The Universal Game



nb. mungkin di tulisan ini tidak ada premis yang dominan atau moral value yang bisa diambil, saya cuma tiba-tiba terinspirasi kartu remi.

Melihat kartu remi (playing cards), saya jadi terpikir sesuatu. Betapa hebat benda yang satu ini. Kartu remi adalah hardware yang dapat diinstal berbagai jenis program. Bayangkan saja, hanya terdiri dari 52 kartu tapi ada ratusan bahkan ribuan permainan yang dapat dilakukan dengan alat ini.

Saya tidak habis pikir bagaimana dulu penemunya menciptakan ini. Atau mungkin dulunya si penemu cuma membuat satu dua permainan dengan kartu ini tapi seiring berjalannya waktu berkembang inovasi-inovasi baru dari penggunanya di seluruh dunia. Kalau begitu berarti kartu remi sama canggihnya dengan program komputer jaman sekarang, memiliki community support yang luas dari seluruh dunia, orang-orang membuat patch-patch lalu membagikannya di forum. Open source, macam Linux. Wow.

Di Indonesia saja jenis permainan kartu ada banyak. Remi, 41, omben, cangkul, poker, jib-jiban dll. Kalau di luar negeri selain poker masih ada solitaire, blackjack, bridge. Belum lagi mainan sulap, rumah kartu, bahkan ramalan nasib. Sayang memang untuk sebagian kalangan kartu remi memiliki konotasi buruk karena dianggap dekat dengan judi.

Sebagai permainan board game, kartu remi mungkin yang paling banyak dimainkan. Dia dimainkan mulai dari warung kopi sampai arena olimpiade, gile. Remi jauh lebih universal daripada kartu domino atau adiknya lagi, Uno, yang harganya jauh lebih mahal.

Sekarang banyak sekali board game yang sudah dibuat versi digitalnya. Bahkan sejak jaman Windows XP dan Intel Pentium dulu Solitaire sudah jadi salah satu game bawaan Windows paling favorit, hayo siapa yang belum pernah main ?
Poker sekarang sudah banyak versi mobile-nya di Android dan iOS. Blackjack bahkan di hp Symbian dulu seingat saya sudah ada.

Walaupun begitu tetap ada yang kurang kalau cuma main via hp atau komputer. Board game, terutama remi yang cabang permainannya banyak adalah sarana pertukaran budaya yang efektif. Maklum, walaupun sama-sama di Indonesia tapi aturan main tiap daerah bisa beda. Sama-sama poker aja masih ada pilihan mau pakai aturan angkringan atau aturan Las Vegas wkwk.

Satu hal yang hampir tidak mungkin terjadi : main kartu tanpa misuh. Kartu adalah bahasa yang dipahami setiap orang. Orang yang belum saling kenal, kalau main kartu bareng bisa jadi guyon bareng, rame bareng. Dan kalau sudah saling misuh tanpa menyakiti artinya mereka sudah jadi teman :D

Hahaha itu pikiran random saya yang tiba-tiba muncul waktu melihat kartu remi. Tiba-tiba ingatan terlempar ke masa-masa lalu waktu masih sering main kartu. Sekarang sudah jarang, paling sering main karambol di lab komputer kampus di sela-sela TA karena itu mainan yang tersedia.

Saya kenal kartu remi sejak dulu tapi tidak pernah benar-benar melihat orang berjudi menaruh uang[1]. Jadi dulunya saya agak heran ketika ada orang yang mengasosiasikan kartu remi dengan judi. Yaa walaupun saya punya pengalaman, tukang rujak eskrim langganan saya di dekat Masjid Agung Bantul pernah tutup beberapa bulan, saya pikir bapaknya sakit atau kenapa, ternyata ditahan polisi gara-gara ketahuan main judi di acara nikahan tetangganya -_-

Saya tidak setuju dengan orang yang main kartu di pos ronda sambil ngopi sampai pagi apalagi sambil judi, tidak adakah hal lebih bermanfaat ?
Tapi bagaimanapun kartu remi adalah permainan yang canggih. Satu set kartu untuk ribuan permainan. Permainan yang sangat mudah dimainkan di mana saja dan kapan saja. Mengasah cara berpikir, intuisi, prediksi, dan kadang juga ingatan. Dan yang paling penting bisa menambah teman.

