnya sampai sekarang. Misalnya dengan mengeluarkan lagu berbahasa Jawa berjudul Kangen Deso ini. Pada 2010 vokalis Letto memproduseri film berjudul Minggu Pagi di Victoria Park, lagu ini bisa dibilang 'versi musik' dari film tersebut.

Jroning rasa tan kuwowo [dalam hati tak kuasa]
Kangen marang kluwargo [kangen pada keluarga]
Lungo adoh saka ndeso [pergi jauh dari desa]
Golek sandang lan boga [mencari pakaian dan makan]
(Kangen Deso)

Elingo sliramu marang [ingatkah engkau kepada]
Embun enjang kang prasaja [embun pagi bersahaja]
Nemoni sliramu [yang menemanimu]
Tumekaning cahyo [sebelum cahaya]
(Sebelum Cahaya - live version)

Tentu saya juga mengerti Letto tidak bisa disejajarkan dengan legend macam Dewa atau Sheila On 7. Sheila tetap jadi top of mind ketika bicara grup band Jogja, arguably band Jogja pertama yang bisa menembus Jakarta dan panggung internasional. Hanya ada beberapa hits dari Letto yang semua orang tahu seperti Sebelum Cahaya dan Ruang Rindu (jadi sangat terkenal karena dipakai soundtrack sinetron). Tapi banyak hidden gem di album-album Letto yang tidak terlalu banyak didengarkan tapi kalau didalami liriknya seperti keluar dari buku bukan album lagu.

Rasa kehilangan hanya akan ada
Jika kau pernah merasa memilikinya
(Memiliki Kehilangan)

Far too many emotions 
That taint my soul
Before my faith
And often I drown in the moment
When in the end they are ephemera
(Ephemera)

Meskipun banyak dari kalimat-kalimatnya bersayap, tidak semuanya lantas bernuansa sendu. Beberapa menghangatkan hati dan bisa dipakai untuk menyampaikan pesan pada yang tersayang. 

Tapi saat ku merasa sepi
Desir angin pun tak menemani hati
Tapi saat ku tak punya mimpi
Hanya engkau (Engkau) yang selalu memberikan arti
(Tapi Saat)

Ku tahu mawar tak seindah dirimu
Awan tak seteduh tatapanmu
Tapi kau tahu yang kutunggu
Adalah senyumanmu
(Senyumanmu)

Tentang kita dan tentang cinta
Tentang janji yang kau bawa
Jika nanti saat kau sendiri
Temukanku di fatwa hatimu
(Fatwa Hati)


Sekian corat-coret malam minggu saya sebagai top 0.6% Letto listener in 2024 on YouTube Music. Rasanya dengan statistik seperti itu saya sudah boleh self-proclaim sebagai Pletonic hahaha. Ambil baik-baiknya saja.


Chandra

Starstruck

Orang bisa starstruck misalnya saat bertemu public figure yang ia ikuti kehidupannya, seniman yang ia sukai karyanya, politisi yang ia dukung sejak lama, penulis yang bukunya ia baca, dan lain sebagainya. Saya barusan starstruck karena ketemu sebuah lukisan.



Padahal seharusnya lukisan ini memancing rasa marah atau minimal gusar. Sebab apa yang digambarkan di sana adalah salah satu momen paling miris dalam sejarah perjuangan melawan kolonialisme, yaitu peristiwa penjebakan Pangeran Diponegoro. Perang yang dipimpin Pangeran Diponegoro adalah salah satu yang paling berat bagi Belanda walaupun secara durasi relatif pendek, hanya 5 tahun dari 1825 sampai 1830. Ini perang yang sangat membangkrutkan sampai-sampai secara tidak langsung menyebabkan Belgia merdeka dari Belanda.

Karena sudah sangat merugikan, Belanda memutuskan untuk menjebak Pangeran Diponegoro dengan cara mengajak melakukan perundingan. Namun licik, saat perundingan sedang berlangsung Pangeran Diponegoro malah ditangkap. Peristiwa itu dipotret melalui lukisan oleh dua orang berbeda, yaitu Nicolaas Pieneman dari Belanda dan Raden Saleh dari Indonesia. Sudut pandangnya tentu berbeda, siapa yang melukis dia yang bercerita. Pada versi Pieneman, ditampilkan seolah Pangeran Diponegoro menyerah pada Belanda. Sementara pada lukisan Raden Saleh ditunjukkan bahwa Pangeran Diponegoro dikhianati dan ditangkap, bentuk fisik orang kulit putihnya sengaja dibuat kurang proporsional sebagai bentuk protes. 

Versi Raden Saleh
Judul: Penangkapan Pangeran Diponegoro (Gevangenname van Prins Diponegoro)
Tahun: 1857
Saat ini disimpan di: Museum Kepresidenan, Yogyakarta, Indonesia

Versi Nicolaas Pieneman
Judul: The Arrest of Diponegoro by Lieutenant General De Kock
Tahun: circa 1830-1835
Saat ini disimpan di: Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda

Peristiwa ini sendiri terjadi pada 28 Maret 1830 di Wisma Residen Kedu di Magelang. Di hari itu pula Pangeran Diponegoro diasingkan, tampak pada lukisan Pieneman Jenderal De Kock menunjuk ke arah kereta yang akan membawa Pangeran Diponegoro ke Semarang, Batavia, Manado, lalu Makassar. Ini berbeda dengan gambaran Raden Saleh dimana digambarkan Pangeran Diponegoro menegakkan kepalanya dan berdiri sejajar dengan De Kock. 

Adanya dua lukisan untuk peristiwa yang sama ini menjadi bahasan di kalangan kritikus seni. Muncul banyak persepsi seperti lukisan Pieneman berlatar siang hari sementara milik Raden Saleh ambigu antara pagi atau petang, mengisyaratkan kolonialisme akan berakhir dan kemerdekaan akan lahir. Lukisan Raden Saleh juga digambar dari sudut bangunan yang berbeda, kemungkinan untuk tidak menampilkan bendera Belanda. Pendukung Pangeran Diponegoro pada lukisan Raden Saleh ada yang menggunakan pakaian bangsawan dan pakaian santri, ini untuk menunjukkan persatuan. Selain itu tentu proporsi tubuh tadi, raut muka, tone warna, dan suasana jadi pembeda dua lukisan di atas.

Beberapa fakta menarik:
- Raden Saleh bertahun-tahun belajar seni di Eropa atas biaya pemerintah Belanda, di sana ia belajar salah satunya dari Nicolaas Pieneman. Jadi kedua seniman ini punya hubungan guru-murid.
- Raden Saleh tidak pernah bertemu Pangeran Diponegoro. Tapi pada lukisannya ia menyisipkan wajahnya menjadi salah satu pengikut Pangeran Diponegoro sebagai tanda bahwa ia berada di pihaknya.
- Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro aslinya adalah ucapan terimakasih Raden Saleh pada raja Belanda atas biaya yang sudah diberikan selama belajar, lukisan itu sempat disimpan di berbagai tempat di Belanda sebelum direpatriasi ke Indonesia pada 1970.
- Lukisan sempat direstorasi pada 2012 karena mengalami kerusakan.
- Lukisan Pieneman awalnya adalah milik keluarga De Kock kemudian didonasikan ke kerajaan Belanda. Dari caption yang ada di museum, diakui bahwa peristiwa itu adalah sebuah 'betrayal'.


Di luar apa yang diceritakan Pieneman melalui lukisannya yang ada di Rijksmuseum, seberapa bagus estetikanya, dan bagaimana museum menampilkannya, mungkin ini adalah titik terdekat yang pernah saya capai dengan sejarah Pangeran Diponegoro. Dan sebagai orang Jawa khususnya Jogja/Mataram, buat saya ini sesuatu. Bukan orangnya, hanya cerita dan peninggalannya sudah cukup membuat starstruck. 

Lukisan ini didisplay di ruangan yang menyimpan barang-barang seputar Dutch East Indies. Di sana ada buku Max Havelaar karya Multatuli, ilustrasi baju bangsawan Jawa, maket pasar tradisional, foto-foto KNIL, lukisan Postweg (Jalan Raya Pos), lukisan pabrik gula di Jawa Tengah, dan beberapa barang dari Suriname, Antilles, dan Jepang.



Lukisan Diponegoro membuat kunjungan ke museum hari ini bukan hanya sekedar hiburan tapi juga pelajaran sejarah. Ruangan yang memajang sejarah kolonialisme ini jadi yang paling lama saya tongkrongi dan paling banyak ambil gambarnya. Padahal ini hanya sebagian kecil dari Rijksmuseum, bagian lain memajang karya seni terutama lukisan dari berbagai abad dan era, mulai 1100-an hingga 1800-an. Ada juga perpustakaan dengan koleksi ribuan buku yang kalau di deskripsinya dituliskan sampai 1 kilometer, mungkin itu kalau bukunya dijejer-jejer. Technically in museum terbaik dan 'termahal' yang pernah saya kunjungi.





Tentang Rijksmuseum, ini adalah salah satu museum yang jadi destinasi wisata favorit di Amsterdam. Orang yang mau datang harus reservasi dulu secara online di rijksmuseum.nl. Ini untuk mengontrol jumlah pengunjung saking banyaknya yang mau masuk. Pemegang museum kaart tidak perlu membayar tiket lagi tapi tetap perlu reservasi. Museum ini berada di kawasan Museumplein, berdekatan dengan Van Gogh Museum (ini juga harus reservasi), Stedelijk Museum, dan Moco Museum. Dari stasiun Amsterdam Centraal pengunjung bisa naik tram dan turun di halte Museumplein atau Rijksmuseum. 



Pieneman sudah, mungkin nggak ya suatu hari lihat lukisan asli versi Raden Saleh?

Chandra

What 'Belum Ada Zonasi' Did To You?

Banyak yang bilang, 'andai dulu sudah ada zonasi, tentu saya yang dari kampung ini tidak akan bisa masuk SMP A, SMA A, lalu kuliah di A, sehingga sekarang jadi A'. 

Meskipun saya juga berasal dari daerah pinggiran kabupaten, somehow ini tidak berlaku untuk saya. Walaupun dari SD sampai SMA di sekolah negeri, saya tidak pernah daftar sekolah pakai NEM dan tidak pernah ikut PPDB. Sehingga ada tidaknya zonasi bisa dibilang nggak ngaruh. Jadi begini..

