Butuh 1,5 Tahun


Hari ini saya sedang dalam mode hemat energi. Tidak ada kegiatan berarti yang saya lakukan sepanjang hari, hanya beberes, cuci-cuci, makan, ibadah, istirahat, dan ber-media sosial. Topik yang sedang naik di twitter tentang dikotomi agama vs sains menggerakkan jari saya untuk mengutip sebuah quote dari Mas Sabrang.

Orang yang belajar sains setengah-setengah pasti meragukan agama
Orang yang belajar agama setengah-setengah pasti meragukan sains

Saya cari video seminar dimana beliau menasehatkan itu untuk kemudian saya bagikan link-nya di twitter. Pencarian saya ternyata berlanjut pada keadaan dimana saya dengan nyaman membiarkan videonya berjalan. Saya menyimak seminar PK LPDP itu dengan seksama karena memang saya suka dengan tema dan pembicaranya. Ini adalah pertama kalinya dalam 1,5 tahun terakhir saya bisa menerima sesuatu yang berkaitan dengan LPDP secara lapang dada.

Kegagalan saya pada seleksi beasiswa LPDP 2018 sejujurnya bukan sesuatu yang dengan gampang saya cerna. Saya merasa sudah menyiapkan diri sebaik-baiknya. Semua dokumen lengkap, sertifikat bahasa Inggris saya siapkan dua, IELTS dan TOEIC dengan nilai diatas kriteria. Nilai tes komputer termasuk tinggi di Bandung. Bahkan selama proses seleksi LPDP saya secara paralel mendaftar ke kampus tujuan dan sudah diterima di Imperial College London. Tapi pengumuman beasiswa LPDP di akhir tahun 2018 menyatakan saya belum diterima. Saya sempat tidak percaya sampai butuh waktu untuk shalat dan lain sebagainya sebelum memberi tahu orang tua.

Bulan berikutnya saya sempat mendaftar universitas dan beasiswa lain tapi jiwa saya nggak disana, karena memang dari awal cita-citanya adalah ICL. Pergulatan batin terjadi dan saya berusaha menghindar dari segala bahasan soal beasiswa. Hanya permintaan sharing dimana saya bisa membumbuinya dengan curhat yang saya layani, selain itu biasanya secara naluri ingin menjaga jarak.

Saya dulu orang yang akademisi sekali, bahkan waktu kuliah sempat ada teman memberikan julukan Unstoppable karena selalu beruntung dan mulus kalau soal akademik dan kampus. Sampai sekarang masih sering ada yang bertanya apakah saya sudah S2. Faktanya saya malah belum punya rencana untuk apply lagi sampai saat ini. Sejak awal 2019 belum satupun usaha berkaitan dengan pascasarjana yang saya lakukan.

Pengumuman di akhir Desember (dan beberapa pengumuman sesudahnya) itu membelokkan semua rencana saya. Sampai akhirnya jalan saya terarah ke ibukota pun saya masih belum bisa lega. Masih lebih menyenangkan membicarakan pekerjaan daripada beasiswa.

Saya tahu kalau tidak ada yang bisa disalahkan atas kegagalan ini, ya yang salah saya sendiri. Tapi ternyata ikhlas tidak semudah itu. Atau lebih tepatnya mudah atau tidaknya ikhlas itu ditentukan dari hal-nya apa dulu. Karena meaning yang diletakkan seseorang atas sesuatu bisa berbeda-beda. Sepertinya bidang pendidikan yang bertahun-tahun menjadi zona nyaman bagi saya justru adalah tempat dimana saya paling lemah menghadapi kegagalan. 

Sampai suatu titik saya bertekad untuk berkarir di luar negeri dan menjadi diaspora. Menetap di negara orang sekedar untuk bisa menjawab ketika ditanya alasan tidak kembali ke Indonesia: "Saya pernah mendaftar beasiswa pemerintah yang punya ikatan untuk kembali, tapi ditolak. Jadi sekarang saya tidak punya kewajiban untuk mengabdi". Maaf kalau gumedhe, memang keadaannya lagi emosi waktu itu.