It's not about the cards you've been dealt. It's how you play your hand

Let's play! Shuffle it!


Chandra

[1] Saya belum pernah melihat orang berjudi kartu dengan uang di meja, tapi kadang-kadang pemain memang tidak melakukan itu. Mereka membuat catatan semacam scoring yang nanti somehow dikonversi jadi nilai uang.


sumber gambar : Pixabay (free)


Film Review : Nothing is Unbeatable, Never Lose Faith



Judul Film : Facing the Giants
Produser : Stephen Kendrick, Alex Kendrick, David Nixon
Sutradara : Alex Kendrick
Cast : Alex Kendrick, Shannen Fields, Tracy Goode, James Blackwell, Bailey Cave, Jim McBride
Tanggal rilis : 29 September 2006
Durasi : 111 menit
Bahasa : English


Shiloh Christian Academy. Bukan tanpa alasan sepertinya nama itu dipilih sebagai latar utama film ini. Lepas seperempat awal film, nilai-nilai dan nuansa Kristen sangat kental terasa. Dimulai dari amarah Grant Taylor yang mempertanyakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya yang dia rasa tidak kunjung membaik padahal dia selalu berdoa. Kekalahan tim football asuhannya, terancam dipecat dari kursi kepelatihan, mobil ngadat, perabotan rumah rusak, hingga vonis mandul bertubi-tubi memukul Grant. Grant memutuskan untuk menjadikan Tuhan sebagai pelariannya, sejak itu film ini sarat dengan nasehat religius. Intinya, film ini menekankan untuk selalu "mencari berkah".

Saya sengaja tulis ini di awal karena barangkali akan ada yang sensitif dengan ini. Tapi ingat bahwa premis utama film ini, yaitu "facing the giants" adalah nilai hidup yang universal. Jangan lupakan bahwa Al-Quran juga mengisahkan David (Nabi Daud a.s.) vs Goliath (Jalut).

Kalau di dunia sepakbola ada istilah "A player can be greater than his country", misalnya ketika kemarin Leo Messi 'sendirian' membawa Argentina lolos ke Piala Dunia 2018 Rusia, dalam film ini berlaku "A scene can be greater that the entire film". Sejak peluncurannya tahun 2006, film ini termasuk jarang diputar di layar kaca Indonesia sehingga mungkin tidak semua orang tahu. Tapi saya yakin hampir semua dari Anda tahu scene ini :

Facing the Giants - Death Crawl scene

Saya bukan reviewer film, juga tidak paham bagaimana mekanisme cerita film dibuat, urusan teknis macam lighting, editing, dll juga awam. Simpelnya, saya tidak bisa menilai baik-buruknya sebuah film dari sisi-sisi itu layaknya kritikus film profesional. Saya hanya berbagi cerita tentang film yang 'bergizi' dari sudut pandang saya. Menonton film ini, somehow saya mendapatkan impresi "oh, ini bagus dibagikan ke teman-teman".

Impresi terbesar yang saya dapatkan dari film ini tentu unsur motivasinya. Scene di atas adalah salah satu yang paling impactful. Tidak heran kalau potongan film itu diputar dimana-mana  sebagai video motivasi. Adegan ini di-cut sepanjang sekitar 4 menit dan menjadi video yang sangat viral.

Sejujurnya jalan cerita film ini sangat biasa, endingnya pun sudah bisa ditebak. Memang ada beberapa tikungan, namun karena penonton sudah tahu bahwa "yang baik pasti menang" maka eskalasinya tidak terlalu terasa.

Nilai plus dari film ini justru dialog-dialog dan drama antar tokohnya yang sengaja diselipi nasehat dan motivasi. Efek negatifnya memang jadi kurang natural, something like "lebay ah, di dunia nyata nggak mungkin sebijak itu". Tapi di sisi lain itu menjadikan film ini sangat kaya dengan nilai moral.