Waktu SD, orang tua mendaftarkan saya ke sekolah dekat rumah sebagaimana umumnya teman-teman sebaya di sana. Sebuah SD negeri sederhana yang oleh tetangga sekolah lebih akrab disebut SD inpres karena dibangun atas Instruksi Presiden jaman Pak Harto. Sekolah ini seperti gambaran yang muncul di kepala kalian kalau mendengar kata SD di desa. Semua yang daftar kesana diterima, 99% diantaranya adalah warga sekitar. Orang-orang tua menyekolahkan anaknya di sana karena dekat dan tidak perlu nyebrang jalan raya. Cuma ada satu teman saya yang rumahnya agak jauh, dia sekolah di situ karena bapaknya guru. 

Waktu itu di desa saya belum ngetren yang namanya menyekolahkan anak ke sekolah favorit di kota kabupaten, top of mind ketika mendaftar SD ya yang dekat rumah. Favorit atau tidak itu urusan belakangan, yang penting si anak bisa bersosialisasi dan punya teman. SD saya ini favorit tingkat kecamatan saja belum, lomba olahraga sering kalah, drumband alatnya kalah mewah, cuma akademik saja yang lumayan menyala di tahun-tahun terakhir sebelum sekolahnya tutup :)

                  Sekolah kami dari street view

Yes, sekolah kami sudah tutup, angkatan saya adalah lulusan terakhirnya. Saya tidak tahu persis sebabnya, setelah gempa 2006 pemerintah banyak melakukan regrouping dan SD kami adalah salah satu 'korbannya'. Suasananya agak sedih dan marah waktu tahu sekolah akan digabung waktu itu karena dalam banyak aspek sekolah ini sedang tumbuh, lagipula tidak ada SD negeri lain yang dekat dari sana. Pada akhirnya gedung sekolah yang kosong itu dipinjam oleh Muhammadiyah untuk dijadikan SD Muh, adik kelas saya yang masih sekolah pindah nyaris semuanya ke SD Muh itu. Cuma ada satu siswa yang ikut diangkut pindah ke sekolah negeri yang baru, fail banget kebijakannya.

Setelah regrouping itu bapak ibu ex-guru dan alumni masih saling kontak, di beberapa kesempatan kami ketemu dalam acara syawalan saat lebaran. Kami dengar bahwa beberapa guru jadi rebutan sekolah-sekolah lain karena dianggap bagus, saya sih tidak heran karena beberapa guru menurut saya memang pintarnya di atas rata-rata. SD kami kalau lomba ekstrakurikuler babak belur karena keterbatasan fasilitas, tapi kalau lomba matematika-IPA not bad.

Kakak kelas saya juara 1 lomba IPA se kabupaten, sekarang dia sedang PPDS di UGM, S1-nya dulu juga masuk kedokteran UGM jalur reguler. Tahun berikutnya saya juara 2 di ajang yang sama. Di angkatan saya, selain saya saat ini banget ada satu orang di Inggris dan satu orang di Jepang. Memang ini bukan standar 'kesuksesan', but still sampai sekarang masih dongkol kenapa sekolah yang punya potensi, melayani warga beberapa desa, dan dapat nilai ujian akhir daerah ranking 1 sekecamatan (orangnya sekarang di Manchester) malah ditutup dan digabung ke SD yang prestasinya lebih di bawah (tapi lebih tua). Bisanya bilang prestasi sekecamatan aja, karena kalau sekabupaten out of question, sebab ada satu kecamatan di pinggiran Bantul juga yang entah kenapa anaknya pinter-pinter, zonasi benefits them karena sekarang SMA di wilayah itu makin bagus, will get to that.

Cukup cerita SD-nya, beranjak ke SMP. Di Jogja ada koran Kedaulatan Rakyat (KR). Rumah kami dulu langganan itu sebelum masuknya kanal berita digital. Suatu hari ibu saya melihat iklan di KR tentang try out yang diselenggarakan SMPN 1 Bantul, sekolah paling favorit di Bantul (saat itu, sekarang masih gak ya). Daftarlah saya jadi salah satu dari 1181 peserta, banyak banget sampai harus pinjam ruang kelas SMA 2 yang ada di depannya. FYI info-info event dan lomba seperti ini sering tidak sampai ke SD saya mungkin karena saking 'jauh'-nya, atau barangkali sampai tapi guru tidak mengumumkan karena khawatir dikira mewajibkan ikut. Saya, berdua teman, pernah hampir ikut lomba matematika Pasiad di Kota Jogja, tapi pas sudah dekat batal berangkat :)

Saya merasa inferior di try out itu karena siapalah saya yang dari SD antah berantah ini. Banyak anak-anak dari SD negeri dan swasta bagus di kota kabupaten, rame-ramean pula. Saya mengerjakan soal tanpa ambisi, orang tua menunggu tidak jauh dari lokasi karena dikira acaranya nggak lama. Setelah selesai peserta menunggu proses koreksi sambil lihat-lihat sekolah bagus itu, lalu sekitar satu jam kemudian kami diminta masuk ke dalam ruangan lagi untuk dibagikan hasilnya. Sebelum mengumumkan panitia meminta saya dan satu anak lagi di ruangan kami untuk pindah ke lab biologi, tapi dia tidak bilang untuk apa. Ternyata ranking 1 sampai 20 dari babak pertama tadi dikumpulkan lagi untuk babak final. Serius saya bahkan tidak tahu kalau try out ini ada finalnya, saya cuma ikut karena mau tahu kesiapan saya untuk ujian akhir (dan mau memastikan pensil 2B saya valid dipakai di LJK). Di babak final ini soalnya essay menjurus olim.

Pada akhirnya di final saya nggak menang, dapat rangking 13. Tapi yang paling penting justru pengumuman yang disampaikan kepala sekolah saat pidato penutupan, beliau bilang bahwa di tahun itu SMPN 1 Bantul membuka kelas RSBI alias Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional angkatan pertama. Saya mendaftar karena why not, pendaftaran dan tesnya dilakukan sebelum PPDB reguler sehingga kalau belum diterima pun nanti bisa daftar jalur normal. Lagi-lagi informasi soal RSBI ini tidak sampai ke SD saya, jadi semua info dicari sendiri. Setelah mendaftar ada tes, bridging course selama 2 minggu (sekolah di SMP padahal belum lulus SD), tes lagi, lalu alhamdulillah diterima. Teman seruangan yang dipanggil ke lab biologi tadi akhirnya jadi teman sekelas saya 3 tahun, classmate paling jenius selama saya sekolah. Di antara 20 finalis tadi juga banyak yang berteman sampai sekarang. 

Itu RSBI pertama dan pelaksanaannya sangat serius. Kelas kami diberi komputer, proyektor, AC, meja kursi baru, dan lain-lain. Aktivitas khusus kelas RSBI juga banyak, ekstrakurikulernya beda, ada lomba dan event khusus sekolah RSBI, niat banget lah saat itu karena targetnya untuk menghapus huruf R sehingga menjadi SBI. Walaupun akhirnya malah program RSBI dihentikan karena dianggap tidak sesuai dengan semangat kesetaraan pendidikan. 

Di jenjang berikutnya saya mendaftar RSBI lagi di SMAN 1 Bantul, walaupun kali ini rasa RSBI-nya sudah pudar karena semua kelas statusnya sama, tidak seperti pas SMP yang mana RSBI hanya 2 kelas berisikan 50-an anak. Meski begitu masuknya tetap dengan tes sehingga lagi-lagi saya tidak perlu ikut PPDB. Saya tidak mendaftar PPDB Kota Jogja untuk mencoba masuk sekolah favorit di sana seperti yang banyak dilakukan anak-anak dari kabupaten. Saya tidak daftar karena jarak yang jauh dari rumah dan ada beberapa sebab lain. Jadilah saya seumur hidup tidak pernah mendaftar sekolah pakai NEM, dan karena itulah andaikata saat itu sudah ada zonasi mungkin tidak ada pengaruhnya anyway.

***

Tentang zonasi, kalau saya lihat perdebatan di Twitter itu selalu bertabrakan antara dua pandangan atau prioritas yang berbeda. Orang yang pro zonasi berpendapat bahwa pendidikan mesti adil dan setara, baik secara kualitas maupun akses. Harapannya setara pada kualitas yang tinggi, kalau belum ya mesti maju bareng jangan sampai timpang antara sekolah bagus dan sekolah belum bagus. Sementara itu yang kontra zonasi mengkhawatirkan bahwa akan ada talent berbakat yang tersia-sia hanya karena faktor lokasi rumah yang mana si anak nyaris tidak punya kuasa atas itu. Kesetaraan dan anak berbakat sama-sama penting untuk negara, itu masalahnya.

Perdebatan zonasi sampai di topik boleh tidaknya ada sekolah favorit baik secara faktual maupun konsep, bagaimana mitigasi banyaknya kasus pindah KK untuk daftar sekolah (ini sudah ada sejak jaman saya masuk SMA karena efek kuota luar kota), penting tidaknya peer-teaching, daya tampung sekolah vs populasi, dan lain sebagainya. Menurut saya zonasi ini bisa bagus. Kata kuncinya bisa yang tercetak miring karena ada banyak syarat yang mengikutinya. 

Pertama persentase jalur masuk harus dikalibrasi secara benar sehingga kuota jalur zonasi, prestasi, dan jalur lain 'imbang'. Imbang tidak berarti harus sama secara angka, yang penting aksesibilitas dan meritokrasi bisa jalan berbarengan. Untuk sampai ke kalibrasi yang tepat memang butuh waktu, jadi sangat mungkin akan ada beberapa angkatan yang 'dikorbankan'. Ini juga mesti diperhatikan sampai level kabupaten kota karena tiap daerah punya karakter yang berbeda. 

Kedua, permainan pindah-pindah KK perlu dihentikan karena percuma regulasi bagus kalau pelaksanaan amburadul dan aturan dipencoloti. Sulit? Iya, karena yang harus diawasi banyak banget. Maka turunkan motivasinya dengan menurunkan persentase zonasi yang sekarang minimal 50%, katakan ubah jadi 30-40%, sehingga dorongan orang untuk pindah KK agar memenuhi syarat zonasi berkurang karena lebih longgar lewat jalur lain. Ini relate dengan poin sebelumnya soal kalibrasi.