Pelan-pelan porsi dari diri saya yang bisa menerima keadaan kian bertambah. Seiring berjalannya waktu ada jawaban-jawaban yang bikin mbatin "oh mungkin ini alasannya". Menasehati orang untuk menyelesaikan masalahnya lebih mudah karena kita tidak terlibat langsung dan bisa melihat dari jarak dan sudut yang lebih jelas, tapi kalau mengalami sendiri jadi paham bahwa memaafkan dan berdamai dengan keadaan tidak sesederhana itu.

Butuh 1,5 tahun bagi saya untuk bisa kembali bersinggungan dengan hal-hal tadi tanpa menghidar atau menyembunyikan ekspresi. Alhamdulillah saya bahagia dengan apa yang saya jalani sekarang dan tidak berkurang bahagianya ketika tahu ada orang yang berhasil mendapatkan apa yang dulu saya harapkan. Alhamdulillah...

Mungkin orang menyangka, ku tak pernah terluka
Tegar bagaikan karang, tak mencucurkan air mata
- Seurieus

Best regards,
Stoppable

Tentang Medhok


Hari-hari ini sedang ramai di twitter bahasan tentang gaya bicara logat jawa alias medhok. Pakai h ya, medhok bukan medok. Gara-garanya ada orang yang membuat status WhatsApp mendiskreditkan orang yang gaya bicaranya medhok. Katanya bagi dia medhok itu bikin malu, nggak mau berteman sama orang medhok, dan cuma akan jadi ceng-cengan di tongkrongan.

Screenshotnya tersebar di twitter dan jadi bahan olok-olokan. Banyak yang terpancing, kalau ketahuan identitasnya pasti sudah habis itu diserbu netizen. Nggak salah sih kalau dikatakan rasis karena logat bahasa ada hubungannya sama suku, dan disana ada unsur perendahan. 

Saya sih bukannya nggak pernah mendapat perlakuan diskriminatif karena logat masih medhok walaupun sudah 7 tahun merantau. Nggak sampai disakiti lah, hanya kadang ada perasaan tidak bisa ngeblend dengan lingkungan sekitar. Kemarin sempat ada yang mengkuantifikasi privilege. Suku Jawa dapat skor paling positif diantara suku lainnya, tapi entah kenapa logat jawa malah dianggap setback.

Tapi alhamdulillah yang nggak enak-nggak enak itu tidak terjadi di lingkungan utama. Di lingkungan tempat tinggal, kuliah, kerja, semua tetap kondusif. Saya dikelilingi orang-orang yang nggak mengernyitkan dahi mendengar logat medhok saya. Di sisi lain saya juga memahami mereka yang geli dengan aku-kamu sehingga sebisa mungkin saya tidak mengucapkan itu.

Karena lidah masih kaku untuk berkata lu-gue jadi ini bukan solusi terbaik. Baru setelah bekerja saya lebih terbiasa. Sebelumnya waktu kuliah sulit sekali karena saya dikelilingi banyak orang Jawa baik di kosan maupun di kampus. ITB adalah tempat yang membuat Anda belajar bahasa Jawa walaupun tidak menginginkannya.

Seiring berjalannya waktu saya bisa mengotak atik kalimat sehingga tidak perlu mengucap aku-kamu maupun lu-gue, dengan maksud yang tetap tersampaikan. Percakapan lisan kan nggak harus semuanya sesuai SPOK untuk bisa dipahami. Kalau konteksnya komunal biasa pakai kita-mereka-kalian yang berterima di kedua belah budaya. Jadi saya juga nggak primordial mentok yang menganggap logat dan kebiasaan bahasa saya yang terbaik. Saya sadar saya berada di tanah orang.

Saya bersyukur tidak punya teman seperti orang yang membuat status WA tadi. Kalaupun ada perasaan berjarak dengan lingkungan tertentu itu terjadi secara mutual understanding. Saya tahu saya nggak nyaman dalam pergaulan yang terlalu ibukota. Di sisi lain orang lain juga berhak merasa tidak nyaman di lingkungan saya. 

Kebahagiaan dalam aktivitas seperti badminton, nonton film, makan, karaoke, atau futsal itu tentu akan maksimal jika dilakukan dengan orang yang satu selera. Semakin tidak ada batasan maka semakin momen itu bisa dinikmati. Semua orang ingin menikmati momen secara penuh sehingga cenderung berkumpul dengan sesamanya. That's totally fine.