Orang cenderung menerima nasehat jika dia merasa frame-nya sesuai dengan mereka. Maksudnya, sebagus apapun moral value-nya akan sulit diterima orang dewasa jika film itu melulu soal anak-anak. Begitu pula sebaliknya, anak-anak belum mengerti permasalahan orang dewasa sehingga tidak bisa memahami nasehat-nasehatnya. People only hear what they want to hear.

Tapi tidak dengan Facing the Giants, film ini menghadirkan dua sisi perjuangan sekaligus. Yang pertama adalah anak-anak tim football Shiloh Eagles yang mengajarkan bahwa butuh pengorbanan besar untuk mencapai kemenangan. Serta yang kedua Grant Taylor itu sendiri yang masalahnya sudah saya tuliskan di atas. Oleh karenanya, saya pikir siapapun yang menonton film ini akan tergetar hatinya.

Meskipun sudah berumur 11 tahun, film ini masih relevan hingga sekarang, bahkan mungkin sampai nanti-nanti. Ini karena filosofi yang terkandung di film ini akan berlaku sampai kapanpun, yaitu : Grit.
Grit dapat diartikan sebagai passion and perseverance for long term goals, atau kegairahan dan keuletan serta ketangguhan untuk mewujudkan cita-cita jangka panjang - Prof. Ichsan Setya Putra (dalam Catatan Ikut Ultra Marathon #1)
Sedikit di luar film, tapi masih berhubungan dengan olahraga. Jadi weekend kemarin, sebagai ajang fundraising, alumni FTMD bersama BNI mengadakan BNI-ITB Ultra Marathon 170k. Peserta berlari 170 kilometer melalui rute Jakarta - Bogor - Puncak - Cianjur - Cipatat - Padalarang - finish di kampus ITB Bandung. Kalau kuat jarak 170 km boleh ditempuh sendirian. Tapi kalau tidak, boleh dalam tim beranggotakan maksimal 17 orang (atau 16?). Tim Dosen FTMD mengirimkan 16 dosen untuk mengikuti ini, salah satunya adalah Prof. Ichsan. Satu orang peserta menempuh jarak 10 km. Perlu diingat bahwa perjalanan Jakarta-Bandung elevasinya naik jadi track cenderung menanjak dan karena sistemnya seperti marathon maka ada peserta yang berlari tengah malam, ini jadi tantangan tersendiri. Tapi beliau-beliau finish dengan sempurna.

Pagi ini Prof. Ichsan mengirim tulisan beliau "Catatan Ikut Ultra Marathon part #1, #2, dan #3". Terima kasih atas inspirasinya, Pak.

Never Give Up, Never Back Down, Never Lose Faith - Facing the Giants


Chandra

Keburukan yang (Harus) Terjadi



Saya termasuk orang yang setuju bahwa terkadang kita perlu merelakan terjadinya mudarat kecil untuk mencegah mudarat yang lebih besar.

Suatu ketika kita berada dalam sebuah perjalanan darat dari Jogja menuju Jakarta yang memakan waktu semalam suntuk. Kita berangkat dari Jogja bermobil, berangkat ba'da Ashar karena besok ada meeting di Jakarta jam 8 pagi. Di sisi lain kita tidak bisa berangkat lebih awal karena beberapa anggota rombongan baru ready sore hari itu. Di tengah perjalanan muncul masalah bahwa di mobil itu hanya ada 1 orang yang capable untuk nyetir mobil. Satu jam sebelum masuk Bandung dia tampak sangat lelah karena memang sejak hari sebelumnya sudah banyak acara. Rombongan itu dirundung dilema. Mereka galau antara meneruskan perjalanan dengan sopir mengantuk atau memberikan kesempatan beristirahat dulu dengan resiko akan telat sampai di Jakarta dan merugikan rekanan yang akan ditemui.

Dalam hal seperti ini, tampaknya tidak ada pilihan yang sepenuhnya baik. Kita harus memilih antara was-was disopirin sopir nggliyer sepanjang tol Bandung-Jakarta 150 km atau was-was kehilangan klien karena kita mengecewakannya.