Ketiga, konsep sekolah favorit itu nggakpapa, nggak mungkin semua bisa setara apalagi kalau menghitung sekolah swasta. Makanya ada yang namanya akreditasi di mana untuk tiap tier ada standarnya. Pastikan akreditasi ini works: kriteria dibuat dengan benar dengan melibatkan ahli lalu penilaian dilakukan oleh asesor yang kompeten, independen, dibayar dengan baik, dan berani bilang jelek jika memang jelek. Kalau akreditasi benar-benar dijalankan, kita bisa ambil titik 'setara' di saat semua sekolah sudah terakreditasi A misalnya. Selanjutnya jika ada sekolah, guru, siswa yang ingin going extra miles ya silakan itu bagus. Pada jangka panjang kita berharap pendidikan se-Indonesia bisa bagus semua jadi perbedaan antara satu sekolah dengan sekolah lain hanya masalah alamat saja. Sekarang seberapa percaya masyarakat dengan akreditasi ketika kampus abal-abal nggak jelas aja bisa kasih gelar Dr HC?

Keempat, ini wildcard. Saya kepikiran, kan ada kuota jalur prestasi, kenapa yang jalur prestasi ini nggak pakai tes saja tapi semua orang boleh daftar regardless tinggal dimana? Dengan begitu yang masuk benar-benar tersaring, bukan berkat nilai raport yang nggak bisa dibandingkan satu sama lain karena yang ngasih nilai beda sekolah dan beda guru (di-incentivize ngatrol-ngatrol nilai juga). Toh nantinya di saat mau kuliah seleksinya ada yang dengan tes juga. 

***

Membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang besar, itu kan semangatnya. Lihat hasil UTBK SMA di Bantul tahun 2022 ini:

Traditional fav SMA 1 dan 2 turun, sementara yang lain naik. Tapi tidak ada yang lebih signifikan daripada SMAN 1 Sanden. Sanden ini adalah sebuah kecamatan di selatan Bantul yang saya sebut tadi, mepet pantai dan jauh dari kota, tapi terkenal pendidikannya bagus dan anaknya pinter-pinter. Balik ke soal hasil ujian SD, di kecamatan saya nilai tertingginya 27.27 (max 30.00) yang didapat teman sekelas saya. Sementara itu di Sanden adalah 28.80, ini nilai tertinggi se-Bantul tahun itu. Di tryout yang pesertanya 1100an tadi, ada sebuah SD negeri di Sanden yang 'mengirimkan' 5 siswa, 4 diantaranya masuk final 20 besar, that's BPK Penabur number. Di jenjang SMP, 1 Sanden dan 1 Bantul sudah wheel-to-wheel sejak dulu, kini saat zonasi diterapkan SMA di sana jadi sangat terkerek prestasinya. 

Saya sih berharap semoga di Bantul ekuilibrium antara zonasi dan meritokrasi ini sudah atau segera ketemu, jadi sekolah negeri di semua kecamatan bisa terkerek tanpa menyebabkan kemunduran pada sekolah yang sebelumnya sudah baik. Hasil di atas lumayan menaikkan optimisme karena banyak panah hijaunya. Cherrypicking? Maybe yes maybe no, tapi di 2021 lebih gila lagi, 400 peringkat naik wkwk. 

Sekarang menterinya baru, urusan dikdasmen juga dipisah dari dikti. Katanya menteri yang baru menjabat ini juga dipilih karena kompetensi (eks kepala BSNP) bukan konsesi. Mari berharap sambil tetap memberikan kritik konstruktif agar pendidikan di Indonesia semakin maju, semua orang punya akses pada pendidikan yang berkualitas, dan bakat-bakat dari kota besar maupun desa terpencil bisa terfasilitasi. Saya banyak pakai nilai-nilai eksak akademis di sini karena itu yang datanya paling mudah didapat, tapi bakat bukan cuma itu, ada banyak anak punya potensi di bidang seni, olahraga, leadership, bisnis, dan lain sebagainya yang semuanya adalah calon mutiara yang bisa dipoles.

Because while student is 20% of our population, they are 100% of our future - Prince Ea


Thanks,
Chandra

Fiets Gazelle

Saya sudah mendengar bahwa ada banyak kemiripan kata dari bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia atau Jawa, tapi saya tidak menyangka ada bidang-bidang tertentu yang kemiripannya bukan main. 

Saya kemarin lewat sebuah kawasan berisi beberapa bengkel dan pusat suku cadang mobil. Dari situ saya tahu asbabun nuzul kita di Indonesia menyebut bagian yang berputar dari kendaraan itu ban dan velg. Dalam bahasa Inggris mereka disebutnya tyre dan rims, namun dalam bahasa Belanda ternyata namanya band (banden) dan velg (velgen). Bukan hanya itu, sebutan rem itu juga Dutch, bahkan penulisannya sama, sementara per (pegas) itu dari kata veer. Istilah onderdil juga berasal dari kata onderdeel, sedangkan reting (lampu sein) mirip dengan richting dalam Dutch yang artinya arah. 


Pernah dengar orang-orang tua nyebut kata 'atret' yang artinya memundurkan mobil? Nah dalam bahasa Belanda sebutannya achteruit. Masih banyak yang lain, persneling dari versnelling (dalam English gear), kopling dari koppeling (dalam English clutch), rem tromol dari trommelrem (dalam English drum brake). Bengkel mungkin terinspirasi dari winkel, walaupun winkel punya arti lebih luas sebagai shop. Larangan lewat suatu jalan biasa disebut verboden, itu mentah-mentah copy dari bahasa Belanda. Jalan itu sendiri bahasa sininya weg, makanya di Jogja ada tempat namanya Kewek, itu berasal dari Kerkweg, yang artinya jalan menuju gereja (kerk), mungkin maksudnya yang di Kotabaru. Banyaknya kesamaan ini membuat saya menduga pertukaran budaya banyak terjadi waktu orang dulu berurusan tentang kendaraan dan transportasi. 

Tempat lain di mana banyak kesamaan adalah tempat-tempat di mana terjadi urusan ekonomi. Kita menyebut kantor itu serapan dari kantoor, makelar berasal dari makelaar, dan maskapai dari maatschappij. Tiga kata itu jauh sekali dari kata office, broker, dan carrier, maka tidak mungkin diambil dari English, pasti Dutch. Bicara soal harga, gratis dan korting itu tulisannya plek ketiplek dalam bahasa Belanda. Membeli secara tunai disebutnya contant (jadi kontan), dan bukti pembelian di toko namanya bon. Bapak saya kalau bilang tanda tangan masih teken, dalam Dutch sebutannya handtekening. Sama halnya ketika menyebut menelepon sebagai ngebel, bel berarti call di sini.



Saya dulu merasa heran mendengar istilah paklaring, tidak terdengar seperti kata dalam bahasa Indonesia ataupun Inggris, ternyata itu berasal dari kata bahasa Belanda verklaring yang artinya surat keterangan. Dalam perbankan ada istilah inkaso (collection), itu berasal dari incasso. Sementara itu rekening ditulis serupa dalam bahasa Indonesia dan Belanda.

Banyaknya kesamaan ini entah kenapa melemparkan pikiran saya pada sebuah pasar tradisional dekat rumah. Terutama pada deretan bapak-bapak dan pakde-pakde yang menjual perkakas lanang seperti onderdil sepeda, motor, senter, lampu, dan lain sebagainya yang memanjang di kanan kiri jalan sampai ratusan meter dari pasar. Lalu ada seorang mbah kakung yang datang melihat-lihat dengan menaiki fiets Gazelle-nya.


Salam,
Chandra

Sumber gambar dari google, oleh pemilik usaha masing-masing (Zaanse Banden Centrum dan Makelaar Bert)

Madesu

Mas-mas di Paksi Band menyuarakan sebuah keresahan melalui lagu berjudul Madesu. Lagu ini menyoroti fenomena kenalakan remaja yang marak terjadi di Jogja. Lebih spesifik, ini soal gejala klithih dan konvoi kendaraan bermotor yang sangat mengganggu dan membahayakan masyarakat umum. Jalur cepat ring road yang secara aturan diperuntukkan bagi roda empat, dilalui konvoi puluhan motor anak-anak muda yang membawa petasan hingga sajam. 



Mas Paksi Raras membuat testimoni lebih lengkap melalui video di kanal Mojok dalam rubrik Ngrasani. Pada intinya dia punya hipotesis mengapa fenomena ini banyak terjadi di waktu-waktu tertentu seperti libur sekolah dan bulan puasa. Ia juga menambahkan bahwa mayoritas pelajar yang melakukan itu adalah yang berasal, nyuwun sewu, dari sekolah non-favorit. Rata-rata dari mereka tidak mau atau tidak bisa melanjutkan ke jenjang kuliah karena satu dan lain hal. Akhirnya aksi di jalan adalah salah satu ekspresi pelampiasannya.

Apakah Jogja satu-satunya kota dengan anak muda yang tidak punya cukup akses ke perguruan tinggi? Tidak juga. Tapi di Jogja ada fakta lain yaitu banyaknya perguruan tinggi dan pendatang yang mengisi kursi-kursi di kampus-kampus tersebut. Bukan tidak mungkin di balik tindakan anak-anak muda ini ada jiwa yang meri. Para pendatanglah yang punya akses lebih ke kampus/jurusan favorit, kos ekslusif, dan kafe-kafe fancy untuk diskusi ndakik-ndakik atau buka bersama bareng circle-nya.

Mas Paksi mengajak, sek to, ayo dipikir lebih jauh kenapa anak-anak muda Jogja berbuat begitu. Kesenjangan kah, kurangnya wahana berekspresi kah, media sosial kah, atau apa. Pemerintah, akademisi, pegiat seni, tokoh masyarakat, dll punya peran dan tanggung jawabnya masing-masing disini. 

