Showing posts with label kontemplasi. Show all posts

Share?

Pasti ada batas antara memberikan informasi yang cukup dan di mana informasi itu sudah terlalu banyak dan menjadi menyebalkan. 

Orang yang kita ikuti menentukan bubble kita dan bubble itu sangat memengaruhi standar yang kita punya. Orang yang mengikuti twitter saya mungkin jengah dengan twit-twit sampah yang saya post setiap ada pertandingan bola. Tapi itulah hasilnya kalau terlalu banyak follow account banter seperti UTDTrey dan Welbeast. Saya juga paham kenapa teman-teman penggemar k-pop juga banyak retweet soal idolanya. It is what it is, namanya juga media sosial dan attention business.

Problemnya, saya kadang merasa apa yang ingin saya keluarkan belum tentu cocok untuk semua audience (yang tidak banyak itu). Definisi baik, keren, dan bermanfaat yang ada di pikiran saya dipengaruhi orang-orang yang saya follow, sementara orang yang follow saya belum tentu punya definisi yang sama. 

Personal filter di sana buat saya seperti rem yang kadang di tekan kadang tidak tapi tetap harus ada dan berfungsi dengan baik. Sampah-sampah soal bola tadi saya biarkan lepas karena saya pikir tidak akan merugikan siapapun dan hanya di akun twitter yang privat. Tapi tidak semua keputusan untuk share/tidak share sesimpel itu. 

Hampir semua platform media sosial punya limiter dalam bentuk masing-masing: privacy setting, close friend, share to contact except, dll. Semua itu fasilitas ngerem yang disediakan oleh platform. Tapi penggunaannya diserahkan pada user masing-masing.

Saya iseng coret-coret gambar di atas karena kepikiran bahwa yang di sisi kanan tidak bisa kita kontrol: opini dan pandangan orang soal kita. Tapi kita punya kontrol penuh atas apa yang ada di kiri: orang-orang yang kita jadikan referensi. Layaknya makanan menentukan kesehatan badan, informasi juga makanan buat otak dan hati. Kebohongan yang diulang terus menerus saja bisa jadi dikira kebenaran, apalagi hanya definisi baik-buruk, penting-tidak, bagus-jelek. Apa yang kita dengar, baca, dan lihat terus menerus bisa sangat mendefinisikan kita.

Di jaman seperti ini hampir tiap saat kita perlu memutuskan: share or not? Kalau mau simpel jawabannya tidak perlu bermedia sosial sama sekali. Banyak orang memilih ini dan hidupnya tetap menyenangkan. Tapi buat saya pribadi online presence masih penting, atau setidaknya perlu. Maka filter di sana mesti dijaga benar-benar karena andai keputusannya untuk share pun masih harus diputuskan share-nya seperti apa.

Baru kemarin saya dengar nasehat yang makjleb: what you don't share can't be destroyed.


Chandra

Paksa

Apa jadinya anak yang hanya mengandalkan nilai akademik selama sekolah? Does it works ketika dewasa? 

Tidak terbiasa bekerja keras
Ketika ujian di sekolah hanyalah walk in the park, tidak ada insentif untuk berusaha ekstra keras. Akibatnya ketika dewasa tidak terbiasa mem-push batas. Tidak mau masuk gym, takut capek. Tidak mau belajar ilmu baru, takut jadi newbie lagi. Tidak mau masuk lingkungan baru, takut dianggap poseur.

Hanya melakukan ketika yakin akan berhasil
Padahal apa hebatnya orang yang hanya mau mencoba hal-hal yang dia tahu dia bisa? Terobosan tidak datang dari sikap seperti ini, nyaman dalam kesibukan tanpa benar-benar produktif dan menghasilkan improvement. 

Alergi gagal
Tidak terbiasa salah, tidak terbiasa buntu, dan alergi pada feedback negatif. Padahal that's not how it works. Mungkin butuh melewati ratusan error dan bugs sampai akhirnya software berjalan, butuh berkali-kali revisi sampai akhirnya desain diterima, butuh puluhan penolakan sampai akhirnya ada yang menerima. 

Resiliensi rapuh
Dalam bayangannya masalah akan selesai tanpa menunggu lama, padahal tidak selalu. Masalah bisa ringan bisa berat, bisa sebentar bisa lama, bahkan ada yang bisa diselesaikan ataupun tidak. Lebih penting dari itu, kini yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikannya adalah diri sendiri, seringnya sendirian.

Unfinished business
Kecilnya tidak bisa tidur ketika PR belum selesai dan perut mual ketika pagi hari berangkat sekolah tidak dalam kondisi fully ready. Mudanya tidak terbiasa membawa tidur masalah. Dewasanya weekend bisa ruined hanya karena urusan yang belum selesai hari Jumat sore.

Pilihannya cuma dua: me-remedy itu semua walau susah payah atau melipir tetap berlindung di zona nyaman.




Ditulis jam 02:00 pagi
Chandra

Saling Menjaga

Nah, this is a banger. Baru beberapa hari yang lalu bicara soal Letto, hari ini saya nemu hidden gem yang benar-benar hidden. Lagu ini bahkan tidak dirilis secara resmi, tidak ada di streaming platform, tidak ada di music list instagram, hanya ada di youtube diupload oleh fans. 


Yang terjadi biarkanlah saja tuk menjadi
Yang menjadi jangan ada untuk disesali
Kau tahu semua ini datang dari mimpi
Sebuah mimpi yang sejak lama kita hidupi

Yang terjadi adalah bagian dari cerita
Yang terjadi bisa malah membuat kita terjaga
Tak perlu kau menunjukkan jarimu ke muka
Sebelum sama-sama bisa untuk berkaca

Renungkanlah..
Setelah semua badai yang berhembus telah reda
Tertinggallah kita yang semakin dewasa
Setelah semua badai yang terjadi tlah tiada
Tertinggallah diriku dan dirimu saling menjaga

Yang terjadi adalah bagian dari cerita
Yang terjadi bisa malah membuat kita terjaga
Tak perlu kau menunjukkan jarimu ke muka
Sebelum sama-sama bisa untuk berkaca

Renungkanlah..
Setelah semua badai yang berhembus telah reda
Tertinggallah kita yang semakin dewasa
Setelah semua badai yang terjadi tlah tiada
Tertinggallah diriku dan dirimu saling menjaga

Kalau kata Ibou Konate: a cote de la difficulte est, certes, une facilite


Firasat


Bicara soal liga sepakbola di Eropa, top of mind-nya tentu saja Liga Inggris dan Italia, mungkin ditambah Spanyol. Setelah itu baru Belanda dan Jerman yang punya beberapa tim besar seperti Bayern Munich dan Ajax Amsterdam. Tapi buat saya entah bagaimana Liga Belanda justru lebih nempel dibanding yang lain, hanya kalah dengan Liga Inggris yang memang saya ikuti tiap minggunya. Jaman-jamannya PS1, PS2, PES 2013 dulu kalau mau coba main pakai tim 'medioker' saya sering pilih PSV Eindhoven dengan ujung tombaknya Jefferson Farfan, inget banget. Dari situ saya tahu hubungan Phillips dengan PSV, walaupun saya belum tahu Eindhoven itu dimana tepatnya. 

Nama Amsterdam dan Den Haag saya tahu dari buku pelajaran IPS, tapi kota-kota lain seperti (NEC) Nijmegen, (Feyenoord) Rotterdam, (Vitesse) Arnhem, (NAC) Breda, (VVV) Venlo, (AZ) Alkmaar, (RKC) Waalwijk, (FC) Groningen, dan (FC) Twente, sampai (FC) Volendam ya saya dapatnya dari bola. Tahun lalu saat Volendam masih di Eredivisie saya sempat nonton siaran langsung pertandingannya di TV. Kok ya ndilalah TVRI Sport beli hak siar Liga Belanda jadi bisa ditonton dari TV Indonesia, ini ada fotonya:


Kemarin saya harus memutuskan mau pasang internet pakai provider apa. Nggak sulit bagi saya untuk memutuskan subscribe ke Ziggo karena itu satu-satunya provider yang pernah saya dengar namanya, lagi-lagi dari bola. Ziggo saat ini jadi sponsor Ajax, sementara joint venture-nya Vodafone semua orang juga tahu pernah pasang logo di jersey MU. KPN dan Odido bisa jadi bagus juga, tapi buat saya belum familiar saja karena baru saya dengar saat di sini. 

