Paksa
Apa jadinya anak yang hanya mengandalkan nilai akademik selama sekolah? Does it works ketika dewasa?Saling Menjaga
Firasat
Waktu sampai sini makin banyak easter egg yang saya temui. Take out-nya sih saya pikir ya memang harus begitu jalannya kali ya. Setelah enam tahun di Bandung terasa cukup lalu pindah ke Jakarta. Lalu lima tahun setelahnya sudah selesai yang ingin dilakukan di Jakarta lalu pindah ke Belanda. Saya masih antara percaya tidak percaya dengan firasat. Tapi saya lebih yakin bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu alasan. Kadang saya memalingkan muka ketika di jalan melihat sebuah klinik, karena saya tidak ingin tahu klinik ada di mana, karena saya tidak ingin sakit. Ini karena saking seringnya ketemu momen 'oh yang dulu itu gunanya ini'.
Imperfection
Meminjam kalimat Cak Nun, teh itu terasa pahit karena kamu membayangkan yang manis, kalau tidak membayangkan yang manis teh pahit juga bisa enak. Begitupun lebaran menurut saya, tidak akan terasa menyenangkan kalau setiap tahun kita bandingkan dengan masa kanak-kanak dulu. Kita berhutang banyak pada orang tua yang selalu berusaha memagari kita dari paparan masalah sehingga bisa fokus bermain, belajar, dan tidur nyenyak. Kini setelah dewasa tanggung jawab melindungi diri ada pada individu masing-masing.Time Dilation
Masih jadi perdebatan apakah time travel mungkin untuk dilakukan. Salah satu keyakinan yang saat ini banyak dipegang adalah time travel ke masa lampau tidak bisa, tapi ke masa depan mungkin bisa. Dasarnya adalah teori time dilation atau dilatasi waktu, dimana dikatakan orang yang bergerak dengan kecepatan sangat tinggi akan mengalami waktu lebih lambat daripada orang yang diam.Wake Up Pain
Saya kasih judul Wake Up Pain karena apa yang saya tulis disini berhubungan dengan ketiduran. Saya kemarin mengalami suatu insiden dimana saat nyetir saya ilang 2-3 detik karena ngantuk dan nyundul orang di gerbang keluar tol. Alhamdulillah posisi sudah pelan jadi tidak ada luka atau apapun, kerusakan kendaraan pun nggak parah. Setelah insiden kami minggir dan saya langsung turun untuk minta maaf lalu mengatakan siap ganti rugi, karena memang murni kesalahan di saya. Kami bertukar nomor WA dan besok akan dikabari berapa estimasi biaya perbaikannya. Di sisi saya sendiri ada perbaikan kecil, kemarin saya ke bengkel body di daerah Ciputat dan kurang dari sejam sudah beres lagi.Utang Rasa
Nabi Musa bertanya kepada Tuhan, apa ibadah yang paling khusus untukmu, yang paling mulia? Tuhan menjawab, masukkan rasa bahagia ke hati orang lain dengan sedekah. Itu ibadah termulia di sisi Tuhan - Habib Husein Ja'far
Maiden Flight
Waktu masih menekuni pesawat terbang dulu, kalau kita mau membuat sebuah UAV (Unmanned Aerial Vehicle) atau drone, selalu dimulai dengan proses simulasi. Ada software yang namanya Catia, disana kita bisa buat model 3 dimensi dari UAV yang sedang dirancang. Bentang sayapnya berapa, airfoilnya jenis apa, sudut-sudutnya bagaimana, dan lain sebagainya. Sayap, body, ekor, dan bagian lainnya bisa dimodelkan. Kita jadi bisa tahu perkiraan performa aerodinamika dan stability-nyaPrioritas
Never underestimate orang yang terbiasa meninggalkan kesibukannya untuk menjalankan ibadah. Setidaknya dalam pandangan saya, kalau menyaksikan ada orang yang begini biasanya hidupnya baik, entah sudah atau nanti. Saya pakai 'baik' supaya spektrumnya luas karena pengalaman orang beda-beda. Ya walaupun wang-sinawang, tapi orang yang begini kelihatan banyak beruntungnya.Waktu
Hard Mode
Peace
"A happy person isn’t someone who’s happy all the time. It’s someone who effortlessly interprets events in such a way that they don’t lose their innate peace." - Naval RavikantLow Hanging Fruit
Saya katakan saya relate dengan tweet di atas karena mungkin selama ini itu yang saya rasakan dan alami tapi tidak bisa saya katakan. Kenapa tidak bisa? karena saya belum bisa mendefinisikan secara mantap dimana saya berada sekarang dan mau mengarah kemana.