Mbok menawa bocah kui saktenane
Pengin neruske sekolahe
Dadi mahasiswa sing omongane dhuwur
Macak intelek kaya liyane

***

Saya diskusi dengan istri soal ini, mau tahu sudut pandang dia sebagai ex mahasiswa lokal Jogja. Dia bilang bahwa bahkan untuk anak kuliahan pun terasa gap antara mahasiswa lokal dan pendatang. Ada satu tempat nongkrong dan nugas di dekat asramanya yang dia 'tidak berani' masuk hingga lulus kuliah. Sebenarnya sesekali masuk bisa, tapi sudah jiper duluan dengan tampilannya, merasa nggak belong. Kalau yang kuliah saja merasa jadi warga negara kelas dua, bagaimana yang tidak punya pilihan untuk kuliah.



Tentu ini bukan salah pemilik tempat, mahasiswa pendatang, atau orang tua mereka. Mahasiswa datang karena memang banyak kampus di Jogja, beberapa diantaranya favorit. Pasar ini dimanfaatkan untuk membuka berbagai jenis usaha seperti F&B, fashion, sampai kos-kosan. Yes di Jogja ada kos-kosan yang sewa bulanannya dua kali UMR Jogja bahkan lebih. 

Jogja (dan DIY) itu daerah yang sensitif terhadap modernisasi dan pendatang. Kecintaan warga pada budaya asli dan stabilitas tinggi. Suara-suara penolakan terhadap pembangunan mall dan hotel selalu ada sejak dulu. Pemerintah pun sempat punya kebijakan moratorium pembukaan hotel. Bantul sampai sekarang tidak punya mall dan bioskop. Jangankan mall, bank BCA saja dulu nggak bisa masuk. Pernah dengar isu etnis tertentu sulit punya properti di Jogja? Dengar kontroversi soal Heha dan kabar Raffi Ahmad mau bangun beach club di Jogja?

Tapi arus mahasiswa tentu nggak bisa dibendung. Jadi saya sepakat dengan poin yang disampaikan Mas Paksi. Tanpa niat membenarkan apa yang dilakukan adik-adik ini, kita perlu sadar bahwa berada di posisi mereka juga tidak enak. Hukum dijalankan, tapi bolehlah taruh sedikit empati.

Saya bersyukur di kampung saya kuliah sudah lumayan jadi tren. Kebanyakan lulusan SMA melanjutkan ke perguruan tinggi, atau daftar polisi. Merantau ke luar kota untuk kuliah bukan lagi hal yang langka. Menurut saya salah satu yang punya andil adalah masyarakatnya. Kondisinya sudah jamak untuk keluarga-keluarga punya rencana bagi anaknya setelah lulus SMA. Hasilnya anak-anak ini jadi lebih punya pilihan.


Jarene pemuda kota pelajar
Duwe kampus neng saben kecamatan

Duwe bakat dadi seniman 
Ning ra isa melu kumpulan
Komunitas sanggar seni skena kolektif 
Sarate cah kuliahan


Nuwun,
Chandra


Syawalan

Alhamdulillah sejak saya masih bocah hingga sekarang lebaran biasanya menyenangkan. Tapi kalau boleh menyebut satu hal yang jadi beban waktu kecil dulu adalah syawalan (halal bihalal) trah (keluarga besar). Saya merasa acara syawalan diciptakan untuk simbah-simbah dan bapak-bapak, bukan untuk anak-anak. 

Pasalnya tahun-tahun sebelumnya acara syawalan di tempat kami skalanya masih level mbah buyut, 4 generasi di atas saya. Jadi yang rawuh mulai dari kakak-adiknya simbah saya, lalu bapak/ibu dan sepupu-sepupunya, lalu baru kami generasi berikutnya yang tidak kenal dengan 70-80% yang hadir disana. Rumit ya? ya intinya saudara yang separasinya sudah jauh. 

Acaranya pun dikemas dengan cara lama. Biasanya konsepnya 'pesta duduk' dengan.susunan acara yang sistematis (re: kaku), dibuka dengan berbagai sambutan, dan harus duduk dari awal sampai akhir. Bahasa pengantarnya Jawa halus yang saya hanya bisa memahami tapi tidak bisa ngomongnya. Makanan dan snacknya disuguhkan per orang dan banyak yang tidak habis dan jadi mubazir karena memang tidak cocok (bukan tidak enak ya).

Saya paham bahwa acara seperti ini perlu apalagi untuk orang Jawa. Saya pun biasanya hadir, karena meskipun malas tapi dari dulu selalu mikir kayanya acara begini banyak baiknya walaupun saya nggak/belum tahu dalilnya, lagipula cuma sekali dalam setahun. 

Dari tahun ke tahun sebenarnya acaranya pun semakin sepi. Kakak-adiknya simbah hanya tinggal sepasang dan sudah sepuh. Kami-kami lebih memilih sowan langsung ke rumahnya daripada menyelenggarakan acara rame-rame yang mungkin melelahkan. Ada faktor pandemi juga disini yang membuat kebiasaan ini stop sejak 2020.

Jadilah di tahun 2022 ini syawalan tidak lagi bersama saudara se-mbah-buyut seperti sebelumnya. Kini turun 1 generasi ke level simbah sehingga yang datang pakdhe/budhe/om/tante yang memang kenal dekat dan sepupu-sepupu akrab (plus pasangan dan anaknya) yang dulu kalau libur sekolah sering main dan nginep rame-rame di rumah simbah. Kebanyakan sudah terpapar budaya populer sehingga tidak terlalu memusingkan kebiasaan dan aturan. Jadilah acara syawalan yang inklusif, menyenangkan, seru, tapi tetap ada intinya.

Tetap ada acara ikrar syawalan, maaf-maafan, pembacaan yasin, doa, dan tahlil. Tapi di luar itu bebas mau ngobrol apa saja sama siapa saja. Karena jumlahnya tidak banyak semua bisa masuk di 'aula' rumah pakdhe yang memang lumayan luas, tidak perlu panas-panasan buka tenda di halaman. Yang bawa bayi bisa di dalam kamar ber-AC, yang mau cari angin bisa di teras dan taman depan.

Makanan dan minuman prasmanan free flow sehingga bisa ambil sesuai selera dan secukupnya. Ada teh panas dan air putih tetep, tapi ada juga es krim dan jajanan bocah biar anak-anak betah. Bajunya tidak harus rapi kemeja berpeci, mau pakai kaos dan sarungan pun boleh. Acaranya cair, penuh obrolan dan becandaan yang tentu saja organik bukan karena disuruh kenalan sama sebelahnya.

Kapan acara selesai tidak jelas karena ngobrolnya nggak putus-putus, kalau tidak karena ada acara berikutnya mungkin bisa pada lebih lama disana. Anak-anak tidak ada yang merengek minta pulang. Indikasi acaranya nyaman buat mereka.

Setiap keluarga punya caranya sendiri untuk merayakan hari raya. Saya tentu sangat menghormati itu. Disini saya hanya sharing tentang salah satu acara halal bihalal paling nyaman yang pernah saya ikuti. Ada rencana untuk membuat acara yang sama tahun depan. Semoga kita semua dikaruniai kesempatan sehingga bisa ketemu dengan ramadhan dan lebaran berikutnya. aamiin.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443H. Taqabalallahu minna waminkum. Mohon maaf lahir dan batin.






 


Yogyakarta International Airport

 

Boleh kan ya setuju dengan bandara YIA sambil tetap merasa prihatin pada penduduk setempat yang tidak rela kepemilikan lahannya dialihkan untuk pembangunannya?

Bandara adalah salah satu aspek yang dipelajari waktu kuliah teknik penerbangan dulu. Dari insight yang saya dapat, saya berpendapat bahwa Jogja tidak bisa terus mengandalkan bandara Adi Sutjipto (JOG) untuk jangka panjang. Pembangunan fasilitas secara sporadis seperti terminal baru tidak sustainable. At some point perlu ada bandara modern yang dibangun. 


JOG adalah bandara milik TNI AU, otoritasnya di bawah Danlanud. Oleh karenanya pada saat-saat tertentu pesawat komersial harus bergantian dengan jet militer untuk take-off dan landing. Bandara modern tentu tidak bisa seperti ini, terlalu banyak syarat dan ketentuan untuk bisa berkembang. 

Secara lokasi JOG memang strategis karena dekat dengan kota. Di sisi lain hal ini menjadi masalah karena menyulitkan pembangunan infrastruktur bandara, lahannya tidak ada. Banyaknya gedung tinggi kota di sekitar bandara juga bukan sesuatu ideal dalam dunia penerbangan. Ada faktor safety dan polusi cahaya disana. Inilah alasannya banyak bandara modern nyaris di seluruh dunia dibangun di pinggiran kota. 

Oleh karenanya, tidak bisa tidak Jogja harus membangun bandara baru dan memindahkan penerbangan komersil kesana. Bandara ini harus memberikan ruang untuk pengembangan jangka panjang ketika nanti semakin banyak rute penerbangan yang beroperasi. Lokasi yang dipilih di Kulonprogo menurut saya sudah keputusan yang paling tepat. Yang jadi masalah adalah waktunya, apakah harus sekarang?

 

Harus diakui pembangunan YIA ini tampak agak buru-buru sehingga pembebasan lahan terkesan agak dipaksakan. Sialnya ketika bandara jadi malah ada pandemi yang membuat penerbangan jadi sepi. Kalau tahu begini mending jangan dibangun dulu, JOG masih bisa digunakan sampai beberapa tahun ke depan.

Banyak diberitakan operasi YIA ini merugi, hal ini tidak terhindarkan. Hampir seluruh bandara di dunia rugi ketika pandemi. Simply karena jumlah penumpang dan penerbangan berkurang. Tak pelak ini jadi bahan argumen pihak yang kontra dengan YIA.

Argumen lain yang dilontarkan adalah masalah jarak yang memang jauh dari kota Jogja. Ada dua hal dalam pikiran saya untuk merespon ini. Pertama berhubungan dengan pembangunan YIA yang terburu-buru. Ketika bandara sudah jadi dan beroperasi, akses ke pusat kota belum ready. Shuttle dan kereta yang kemudian diluncurkan kurang sesuai dengan kebutuhan sebagian orang. Infrastruktur paling disukai belum jadi: jalan tol.