Mau tidak mau kita harus memilih salah satu dari 2 opsi itu. Sekarang kita harus menimbang-nimbang. Kalau saya, yang akan saya lakukan adalah memberikan kesempatan driver beristirahat dulu lalu menghubungi klien untuk minta reschedule dari jam 8 pagi jadi jam 11 siang. Menghubungi orang jam 3 dini hari untuk mengatakan bahwa kita akan telat menghadiri pertemuan bukanlah ide yang bagus. Tapi itu masih lebih baik daripada terjadi apa-apa di jalan yang mungkin menyebabkan kita tidak bisa menghadiri pertemuan itu sama sekali.

Itulah yang saya maksud dengan mudarat kecil dan mudarat besar. Menjadwalkan ulang pertemuan adalah mudarat kecil. Terjadi musibah di jalan adalah mudarat besar. Tentu di sini dengan catatan bahwa kita tahu bahwa si sopir benar-benar ngantuk berat, mata melek sudah susah, apalagi untuk konsentrasi.

Pengambilan keputusan memilih yang mana dalam kasus seperti ini dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya ini adalah fungsi dari kedewasaan. Semakin dewasa seseorang, semakin banyak pengalaman dan oleh karena itu semakin banyak pula sudut pandang yang dia miliki. Pengambilan keputusan akan menjadi lebih bijaksana, atau setidaknya lebih cepat.

Kasus lain, misalnya kita berada di antrian toilet mall yang sedang ramai. Kita berada di antrian pertama, di belakang kita ada seorang pemuda, dan di belakangnya lagi baru datang kakek-kakek yang sudah tua, untuk berdiri lama sudah tidak kuat. Bagaimana ?

Kalau saya, saya lebih memilih memenangkan penghormatan saya kepada orang tua itu daripada norma tentang ketertiban antrian. Itu di mall, lingkungan yang "beradab", tertib antri adalah nilai yang dijunjung, bukan stadion sepakbola yang loketnya memprihatinkan dan harus bersaing dengan calo kalau mau dapat tiket. Tapi saya dan pasti banyak dari Anda, memilih menyalahi aturan itu demi memudahkan orang yang sudah sepuh.

Coba ingat lagi klien dan pemuda yang ikut antri di toilet tadi. Dari sana kita tahu bahwa dalam keputusan memilih mudarat besar-kecil itu bisa saja ada unsur "merugikan orang lain". Mungkin itulah salah satu komponen "tidak ada manusia yang sempurna". Karena bahkan pilihan yang tampak lebih baik pun bisa berimbas buruk bagi orang lain.

Kita itu lebih sering bingung memilih mudarat daripada memilih manfaat. Ketika terjebak diantara 2 pilihan manfaat, kita masih mudah mengambil keputusan karena manapun yang diambil masih ada kebaikan yang diraih. Tapi kalau memilih mudarat ? Apapun yang diambil bisa saja merugikan orang lain. Kita punya beban harus mampu memilih mudarat yang lebih kecil.

Jadi maafkan saya jika kadang merugikan, menyakiti, bersikap tidak dewasa, dll. Itu adalah output dari utak-utik timbangan mudarat di balik layar pikiran saya. Lebih dari itu, kita semua harus saling menerima dan memaafkan bahwa keputusan buruk yang diambil orang lain pasti didasari pertimbangan akan sesuatu yang kita tidak tahu.

Everyone you meet is battling with something you'll never understand about, be kind.

Oh ya tentang perjalanan ke Jakarta tadi kelanjutannya bagaimana ?

Jadilah keputusannya beristirahat, mlipir mampir ke sebuah mesjid lalu si driver tidur. Tidak terjadi apa-apa sampai adzan subuh berkumandang. Ketika adzan si driver terbangun, minta kopi, turun dari mobil, dan ambil wudhu. Ternyata setelah itu dia sudah segar kembali, siap meneruskan sisa perjalanan. Selepas salat subuh mobil kembali melaju. Di luar dugaan ternyata sepanjang tol traffic-nya lancar, hijau semua. Draft chat meminta reschedule yang tadi sudah disiapkan tidak jadi di kirim karena menurut perhitungan dengan traffic lancar jarak Bandung-Jakarta bisa ditempuh dalam waktu cukup 2 jam. Benar saja, jam 7 rombongan sudah sampai di tujuan. Masih ada waktu untuk mandi dan menyiapkan diri demi pertemuan yang penting itu.