Ini mungkin bukti suksesnya marketing Ziggo atau sayanya saja yang gampang kemakan iklan. Tapi lebih dalam ya sepertinya memang jodohnya dengan Ziggo. Katanya keberuntungan itu adalah bertemunya persiapan dan kesempatan. Nggak nyangka ternyata jam-jam main PES dan nonton bola saat itu bisa di-log sebagai 'persiapan' kini setelah kesempatan relokasi ini datang. Sebab dengan begitu urusan per-wifi-an yang sangat krusial dalam perkara remote working ini jadi lebih mudah dibereskan. 


Keakraban saya dengan sepakbola Belanda ini cuma salah satu dari beberapa 'firasat' yang baru saya sadari sekarang. Dua tahun terakhir saya suka ngobrol soal peninggalan masa kolonial di Indonesia, kebetulan ada teman yang punya interest yang sama. Topiknya mulai dari jembatan tua, bekas pabrik gula, rel kereta, stasiun, bekas landhuis, dan lain sebagainya. Di YouTube ada video TEDx soal Stasiun Radio Malabar di Bandung selatan yang keren banget, ini salah satu video yang saya tonton berulang-ulang sejak dulu. Di Instagram juga ada akun mfatoni86 yang mengunggah situs-situs peninggalan Belanda dan keadaannya sekarang serta rizki.rmadhani yang membahas tempat-tempat di Jabodetabek dan asal usulnya yang kalau dirunut banyak berhubungan dengan masa kolonial. 



Saya juga sempat melakukan sedikit eksplorasi soal lukisan Pangeran Diponegoro setelah nonton film Mencuri Raden Saleh. Ternyata lukisan itu ada 2 versi, versi pertama adalah karya Raden Saleh dimana orang-orang Belanda-nya dilukis secara *redacted*. Lalu versi lainnya dilukis oleh Nicolaas Pieneman yang tentu saja mengambil POV Belanda. Topik-topik seperti ini entah kenapa menjadi minat saya beberapa waktu terakhir padahal saat itu sama sekali belum ada bayangan akan pindah kesini. 

Saya ternganga lebar waktu menemukan bahwa jembatan kereta bekas Belanda pada video mfatoni86 di atas hanya berjarak 150 meter dari kantor imigrasi Wonosobo. Yang mana itu adalah kantor imigrasi satu-satunya di sekitar DIY yang memungkinkan saya untuk membuat paspor untuk ke Belanda di hari pertama setelah libur lebaran. I can't believe my eyes waktu melewati terowongan itu. Ya Allah..




Waktu sampai sini makin banyak easter egg yang saya temui. Take out-nya sih saya pikir ya memang harus begitu jalannya kali ya. Setelah enam tahun di Bandung terasa cukup lalu pindah ke Jakarta. Lalu lima tahun setelahnya sudah selesai yang ingin dilakukan di Jakarta lalu pindah ke Belanda. Saya masih antara percaya tidak percaya dengan firasat. Tapi saya lebih yakin bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu alasan. Kadang saya memalingkan muka ketika di jalan melihat sebuah klinik, karena saya tidak ingin tahu klinik ada di mana, karena saya tidak ingin sakit. Ini karena saking seringnya ketemu momen 'oh yang dulu itu gunanya ini'.

Kenapa mendaftar beberapa beasiswa dan gagal semua.  Kenapa T&ES tutup dan CommBank merger.  Kenapa (baru) kebeli mobil di 2 tahun usia pernikahan. Kenapa harus ke Jakarta dulu. Kenapa harus ngekos di Ciledug dulu. Kenapa ketemu orang-orang tertentu. Kenapa pergi ke tempat-tempat tertentu. Kenapa memilih ini bukan itu. Kenapa harus dapat masalah dulu. Kenapa harus kena humbling dulu. Kenapa harus A dulu, lalu B, baru C. At the end it falls in perfect fit.

Elingo sliramu marang embun enjang kang prasaja
Nemoni sliramu tumekaning cahya
Ingatkah engkau kepada angin yang berhembus mesra
Yang 'kan membelaimu, cinta 


Thanks
Chandra

Imperfection

Meminjam kalimat Cak Nun, teh itu terasa pahit karena kamu membayangkan yang manis, kalau tidak membayangkan yang manis teh pahit juga bisa enak. Begitupun lebaran menurut saya, tidak akan terasa menyenangkan kalau setiap tahun kita bandingkan dengan masa kanak-kanak dulu. Kita berhutang banyak pada orang tua yang selalu berusaha memagari kita dari paparan masalah sehingga bisa fokus bermain, belajar, dan tidur nyenyak. Kini setelah dewasa tanggung jawab melindungi diri ada pada individu masing-masing.



Saya pernah katakan di beberapa tulisan yang lalu bahwa bagi orang dewasa umumnya puasa bukan lagi ujian fisik. Maka anjuran untuk jangan sampai hanya dapat lapar dan haus berarti dorongan untuk mengusahakan adanya perbaikan diri atau minimal suatu realization. Saya tidak pada posisi yang pantas untuk menceramahkan penemuan saya pada orang lain, tapi jujur buat saya sangat banyak hal terjadi selama bulan puasa hingga lebaran kali ini. Sebisanya saya coba ambil hikmah yang terserak.


Buat saya ramadhan - lebaran kali ini pelajaran terbesarnya adalah menerima imperfection. Dulu saya pikir sebelum tidur kita harus menyelesaikan semua masalah di hari itu. Ternyata tidak selalu bisa, beberapa masalah bisa berumur minggu, bulan, bahkan tahun. Masalah belum tentu resiprokal, bisa jadi orang merasa punya masalah sama kita padahal kita tidak begitu padanya. Lalu benar + benar tidak selalu berakhir benar, penafsiran orang soal baik-buruk benar-salah bisa berbeda, penangkapan orang soal niat tidak selalu sama. Intinya harus belajar untuk tidur walau tidak selalu dengan hati yang lega.

Sekurus-kurusnya ikan tetap ada dagingnya, segemuk-gemuknya ikan tetap ada tulangnya. Tidak ada orang yang tidak punya masalah atau ganjalan. Tidak ada, blas. Seindah apapun feed instegramnya. Straight ten cuma ada di sekolah, di dunia nyata itu nggak mungkin (change my mind on this, if you might want). Badai pasti berlalu, tapi hari yang cerah juga pasti berlalu. Kalau sedang badai kita bersabar, kalau sedang cerah kita bersyukur dan waspada. 

Catatan setidaknya untuk diri saya sendiri:
1. Perspective over perception, coba untuk melihat dari sudut pandang orang lain.
2. Tidak semua orang ingin kita temui, dan tidak semua orang ingin ketemu kita, kalau belum bisa buat orang lain bahagia, minimal jangan jadi orang yang berbahaya
3. Tidak semua orang 'berlebaran', maka pekalah and be wise.
4. Fokus pada kebaikan yang bisa dilakukan, kalau nggak tahu lebih baik diam.

Terakhir, mohon maaf atas segala kesalahan saya baik yang disengaja maupun tidak. Mohon diingatkan jika saya ada janji atau hutang yang perlu saya bereskan. Semoga Allah mudahkan akses untuk saya minta maaf pada orang yang pernah saya rugikan dan membalas budi orang yang pernah saya mintai pertolongan. 

Taqabbalallahu minna waminkum. Semoga Allah terima amal ibadah kita pada bulan yang mulia ini. Selamat Idul Fitri 1445H. Selamat lebaran dan liburan, semoga jadi momen yang penuh syukur.

Salam,
Chandra

Time Dilation

Masih jadi perdebatan apakah time travel mungkin untuk dilakukan. Salah satu keyakinan yang saat ini banyak dipegang adalah time travel ke masa lampau tidak bisa, tapi ke masa depan mungkin bisa. Dasarnya adalah teori time dilation atau dilatasi waktu, dimana dikatakan orang yang bergerak dengan kecepatan sangat tinggi akan mengalami waktu lebih lambat daripada orang yang diam. 

t: waktu menurut orang diam di bumi
to: waktu menurut orang yg terbang kec tinggi
v: kecepatan si orang yang bergerak
c: kecepatan cahaya (dalam vacuum)

Misal ada dua anak umur 10 tahun, salah satunya diajak keliling luar angkasa dengan pesawat berkecepatan 0.8 kecepatan cahaya lalu balik lagi ke bumi. Coba kita hitung, komponen di bawah akar jadi akar(1-0.64c^2/c^2) = akar(0.36) = 0.6. Maka t = to / 0.6, atau to = 0.6t. Maka jika menurut orang bumi penerbangan itu memakan waktu 10 tahun, orang yang pergi hanya menua 6 tahun. Ketika anak yang di bumi umur 20 tahun, anak yang baru balik dari terbang itu baru berumur 16 tahun.