Kedua, permasalahan jarak ini subyektif. Bagi orang Kulonprogo, Purworejo, dan sebagian besar Bantul tentu YIA lebih dekat. Tapi bagi penduduk Kota Jogja, sebagian besar Sleman, dan Klaten tentu ingin tetap terbang dari JOG. Alasan ini sangat masuk akal, namun rasanya sulit mencari lokasi yang strategis untuk sebuah bandara besar baru selain di Kulonprogo.

Ada dua harapan saya, yang pertama adalah masalah pembebasan lahan kemarin segera beres seberes-beresnya sehingga tidak menjadi duri dalam daging. Saya lihat ada beberapa pemukiman baru di sekitar bandara yang katanya ditempati oleh warga yang direlokasi. Semoga semua mendapat ganti untung sesuai haknya.

Harapan yang kedua, semoga ekosistem penerbangan segera normal dan kerusakan yang timbul selama pandemi dapat dipulihkan oleh pelaku industri bersama pihak terkait.

Masa Transisi

Alhamdulillah sebulan terakhir angka positif covid di Indonesia menunjukkan tren penurunan. Mungkin herd immunity mulai bekerja, baik yang terbentuk karena terpapar langsung atau oleh vaksinasi. Aturan aktivitas mulai dilonggarkan meski tetap dengan semboyan protokol kesehatan. Meski mengendur sepertinya situasi tidak akan kembali seperti semula masa pre-covid. Pertama karena covid kemungkinan tidak akan hilang, kedua masyarakat mulai terbiasa dengan prokes yang ringan-ringan seperti memakai masker dan cuci tangan.

Walaupun begitu, menurut saya tidak efisien juga kalau kita mempertahankan cara hidup seperti saat pandemi. Buat saya new normal yang ideal itu pakai masker hanya ketika berada di kerumunan, di jalan, atau situasi tertentu. Selain untuk menangkal covid juga menghindarkan diri dari penyakit lain dan polusi. Tapi rasanya pada satu titik seharusnya tidak ada lagi beban untuk tidak memakai masker ketika ke masjid, berkunjung ke rumah orang, bekerja, aktivitas outdoor, dan event-event yang menurut ahli resikonya ringan hingga sedang.

Poin prokes lain seperti kursi yang disilang-silang di tempat makan serta pembatasan kapasitas di tempat yang sebenarnya bersih juga perlahan perlu dikurangi. Obyek wisata dan tempat publik juga pada satu titik harusnya dibuka untuk umum tanpa batasan usia dan domisili. Selanjutnya penggunaan aplikasi yang agak kontroversial itu tidak lagi perlu dijadikan syarat masuk ke berbagai tempat.

Semua perubahan itu tidak mungkin dilakukan seketika. Perlu proses pelonggaran sedikit demi sedikit. Sekarang pun kita bisa merasakan proses itu berjalan. Pengambil kebijakan punya hak dan kewajiban untuk menentukan aturan-aturan bagi publik. Tapi di level pribadi dan keluarga kita perlu membuat keputusan seberapa kita bisa atau perlu melonggarkan diri?

Apakah saya sudah bisa ke warung tanpa masker? Apakah masih penting membawa sajadah sendiri kemana-mana? Apakah hand sanitizer masih diperlukan setiap saat? Apakah sudah aman untuk nonton film di bioskop? Apakah masih perlu melakukan rapid test mandiri secara rutin? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab sendiri. Inilah masa transisi yang sama rumitnya dengan pertanyaan "seberapa saya harus menjaga diri?" dan "apakah saya terlalu nekat atau terlalu parno?" yang sering muncul tahun lalu.

Masa seperti ini mirip dengan yang dialami masyarakat Bantul pasca gempa Jogja tahun 2006 silam. Sekedar cerita, bukan keluhan, sebagai epicentrum gempa tingkat kerusakan yang timbul di Bantul cukup besar. Kerusakan fisik paling besar disebabkan gempa utama pada tanggal 27 Mei pagi itu. Tapi hal yang membuat letih secara batin saat itu adalah gempa susulan yang terjadi hingga 2-3 bulan berikutnya. 

Keputusan kapan bisa kembali masuk rumah dan bisa tidur di dalamnya, kapan sekolah bisa membongkar tendanya dan mengembalikan kegiatan belajar di dalam ruang kelas, apakah sudah aman untuk masuk bangunan besar dan tinggi, kapan pedagang bisa pindah dari parkiran ke bangunan pasar, dan lain sebagainya adalah pertanyaan yang harus dijawab masing-masing orang.

Saya mengalami sendiri tinggal di pengungsian, lalu ketika dirasa sudah cukup aman bisa kembali ke rumah. Ketika di rumah pun tidak langsung masuk, tinggal dulu di tenda sampai hitungan minggu. Perlahan berani masuk rumah pada siang hari namun tidur malam masih di luar. Lama-lama bisa tidur di ruang tamu dengan pintu terbuka sebelum berangsur normal tidur di kamar meskipun beberapa kali lari karena gempa susulan tengah malam.

Di sekolah pun kami mengalami proses dari belajar di tenda, lalu pindah ke bangunan semi permanen dari bambu, sebelum pindah ke ruang kelas yang sebenarnya setelah selesai diperbaiki. Di masjid dalam suatu salat jumat ketika sedang khotbah tiba-tiba sebagian jamaah berhamburan keluar karena merasakan getaran. Pada saat itu berada di pinggir jalan lalu ada truk besar lewat saja sensasinya seperti ada gempa, saking parnonya.

Sekarang untuk kedua kalinya saya merasakan berada di masa transisi. Tahun 2006 yang saya lakukan menikmati saja prosesnya, serba yawis, toh saya masih SD tidak banyak yang bisa dilakukan. Melangkah ke new normal harus tapi kalau resiko terlalu besar mending jaga-jaga tetap aman. Sebulan lebih setelah gempa ketika orang-orang mulai berani masuk rumah saya masih hidup di tenda, simply karena waktu itu baru sunat dan saya tidak bisa lari kalau ada apa-apa.

Menikmati rasa takut sepertinya agak susah, tapi menikmati kewaspadaan harusnya bisa dilakukan.

Salam,

Chandra

Akseyna

Setelah 6 tahun peristiwa duka itu terjadi, berita tentang Akseyna kembali melintas di timeline twitter saya. Keluarganya sampai saat ini masih terus berusaha mencari keadilan atas kasusnya. Ketika peristiwa itu terjadi Maret 2015 silam dan langsung menjadi headline berita, saya termasuk yang terkejut karena secara pribadi saya kenal Akseyna.

Almarhum Akseyna Ahad Dori adalah siswa SMAN 8 Yogyakarta angkatan 2013, satu angkatan dengan saya. Karena DIY adalah provinsi yang kecil namun padat akan event pendidikan, menjadi hal yang wajar waktu itu ketika seorang siswa punya kenalan dari berbagai sekolah lain seprovinsi. Bisa jadi ketemu di lomba, seminar, try-out, jambore, dan semacamnya. Begitu juga dengan saya kenal dengan Ace, panggilan Akseyna.

Kami sempat mewakili Provinsi D.I.Yogyakarta dalam OSN tingkat nasional tahun 2012 di Jakarta. Bersama sekitar 35an siswa lainnya dari SMA-SMA di DIY kami sempat nge-camp dan mendapat pelatihan di salah satu hotel kawasan Malioboro. Pelatihannya sekitar satu bulan dan karena dikarantina harus ijin tidak ikut pembelajaran di sekolah.

Meskipun beda cabang sehingga kelasnya terpisah (saya matematika, dia biologi), aktivitas lain seperti makan sahur dan buka, salat, tarawih, dan lain-lain dilakukan bersama-sama. Tidak bisa tidak lama-lama kenal juga, beberapa diantaranya bahkan berteman akrab sampai sekarang. Sayang waktu itu belum jamannya cekrek upload jadi saya tidak berhasil menemukan dokumentasi yang bagus.

Akseyna adalah siswa yang brilian. Tahun sebelumnya ketika masih kelas 10 dia sudah lolos OSN 2011 Manado. Jadi di 2012 dia jadi ujung tombak tim biologi DIY dan salah satu yang paling berpengalaman di kontingen OSN Jogja. Mengingat prestasinya di bidang biologi wajar jika dia meneruskan studinya di Biologi UI. 

Selepas SMA saya sudah tidak keep in touch dengan Ace memang. Tapi ketika tiba-tiba berita yang muncul adalah berita duka saya tentu ikut merasa kehilangan. Ace adalah anak muda dengan potensi yang sangat besar, di masa depan dia pasti jadi 'orang'.

Tentu kesedihan saya tidak ada apa-apanya dengan apa yang dirasakan keluarganya. Apalagi sampai sekarang peristiwa ini masih jadi misteri dengan banyak dugaan dan teori-teori. Sampai lebih dari 6 tahun kepergiannya belum ada penjelasan gamblang tentang apa yang sebenarnya terjadi, tidak banyak kasus kriminal yang bisa 'tersembunyi' sampai se-lama ini. 

Keluarga, terutama sang ayah, Pak Mardoto terus mengusahakan keadilan untuk anaknya. Kalau kamu baca ini yuk ikut tandatangani petisi ini: Sudah 6 Tahun, Segera Ungkap Pembunuh Putra Kami Akseyna!

Terima kasih!


Chandra

Hiburan dari Grup Mancing Mania Jogjakarta

Saya bukan orang yang hobi mancing, portfolio mancing saya minim, hanya beberapa kali mancing di pemancingan dan kali kecil samping rumah. Teknis mancingnya mungkin bisa, tapi kesabarannya saya nggak punya. Waktu kecil, kalau ada ajakan main bola atau nyepeda ke kampung-kampung sebelah saya semangat, tapi kalau diajak mancing paling cuma nonton.

Ketika SMA saya punya teman dekat yang hobi mancingnya agak kronis, sebut saja namanya Rangga. Dia berkelana ke banyak spot-spot mancing di Jogja, terutama Bantul. Ternyata dia tahu tempat rekomendasi mancing dari sebuah grup FB yang namanya Mancing Mania Jogjakarta atau disingkat MMJ.