.....

Lalu apa hubungannya dengan gambar Zidane ?
Final Piala Dunia 2006, Berlin, 9 Juli 2006, Zidane dikartu merah setelah menanduk Materazzi.
Bagi Zidane, martabat ibunya lebih besar daripada trofi Piala Dunia.

Terkadang keburukan kecil harus dibiarkan terjadi


Chandra




Generasi Ke-Aku-an : How to Minimize Negative Effects of Sosmed



Dulu saya pikir orang-orang yang anti sosial media itu aneh. "Come on dude, you just afraid can't control yourself". Saya tahu menggunakan sosmed berlebihan itu tidak baik. Yah, yang namanya berlebihan yang baik pun bisa jadi nggak baik.

Tapi apa sih susahnya mengontrol penggunaan sosial media, pikir saya begitu. Menggunakan asas "menghindari hal yang sia-sia" pun saya kira masih valid jika dikatakan bahwa sosial media itu punya manfaat. Bagaimana menjadikan sosial media sebagai sumber manfaat itulah poinnya.

Kemarin saya nemu sebuah video bagus di YouTube, tentang seseorang yang menceritakan pengalamannya off sosmed selama 1 tahun penuh. Dari sana saya menemukan jawaban untuk premis di kalimat pertama di atas.

Walaupun sama-sama dalam konteks sosialisasi, ada perbedaan sangat besar antara interaksi langsung dan melalui sosial media. Dalam interaksi langsung, rata-rata orang berbicara tentang dirinya sebanyak 30-40%, sisanya bicara tentang orang lain, atau lawan bicaranya. Sedangkan pada interaksi sosial media, orang bicara tentang 'Aku' jauh lebih sering, hingga 80%. Wow

Coba buka grup chat kita, berapa banyak keluar frase "kalau aku", "kalau gw", "gw biasanya", "ada kenalan gw", "aku pernah tuh bla bla bla", dll. Itu baru yang eksplisit, masih banyak kalimat-kalimat atau post yang secara tidak langsung mencitrakan cerita tentang diri sendiri.

Didukung pendapatnya, posting foto lalu banyak yang like, difollow banyak orang, blog viewernya banyak, dll katanya merangsang produksi dopamin, zat yang bertanggung jawab atas rasa bahagia, motivasi, dan semangat. Generasi ke-aku-an barangkali memang haus akan pengakuan. Entah kurang bahagia atau apa, banyak dari kita mencari kebahagiaan dari dunia maya.

Dari sana terjawab pertanyaan saya mengapa ada orang yang kecanduan sosmed tapi ada yang nggak doyan. Pertama tentu usia dan generasi. Misalnya instagram yang penggunanya kebanyakan berusia sekitar 20 tahun. Orang yang ketika instagram meledak sudah berusia di atas 30 tahun mungkin tidak terlalu berminat. Terlihat sekali, ketika menghadapi momen yang sama, anak 20 tahunan panik mengeluarkan handphone untuk upload instastory, tapi yang sudah bapak-bapak santai saja.

Sekarang zoom-in ke generasi 20 tahunan. Ternyata di dalamnya orang-orang memiliki kebutuhan pengakuan yang berbeda-beda. Ini mungkin alasannya sebagian remaja santai saja tidak menggunakan sosmed. Bukan karena keputusan logis khawatir tidak bisa mengontrol diri, tapi karena memang tidak tertarik, tidak butuh.

Saya jadi paham kalau kebutuhan eksis orang berbeda-beda. Orang yang merasa hidupnya "indah" memiliki godaan yang besar untuk menunjukkannya pada dunia. Sampai-sampai dia lupa bahwa yang indah untuk dia belum tentu indah untuk orang lain.

Ini bukan kriminal, bukan, belum sampai pada benar atau salah. Ini cuma soal kesesuaian. Jadi titik beratnya adalah pada kesediaan untuk menyesuaikan diri.