Jika definisi time travel ke masa depan adalah menjalani suatu masa pada usia yang lebih muda, maka skenario di atas masuk. Si anak ini bathi 4 tahun. Tapi apakah beneran mungkin? Masih sangat jauh kalau mau sampai seekstrem itu. Saat ini masih lebih ke thought experiment. Tapi kalau maju sepersekian detik, sudah terjadi pada orang-orang yang bekerja di ISS (International Space Station). Tapi...ambil hikmahnya aja..

===

Walaupun mungkin jarang, kita pasti pernah sesekali salat dengan khusyuk. Khusyuk yang benar-benar khusyuk. Tuma'ninah dan pelan bukan karena secara fisik dipelan-pelankan, tapi memang ingin berlama-lama bertaut sama Allah. Posisi hati sedang sangat terbuka, mungkin karena sedang ada beban, masalah, kedukaan, kecewa, atau justru harapan yang sangat. Momen ibadah yang benar-benar nikmat, tak peduli dimana, di sekitar ada apa, betapapun banyak suara di sana.

Kalau ada waktu dimana momen macam itu lebih mungkin terjadi, ya di Ramadhan begini. This month is just built different.

Kalau diijinkan dapat momen seperti ini, ibadah yang dirasa hanya sebentar ternyata sudah berlangsung lama. Terasa hanya 20 menit, tapi ternyata waktu sudah maju satu jam. Sama saja dengan ilustrasi 6 tahun vs 10 tahun tadi. Time dilation? Don't know, silakan persepsi masing-masing. Tapi fakta bahwa ini bisa dirasakan sendiri, meyakinkan bahwa banyak hal bukan magic, cuma kita yang belum mengerti.

Thanks,
Chandra


Wake Up Pain

Saya kasih judul Wake Up Pain karena apa yang saya tulis disini berhubungan dengan ketiduran. Saya kemarin mengalami suatu insiden dimana saat nyetir saya ilang 2-3 detik karena ngantuk dan nyundul orang di gerbang keluar tol. Alhamdulillah posisi sudah pelan jadi tidak ada luka atau apapun, kerusakan kendaraan pun nggak parah. Setelah insiden kami minggir dan saya langsung turun untuk minta maaf lalu mengatakan siap ganti rugi, karena memang murni kesalahan di saya. Kami bertukar nomor WA dan besok akan dikabari berapa estimasi biaya perbaikannya. Di sisi saya sendiri ada perbaikan kecil, kemarin saya ke bengkel body di daerah Ciputat dan kurang dari sejam sudah beres lagi.


Pelajarannya jangan memaksakan diri nyetir dalam kondisi mengantuk. Nggak perlu ngejar target harus sampai tujuan dalam sekian jam, kalau capek ya istirahat saja. Yang saya alami ini adalah least possible incident, Allah selamatkan saya dari insiden yang lebih besar. Saya nggak kebayang kalau kejadiannya saat di tengah jalan tol dalam kecepatan tinggi. Harus diakui selama ini saya beberapa kali mengemudi dalam kondisi sedikit mengantuk, tapi Allah masih menghindarkan saya dari musibah. Kali ini mungkin saya lagi disuruh merasakan akibat dari kesombongan saya ini. Tapi haluuus banget caranya, dipilihkan-Nya skenario paling mending. Kalau saya dibiarkan get away with it, di belakang nanti kejadiannya bisa lebih buruk. 

Pernah lihat kartun ilustrasi dimana sebenarnya ada banyak masalah mengarah ke kita, tapi ada tameng berupa doa orang tua yang menghalau masalah-masalah itu. Sampai kita nggak ngerasa atau sadar bahwa kita selamat bukan karena sudah baik, tapi karena doa dan ijin-Nya. Kejadian ini membuat saya mikir begitu. It really could have been worse. Ini dibiarkan ada satu panah kecil masalah yang tembus biar jadi bahan introspeksi diri saya. 

Sekali lagi jangan mengoperasikan kendaraan atau mesin dalam kondisi mengantuk. Hindari begadang jika besoknya mau mengemudi. Utamakan keselamatan bukan kecepatan. Rest area, masjid, pom bensin, dan warung makan ada dimana-mana untuk istirahat. Kendaraan juga butuh istirahat untuk mendinginkan mesin dan rem, apalagi jika medannya naik turun dan belok. Belajar naik motor atau mobil itu cepet, yang lama adalah proses mendewasakan diri untuk jadi pengemudi yang budiman. Satu lagi, sikap mental ketika berkendara harian dalam kota dengan berkendara jarak jauh untuk leisure mesti dibedakan. 

Semoga kita selalu dalam lindungan-Nya. Semoga selamat sampai tujuan. Hati-hati di jalan.


Cheers,
Chandra



Utang Rasa

Saya banyak yang kurang setuju dengan Mbah Sujiwo Tejo kalau mendengar atau membaca tulisannya, apalagi kalau menangkap yang disampaikannya secara literal. Tapi ada satu konsep yang menurut saya sangat baik dan perlu dilakoni oleh semua orang, yaitu yang sering beliau sebut Utang Rasa.

Beliau mencontohkan ini dengan menceritakan anaknya yang suatu hari pulang naik taksi dan setelah sampai rumah langsung masuk. Mbah Tejo marah karenanya, kenapa kok langsung masuk, karena sudah bayar kata si anak. Lalu beliau bilang, bahwa yang kamu bayar itu cuma waktu dan tenaga si bapak supir taksi, tapi rasa-nya tidak kamu bayar.

Seberapa sering kita tidak ramah atau asal perintah pada pelayan warung makan? Seberapa sering kita setelah beli dari pedagang keliling, langsung masuk padahal si penjual masih ribet merapikan stationnya sebelum jalan lagi? Seberapa sering kita menyepelekan security, cleaning service, dan office boy di tempat kerja? Seharusnya sudah keluar uang bukan berarti kita bisa berhenti memanusiakan manusia.

Bukan berarti kita harus selalu nice dan tidak pernah protes. Kalau hak kita sebagai konsumen tidak terpenuhi kita boleh komplain, apalagi kalau penyedia jasanya company besar. Tapi ingat bahwa mas atau mbak penerima telepon customer service itu juga hanya karyawan, jadi jangan protes berlebihan apalagi sampai memaki. Secara teknis pun mereka bukan yang berkewajiban membereskan keluhan kita, pasti ada timnya sendiri untuk ini.
Nabi Musa bertanya kepada Tuhan, apa ibadah yang paling khusus untukmu, yang paling mulia? Tuhan menjawab, masukkan rasa bahagia ke hati orang lain dengan sedekah. Itu ibadah termulia di sisi Tuhan - Habib Husein Ja'far
Seharusnya tidak susah untuk memulai ini, saya justru menikmati obrolan-obrolan kecil dengan banyak orang. Kadang di sana ada berita menarik atau informasi yang ternyata kita butuhkan. Saya pernah sampai kena tegur istri karena asyik ngobrol sama pedagang bakso malang keliling, katanya bahaya karena posisi istri sering di rumah sendiri, masuk akal sih. So next time naik ojol pastikan tidak membuatnya terlalu lama menunggu dan ucapkan terimakasih saat sampai. Gopay-mu cuma bayar bensin dan jasanya, tapi belum rasa-nya. 

Salam,
Chandra

Maiden Flight

Waktu masih menekuni pesawat terbang dulu, kalau kita mau membuat sebuah UAV (Unmanned Aerial Vehicle) atau drone, selalu dimulai dengan proses simulasi. Ada software yang namanya Catia, disana kita bisa buat model 3 dimensi dari UAV yang sedang dirancang. Bentang sayapnya berapa, airfoilnya jenis apa, sudut-sudutnya bagaimana, dan lain sebagainya. Sayap, body, ekor, dan bagian lainnya bisa dimodelkan. Kita jadi bisa tahu perkiraan performa aerodinamika dan stability-nya


Kita juga bisa modelkan sampai level materialnya sehingga diperoleh perkiraan berat pesawat. Komponen elektronik juga bisa diatur peletakannya sehingga kita bisa tahu pusat massa ada dimana. Hasil 'ramalan' aerodinamika dan kestabilan ini kemudian dibandingkan dengan referensi, jika ada yang belum sesuai bisa dilakukan iterasi di komputer. Bayangkan kalau barangnya harus dibuat dulu baru dites dan direvisi, akan memakan waktu dan biaya yang buanyak.