Sejak pertama kali dia tunjukkan grup itu, saya langsung tertarik dengan isinya, walaupun saya nggak suka mancing. Segera saya join nggak pakai lama. Saya bukan pengguna aktif Facebook, tapi ketika buka FB biasanya yang saya lakukan antara mencari akun orang atau buka grup. Ada 2 grup, Mancing Mania Jogjakarta (MMJ) dan Info Miayam Jogja (IMJ). Soal IMJ mungkin lain waktu, MMJ dulu.

Konten grup MMJ tentu saja seputar mancing dan ikan. Tapi buat saya pribadi yang terpenting bukan itunya, melainkan bahasa yang digunakan orang-orang untuk membuat postingan. Anda biasa rasakan aroma perjuangan dan persaudaraan dalam postingan di bawah ini


Orang yang banyak ngepost di MMJ kebanyakan sebaya dan yang lebih tua dari saya. Demografinya mirip dengan lingkungan pergaulan saya di kampung. Sejak kecil hingga remaja, saya sering bergaul dengan mas-mas dan bapak-bapak. Saya menikmati obrolan warung kopi, angkringan, dan pos ronda. Bahkan mungkin saya merindukannya.

Saya sangat mungkin bias chauvinisme atau terjebak nostalgia, tapi bagi saya tongkrongan pemuda Jogja punya corak yang khas. Corak inilah yang saya temukan di MMJ dan menjadikannya salah satu forum favorit saya.


Sebagai anak kelahiran 95, saya berada pada perbatasan milenial dan gen Z. Saya tidak nyambung-nyambung banget kalau ngobrol dengan abang-abangan itu sebenarnya, apalagi setelah bermigrasi ke kota lain. Tapi sekedar mendengarkan obrolan orang-orang di angkringan ketika di kampung halaman sudah sangat menentramkan. MMJ menjadi alternatif ketika belum bisa pulang.

Nyaris tiap 30 menit ada postingan baru di MMJ. Mulai dari yang laporan hasil tangkapan, tanya kondisi air di suatu tempat, jual alat pancing atau umpan, janjian mancing borongan, hingga yang mengandung curhatan pun ada. Bagi sebagian orang mancing adalah jalan keluar dari kerasnya kehidupan.

MMJ JOSSS!

Kembali ke Jogja?

Drama-drama 2020 menggariskan saya untuk test drive merasakan WFH yang benar-benar WFH karena dikerjakan dari rumah bukan kosan. Saya sudah pulang 2x, masing-masing satu bulan dan dua minggu. Pulangnya karena ada keperluan, tapi extend-nya karena belum perlu ke kantor dan rasanya lebih aman tetap disana.

Untuk teman-teman yang memang ada kepentingan atau sudah sangat rindu pulang, pulang saja nggakpapa. Pastikan badan dalam kondisi sehat dan bugar. Seminggu sebelum tanggal perjalanan jaga diri baik-baik dan tingkatkan standar prokes minimal di diri sendiri. Siapkan masker, face shield, hand sanitizer dan jangan lupa dibawa pas jalan. Jangan lupa tes rapid atau swab dan tetap berdoa semoga diberi keselamatan. 

Saya khawatir kalau menunggu pandemi selesai atau vaksin valid bakal sampai tahun depan. (P.S. tanggal 9 Desember masih ada rame-rame pilkada...)

Total 1,5 bulan kerja dari Jogja membuat saya menyimpulkan: kerja di Jogja itu enak banget asal gaji tetap ngikut Jakarta wkwkw

Saya mungkin ada bias sebagai orang Jogja. Masyarakat Jogja adalah masyarakat yang kebanggaan akan daerahnya tinggi. Jadi mohon dimaklumi kalau orang Jogja bias dalam menilai sesuatu tentang kotanya. Kadang disengaja, kebawa romantisme daerah istimewa.

Kembali ke WFH, rumah saya tidak ada WiFI karena pernah mau pasang tapi jaringannya belum sampai. Tethering dari HP jadi andalan ketika kerja dari rumah. Kuota lebih boros tapi nutup karena nggak perlu transport dan jajan. Beranjak sedikit dari laptop di meja makan sudah ada pisang goreng anget.

Kalau butuh internet yang kencang dan bisa diandalkan, sesekali saya ke kota. Pernah saya tuliskan di sini: https://www.chandranurohman.id/2020/08/45-menit-di-jalan.html

Keluar rumah = kulineran. Self reward afterwork jadi sangat menyenangkan karena dimana mana makanan murah dan enak. Makanan mahal dan enak ada juga sih, tapi mahalnya Jogja tetep bukan tandingannya ibukota. Kalau yang mahal dan gak enak jarang. Mie ayam 12 ribu udah sama minumnya dan enaknya gak kira-kira (re: Karman). 

Faktor lain yang membuat betah kerja dari Jogja adalah orang-orangnya. Walaupun sebagian sudah merantau, tapi masih banyak teman dan saudara yang tinggal di Jogja. Nggak tau ya, tapi di Jogja itu sering kalau mau main nggak usah janjian dulu, langsung datang aja ke rumah atau tempat nongkrongnya. Kalau ke rumah dan nggak ketemu, ya ngobrol aja sama bapaknya. Berasa orangnya selo selo gampang dicari, nggak kemrungsung dikejar dunia.

Jujur saya jadi kepikiran untuk kerja dari atau di Jogja. Tapi syarat dan ketentuan berlaku, offer harus cocok dulu. Di sisi lain sekarang banyak bermunculan kantor-kantor teknologi dan startup di Jogja. Bahkan kemarin ketemu seorang teman dan dia mem-forward info lowongan software engineer. 

Jogja punya banyak kampus dengan keilmuan teknik yang bagus, banyak anak muda lokal dan pendatang, biaya sewa tempat dan sumber daya murah, dan akses makin mudah dengan bandara baru dan tol. Kayanya 3-5 tahun yang akan datang bakal makin banyak bermunculan kantor digital di Jogja. Secara ladang ada kemungkinan untuk balik kesana.

Tapi di atas itu semua alasan terkuatnya adalah keluarga. Orang tua di Jogja dan sepertinya memilih untuk tetap disana. Bersama mereka satu bulan lebih menyadarkan saya bahwa ketika kita sibuk mengejar cita-cita kadang kita lupa mereka juga menua. 

Opsi untuk dalam tahun-tahun ke depan berkarir di Jogja kembali saya buka. Filter job vacancy sekarang tidak hanya DKI Jakarta tapi juga D.I.Yogyakarta. Saya belum tahu jalannya akan bagaimana jadi tidak mau mengkhayal di awang-awang. Tapi kalau niatnya untuk menemani orang tua, semoga Allah berikan rute paling mulusnya. Aamiin

Finally, hari ini tanggal 2 Oktober selain hari batik adalah hari ulang tahun ibu saya. Mohon doanya beliau sehat dan bahagia. 

Thanks!


45 Menit di Jalan

Dinamika pandemi yang terjadi di Jakarta membuat saya merasakan bekerja benar-benar dari rumah. Kesempatan langka yang belum tahu kapan lagi akan terjadi. Selagi masih bisa saya mau tetap di rumah. Alhamdulillah

Pekerjaan sehari-hari bisa saya kerjakan tanpa perlu keluar rumah. Tapi kalau ada video conference atau pekerjaan yang membutuhkan koneksi internet cepat biasanya saya memilih nongkrong di internet cafe yang ada di kota Jogja. Saya seperti flashback ke jaman TA dulu. Karena sudah bebas teori jadi saya bisa pulang kampung dalam waktu lumayan lama, agar supaya TA tidak terbengkalai, biasanya saya gegarapan di internet cafe.

Orang Jogja atau yang pernah kuliah di Jogja pasti tahu tempat-tempat macam Luxury, Platinum, Net City, Merapi Online, Expresso, dll. Ketika warnet-warnet konvensional berguguran, mereka masih eksis karena menawarkan sesuatu lebih misalnya tempat yang cozy banget, AC dingin, musik, dan menjual voucher wifi (tanpa bundling syarat beli makanan atau apapun) jadi bisa pakai laptop sendiri, enak kali buat nugas.

Sebagai warga Bantul selatan, butuh waktu sekitar 45 menit untuk motoran sampai Luxury. Akhirnya saya merasakan sensasi jadi commuter Bantul - Jogja, hal yang belum saya rasakan karena setelah lulus SMA langsung pindah ke Bandung. Sedangkan pas SMP SMA walaupun nglaju tapi nggak sejauh itu, 15-20 menit sampai.

Jarak kosan Cisitu dengan kampus plus minus 2 km, jarak kosan Kuningan sama kantor sekitar 1,5 km, sedangkan jarak rumah ke luxury kira-kira 27 kilo wkwk. Tapi ya karena jalanan nggak macet bisa ditempuh dalam waktu 45 menit, paling mentok 1 jam. 

Waktu 45 menit di jalan ini lho yang seru. Pertama, walaupun sudah masuk jam kerja tapi saya punya alasan yang legit untuk mengabaikan WA atau email kantor, karena lagi di jalan wkwk. Bayangkan di hari senin pagi yang hectic punya waktu 'merdeka' sebanyak itu.

Waktu 45 menit juga cukup untuk merenung kemana-mana, memikirkan hal yang nggak perlu dipikirkan. Setengah dari perjalanan itu dihabiskan masih di area Bantul yang hijau, membuat perenungan jadi lebih paripurna. Benar-benar beda dengan di Jakarta dimana pikiran penuh usaha mencari rute paling nggak macet ke kantor, lalu tahu-tahu sampai.

Hijau kan kanan kiri..

Kenikmatan lain adalah karena di sepanjang jalan yang saya lalui ada beberapa spot tempat makan favorit, termasuk yang saya tulis disini. Trust me fren, makanan-makanan ini bukan cuma kasih nutrisi untuk badan, tapi juga pikiran, mood auto naik habis makan. Fyi, di samping Luxury banget ada Tempo Gelato, kurang nikmat apa coba? 

Selain deretan tempat makan juga ada deratan tempat penuh kenangan haaiyaa...

Kadang sepanjang jalan juga ketemu yang lucu-lucu, misal bapak-bapak bawa gerobak ditarik 2 sapi besar di Jalan Parangtritis. Jangan dibayangkan seperti delman atau dokar, ini gede ukurannya nyaris menghabiskan satu lajur jalan, jadi mobil harus gantian lewat. Kalau disapa bapaknya nyahut.