Tidak ada orang bodoh di Twitter, tidak ada orang miskin di Instagram, semua punya teman di Facebook, Tidak ada pengangguran di LinkedIn, Tidak ada orang susah di Path - Anonim 
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Setidaknya ada beberapa tips untuk mengurangi dampak negatif dari sosial media :

1. Jika menginstal aplikasi sosmed di laptop/komputer kerja, matikan notifikasinya. Jelas ini akan mengurangi distraksi dan memudahkan kita untuk fokus dalam belajar atau bekerja. Tanpa notifikasi, kita membuka sosmed lebih karena alasan logis, bukan karena nafsu penasaran ingin melihat apa yang terjadi di luar sana. Kalau perlu, notif di device mobile juga dimatikan saja.

2. Follow orang yang membuat hidupmu lebih baik (saja). Di sosial media orang cenderung menonjolkan kelebihannya. Sedangkan kita tahu, pembunuh kedamaian hati paling mutakhir adalah membandingkan kelebihan orang dengan kekurangan kita. Jangan sampai image seseorang di sosmed itu kita jadikan acuan bahwa itulah dia sebenarnya. Gampangnya, kalau kita merasa gampang pengen sesuatu, jangan ikuti akun-akun yang suka pamer sesuatu itu. Make your life happier.

3. Ingat selalu bahwa : yang indah menurutmu belum tentu indah untuk orang lain. Semakin banyak upload konten tidak penting menunjukkan bahwa kita memiliki kebutuhan yang besar akan pengakuan.

4. Gunakan sosmed untuk sesuatu yang bermanfaat misalnya sharing pengetahuan dan informasi positif.

5. Kalau memang butuh sosmed nggak masalah pakai saja. Tapi jika memungkinkan uninstal-lah softwarenya dari hp secara berkala, misal selama seminggu 'puasa' instagram dan diulang setiap bulan. Ini baik untuk detoks dan menghindari kecanduan.

6. Sebaiknya jangan menggantungkan mata pencaharian pada sosmed karena sangat mungkin sebuah platform tiba-tiba sepi jika sudah ada yang baru dan lebih diminati.



Chandra

sumber gambar : pixabay

Pintu



Ada dua cara melihat dunia. Yang pertama, melihat dunia sebagai satu ruangan dengan banyak pintu, Yang kedua, melihat dunia sebagai banyak ruangan masing-masing dengan satu pintu.
Melihat dunia sebagai satu ruangan dengan banyak pintu artinya memiliki kesadaran bahwa dari mana pun kita berasal, bagaimana latar belakang keluarga dan pendidikan kita, kelompok dan paham apa yang diikuti, apa warna kulitnya, apa kelebihan dan kekurangannya, dll, pada akhirnya harus menyatu untuk mewujudkan kebaikan bersama dan saling menjaga.
Setiap orang masuk dari pintunya masing-masing. Tapi mereka berbaur, masuk ke ruangan itu dengan niat berkolaborasi. Mereka tidak lagi melihat pintunya lebih baik daripada pintu orang lain. 
Mungkin idealnya begitu, dibandingkan yang kedua..
Melihat dunia sebagai banyak ruangan masing-masing dengan satu pintu mengurung orang di kotaknya masing-masing. Dia bisa menjadi sangat ahli di bidangnya, tapi kehilangan kepekaan akan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh sekitarnya. 
Tapi tenang, ini cuma urusan waktu. Sama seperti butir-butir pikiran yang lain, pemahaman ini sangat mudah untuk berubah. Bahkan saya tidak tahu di sisi mana saya berdiri. Lebih dari itu, bahkan saya tidak benar-benar tahu mana sisi yang lebih baik. 
Setidaknya, kita tahu pintu mana yang harus kita masuki.

Chandra

sumber gambar : pixabay

Down the Slope of Sinabung



Hurraay. Ceklist pribadi berjudul "mengunjungi semua provinsi di Indonesia" berprogres lagi, Alhamdulillah. Kali ini tujuannya Medan Sumatera Utara dan Padang Sumatera Barat. Yah, walaupun di Padang cuma transit 2,5 jam, lumayan sempet ngicipin nasi padang dari daerah asalnya hehehe.