Tidak sampai disitu, supaya lebih yakin lagi dengan performanya, model yang telah dibuat tadi diuji dengan CFD (Computational Fluid Dynamics). Dengan CFD kita bisa dapat visualisasi aliran di sekitar pesawat tersebut beserta interaksinya. Kita bisa peroleh data yang cukup akurat tentang perkiraan gaya angkat, gaya hambat, dan gaya/momen lainnya. Dari sana kita bisa turunkan data cruise speed, max speed, endurance, range, maximum take off weight (MTOW), take off speed, dll. Angka-angka ini kemudian dibandingkan dengan referensi dan spesifikasi yang diinginkan. 

Jika hasil simulasi belum sesuai, iterasi diulang dengan mengubah desain. Perlu educated guess disini agar hasil revisinya mengarah ke arah yang benar. Salah satu bantuannya adalah kita bisa mencari pesawat pembanding yang mirip dengan yang mau kita buat, itu bisa dijadikan referensi desain walaupun tentu tidak ditiru 100%. Ketika sudah sesuai, model yang diuji tadi dibuat technical drawingnya untuk kemudian mulai dilakukan manufaktur prototype. Prototype ini tidak langsung diterbangkan, ada pengujian berikutnya dengan wind tunnel.

Wind tunnel atau terowongan angin digunakan untuk menguji aliran udara dan efeknya terhadap prototype yang dibuat. Kalau CFD tadi adalah simulasi komputer, wind tunnel menggunakan benda fisik. Benda uji diletakkan di dalam terowongan angin kemudian dikenai aliran udara dengan kecepatan tertentu. Ada alat ukur yang menunjukkan besaran dan arah gaya yang muncul pada benda saat dialiri udara. Amazed sih waktu dulu pertama kali lihat cara kerjanya. Udara, karena tidak terlihat, sering dianggap powerless, tapi ternyata ketika ada interaksi dengan permukaan benda bisa muncul gaya yang besar. Benda uji tidak disentuh, tapi bisa bergerak. Untuk keperluan visualisasi kadang di wind tunnel dibuat smoke sehingga kita bisa lihat lebih jelas aliran udaranya. Selain wahana terbang, mobil dan motor balap juga lazim menggunakan wind tunnel saat pengembangannya.

Ketika sudah selesai simulasi komputer dan wind tunnel, serta angka yang dihasilkan konsisten, UAV tersebut siap untuk diproduksi versi terbangnya. Setelah jadi, dilakukan penerbangan perdana atau yang biasa disebut maiden flight. Proses yang panjang tadi dilakukan untuk memastikan wahana yang dibuat siap terbang, punya performa yang diinginkan, bisa dikendalikan, dan tidak mudah jatuh.

Itu tadi gambaran proses pengembangan UAV dimana ada privilege untuk melakukan simulasi dan iterasi berulang-ulang. Beda dengan kehidupan ini yang tanpa persiapan tahu-tahu ujian. Setiap keputusan adalah maiden flight. Dalam maiden flight, UAV yang sudah dikaji saja biasa crash, apalagi kita. Jadi kalau keputusan yang  diambil ternyata kurang tepat, wajar. Kalau crash, ambil patahan sayap pesawat kita, simpan dan museumkan, sebagai pengingat bahwa kita pernah di sana. UAV bisa dibangun lagi.


Chandra

Prioritas

Never underestimate orang yang terbiasa meninggalkan kesibukannya untuk menjalankan ibadah. Setidaknya dalam pandangan saya, kalau menyaksikan ada orang yang begini biasanya hidupnya baik, entah sudah atau nanti. Saya pakai 'baik' supaya spektrumnya luas karena pengalaman orang beda-beda. Ya walaupun wang-sinawang, tapi orang yang begini kelihatan banyak beruntungnya. 

Bisa dirasionalisasi juga sih, orang yang bisa meninggalkan kesibukannya untuk salat tepat waktu berarti dia punya kuasa atas apa yang dia kerjakan. Karena kalau masih tergopoh-gopoh dalam urusannya akan cenderung waswas meninggalkan pekerjaan dan mencari pembenaran 'daripada nanti pas salat nggak fokus'. Tentu ini dengan acknowledge bahwa beberapa pekerjaan memang tidak bisa ditinggalkan, misal sopir bis yang mendengar adzan di tengah kemacetan.

Disiplin melakukan itu juga menjadi tanda seseorang punya otot mental yang kuat dalam menentukan prioritas. Kemampuan ini sadar nggak sadar akan terpakai di waktu waktu yang lain. Sehingga keputusan-keputusan yang diambil banyak yang akurat. Dalam sekian waktu, keputusan yang baik membukit menjadi nasib yang baik. Ketiga, orang yang konsisten ibadah tepat waktu bisa jadi juga konsisten bangun lebih pagi dari yang lain. Jadi simply punya waktu 'hidup' dan berkarya lebih banyak. Dia juga terbiasa 'make time' untuk sesuatu yang positif, membuat virtually waktunya lebih banyak lagi. Melipat waktu kalau kata dr. Hasto, 24 jam-nya sama tapi isinya lebih padat.

Waktu kerja di Lembang dulu, kalau mau ke masjid harus naik bukit karena lokasi kantor turun kalau dari jalan raya. Lumayan tinggi dan curam, sampai kantor menyediakan parkiran di atas pinggir jalan bagi yang nggak berani bawa kendaraan turun (ah susah dijelaskan, lebih gampang kalau saya ajak tur kesana). Naik turun jalan kaki capek, tapi ada 4-5 orang yang konsisten setiap salat dzuhur dan ashar selalu jalan naik. Salut sekali sama mereka, sementara saya dan banyak lainnya hanya mendaki seminggu sekali saat salat jumat. Setelah pindah kerja jadi jarang ketemu mereka. Tapi selama kerja bareng ya mereka rekan yang menyenangkan, positif, ulate padhang.

Ada juga teman saat kuliah yang tinggal di pondok. Dia sering ada kegiatan pondok setiap ba'da subuh serta dari setelah maghrib sampai malam. Kalau pakai kalkulasi dunia saja, ini disadvantage. Karena waktu untuk aktivitas yang berhubungan dengan kuliah berkurang cukup banyak. Beberapa kali memang tugas tidak terhandle sebaik mahasiswa lain. Tapi in the end kuliahnya lancar, lulus dengan mulus, dan punya 'nasib' yang baik. Jadi bukannya ada mukjizat kalau hari ini ibadah baik otomatis besok pagi nilai jadi tinggi, tapi ada prosesnya.

Ada beberapa contoh lain orang yang saya temui seperti ini. Walaupun kerjaan sedang banyak dan project lagi kenceng tapi 10 menit sebelum adzan sudah meninggalkan mejanya. Bisa jadi ada chat yang diabaikan atau tiket kerjaan yang tertunda, tapi pada akhirnya yang dikerjakan selesai juga. Dunno ya, kepercayaan vertikal ini urusan masing-masing pribadi. Tapi kalau buat saya hikmahnya adalah bahwa kalkulasi untung rugi tidak sesederhana itu.


Thanks,
Chandra

Waktu


Saya dapat insight menarik dari buku yang kemarin saya baca. Begini, mudah bagi kita untuk menangkap bahwa sebuah benda akan mewujud jika punya panjang, lebar, dan tinggi, atau dengan kata lain tiga dimensi. Lemari, gedung, galon air mineral, handphone, itu semuanya punya panjang, lebar, tinggi. Papan tulis dan kertas itu juga ada karena punya tebal, walaupun kecil jika dibandingkan panjang dan lebarnya. Unsur satu dimensi (garis) dan dua dimensi (bangun datar) itu imajiner, tidak ada bendanya di dunia nyata.