Man, I spent the whole August till now in Bantul, banyak ide tapi nggak gerak nulis. Sekian dulu barangkali tulisan pertama dari Jogja di Agustus ini. Terima kasih sudah membaca.

Chandra

Rute Galau

Sebagai orang yang coping mechanism-nya riding naik motor tanpa tujuan, saya lumayan rajin eksplor jalanan di kota-kota tempat saya tinggal. Kadang untuk membersihkan pikiran atau sekedar membunuh waktu menunggu buka puasa. Beban kuliah maupun pekerjaan, aktivitas yang memosankan, konflik pertemanan hingga percintaan semua butuh pelampiasan. Tiga kota Jogja, Bandung, dan Jakarta memberikan jalan.

Jogja

Anak muda Jogja pasti sepakat bahwa tidak ada rute yang lebih baik untuk merenung bahkan menangis di Jogja selain sepanjang Ring Road. Jalannya lebar, lampu merahnya jarang, bebas macet, dan jalur motor terpisah dari jalur cepat sehingga kalau sedang sedikit melamun nggak akan tiba-tiba disalip bus Mira. Helm dan maskermu akan menutupi air matamu.

Karena Ring Road mengitari Kota Jogja jadi mudah dijangkau dari segala penjuru. Jadi orang Bantul, Sleman, Kulonprogo, dan Gunungkidul tinggal menuju ke persimpangan Ring Road terdekat untuk kemudian masuk jalur dan berkontemplasi. Pelaku juga tidak perlu memikirkan belok, ikuti saja jalan utamanya maka setelah satu putaran akan kembali ke titik yang sama.

Kalau sebenarnya punya tujuan, atau lewat Ring Road dalam perjalanan pulang, hal yang sama bisa dilakukan. Sebab secara teknis jalan ini adalah alternatif paling nyaman dan sejuk (karena bisa ngebut) untuk pindah dari satu tempat ke tempat lainnya di Jogja. Daripada lewat dalam kota, macet bos!

Flyover Janti, Jombor, underpass Kentungan, dan jembatan layang di Ring Road barat yang saya nggak tahu namanya itu juga bikin perjalanan nggak datar-datar amat. Kalau jalur cepat sedang kosong bolehlah sekali-kali masuk pakai motor. Tapi ya biar wangun lakukan jika dan hanya jika motormu minimal 250cc, kalau Beat mending tetap di jalur lambat. *guyon dab

Bandung

Motoran di Bandung adalah hal yang menyenangkan karena sejuk dan banyak jalan dipayungi pepohonan rimbun. Bahkan kalau terpaksa tengah hari masih di jalan juga panasnya tidak membakar. Suhu di Bandung rata-rata 5-6 derajat celcius lebih rendah daripada Jogja, lebih-lebih Jakarta.

Tapi kalau mau rute yang lebih dingin lagi, saya tahu jawabannya. Sekaligus ini rute yang sering saya lewati ketika menjadi penduduk Bandung bagian utara. Rute merenung sekaligus ngadem paling paten di Bandung: naik ke Lembang via Dago, bukan via Setiabudi ya, disana mah isinya mobil-mobil dari Jakarta, macet, dan kanan kirinya villa.

Dari seluruh penjuru Bandung menujulah ke Simpang Dago yang terkenal dengan mekdi-nya itu. Lalu naik ke arah Dago Pakar. Setelah melewati terminal Dago ambil jalan yang nyempal ke kiri menuju Desa Mekarwangi. Nah dari situ ikuti terus jalannya maka kita akan disambut pemandangan bukit hijau, lembah, dan sawah. Filing gud lakasud.

Ikuti jalan itu terus dan udara akan terasa semakin dingin sampai akhirnya tiba di Lembang. Kalau waktu masih ada bisa dilanjut sampai Cikole lalu ngadem di kebun teh. Kalau lapar bisa mampir Punclut, makan sambil memandang Kota Bandung dari atas bukit. 

Jakarta

Saya belum lama di Jakarta tapi sudah punya satu rute recommended yaitu memanjang dari Monas ke selatan sampai ujung Jaksel. Keliling kompleks Monas lewat Jalan Medan Merdeka enak asal tidak sedang macet. Lalu disambung ke arah Bundaran HI dan menyusuri jalan Sudirman. Simpang susun Semanggi bablas tapi jangan lewat jalur mobil karena pasti ditilang. 

Selanjutnya adalah jalan paling rapi di Indonesia dengan pemandangan sebelah kanan kompleks Gelora Bung Karno dan sebelah kiri perkantoran mewah SCBD. Tentu ada stasiun MRT dan jembatan penyeberangan fancy berkah Asian Games. Jalannya lebar banget tapi pelan-pelan saja nikmati momen.

Sampai Bundaran Senayan bisa putar balik atau lanjut menyusuri jalan Panglima Polim - Fatmawati di bawah rel MRT. Agak menyempit dan sarat traffic light tapi lumayan rapi karena belum lama dibangun. Lurus sampai tembus JORR. Tapi karena ini membahas soal motor jadi kita nggak bisa masuk jalan tol. 

Belok kiri lewat depan Cilandak Town Square. Lalu kiri lagi masuk ke Jalan Pengeran Antasari. Jalannya lega juga dan tinggal diikuti terus jalan utamanya maka kita akan balik lagi ke Blok M, kalau lurus lagi tembus ke Bundaran Senayan. Tibalah kita kembali di jalan paling rapi di Indonesia.

----

Tulisan diatas di-compile dari pengalaman pribadi dan beberapa teman. Intinya, seruas jalan walaupun nggak benar-benar sunyi tapi bisa jadi salah satu tempat untuk menyepi. Tapi di jalan yang banyak orang berlalu lalang, sedang semewek apapun pastikan untuk tetap berhati-hati. Ride safe!


Banyak kenangan terserak di jalanan
Chandra

Bola Sepak Plastik


Ada dua kebiasaan masa kecil yang masih saya syukuri sampai sekarang. Pertama adalah akrab dengan permainan puzzle. Kalau tidak salah dulu ada yang dibelikan dan ada yang bonus sebuah produk susu. Hasilnya masa kecil saya akrab dengan teka-teki. Saat rumah kami dibangun, mainan puzzle tambah seru. Sisa-sisa kabel kaku dan potongan kayu limbah kusen dan jendela tidak dibuang tapi dikasih ke saya untuk mainan. Jadi seperti lego, referensinya bukan gambar tapi imajinasi sendiri.

Kebiasaan kedua adalah bermain bola hampir tiap sore hari. Saat itu tidak ada gadget diantara anak-anak di kampung kami. Saya pertama kali punya handphone pribadi kelas 6 SD, menjelang masuk SMP. Itu pun hanya untuk telepon dan SMS, belum ada internet. Sepulang sekolah kami bermain di luar rumah. 

Kami bisa bermain bola di mana saja. Mulai dari halaman rumah, sawah, jalan (harus berhenti ketika kendaraan lewat), lapangan voli kampung, sampai yang paling mewah halaman sekolah. Tanpa perlu buat janji, semua sudah tahu kalau sore hari adalah waktunya bermain. Tidak perlu angka-angka jam berapa, yang penting hari sudah tidak terlalu panas kami berangkat. Ketika jumlahnya dirasa cukup, pembagian tim dilakukan dengan pingsut.

Permainan kami sederhana. Gawang dibuat dari tumpukan sandal atau pecahan batu bata. Lebarnya menyesuaikan dimana kami bermain dan berapa orang yang datang. Menjadi masalah ketika bola melewati bagian atas tumpukan gawang, gol atau tidak biasanya diselesaikan dengan kekeluargaan. Khusus di lapangan sekolah agak lebih mewah, ada gawang betulan yang dibuatkan oleh sekolah.

SD saya dulu, entah gawangnya ditaruh mana, gambar dari google street view

Kami bermain tanpa alas kaki. Sayang sepatunya kalau dipakai main bola. Sebenarnya ada sepatu bola, tapi dalam permainan kami satu nyeker semua nyeker. Kasihan kalau ada yang telanjang kaki lalu terinjak sepatu, tentu sakit sekali. Kaki berdarah adalah sebuah keniscayaan. Kami bermain di sembarang tempat. Di sana ada batu, sisa akar pohon, bekas pondasi bangunan, dan lain sebagainya. 

Bola yang dipakai tentu saya bola plastik seharga 3000an. Sebuah barang yang saat itu saya anggap mewah. Dibelinya dengan cara patungan 500 rupiah. Tidak semuanya, yang merasa punya sisa uang jajan saja. Sebenarnya bisa minta orang tua, tapi entah kenapa cara seperti ini yang biasanya terjadi. Ada rasa tidak enak kalau membeli sendiri bola itu, takut teman-teman menganggap kita bos yang ingin berkuasa dalam permainan, ingin selalu dimenangkan, dan menentukan kapan mulai dan berhenti bermain.

Sampai di warung terjadi musyawarah lagi. Ada beberapa jenis bola yang dijual, 2500 warna abu-abu tipis, 3000 bola belang-belang yang seperti permen alpenleibe, atau 4000 untuk bola yang dilapis spon. Mau pilih bola yang mana, anak yang iurannya paling banyak biasanya berhak menentukan. Bola 4000 bagus tapi karena ada sponnya jadi berat ketika kena air masuk sungai. Bola 3000 lebih disukai karena agak tebal jadi ketika sudah bocor masih bisa dipakai.

Bola baru akan bocor dalam 4 atau 5 hari setelah dibeli, paling lama seminggu. Biasanya karena kena tanaman berduri. Tapi selama bola tidak sobek, bola itu akan tetap dipakai sampai sebulan lebih sebelum beli lagi yang baru. Itupun terpaksa beli karena bolanya hilang terbawa sungai, nyangkut di genteng, atau disembunyikan entah oleh siapa.

Saya masih ingat ketika Piala Dunia 2002, demam bola semakin menggila. Tidak ada hari tanpa sepak bola. Saat itu saya naik kelas 2 dan jaman itu masih jarang yang namanya les, kursus, segala macam seperti jaman sekarang. Aktivitas anak-anak hanya tiga: sekolah, tidur, dan bola.