Ceritanya gini, berpikir daripada tugas akhir hanya mengendap di perpus jarang-jarang disentuh bahkan lewat digilib, dosbing saya, Pak Ony Arifianto meng-encourage mahasiswa bimbingannya untuk menuliskannya dalam format paper dan dimasukkan ke conference. Alhasil dari Lab Mekanika Terbang ada 4 paper yang tembus ke International Seminar on Aerospace Science and Technology (ISAST) V Medan. Kami termasuk generasi paling muda di sana, berada diantara para profesor atau minimal peneliti PTDI, LAPAN, atau BPPT.

Flight Mechanics Group

"Ya memang nggak akan sempurna, tapi kalau gak dilatih dari sekarang kapan lagi, toh banyak orang-orang kita yang ikut kan", pesan Pak Ony kepada kami. Beliau melanjutkan, "presentasi santai aja, jangan lupa dolan-nya". Alhamdulillah kami dibiayai secara penuh dari FTMD.

Berbekal itu kami menyusun rencana liburan yang pada akhirnya nggak kalah berkesannya dibanding conference-nya. Kebetulan kami baru saja selesai masa sidang, jadi momennya pas buat untuk jalan-jalan.

Kami serombongan ada lima orang yang berangkat hampir bersamaan hari Rabu subuh dari Jakarta, karena menunggu ada teman yang baru sidang hari Selasa-nya. Tiga orang diantaranya mendapat jadwal presentasi di hari pertama (Rabu, 27/9), termasuk saya. Lalu dua sisanya presentasi di hari ketiga (Jumat, 29/9). Jadilah kami berniat memanfaatkan hari Kamisnya untuk full jalan-jalan. Awalnya mau ke Samosir dan Danau Toba, tapi perjalanan butuh waktu 5 jam lewat jalan berkelok khas Sumatera. Akhirnya kami pilih destinasi yang lebih dekat : Berastagi.

Singkat cerita kami menyewa mobil, 600 ribu sudah termasuk Avanza, bensin, driver (exclude makan) untuk sehari. Driver kami namanya Pak Simbolon. Orangnya ramah, tidak seperti gambaran orang Batak dalam benak saya yang kasar dan keras kalau ngomong. Kalau ada poin-poin berkesan dalam perjalanan ini, Pak Simbolon adalah salah satunya. Misal kawan-kawan main ke Medan dan butuh driver plus mobil, bisa hubungi beliau, saya bisa kasih kontaknya. Berastagi bisa, Samosir berangkat, wisata kuliner juga tahu tempat-tempat enak, tanpa micin, dan halal tentunya.

Destinasi pertama Berastagi : Lumbini

Berastagi itu seperti Lembang kalau di Bandung. Katanya, Beras-tagi ini artinya rice shop. Setelah 2 jam perjalanan dari Kota Medan sampailah kami di dataran tinggi ini. Sebenarnya saya tidak begitu amazed dengan Berastagi, bagusan Lembang menurut saya. Lembang lebih sejuk, lebih lengkap view-nya, dan akses jalannya lebih bagus. Tapi ada satu yang menutupi segala kelemahan tadi, yaitu Gunung Sinabung.

Mungkin saya belum akan kenal Sinabung kalau gunung ini tidak memanas tahun 2013 lalu. Jadi ketika melihatnya langsung saya kagum melihat bentuk gunung yang tidak simetris, mungkin karena bekas letusan beberapa tahun lalu. Pertama saya mendapat view Sinabung yang cukup jelas adalah ketika kami mampir di Gundaling, sebuah taman sekaligus gardu pandang di Berastagi, mungkin seperti Ketep kalau di Merapi. Tapi honestly tidak banyak yang bisa dinikmati di Gundaling, kecuali Sinabung itu.

Pulang dari sana kami tidak ada bayangan mau kemana lagi. Maklum waktu berangkat angan-angannya cuma ke Berastagi, urusan Berastagi sebelah mana, clueless. Alhasil Pak Simbolon akhirnya mengajak kami ke Danau Lau Kawar. Sekitar setengah jam bermobil dari Gundaling, mendekat ke arah Sinabung.