Tapi apakah panjang, lebar, tinggi (atau tebal) ini benar cukup untuk membuat sesuatu itu ada? Bagaimana dengan benda yang instantaneous, yaitu benda yang hanya sekejap banget adanya. Sangat sekejap hingga t (waktu) mendekati nol. Ya nggak jadi juga itu benda. Jadi untuk sesuatu benar-benar ada dia tidak hanya butuh panjang, lebar, dan tinggi, dia juga harus punya durasi. Durasi adalah bentuk terbatas dari keabadian, punya awal dan akhir.

Itulah mengapa waktu sering disebut sebagai dimensi ke-4. Dengan menganggap waktu adalah salah satu dimensi seperti halnya panjang, maka mengatakan ada kemacetan dari kilometer 68 sampai 70 sama saja dengan bilang adik sekolah dari jam 7 sampai jam 10. Bergerak 1 meter ke depan satu nafas dengan menua 1 jam. Bedanya waktu tidak bisa mundur, posisi bisa. Semua akan indah pada waktunya setara dengan udaranya pasti sejuk kalau kita sudah sampai di gunung sana. Datang di waktu yang tepat terdengar puitis, tapi sebenarnya sama saja dengan tiba di tempat yang dituju.

Hdyt?


Chandra

Hard Mode


Sebagai anak kecil dulu rasanya sekolah SD saja sudah sangat sucks dengan keharusan bangun pagi tiap senin sampai sabtu, membuat PR, dan tekanan harus bersikap baik dan anteng agar terhindar dari hukuman guru. Setelah itu ternyata SMP lebih berat lagi karena harus commute 10 km menuju sekolah tiap hari, pelajaran lebih banyak dan susah, dan konflik dengan teman atau kakak kelas. Segala kesusahan waktu SD jadi terasa sepele.

Hal yang sama terulang waktu masuk SMA, kemudian kuliah, lalu lulus dan bekerja. Tumbuh memang ada enaknya juga seperti bisa keluar malam dan pergi ke luar kota, punya uang sendiri, bisa pacaran (eh!). Tapi di setiap tahap selalu ada masalah baru yang kita tidak tahu bagaimana menyelesaikannya. Setiap jaman ada bingung dan degdegan-nya masing-masing.

Saya menggunakan periode sekolah sebagai titik acuan karena buat saya itu yang paling cocok untuk menggambarkan kenaikan level sulitnya hidup. Orang lain mungkin berbeda, ada yang domisilinya pindah-pindah sehingga menggunakan kota/negara ia tinggal untuk mengukur periode. "Waktu kecil di Kalimantan . .", "pas pindah ke Bali . . ", dan sebagainya. Satuan yang lain lagi pasti juga ada.

Bahwa leveling saya paralel dengan masa sekolah, level terbaru yang saya jalani justri dimulai ketika keluar dari sekolah. Artinya sudah lulus lalu pindah dari yang tadinya mengikuti aturan, sistem, dan target yang ditentukan institusi pendidikan ke fakta yang ada di masyarakat dan dunia kerja. Di tahap ini kemarin sebenarnya ada pilihan, apakah level berikutnya mau tetap di sekolah dengan melanjutkan studi atau cari jalur lain seperti sekarang ini. Tapi ini satu bahasan sendiri karena penjelasannya panjang. Apakah saya mengambil keputusan yang tepat? I don't know.

Sama seperti sebelumnya, di level ini pun ada jatuhnya ada lompatnya. Saya tidak pakai istilah jatuh-bangun karena bangun seperti hanya resolusi dari jatuh itu, sedangkan saya merasa Allah kasih satu dua hal menyenangkan diantara kejatuhan-kejatuhan itu yang lebih tinggi dari sekedar bangun, jadi saya pakai sebutan lompat. Anyway kalau mau lompat juga harus bangun dulu.

Mindset bahwa selama ini sedang leveling sering membuat saya penasaran level berikutnya kapan datangnya dan seperti apa. Kapan adalah soal waktunya, karena tepat hari ini genap sudah lima tahun saya berada di level ini ditandai sidang tugas akhir saya pada 15 Agustus 2017, on this day tepat lima tahun yang lalu. Apa karena di posisi sekarang tempat berikutnya belum tentu jelas, tidak seperti waktu SMP yang bisa dibayangkan setelah tiga tahun tiba waktunya masuk SMA.

Lima tahun lalu saya memulai level ini dengan seolah tampak baik namun sebenarnya disastrous. Saya overconfidence waktu masuk ke pekerjaan pertama, merasa jadi warga negara yang utuh karena sudah selesai sekolah dan sudah bekerja, bangga betul waktu itu. Turns out saya tidak terlalu bisa dan cocok dengan jobdesc yang harus saya kerjakan, di sisi lain saya oversharing karena merasa telah mencapai sesuatu hebat. 

Hal yang tidak diingikan terjadi, perusahaan tutup dan semua karyawan termasuk saya jadi jobless (mana uang pisah sama gaji terakhir belum dibayar lagi wkwkwk hayo pak, bapak masih punya hutang lho ke para ex karyawan :) ). Endingnya tidak baik memang, tapi banyak yang bisa dipelajari dari sana. Salah satu titik tersulit di level ini adalah menjadi jobless ketika teman-teman sudah bekerja, saya tidak perlu jelaskan karena pasti sudah terbayang. 

I've just cleaned my mess in 2019, dua tahun setelah selesai level kuliah. Bisa dibilang saya mulai dari nol lagi ketika pindah dari Bandung ke Jakarta. Sampai sekarang I don't feel right untuk banyak sharing atau update soal karir sejak di Jakarta kecuali di media yang memang berhubungan dengan itu. Sedikit banyak masih trauma dengan yang terjadi di pekerjaan pertama di atas. Satu kalimat saja untuk sum up: alhamdulillah karir membaik setelah menikah.

Pekerjaan hanyalah satu fitur dari level ini. Masih banyak tanggung jawab lain sebagai orang dewasa yang harus dilakukan dengan baik. Apalagi setelah menikah ya, tanggung jawab sebagai kepala keluarga jauh lebih besar daripada sekedar anak laki-laki pertama. Banyak hal yang dulu adalah comfort zone sekarang menjadi tempat dimana kita exposed, dan itu tidak enak.

Menurut saya pengalaman berat itu tidak enak dijalani sekarang, tapi besoknya menyenangkan untuk dikenang sebagai "oh dulu pernah begini ya, kok bisa survive ya". Tentu ini selama kesusahannya tidak menyangkut asasi dan prinsip. Sepaham saya juga, dari tak terbatasnya kuasa Allah, dua diantaranya adalah kuasanya untuk menaikkan derajat (level) dan mengangkat masalah. Bisa lah yok keep going berbekal itu.

Kalau level-level sebelumnya juga ada masalah tapi akhirnya selesai juga, mestinya yang ini juga begitu. Semua level hard mode sampai kita menyelesaikannya. 





Peace

"A happy person isn’t someone who’s happy all the time. It’s someone who effortlessly interprets events in such a way that they don’t lose their innate peace." - Naval Ravikant

Quote terbaik yang saya temukan minggu ini, di twitter. Happy time, sad time, happens all the time. Kalau tidak bisa selalu happy, minimal kita coba untuk damai. Nrimo kalau kata orang jawa.

Dalam bahasa lainnya, ada perbedaan antara menderita dan mengalami penderitaan. Orang bisa saja mengalami penderitaan tanpa merasa menderita. Orang yang kehujanan naik motor malam malam tapi masih bisa bernyanyi atau becanda, mereka tidak sedang menderita.

Kadang yang tidak enak justru ketika dikasihani. Kita merasa tidak apa-apa, tapi orang yang melihat menganggap kita perlu dibantu. Ini yang membuat rikuh dan rasanya ingin menyembunyikan apa apa yang bisa jadi sumber rasa kasihan. Enaknya kalau sebagian besar waktu kita jalani di lingkungan yang tidak membuat kita perlu macak seolah kita menikmati segalanya hanya agar tidak dikasihani. 

Balik ke innate peace, saya percaya it somehow resonates. Ada orang yang diamnya saja menyenangkan, wajahnya terang, bahasa tubuhnya tenang. Semakin besar damai yang dibawa, semakin banyak masalah yang dapat ditampungnya. Apa yang kita kira berat, baginya mungkin bukan apa-apa. Kesalahan manusia nomor sekian, cenderung menilai sesuatu menurut timbangannya sendiri.

So, have a peace ya!


