Working with Millenials




Kebetulan di pekerjaan saya sekarang, saya banyak bekerja dengan orang-orang yang lebih tua. Dalam tim rekan sebaya hanya satu, sisanya umur 35an dan satu usia bapak-bapak sebagai lead saya. Dalam tingkat yang lebih luas seperti satu departemen pun demografinya kira-kira seperti itu. Ini lumayan berbeda dengan di tempat kerja sebelumnya dimana tim saya diisi lebih banyak angkatan 95an dan freshgrad. 
Saya umur 28, 7 tujuh tahun lebih muda daripada mean/median umur pegawai di tim saya. Karena para 35s ini mayoritas, ada beberapa hal menarik yang saya temui saat bekerja dengan mereka. Pertama secara teknis mereka sudah bekerja lebih lama, otomatis kemampuannya memang rata-rata mumpuni. Enak kerja dengan mereka karena masing-masing sudah menguasai bidang yang dia pegang. Termasuk kemampuan mereka dalam menulis, mendokumentasikan, presentasi, negosiasi, dan komunikasi bahasa inggris sudah bisa dibilang cakap. Wajar sih ini, pengalaman gak bohong.

Kedua, mereka secara sosial sudah lebih mature. Ini berpengaruh ke obrolan sehari-hari. Rata-rata di usia segitu sudah punya anak yang sekolah TK atau SD awal. Sebagian sudah punya rumah dan/atau mobil. Di komunitas yang usianya 35an sudah ada obrolan tentang asuransi swasta, investasi, sekolah anak, dan semacamnya. Saya bersyukur bisa ikut mendengarkan pembicaraan-pembicaraan produktif macam ini, nabung wawasan.

Lalu yang terpenting dalam konteks pekerjaan adalah generasi milenial yang asli ini kalau saya perhatikan punya etos kerja yang lebih baik daripada generasi yang lebih muda. Menurut mereka ketika kita sudah mengikatkan diri dalam suatu pekerjaan maka kita wajib mengikuti arahan yang diberikan. Mereka cenderung tidak pilih-pilih kerjaan, selama itu masuk dalam persetujuan awal tentang jobdescnya berarti wajib dikerjakan. Mereka nggak terlalu bawa-bawa mood, passion, etc ketika sudah dalam kerangka bekerja. Bagi mereka perjanjian kerja itu sakral (dan mereka cermat soal itu), karena hak dan kewajiban pegawai maupun perusahaan refer kesana. Buat mereka penilaian tentang kemauan kerja itu nggak relevan, kalau sudah jadi kewajibannya ya harus mau, bukan lagi pilihan. Bagi mereka aneh ketika orang sudah deal untuk bekerja kok kerja ogah-ogahan atau pilih-pilih.

Baik buruknya debatable ya, tergantung preferensi pribadi. Tapi untuk saya, berada diantara orang-orang yang driven seperti ini menyenangkan. Yaa walaupun dorongan seperti ini kalau nggak bisa ngikutin rawan jadi sumber stress haha. 


Chandra


pict: Impossible Foods

Lebaran


Sebagai orang yang kurang suka keramaian dan tidak mudah akrab sama orang, saya kadang kurang menikmati acara syawalan atau sowan ke tempat saudara yang tingkat kedekatannya nanggung. Saya tetap ikut walau lebih karena social pressure. Tapi seiring tuntutan untuk makin fully developed sebagai anggota masyarakat, tahun ini saya up for challange untuk menikmati lebaran sepenuh-penuhnya. Mumpung lebaran kali ini sudah tidak ada batasan-batasan pandemi seperti tahun-tahun kemarin.



Ternyata ketika saya coba embrace the moment dan aktif berusaha mengenal orang-orang, hasilnya sangat menyenangkan. Ketika ikut ke keluarga besar istri, instead of duduk doang saya nimbrung obrolan bapak-bapak di kebon tentang bisnis ternak kambing, mobil tua, sampai ikan arwana. Dua tahun menikah saya belum paham silsilah keluarga besar istri karena tidak pernah kumpul-kumpul, pulang dari syawalan kemarin sebagian besar saya sudah hafal.