Masalahnya adalah, kami tidak tahu kalau Lau Kawar itu cuma berjarak 3 km horizontal dari puncak Sinabung. Parahnya, beberapa hari sebelumnya Sinabung erupsi, hujan batu, dan berstatus awas. Becanda Abang Simbolon ini -_-

Jarak Lau Kawar dari puncah Sinabung, cuma 3 km

Beruntung waktu kami berkunjung Sinabung sedang 'tidur'. Tapi bekas-bekas erupsi Sinabung benar-benar terlihat di Lau Kawar. Kondisinya berubah total dibandingkan sebelum erupsi.

Dulunya Lau Kawar adalah salah satu obyek wisata terkenal di Berastagi. Selain danau alami, ada bumi perkemahan, taman bermain, kebun, dan wisata perahu. Lau Kawar adalah tempat ngademnya orang Medan.

Tapi kini Lau Kawar sudah ditutup untuk umum. Kami pun sebenarnya masuk secara ilegal. Menuju Lau Kawar jalanan sudah rusak karena sisa lahar dingin serta tumpukan batu dan dibiarkan begitu. Mobil dengan ground clearance rendah tidak bisa masuk. Bekas bangunan TPR juga masih ada tapi sudah tidak ada penjaganya, kami masuk gratis. Masuk ke wilayah danau tampak lahan bumi perkemahan yang dulu hijau kini tertutup bekas lahar dingin. Bagian tumput yang masih hijau tumbuh panjang-panjang tidak terawat.

Masuk lebih jauh ke area taman bermain, yang ada hanyalah sisa-sisa ayunan dan jungkat-jungkit yang sudah rusak. Menengok ke arah danau, ada perahu yang karam. Di sepanjang tepian danau juga masih ada sisa gazebo-gazebo yang sekarang juga sudah tidak dipakai. Kalau ada yang masih produktif, itu adalah lahan perkebunan yang mungkin malah semakin subur, juga ada peternakan kecil.

     Foto-foto sebelum erupsi (kemanaaja.com , tempatwisata02.blogspot.com)



   Foto pasca erupsi (pict taken by : Ahmad Fariz)






Wilayah yang dulu ramai ini sekarang sudah tidak dikunjungi oleh wisatawan, kecuali orang-orang kurang informasi seperti kami ini. Hanya tinggal 5 kepala keluarga saja yang mendiami wilayah ini. Usaha mereka bukan lagi wisata melainkan ternak dan berkebun. Waktu kami kesana ada truk yang sedang mengambil kotoran ternak yang akan dijadikan pupuk. Selain foto-foto, yang kami lakukan di sana adalah ngobrol soal Lau Kawar dan Sinabung dengan penduduk lokal.

Katanya air di dasar danau itu hangat karena magma Sinabung. Mungkin kalau tidak ada Lau Kawar, Sinabung bisa erupsi lebih sering dan lebih besar karena tidak ada pendingin. Dengan kata lain, Lau Kawar ini seperti radiator-nya Gunung Sinabung. Walaupun sudah bukan lagi tempat wisata, tapi saya sarankan kawan-kawan main ke danau ini kalau berkesempatan.



Saya pernah datang ke Kinahrejo, daerah sekitar rumah Mbah Marijan pasca erupsi Merapi. Tapi fakta bahwa kami berkunjung ke Sinabung di masa-masa daruratnya adalah kenangan tersendiri. Gempa, hujan batu, bahkan awan panas bisa saja menghampiri kami siang itu. Alhamdulillah kami masih diberi keselamatan, dan keceriaan.

Jam sepuluh malam kami sampai kembali di hotel yang terletak di kawasan Halat Center. Saya buka laptop untuk mencari gambar-gambar Lau Kawar sebelum erupsi Sinabung. Sayang kami tidak punya cukup banyak gambar kondisi sekitar Lau Kawar pasca erupsi, hanya yang saya tampilkan di atas.

Kami saling share foto-foto perjalanan hari itu. Ada beberapa foto yang menggambarkan kondisi Lau Kawar saat ini. Saya mau mulai menulis tapi rasanya terlalu capek. Akhirnya saya putuskan untuk tidur karena esok paginya harus kembali ke ruang seminar.

Penerbangan 2013 on ISAST V 2017



Chandra