*ditulis dari hp sambil mampir di indomaret point



Low Hanging Fruit


Sebagai orang yang tidak belajar software engineering secara akademis, saya sadar bahwa untuk berkarir di dunia IT modal saya tidak sebaik teman-teman yang memang belajar itu selama bertahun-tahun. Saya lulusan teknik penerbangan. Kalau ditanya spontan di jalan, saya lebih lancar menjelaskan tentang aerodinamika daripada perbedaan list, map, dan set di Java. Ibaratnya buah matang di pohon sama dikarbit tetep beda manisnya.

Saya itu career switch antara sengaja dan nggak sengaja. Saya mendapat pekerjaan pertama di bidang IT lebih karena koneksi daripada seleksi. Dari sana saya jadi masuk semakin jauh sampai saat ini aktivitas hari-hari saya sama sekali tidak berhubungan dengan aerospace. Pesawat terbang saya simpan sebagai hobi saja.

Baru di tahun ke-4 bekerja saya memiliki sedikit bayangan industri ini seperti apa. Sebelumnya saya bekerja dari hari ke hari saja, menyelesaikan pekerjaan yang diminta dengan apa yang saya bisa. Saya belum ngegrip sampai sempat juga berpikir untuk insyaf kembali berkarir di bidang penerbangan. (Yes, mindset saya sejauh ini memang untuk bekerja profesional, saya belum terpikir menjadi entrepreneur atau aktivitas produktif lainnya)

Saya katakan saya relate dengan tweet di atas karena mungkin selama ini itu yang saya rasakan dan alami tapi tidak bisa saya katakan. Kenapa tidak bisa? karena saya belum bisa mendefinisikan secara mantap dimana saya berada sekarang dan mau mengarah kemana.

Catching low hanging fruit. That's exactly what I've been doing for the last couple of years. Saya ambil kesempatan bekerja di posisi yang tidak mengharuskan punya keterampilan bahasa pemrograman level native. Fortunately, ternyata low hanging fruit ada yang lumayan matang dan manis.

Tapi ini masih jauh dari selesai. Kalau mau memetik buah yang lebih tinggi tentu ada harga yang harus dibayar: work on skills at nights. Inspiration gets you started, discipline takes you there. Apalagi kalau there-nya adalah winter olympics.


Chandra

Survivorship Bias

 

Titik-titik merah pada gambar tersebut mengilustrasikan bekas tembakan pada pesawat-pesawat yang kembali ke pangkalan setelah menjalankan misi dalam perang. Terlihat titik merah terpusat di ujung sayap, pangkal sayap, dan ekor pesawat. Bagian lainnya relatif bebas tembakan. Kasus seperti ini dihadapi oleh militer Amerika pada Perang Dunia II. Berdasarkan data yang mereka himpun, kesimpulan yang diambil adalah harus dilakukan penguatan pada bagian yang banyak titik merah karena dianggap sebagai titik rawan tembakan.

Hadirlah Abraham Wald dari Columbia University dengan pendapat yang berbeda. Wald mengatakan bagian yang harus diperkuat adalah bagian yang tidak ada titik merah. Wald berpikir data titik-titik merah tersebut diambil hanya dari pesawat yang berhasil kembali ke pangkalan. Sedangkan di luar sana ada pesawat yang hilang dan jatuh kemungkinan karena tertembak di bagian yang lainnya. Dengan kata lain, tertembak pada bagian yang tidak ada titik merahnya, dan itu lebih mematikan sampai tidak bisa kembali ke pangkalan. Militer melihat pesawat yang survive saja, Wald melihat yang survive dan yang tidak.

Menyambungkan dengan isu yang hangat baru-baru ini tentang kekerasan seksual. Ada data yang menunjukkan bahwa kekerasan seksual paling banyak dilakukan oleh pacar atau mantan pacar, jauh lebih tinggi daripada suami dan anggota keluarga lain. Militer Amerika akan menyimpulkan bahwa hubungan pacaran jauh jauh jauh lebih berbahaya daripada keluarga. Benarkah?

Secara data memang tampak begitu, sama halnya titik merah bekas tembakan tadi. Tapi jangan lupa bahwa grafik diatas berisi data yang dilaporkan saja. Ada kasus yang tidak dilaporkan seperti ada pesawat yang tidak kembali ke pangkalan. Melaporkan pacar jauh lebih mudah daripada melaporkan suami, ayah, atau saudara.

Survivorship bias menyebabkan data yang benar ditafsirkan secara salah. Tidak ada manipulasi data di sini, hanya memang datanya tidak tersedia: pesawat tidak survive sehingga tidak tahu tertembak dimana, kasus tidak dilaporkan sehingga tidak terekam dalam grafik. Untuk mendapat kesimpulan yang tepat perlu kejelian dalam mengeliminasi bias ini dengan melihat konteks dan kemungkinan yang lebih luas.

 

Setahun Menikah

Menikah setahun berasa mendewasa tiga tahun, itulah yang saya rasakan. Kalau kita main game, sering kali ada item, karakter, atau map yang baru bisa terbuka setelah memenuhi syarat tertentu. Syaratnya bisa capaian level, poin, atau penyelesaian suatu misi. Buat saya menikah ada miripnya dengan itu. Menikah seperti satu check point yang membuka hidup baru.

Banyak pintu yang tertutup ketika menikah, tapi lebih banyak yang terbuka. Meskipun sebelum menikah sudah tanya-tanya, tetap saja banyak kagetnya. Sepertinya memang tidak ada template berkeluarga itu caranya seperti apa. Justru karena itu naik turunnya jadi lebih seru.

Menikah adalah lompatan terbesar yang pernah saya lakukan seumur hidup. Lebih besar daripada masuk SMP di 'kota' dan merantau ke Bandung, those feel so trivial now. Begitu banyak hal baru yang saya lihat dan alami, sebagiannya butuh waktu lumayan untuk cope with it. Sekarang setelah setahun alhamdulillah beberapa hal mulai sorted. Waktu terasa lebih cepat berlalu dengan ringan.

Salah satu nilai yang saya dapatkan pasca menikah adalah bahwa kebanyakan urusan dalam hidup itu sifatnya maraton, bukan sprint. Mungkin sudah banyak ditulis di buku-buku motivasi, tapi setelah menikah saya makin menerima itu karena merasakannya sendiri. 

Berusaha melakukan segalanya serba cepat akan melelahkan, hasil yang didapat pun belum tentu kokoh. Lebih baik membangun pondasinya dulu supaya kalau sudah sampai di tujuan akhir, hasilnya lebih konkrit dan memuaskan karena dibangun melalui proses yang anggun. Kadang kita terlalu memaksakan untuk stay relevant.

Menikah itu di awal-awal seperti mandatory retreat. Kita perlu mundur dari cara hidup yang populer dan mungkin kelihatan keren untuk belajar hal-hal basic yang selama ini belum terasah karena belum diperlukan. Untuk orang yang susah belajar kalau tidak ada tuntutan, hal ini sangat membantu. Saya tidak self proclaim bahwa setelah setahun menikah saya jadi pribadi yang lebih baik. Saya hanya merasa, for the first time, for real, telah melakukan sesuatu.

Masa Transisi

Alhamdulillah sebulan terakhir angka positif covid di Indonesia menunjukkan tren penurunan. Mungkin herd immunity mulai bekerja, baik yang terbentuk karena terpapar langsung atau oleh vaksinasi. Aturan aktivitas mulai dilonggarkan meski tetap dengan semboyan protokol kesehatan. Meski mengendur sepertinya situasi tidak akan kembali seperti semula masa pre-covid. Pertama karena covid kemungkinan tidak akan hilang, kedua masyarakat mulai terbiasa dengan prokes yang ringan-ringan seperti memakai masker dan cuci tangan.

Walaupun begitu, menurut saya tidak efisien juga kalau kita mempertahankan cara hidup seperti saat pandemi. Buat saya new normal yang ideal itu pakai masker hanya ketika berada di kerumunan, di jalan, atau situasi tertentu. Selain untuk menangkal covid juga menghindarkan diri dari penyakit lain dan polusi. Tapi rasanya pada satu titik seharusnya tidak ada lagi beban untuk tidak memakai masker ketika ke masjid, berkunjung ke rumah orang, bekerja, aktivitas outdoor, dan event-event yang menurut ahli resikonya ringan hingga sedang.