Nggak usah terlalu baper dengan kasus "kita ada grup yang nggak ada kamunya lho" karena kecocokan dalam pergaulan orang dewasa tidak bisa dipaksakan. Asalkan kita being left out bukan karena melakukan kesalahan atau jadi orang yang terlalu menyebalkan itu nggak masalah. 

Saya punya geng namanya Batan Community bersama teman-teman sejurusan yang dulu kalau siang suka rebahan menjurus tidur siang di masjid Batan samping kampus. Temanya memang jowo tapi ada teman dari Cirebon dan Bekasi juga yang ikut di dalamnya. Di tempat kerja ada grup Beruang Sopodel bersama teman-teman yang tahu-tahu cocok aja kalau ngobrol. Kebanyakan dari Jawa juga walaupun ada satu orang dari Sulteng.

Dalam pergaulan sehari-hari saya jarang menyebut soal grup itu pada orang yang tidak ada di dalamnya. Tapi beberapa teman dekat sudah tahu dan tidak menanyakan apalagi mempermasalahkannya. Sama halnya saya happy-happy saja kalau teman punya circle lain yang saya tidak ikut di dalamnya. Intinya nggak usah baper.

Apakah saya ingin meninggalkan logat medhok? Saya ingin menguranginya sampai level dimana itu tidak lagi menjadi batasan bagi saya untuk berhubungan dengan siapapun. Tapi saya tidak ingin menghilangkannya babar blas. Selain sebagai penghargaan akan identitas, kadang medhok ada untungnya juga. Misal dalam pekerjaan sebagai engineer, menjadi orang medhok (berarti dari daerah) menguntungkan karena dianggap pekerja keras dan tidak banyak nuntut sehingga lebih disukai, begitu kata senior saya. 

Bagi saya nggak ada gunanya merasa rendah karena medhok. Lihat tu video-video yang menampilkan crazy rich surabaya, banyak yang logat Suroboyonan-nya minta ampun kentalnya dan mereka tidak malu dengan itu. Tapi kita juga jangan me-roasting orang yang pakai lu-gue apalagi kalau memang berasal atau tinggal di ibukota. Faktanya sapaan elo dan gue itu bagian dari budaya Betawi juga.

Mari melihat persoalan logat ini tidak lebih dari kenyamanan pergaulan. Keinginan untuk berada di lingkungan yang nyaman ini sangat wajar. Apapun yang ada di alam cenderung mencari posisi kesetimbangan dimana di tempat itu resistansinya minimal. Jangan sampai masalah ini mengganggu kolaborasi dan silaturahmi. 

Soal oknum yang membuat status WA tadi, saya nggak yakin dia nggak ikut heboh dengan revival Pakde Didi beberapa waktu terakhir ini.


Chandra

Hujan dan Bandung


Hujan sudah mulai kembali turun. Satu dua bulan ke depan ia mungkin sudah akan hadir tiap hari. Hujan sering disalahkan sebagai sebab munculnya ingatan dan kenangan yang telah lalu. Begitu juga kenangan saya soal Bandung. 

Bukan, bukan karena saya pernah punya seseorang di Bandung. Saya cleansheet ya disana btw. Tapi bagi saya Bandung dan hujan itu perpaduan yang ultimate. Saya suka Bandung dan saya suka hujan. Ketika keduanya hadir bersamaan maka yang muncul adalah kesempurnaan. Ada beberapa alasan kenapa Bandung dan hujan adalah salah satu perpaduan tempat dan waktu yang terbaik. One of the best, if not the best. 

Kota Bandung berada pada ketinggian lebih dari 750 meter di atas permukaan laut. Tempat tinggal dan kampus saya di kawasan bandung utara lebih tinggi lagi, mungkin 850 atau 900 mdpl. Jadilah suhu udara disana rata-rata 5-6 derajat lebih dingin daripada Jogja dan Jakarta. Jam 1 siang disana sama dengan jam 9 pagi di Jakarta.

Suhu udara yang sudah sangat nyaman itu menjadi makin sejuk ketika hujan datang. Banyaknya pepohonan dan tanah terbuka di tengah kota menghadirkan petrichor, alias bau tanah kering yang baru saja terkena hujan, pleasing relaxing. Pohon-pohon menjadi kanopi alami ketika hujan belum terlalu menjadi-jadi. Kalaupun akhirnya deras dan harus berteduh, selepas hujan tetesan air dari dedaunan menghadirkan nuansa yang masih bisa dinikmati.