Survivorship Bias
Titik-titik merah pada gambar tersebut mengilustrasikan bekas tembakan pada pesawat-pesawat yang kembali ke pangkalan setelah menjalankan misi dalam perang. Terlihat titik merah terpusat di ujung sayap, pangkal sayap, dan ekor pesawat. Bagian lainnya relatif bebas tembakan. Kasus seperti ini dihadapi oleh militer Amerika pada Perang Dunia II. Berdasarkan data yang mereka himpun, kesimpulan yang diambil adalah harus dilakukan penguatan pada bagian yang banyak titik merah karena dianggap sebagai titik rawan tembakan.
Hadirlah Abraham Wald dari Columbia University dengan pendapat yang berbeda. Wald mengatakan bagian yang harus diperkuat adalah bagian yang tidak ada titik merah. Wald berpikir data titik-titik merah tersebut diambil hanya dari pesawat yang berhasil kembali ke pangkalan. Sedangkan di luar sana ada pesawat yang hilang dan jatuh kemungkinan karena tertembak di bagian yang lainnya. Dengan kata lain, tertembak pada bagian yang tidak ada titik merahnya, dan itu lebih mematikan sampai tidak bisa kembali ke pangkalan. Militer melihat pesawat yang survive saja, Wald melihat yang survive dan yang tidak.
Menyambungkan dengan isu yang hangat baru-baru ini tentang kekerasan seksual. Ada data yang menunjukkan bahwa kekerasan seksual paling banyak dilakukan oleh pacar atau mantan pacar, jauh lebih tinggi daripada suami dan anggota keluarga lain. Militer Amerika akan menyimpulkan bahwa hubungan pacaran jauh jauh jauh lebih berbahaya daripada keluarga. Benarkah?
Secara data memang tampak begitu, sama halnya titik merah bekas tembakan tadi. Tapi jangan lupa bahwa grafik diatas berisi data yang dilaporkan saja. Ada kasus yang tidak dilaporkan seperti ada pesawat yang tidak kembali ke pangkalan. Melaporkan pacar jauh lebih mudah daripada melaporkan suami, ayah, atau saudara.
Survivorship bias menyebabkan data yang benar ditafsirkan secara salah. Tidak ada manipulasi data di sini, hanya memang datanya tidak tersedia: pesawat tidak survive sehingga tidak tahu tertembak dimana, kasus tidak dilaporkan sehingga tidak terekam dalam grafik. Untuk mendapat kesimpulan yang tepat perlu kejelian dalam mengeliminasi bias ini dengan melihat konteks dan kemungkinan yang lebih luas.
Setahun Menikah
Menikah setahun berasa mendewasa tiga tahun, itulah yang saya rasakan. Kalau kita main game, sering kali ada item, karakter, atau map yang baru bisa terbuka setelah memenuhi syarat tertentu. Syaratnya bisa capaian level, poin, atau penyelesaian suatu misi. Buat saya menikah ada miripnya dengan itu. Menikah seperti satu check point yang membuka hidup baru.Banyak pintu yang tertutup ketika menikah, tapi lebih banyak yang terbuka. Meskipun sebelum menikah sudah tanya-tanya, tetap saja banyak kagetnya. Sepertinya memang tidak ada template berkeluarga itu caranya seperti apa. Justru karena itu naik turunnya jadi lebih seru.
Menikah adalah lompatan terbesar yang pernah saya lakukan seumur hidup. Lebih besar daripada masuk SMP di 'kota' dan merantau ke Bandung, those feel so trivial now. Begitu banyak hal baru yang saya lihat dan alami, sebagiannya butuh waktu lumayan untuk cope with it. Sekarang setelah setahun alhamdulillah beberapa hal mulai sorted. Waktu terasa lebih cepat berlalu dengan ringan.
Salah satu nilai yang saya dapatkan pasca menikah adalah bahwa kebanyakan urusan dalam hidup itu sifatnya maraton, bukan sprint. Mungkin sudah banyak ditulis di buku-buku motivasi, tapi setelah menikah saya makin menerima itu karena merasakannya sendiri.
Berusaha melakukan segalanya serba cepat akan melelahkan, hasil yang didapat pun belum tentu kokoh. Lebih baik membangun pondasinya dulu supaya kalau sudah sampai di tujuan akhir, hasilnya lebih konkrit dan memuaskan karena dibangun melalui proses yang anggun. Kadang kita terlalu memaksakan untuk stay relevant.