Poin prokes lain seperti kursi yang disilang-silang di tempat makan serta pembatasan kapasitas di tempat yang sebenarnya bersih juga perlahan perlu dikurangi. Obyek wisata dan tempat publik juga pada satu titik harusnya dibuka untuk umum tanpa batasan usia dan domisili. Selanjutnya penggunaan aplikasi yang agak kontroversial itu tidak lagi perlu dijadikan syarat masuk ke berbagai tempat.

Semua perubahan itu tidak mungkin dilakukan seketika. Perlu proses pelonggaran sedikit demi sedikit. Sekarang pun kita bisa merasakan proses itu berjalan. Pengambil kebijakan punya hak dan kewajiban untuk menentukan aturan-aturan bagi publik. Tapi di level pribadi dan keluarga kita perlu membuat keputusan seberapa kita bisa atau perlu melonggarkan diri?

Apakah saya sudah bisa ke warung tanpa masker? Apakah masih penting membawa sajadah sendiri kemana-mana? Apakah hand sanitizer masih diperlukan setiap saat? Apakah sudah aman untuk nonton film di bioskop? Apakah masih perlu melakukan rapid test mandiri secara rutin? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab sendiri. Inilah masa transisi yang sama rumitnya dengan pertanyaan "seberapa saya harus menjaga diri?" dan "apakah saya terlalu nekat atau terlalu parno?" yang sering muncul tahun lalu.

Masa seperti ini mirip dengan yang dialami masyarakat Bantul pasca gempa Jogja tahun 2006 silam. Sekedar cerita, bukan keluhan, sebagai epicentrum gempa tingkat kerusakan yang timbul di Bantul cukup besar. Kerusakan fisik paling besar disebabkan gempa utama pada tanggal 27 Mei pagi itu. Tapi hal yang membuat letih secara batin saat itu adalah gempa susulan yang terjadi hingga 2-3 bulan berikutnya. 

Keputusan kapan bisa kembali masuk rumah dan bisa tidur di dalamnya, kapan sekolah bisa membongkar tendanya dan mengembalikan kegiatan belajar di dalam ruang kelas, apakah sudah aman untuk masuk bangunan besar dan tinggi, kapan pedagang bisa pindah dari parkiran ke bangunan pasar, dan lain sebagainya adalah pertanyaan yang harus dijawab masing-masing orang.

Saya mengalami sendiri tinggal di pengungsian, lalu ketika dirasa sudah cukup aman bisa kembali ke rumah. Ketika di rumah pun tidak langsung masuk, tinggal dulu di tenda sampai hitungan minggu. Perlahan berani masuk rumah pada siang hari namun tidur malam masih di luar. Lama-lama bisa tidur di ruang tamu dengan pintu terbuka sebelum berangsur normal tidur di kamar meskipun beberapa kali lari karena gempa susulan tengah malam.

Di sekolah pun kami mengalami proses dari belajar di tenda, lalu pindah ke bangunan semi permanen dari bambu, sebelum pindah ke ruang kelas yang sebenarnya setelah selesai diperbaiki. Di masjid dalam suatu salat jumat ketika sedang khotbah tiba-tiba sebagian jamaah berhamburan keluar karena merasakan getaran. Pada saat itu berada di pinggir jalan lalu ada truk besar lewat saja sensasinya seperti ada gempa, saking parnonya.

Sekarang untuk kedua kalinya saya merasakan berada di masa transisi. Tahun 2006 yang saya lakukan menikmati saja prosesnya, serba yawis, toh saya masih SD tidak banyak yang bisa dilakukan. Melangkah ke new normal harus tapi kalau resiko terlalu besar mending jaga-jaga tetap aman. Sebulan lebih setelah gempa ketika orang-orang mulai berani masuk rumah saya masih hidup di tenda, simply karena waktu itu baru sunat dan saya tidak bisa lari kalau ada apa-apa.

Menikmati rasa takut sepertinya agak susah, tapi menikmati kewaspadaan harusnya bisa dilakukan.

Salam,

Chandra

Lima Tahun

Pertanyaan apakah lima tahun itu sebentar atau lama tergantung pada konteksnya. Kalau dalam dunia profesional pada umumnya timeframe lima tahun itu sangat lama. Tuntutan bisnis menggunakan satuan minggu bahkan hari dan jam. Dalam lima tahun sebuah perusahaan bisa jadi sudah sangat berbeda. Ada yang hilang, ada yang datang. Seseorang mungkin sudah berada di titik karir yang tak terduga pada lima tahun mendatang.

Tapi dalam kontemplasi self improvement, lima tahun bisa jadi waktu yang tak terasa. Kita sering lupa bahwa lima tahun yang lalu bukan 2010, tapi 2016. Lima tahun yang lalu saya bukan anak SMA yang bisa hidup bebas dan belum perlu memikirkan urusan orang dewasa. Yang benar lima tahun yang lalu saya adalah mahasiswa semester 7 yang sudah harus memikirkan bagaimana lulus kuliah dan apa setelahnya. 

Lima tahun yang lalu saya mestinya sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan-keputusan penting secara bertanggungjawab. Di usia itu, kita bukan lagi anak-anak yang apa-apanya manut orang tua. Disadari atau tidak, posisi kita sekarang dipengaruhi sikap kita waktu itu - lima tahun yang lalu. 

Salah satu tujuan saya menulis blog yaitu sebagai time capsule mulai bisa dilihat hasilnya. Lima tahun yang lalu saya sudah menulis di blog ini (sudah tulisan agak panjang, bukan cuma gambar-gambar atau lirik lagu). Justru tahun 2016 itu saya sedang semangat-semangatnya. Mungkin juga hidup saya sedang sangat menarik  sehingga dalam sebulan bisa membuat sampai belasan tulisan.

Dengan semua renungan-renungan itu saya jadi ngeri-ngeri sedap mengenai apa yang terjadi di 2026 nanti jika masih diberi umur panjang. Mendadak every single decision sehari-hari menjadi krusial. Perbedaan kedisiplinan sedikit saja bisa membentuk kebiasaan yang kalau diteruskan selama lima tahun ke depan bakal sangat terlihat akibatnya, entah baik atau buruk.

Saya jadi sadar pentingnya punya dua hal ini. Pertama, mentor yang lebih senior 10-15 tahun untuk memberi gambaran tentang jalan ke depan dan keputusan-keputusan terbaik yang bisa diambil. Kedua, apapun atau siapapun yang bisa jadi reservoir inspirasi dan motivasi untuk memberikan energi, to stay afloat and able to overcome any difficulties

Kalau kata istri saya, salat istikharah bukan cuma untuk mempermudah mengambil keputusan. Yang lebih penting dari itu adalah kita memindahkan tanggungjawab dan akibat atas keputusan itu dari pundak kita yang lemah ke Allah Yang Maha Tahu. 

Saya semakin tidak mau mengecilkan arti ibadah ketika melihat orang-orang yang hidupnya berubah, dalam lima tahun, karena ibadah. 

Embrace what the future brings. Bismillah. We move

Chandra


pic: dreamstime, dashe

Time Capsule

Siang tadi buka-buka lemari nemu tablet samsung lawas yang saya beli tahun 2013 dengan uang refund UKT semester 1. Baterai jelas tekor karena sudah lebih dari 3 tahun nggak nyala, untung masih ada kabel charger yang cocok buat tab ini. Butuh waktu agak lama sampai baterainya cukup untuk dia bangun. Begitu nyala makdeg wallpapernya masih gambar Imperial College, cita-cita yang dulu pernah ada wkwk

Ada dua tablet lagi di tumpukan yang sama, satu merk 'cina' hasil tryout sbmptn TO Bareng Teknik (Tobat) UGM 2013, satu lagi Ipad 3 saya beli seken steal-deal dapat dari FJB ITB tahun 2016. Sayang sudah nggak punya charger yang bisa masuk. Mungkin nanti cari di Jakarta, lumayan kalau nyala bisa buat istri ngajar.

Kembali ke tablet samsung, meskipun tidak semua tapi sebagian perjalanan awal kuliah saya terekam di gadget ini. Waktu itu HP saya tidak cukup powerful untuk menghandle semua keperluan akademik dan nonakademik. Sebagian file saya transfer ke tab terutama video-video praktikum dan aplikasi berat. Senangnya dulu pas ospek mau masuk jurusan bisa bikin glider yang sekedar bisa terbang dengan imbang.