Bola adalah benda paling menyenangkan saat itu. Bahkan ketika gempa melanda Jogja dan sekitarnya, bola adalah hiburan bagi kami. Bola itu hanya seharga 3000 namun cukup untuk menghadirkan kebahagiaan dan kebebasan di benak anak-anak. Dulu membeli sebuah bola bukanlah hal yang sederhana. Ada uang jajan yang harus disisihkan untuk mendapatkannya. Sekarang anak-anak itu sudah beranjak dewasa. Sekarang mereka bisa membeli bola sejumlah yang mereka inginkan. Tapi kegembiraan itu sulit untuk diulang.

Apa yang kita pengen di masa lalu kalau sekarang ada duitnya kita bisa beli barangnya tapi nggak bisa beli kebahagiannya.

Adzan maghrib berkumandang, saatnya untuk pulang.




Jogja dan UMR-nya


Saya adalah orang yang mengapresiasi proses yang dialami oleh seseorang atau sesuatu daripada kondisi dimana dia memulai dan dimana dia sekarang. Bagi saya seberapa istiqomah seseorang memperbaiki diri lebih penting daripada bagaimana keadaannya sekarang. Saya pernah menulis soal ini di Posisi, Kecepatan, Percepatan

Posisi yang tinggi saat ini tidak berarti banyak kalau setiap hari trennya terus menurun. Sebaliknya orang yang awalnya diremehkan kalau dalam setiap waktunya selalu introspeksi diri dan melakukan perbaikan lambat laun (bahkan ada yang dengan cepat) akan naik. Itu yang membuat roda kehidupan terus berputar.

Bukan hanya dalam menilai seseorang. Pendekatan yang sama juga saya gunakan dalam melihat benda-benda mati, bahkan non-fisik. Salah satunya UMR Jogja yang selama ini dikeluhkan angkanya terlalu kecil
Jogja itu terbuat dari UMR terendah, kesenjangan ekonomi terparah (indeks gini tertinggi), tapi pembangunan manusia tertinggi (IPM tertinggi) dan paling bahagia (indeks kebahagiaan tertinggi di jawa). Jadi, cari materi yang gak gampang di Jogja. Carilah sehat, cerdas dan bahagia - @iqbal_kautsar 
Jogja adalah daerah istimewa dengan sejarah yang panjang. Jogja adalah kota yang besar sejak ratusan tahun yang lalu bahkan pernah menjadi ibukota sementara. Semua cerita-cerita manis masa kerajaan Mataram hingga penjajahan tentulah menunjukkan Jogja adalah kota yang maju sejak dulu. Foto-foto lama membuktikan bahwa infrastruktur kota ini modern pada masanya dengan jalan yang lebar dan bagunan-bangunan kokoh.

Jogja, atau DIY pada umumnya adalah daerah yang dihormati karena sejarah dan tradisinya. Sampai saat ini dalam benak saya Jogja sejajar dengan kota-kota besar macam Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang dan lain sebagainya. Sayangnya tidak begitu, setidaknya dari sisi ekonomi.

Budaya merasa cukup dan tidak banyak menuntut adalah salah satu yang lekat dengan masyarakat Jogja. Tapi seiring berjalannya waktu, ketika arus informasi kian tak terkendali, sebagian masyarakat Jogja tidak lagi menganggap itu cara hidup yang rasional.

Ekonomi cakupannya luas, saya ingin mempersempitnya menjadi kesejahteraan. Walaupun rejeki bukan hanya uang, tapi kalau mau mengukur kesejahteraan suatu wilayah salah satu parameternya adalah UMR daerah tersebut. Sebab, UMR ini diturunkan dari perhitungan Kebutuhkan Hidup Layak (KHL).

Biaya hidup di Jogja murah. Budaya gotong royong dan kerukunan antar warganya juga membantu menekan biaya hidup di atas kertas. Penghasilan 1,8 juta perbulan cukup untuk hidup layak di Jogja, tapi apa cukup untuk hidup nyaman dan aman? Untuk makan sehari-hari cukup, tapi bagaimana kalau pekerja dengan upah sekian ingin memiliki hunian?

Apakah angka 1,8 juta perbulan kecil? Iya. Mari jangan bicara dulu soal Surabaya dan Bandung, UMR Kota Yogyakarta (Rp1.846.000) yang tertinggi di Provinsi DIY bahkan lebih kecil daripada Banyuwangi (Rp2.132.779), serta jauh lebih kecil dari Kota Malang (Rp2.668.420), Denpasar (Rp2.553.000), dan Kota Semarang (Rp2.498.587), serta tidak sampai setengahnya Sidoarjo (Rp3.864.696). See?

Apakah sekarang Jogja sudah beda level dengan kota itu? Sekarang Jogja satu level dengan Kabupaten Garut, Majalengka, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lumajang, dll kalau dilihat dari segi UMR yang di angka 1,8 juta-an.

Lupakan daerah-daerah middle class macam Cirebon, Kediri, Lombok, Bengkulu, dll karena mereka lebih tinggi dari Jogja. Fakta lain, UMK terendah di Jawa Timur adalah Ngawi (Rp1.763.267) masih lebih tinggi dari Kabupaten Sleman (tertinggi kedua di DIY setelah Kota Yogyakarta).

Mengenai angka-angka itu silakan dicari lebih jauh datanya banyak tersebar di internet. Saya coba bergerak sedikit lebih jauh dengan berbekal pertanyaan: angkanya memang kecil, lalu bagaimana dengan perubahannya dari tahun ke tahun?

Saya coba kumpulkan data UMR beberapa daerah tahun 2009 dan 2019. Namun untuk kota dan kabupaten di DIY saya hanya menemukan data dari tahun 2014.

Dari data yang berhasil saya dapatkan, angkanya saya tabulasikan dalam tabel berikut:


Dari tabel tersebut bisa dilihat bahwa selain nilai UMR yang rendah, pertumbuhan UMR di D.I.Yogyakarta juga alon-alon waton kelakon. Untuk Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Bantul saya melakukan ekstrapolasi linear sehingga angka persentase kenaikan di situ sudah dinormalisasi sesuai data yang lain yaitu kenaikan selama sepuluh tahun terakhir. Sementara untuk Provinsi DIY secara keseluruhan data tahun 2009 tersedia sehingga tidak perlu dilakukan ekstrapolasi serupa.

Hasilnya, dapat dilihat bahwa UMR DIY hanya naik 124% selama 10 tahun terakhir. Bahkan Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul memiliki angka pertumbuhan yang lebih kecil. Peningkatan ini hanya sekitar setengah pertumbuhan UMR di kawasan Jabodetabek, Bandung, dan Semarang. Kota-kota besar di Jawa Timur bahkan tumbuh hingga 300% lebih.

Kita perlu berdiskusi tentang penyebab rendahnya rate kenaikan UMR di DIY dibandingkan daerah lain di Indonesia. Dalam pikiran saya, kondisi ini disebabkan oleh faktor dari dalam yaitu masyarakat DIY sendiri. Sebagai wilayah dengan sejarah yang panjang dan budaya yang melekat, warga DIY tampaknya mengambil posisi konservatif dalam menghadapi perkembangan jaman.

Nilai-nilai seperti sopan santun, gotong royong, dan lain sebagainya diturunkan dari generasi ke generasi dan membuat nilai ini terjaga sampai saat ini. Kerukunan dan kepedulian antar warga membuat cost hidup di Jogja menjadi jauh lebih murah daripada daerah-daerah lain.

Pada level pengambil kebijakan, dengan masih kuatnya supremasi Kraton, ditambah gerakan para SJW (social justice warrios) membuat Jogja tidak begitu friendly bagi pemodal besar yang ingin menanamkan investasi di daerah ini dalam bentuk usaha atau infrastruktur masif. Pada satu sisi ini menjadi penyebab tertinggalnya Jogja dibanding kota-kota macam Bandung, Semarang, dan Surabaya dalam hal pembangunan. Namun di sisi lain warga lokal Jogja tidak merasa perbandingan itu penting, yang penting mereka dapat hidup nyaman dan stabil di kota tercintanya.

Adanya Sultan Ground (SG)  yang tersebar di seluruh penjuru DIY membuat hampir tidak mungkin di DIY akan berdiri kota mandiri raksasa seperti BSD atau Kota Baru Parahyangan. Dalam pembangunan infrastruktur jalan tol juga Sultan tidak ingin tol dibangun di permukaan tanah tetapi harus elevated walaupun biayanya jauh lebih mahal. Hal ini membuat infrastruktur Jogja tidak semaju kota-kota besar lainnya di Indonesia.

DIY kurang menggiurkan bagi investor karena aksesnya yang terisolasi dari kota besar lain dan tidak memiliki infrastruktur penunjang produksi skala besar. DIY tidak (atau belum) terhubung jaringan tol, tidak punya pelabuhan untuk pengiriman logistik, dan operasi bandara baru belum maksimal. Akibatnya tidak banyak modal (uang) masuk ke Jogja. Hidup masyarakat Jogja adem ayem, namun kalau dihitung dengan uang kurang menggiurkan.

Tapi kebahagiaan tidak semata-mata uang. Kedamaian dan kemudahan hidup di Jogja adalah sesuatu yang menggoda bagi orang yang ingin tinggal di sana. Banyak pertimbangan orang ingin bekerja dimana dan tidak semuanya bisa kita pahami. Pertimbangan dekat dengan keluarga adalah sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan angka.

Jogja dikenal sebagai kota pelajar dengan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang namanya harum hingga tingkat nasional. Jogja juga kota yang mampu mempertahankan budayanya ditengah gempuran modernisasi. Tinggal di Jogja sama sekali bukan pilihan yang buruk.

Kita sebagai generasi milenial punya pertimbangan yang lebih besar dalam memilih dimana kita akan tinggal. Marilah kita bertanya dimana kita akan lebih bermanfaat, lalu tujulah tempat itu.
Khairunnas anfa'uhum linnas
Sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi manusia lainnya. Jika memang kita akan lebih berguna di ibukota, pergilah walaupun orang bilang ibukota kejam. Jika memang mampu mengembangkan daerah-daerah terdepan, berangkatlah, rangkul masyarakat di sana dan tingkatkan taraf hidupnya. Jika memang lebih baik di Jogja, pergilah dan rasakan kenyamanan hatinya.