Menikah itu di awal-awal seperti mandatory retreat. Kita perlu mundur dari cara hidup yang populer dan mungkin kelihatan keren untuk belajar hal-hal basic yang selama ini belum terasah karena belum diperlukan. Untuk orang yang susah belajar kalau tidak ada tuntutan, hal ini sangat membantu. Saya tidak self proclaim bahwa setelah setahun menikah saya jadi pribadi yang lebih baik. Saya hanya merasa, for the first time, for real, telah melakukan sesuatu.
Masa Transisi
Alhamdulillah sebulan terakhir angka positif covid di Indonesia menunjukkan tren penurunan. Mungkin herd immunity mulai bekerja, baik yang terbentuk karena terpapar langsung atau oleh vaksinasi. Aturan aktivitas mulai dilonggarkan meski tetap dengan semboyan protokol kesehatan. Meski mengendur sepertinya situasi tidak akan kembali seperti semula masa pre-covid. Pertama karena covid kemungkinan tidak akan hilang, kedua masyarakat mulai terbiasa dengan prokes yang ringan-ringan seperti memakai masker dan cuci tangan.
Walaupun begitu, menurut saya tidak efisien juga kalau kita mempertahankan cara hidup seperti saat pandemi. Buat saya new normal yang ideal itu pakai masker hanya ketika berada di kerumunan, di jalan, atau situasi tertentu. Selain untuk menangkal covid juga menghindarkan diri dari penyakit lain dan polusi. Tapi rasanya pada satu titik seharusnya tidak ada lagi beban untuk tidak memakai masker ketika ke masjid, berkunjung ke rumah orang, bekerja, aktivitas outdoor, dan event-event yang menurut ahli resikonya ringan hingga sedang.
Poin prokes lain seperti kursi yang disilang-silang di tempat makan serta pembatasan kapasitas di tempat yang sebenarnya bersih juga perlahan perlu dikurangi. Obyek wisata dan tempat publik juga pada satu titik harusnya dibuka untuk umum tanpa batasan usia dan domisili. Selanjutnya penggunaan aplikasi yang agak kontroversial itu tidak lagi perlu dijadikan syarat masuk ke berbagai tempat.
Semua perubahan itu tidak mungkin dilakukan seketika. Perlu proses pelonggaran sedikit demi sedikit. Sekarang pun kita bisa merasakan proses itu berjalan. Pengambil kebijakan punya hak dan kewajiban untuk menentukan aturan-aturan bagi publik. Tapi di level pribadi dan keluarga kita perlu membuat keputusan seberapa kita bisa atau perlu melonggarkan diri?
Apakah saya sudah bisa ke warung tanpa masker? Apakah masih penting membawa sajadah sendiri kemana-mana? Apakah hand sanitizer masih diperlukan setiap saat? Apakah sudah aman untuk nonton film di bioskop? Apakah masih perlu melakukan rapid test mandiri secara rutin? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab sendiri. Inilah masa transisi yang sama rumitnya dengan pertanyaan "seberapa saya harus menjaga diri?" dan "apakah saya terlalu nekat atau terlalu parno?" yang sering muncul tahun lalu.
Masa seperti ini mirip dengan yang dialami masyarakat Bantul pasca gempa Jogja tahun 2006 silam. Sekedar cerita, bukan keluhan, sebagai epicentrum gempa tingkat kerusakan yang timbul di Bantul cukup besar. Kerusakan fisik paling besar disebabkan gempa utama pada tanggal 27 Mei pagi itu. Tapi hal yang membuat letih secara batin saat itu adalah gempa susulan yang terjadi hingga 2-3 bulan berikutnya.
Keputusan kapan bisa kembali masuk rumah dan bisa tidur di dalamnya, kapan sekolah bisa membongkar tendanya dan mengembalikan kegiatan belajar di dalam ruang kelas, apakah sudah aman untuk masuk bangunan besar dan tinggi, kapan pedagang bisa pindah dari parkiran ke bangunan pasar, dan lain sebagainya adalah pertanyaan yang harus dijawab masing-masing orang.
Saya mengalami sendiri tinggal di pengungsian, lalu ketika dirasa sudah cukup aman bisa kembali ke rumah. Ketika di rumah pun tidak langsung masuk, tinggal dulu di tenda sampai hitungan minggu. Perlahan berani masuk rumah pada siang hari namun tidur malam masih di luar. Lama-lama bisa tidur di ruang tamu dengan pintu terbuka sebelum berangsur normal tidur di kamar meskipun beberapa kali lari karena gempa susulan tengah malam.