Ada yang menarik jika hujan dan saya sedang berada di kosan. Kebetulan garasi kosan saya diatapi dengan kanopi dari bahan yang kalau terkena hujan bunyinya nyaring sekali. Alhasil dalam hujan yang tidak terlalu deras pun suaranya sudah berasa lebat. Di dalam kamar, matikan lampu, lalu tarik selimut sambil berharap hujan jangan cepat-cepat reda sebelum saya bisa memejamkan mata.

Kampus adalah tempat kedua dimana saya sering mengalami hujan. Kali ini tidak semua pengalamannya menyenangkan karena hujan membuat lorong-lorong licin karena tampias. Gedung fakultas saya juga tidak terintegrasi dengan jalur teduh yang memanjang dari depan sampai belakang kampus. Menyeberang dari satu gedung ke gedung lain bisa membuat sedikit basah. Tapi tetap saja saya lebih sering tidak punya payung. 

Hujan membuat lapak-lapak penjual makanan depan kampus jadi becek. Begitu pula kalau mau jalan ke masjid Salman terkadang harus agak mengangkat celana dan mengamakan sepatu ketika melewati beberapa genangan. Yang paling parah tentu saja paving block boulevard yang sudah ngangkat-ngangkat dan kalau hujan lalu diinjak airnya suka muncrat. Entah sudah dibenerin apa belum yang ini.

Tapi lagi-lagi bau tanah basah, tetesan air dari daun dan talang gedung, nuansa wet look di taman-taman kampus, dan angin yang menjadi semakin sejuk cukup untuk membayar ketidaknyamanan yang terjadi. Belum termasuk lapangan saraga yang menjadi tidak berdebu selepas hujan. 

Sepanjang pengalaman saya di Bandung selama kurang lebih enam tahun, hujan disana adalah yang paling bisa diprediksi dibanding Jogja dan Jakarta. Di Bandung sangat jarang ada hujan di pagi hari. Biasanya mendung baru mulai datang sekitar jam 11, lalu mulai turun hujan jam 1 atau 2 siang. Pagi yang cerah membuat orang tidak perlu berangkat kerja secara rempong karena harus pakai jas hujan, pakai sandal dengan sepatu ditaruh tas, dan juga anak sekolah tidak perlu meringkuk di dalam ponco dibonceng bapaknya ke sekolah.

Saya sempat menuliskan rute galau terbaik di Bandung adalah naik ke Lembang. Pengalaman ini akan menjadi makin paripurna kalau dilakukan selepas hujan. Warna dedaunan menjadi semakin hujau dan sedap dipandang, angin semakin dingin semilir, dan kabut yang turun menebal menambah nyaman perjalanan. Walaupun harus lebih berhati-hati karena jalan yang naik turun jadi lebih licin.

Kalau dibagi lagi menjadi episode-episode per musim hujan selalu saja ada pengalaman yang berkesan. Ngarak wisuda di tengah hujan deras pernah, kejebak hujan di Ciwidey lalu terpaksa neduh karena jas hujan cuma satu model celana pernah, kehujanan waktu nobar Liverpool di Alpina pernah, dan masih banyak lagi. Sebuah sountrack soal hujan yang jadi teman merenung jaman awal-awal kuliah, lagunya The Cascades - Rhythm of the Rain, hehe

Listen to the rhythm of the falling rain
Telling me just what a fool I've been
I wish that it would go and let me cry in vain
And let me be alone again
Rain please tell me now does that seem fair
For her to steal my heart away when she don't care?
I can't love another when my hearts somewhere far away 

Membandingkan Bandung dengan Jogja selalu ada bias romantisme kampung halaman, tapi soal hujan Bandung miles ahead. Bandung adalah tempat yang dapat dinikmati hujannya. Hujan membuat repot kadang-kadang, tapi suasananya, ketenangannya, sejuk udaranya tetap jadi hal yang dirindukan orang-orang yang pernah mengalami hujan disana.


Chandra, kehujanan di Bandung 2013-2019