Galeri adalah yang paling banyak menyimpan kenangan. Ada foto-foto slide kuliah yang akhirnya nggak dibuka lagi, dokumentasi anak robotika waktu KRI, meme tentang engineering dan aerospace, foto jalan-jalan yang agak bikin malu kalau dilihat lagi sekarang, beberapa foto tugas tour kosan waktu osjur, sampai screenshot-screenshot yang banyaknya minta ampun. Tentu konten yang berpotensi mengganggu ketentraman segera dihapus demi kemaslahatan :p

No no no, jangan berpikir itu konten berhubungan sama porn, drug abuse, atau human trafficking ya. Senakal-nakalnya yo nggak segitunya. Lagi pula semua bisa dijelaskan karena file-file disitu semua bertanggal 2016 ke bawah...gimana ya jelasinnya...ya tahulah maksudnya wkwk

Saya pernah bilang bahwa kalau punya mesin waktu yang hanya bisa dipakai satu kali, saya memilih balik ke tahun 2013. Disanalah banyak keputusan-keputusan diambil yang membuat saya berada di state yang sekarang. Tidak boleh berandai-andai berlebihan, tapi saya merasa jika bisa kembali ke tahun itu dengan bekal pengetahuan yang sekarang, rasanya banyak keputusan bisa saya perbaiki sehingga jadi orang yang lebih benyak berguna dan lebih sedikit merepotkan. 

Mesin waktu mungkin tidak akan terjadi, tapi ketemunya tab lama ini mengembalikan sebagian ingatan saya tentang diri saya 7-8 tahun lalu, bagaimana saya berpikir, apa yang saya cita-citakan saat itu, siapa teman saya, apa yang saya lakukan, siapa inspirasi saya, apa kebaikan yang dulu ada dan kini saya tinggalkan, apa yang berubah dan apa yang tidak. 

Terpenting dari itu semua adalah setelah beberapa jam menyusuri folder dan aplikasi-aplikasi yang sudah vakum beberapa tahun saya mendapat gambaran bahwa saya dulu pernah punya api. Di satu sisi ekpresi dari api itu adalah sifat naif, sombong, keminter, dan merasa berada di puncak dunia. Padahal puncak adalah tempat paling mungkin untuk jatuh. After all, api itu terlalu besar buat saya yang sempit, hingga tanpa sadar membakar beberapa hal yang seharusnya dipelihara.

Tapi di sisi yang lain api itulah yang membuat saya tetap kuat menjalani masa-masa penuh tempaan sambil tetap menjaga asa menolak menjadi sekedar rata-rata. Bahkan saya yang sekarang merasa malu bagaimana dulu jiwa raga ini mampu bekerja nyaris 24/7 hingga akhirnya menemukan bentuk nyamannya. Di masa-masa itulah paling sering saya merasa batas saya diuji.

Semakin mendewasa, rasanya api itu tidak sepanas dulu. Bisa jadi karena saya tidak memeliharanya dengan baik, atau hakikatnya memang api itu teredam seiring pemahaman soal realita kehidupan. Tapi sebagai manusia yang ditugaskan untuk selalu berusaha, setidaknya dari time capsule ini saya jadi tahu ada hal yang perlu saya coba.

Saya harus menjaga nyala api itu sama atau bahkan lebih berkobar daripada 7 tahun lalu. Tapi di saat yang sama harus memastikan bahwa api itu tidak membuat apapun dan siapapun di sekitar saya tidak nyaman. Syukur kalau api itu bisa menyalakan beberapa api lainnya yang mulai padam. Tapi setidaknya saya harus cukup amba untuk menjadikan segalanya seimbang. 

Kalau mau lebih baik dari 7 tahun lalu mungkin saya harus lebih presisi, sisanya biar mengikuti.

Maaf atas segala kesalahan

Chandra

Posting Jangan Sering-Sering

Beberapa minggu yang lalu saya dan istri jalan-jalan ke Jakarta. Sudah jadi rutinitas setidaknya satu hari di akhir pekan kami keluar rumah. Waktu itu kami janjian dengan seorang kerabat untuk ketemu di daerah Sudirman. 

Kami janjian ketemu pas makan siang di foodcourt dekat stasiun Sudirman, disana ada mie ayam enak katanya. Karena kepagian dan merasa perlu ke toilet saya putuskan untuk mampir di kantor dulu di daerah Mega Kuningan. Ini adalah kali pertama istri saya menginjakkan kaki di tempat itu. 

Reaksi pertamanya persis dengan ketika saya onboarding dulu, wah wah wah mulu, khas anak daerah yang pertama kali masuk gedung perkantoran di ibukota. Ada mungkin 30 menitan dia asik foto-foto, beberapa ada yang dipost di instagramnya. Sementara itu satpam tampak mengawasi karena penampilan kami tidak seperti orang mau ngantor, nggak bawa tas, nggak bawa nametag, hanya modal bilang kantor saya di lantai berapa.



Akhirnya istri saya tanya, kamu kok nggak pernah update soal kantormu?

Saya ceritakanlah bawa saya seperti punya janji pada diri sendiri bahwa saya akan membatasi mengekspos pekerjaan saya kepada audience luas. Selain karena beberapa hal memang lebih baik dirahasiakan, back to 2018 saya punya pengalaman yang agak berkesan.

Oktober 2018 kantor tempat saya bekerja pertama kali tutup dan semua pegawainya dirumahkan. Saya tiba-tiba menjadi jobless yang masih ngekos. Awalnya nggak masalah karena kosan saya masih jalan dan sudah dibayar tahunan serta saya punya tabungan. Tapi tabungan yang nggak seberapa itu akhirnya habis juga karena saat bekerja saya terlanjur mengeset gaya hidup saya lebih tinggi daripada ketika masih mahasiswa.

Beban sebagai alumni so called kampus favorit yang menganggur cukup berat. Peluang pekerjaan di bidang penerbangan terbatas, skill coding juga belum mumpuni untuk melamar sebagai software engineer profesional. Alhamdulillah saya akhirnya tertolong karena ada kesempatan menjadi asisten riset di kampus.

Meski begitu rasa menjadi orang yang gagal tetap ada karena pekerjaan asisten riset ini seperti bukan full job. Sementara ig story dipenuhi update-an teman-teman soal pekerjaan barunya, saya masih bingung mau ngapain. Saya uninstall instagram dan untuk pertama kalinya mengerti bahwa mental health itu sesuatu.

Saya coba memikirkan kesalahan-kesalahan yang saya lakukan di masa lalu. Hingga akhirnya saya sadar bahwa selama ini ketika masih bekerja sangat mungkin saya menyakiti banyak orang dengan apa-apa yang saya posting di media sosial.

Karena bantuan orang dalam, setelah lulus saya langsung bekerja di sebuah perusahaan IT di Bandung. Lokasinya premium di kawasan Lembang dekat villa-villa. Pemandangannya hijau semua plus bisa lihat kota Bandung dari atas, lokasi 10/10. Kantornya start-up sekali, saya dapat gear dengan spek yang tinggi. Kantor itu punya gym, meja pingpong, lapangan panahan, mess, kamar mandi air panas, shuttle dari bandung kota, internet kenceng, komputer boleh buat ngegame, makan siang dan sore gratis, dll. Pokok'e perfect untuk pekerjaan pertama.

Tidak bisa tidak saya sering mempostingnya di media sosial, ketika banyak diantara audience saya yang belum bekerja atau belum selesai TA. Saat itu saya merasa biasa saja, penyesalannya terjadi ketika akhirnya saya tidak bekerja disana lagi.

Sejak saat itu saya membuat komitmen untuk sangat membatasi postingan berbau pekerjaan. Alhamdulillah saya masih bisa menjaga komitmen itu sampai saat ini. Beberapa orang tahu saya bekerja dimana tapi tidak tahu detail tempat kerjanya seperti apa atau apa yang saya lakukan sehari-hari. 

Saya masih posting soal makan richeese, nongkrong di dunkin, pulang kampung, atau jalan ke luar kota, tapi hanya satu dua kali posting tentang meja kerja. Beberapa momen chat lucu juga saya screenshot dan unggah di twitter. Tapi kayanya chat dari coworker belum pernah ada yang saya post. Selain jarang lucu juga ngapain orang lain harus tahu?

Btw soal mie ayam tadi, namanya Mie Keriting Luwes, ancer-ancernya foodcourt dekat pintu tengah stasiun KRL Sudirman. Harganya 25k dan porsinya guedhe. Masih belum seperti mie ayam manis yang saya inginkan tapi ini OK.


Salam,

Chandra