Enaknya bapak-bapak sekarang lebih santai, tidak mensyaratkan yang muda-muda harus bicara krama alus, setidaknya di keluarga besar saya ya. Ceplosan-ceplosan ngoko bikin obrolan jadi hangat dan santai. Saya nggak ada keinginan untuk segera pulang padahal banyak disitu yang baru saya temui pertama kali. Acara syawalan selesai sebelum dzuhur, saya baru pulang sekitar jam 2.


Dulu sebelum jadi menteri dan politisi, Pak Anies pernah bicara di TEDx tentang pentingnya seseorang punya dua hal: world class competence dan grass root understandning. Kompetensi kelas dunia sih belum ya, semoga suatu saat, tapi untuk pemahaman mengenai akar rumput saya rasa cukup okelah, terutama grass root di pedesaan karena saya lahir dan besar di sana. Itu jadi modal untuk masuk ke banyak obrolan hari-hari ini. Yang fancy-fancy biar nanti ketika sudah masuk kerja di kota lagi, waktu mudik saya pakai setingan andhap asor. Matter of fact, saya malah sangat tidak nyaman ketika sebagai pemudik dianggap eksklusif dan 'berbeda'. 

Kalau ke masjid dekat rumah saya usahakan pergi pakai sarung bukan celana panjang. Yes saking conform-nya lingkungan desa saya, pakai celana ke masjid saja sudah sebuah perbedaan yang mencolok. Saya coba kurangi penggunaan handphone ketika sedang bertamu atau bersama orang-orang, karena ini efeknya besar. Begitu saya genggam handphone, meskipun tidak dilihat layarnya, langsung kelihatan bahwa saya tidak memprioritaskan orang di depan saya.

Saya awalnya juga malas dan mau ambil sikap defensif kalau ditanya-tanya di lebaran kali ini. Tapi akhirnya wis lah los wae, kalau kitanya berniat baik semoga orang di sekitar juga nangkapnya baik. Kadang simbah-simbah itu di-iya-in saja sudah happy kok. Ada kemarin simbah yang mengira saya kerja di Garuda dan ngajak ngobrol tentang pesawat, yawis ikutin saja apa yang beliau sampaikan. Teknis jawaban kita menjadi tidak penting setelah pertemuan itu, tapi raut muka dan intonasi jawaban kita akan sampai dan diingat oleh beliau. 

Ditawarin suguhan ya saya coba makan, lagipula dari sekian banyak toples selalu ada yang saya suka. Nggakpapa lah kebanyakan kalori untuk satu dua hari, daripada mengecewakan tuan rumah yang sudah nyuguh tapi tidak disentuh. Nggak perlu berkali-kali dipersilakan baru ambil, sekali bilang monggo langsung gas. Sebenarnya sebelum monggo langsung ambil pun nggak akan marah.

Sama seperti saya yang ingat om dan tante yang sering ngasih uang dulu saat lebaran, anak sekarang pun begitu. Kalau ada rejeki boleh lah bagi-bagi amplop untuk ponakan-ponakan, anak-anak om tante yang dulu ngasih juga. Ada anak saudara yang sebelumnya tidak masuk list THR karena orang tuanya sangat kaya (tapi membumi dan hobi ajak nongkrong adek-adek sepupunya), tapi ibuk tetap suruh kasih karena namanya anak kecil pasti tetap senang dapat amplop seperti teman-teman sebayanya.

Terakhir, pelajaran yang saya ambil selama ini, nggak usah sok tahu dan komplain begini begitu. Nilai dan kebiasaan yang ada di kehidupan fancy-mu di kota belum tentu cocok dibawa mudik ke desa. Ikuti saja apa yang ada, pemudik nggak cukup mengerti keadaan untuk berhak membuat perubahan, dah nikmati saja libur lebaranmu. 

Setelah itu semua lalu tiba-tiba libur dan cuti bersama lebaran habis. Semoga kita semua jadi versi lebih baik dari sebelum puasa dan lebaran kemarin. Selamat kembali beraktivitas, yang dalam perjalanan hati-hati di jalan.


Chandra