Di sekolah pun kami mengalami proses dari belajar di tenda, lalu pindah ke bangunan semi permanen dari bambu, sebelum pindah ke ruang kelas yang sebenarnya setelah selesai diperbaiki. Di masjid dalam suatu salat jumat ketika sedang khotbah tiba-tiba sebagian jamaah berhamburan keluar karena merasakan getaran. Pada saat itu berada di pinggir jalan lalu ada truk besar lewat saja sensasinya seperti ada gempa, saking parnonya.
Sekarang untuk kedua kalinya saya merasakan berada di masa transisi. Tahun 2006 yang saya lakukan menikmati saja prosesnya, serba yawis, toh saya masih SD tidak banyak yang bisa dilakukan. Melangkah ke new normal harus tapi kalau resiko terlalu besar mending jaga-jaga tetap aman. Sebulan lebih setelah gempa ketika orang-orang mulai berani masuk rumah saya masih hidup di tenda, simply karena waktu itu baru sunat dan saya tidak bisa lari kalau ada apa-apa.
Menikmati rasa takut sepertinya agak susah, tapi menikmati kewaspadaan harusnya bisa dilakukan.
Salam,
Chandra
Lima Tahun
Pertanyaan apakah lima tahun itu sebentar atau lama tergantung pada konteksnya. Kalau dalam dunia profesional pada umumnya timeframe lima tahun itu sangat lama. Tuntutan bisnis menggunakan satuan minggu bahkan hari dan jam. Dalam lima tahun sebuah perusahaan bisa jadi sudah sangat berbeda. Ada yang hilang, ada yang datang. Seseorang mungkin sudah berada di titik karir yang tak terduga pada lima tahun mendatang.
Tapi dalam kontemplasi self improvement, lima tahun bisa jadi waktu yang tak terasa. Kita sering lupa bahwa lima tahun yang lalu bukan 2010, tapi 2016. Lima tahun yang lalu saya bukan anak SMA yang bisa hidup bebas dan belum perlu memikirkan urusan orang dewasa. Yang benar lima tahun yang lalu saya adalah mahasiswa semester 7 yang sudah harus memikirkan bagaimana lulus kuliah dan apa setelahnya.
Lima tahun yang lalu saya mestinya sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan-keputusan penting secara bertanggungjawab. Di usia itu, kita bukan lagi anak-anak yang apa-apanya manut orang tua. Disadari atau tidak, posisi kita sekarang dipengaruhi sikap kita waktu itu - lima tahun yang lalu.
Salah satu tujuan saya menulis blog yaitu sebagai time capsule mulai bisa dilihat hasilnya. Lima tahun yang lalu saya sudah menulis di blog ini (sudah tulisan agak panjang, bukan cuma gambar-gambar atau lirik lagu). Justru tahun 2016 itu saya sedang semangat-semangatnya. Mungkin juga hidup saya sedang sangat menarik sehingga dalam sebulan bisa membuat sampai belasan tulisan.
Dengan semua renungan-renungan itu saya jadi ngeri-ngeri sedap mengenai apa yang terjadi di 2026 nanti jika masih diberi umur panjang. Mendadak every single decision sehari-hari menjadi krusial. Perbedaan kedisiplinan sedikit saja bisa membentuk kebiasaan yang kalau diteruskan selama lima tahun ke depan bakal sangat terlihat akibatnya, entah baik atau buruk.
Saya jadi sadar pentingnya punya dua hal ini. Pertama, mentor yang lebih senior 10-15 tahun untuk memberi gambaran tentang jalan ke depan dan keputusan-keputusan terbaik yang bisa diambil. Kedua, apapun atau siapapun yang bisa jadi reservoir inspirasi dan motivasi untuk memberikan energi, to stay afloat and able to overcome any difficulties.
Kalau kata istri saya, salat istikharah bukan cuma untuk mempermudah mengambil keputusan. Yang lebih penting dari itu adalah kita memindahkan tanggungjawab dan akibat atas keputusan itu dari pundak kita yang lemah ke Allah Yang Maha Tahu.
Saya semakin tidak mau mengecilkan arti ibadah ketika melihat orang-orang yang hidupnya berubah, dalam lima tahun, karena ibadah.
Embrace what the future brings. Bismillah. We move
Chandra
pic: dreamstime, dashe
Time Capsule
Siang tadi buka-buka lemari nemu tablet samsung lawas yang saya beli tahun 2013 dengan uang refund UKT semester 1. Baterai jelas tekor karena sudah lebih dari 3 tahun nggak nyala, untung masih ada kabel charger yang cocok buat tab ini. Butuh waktu agak lama sampai baterainya cukup untuk dia bangun. Begitu nyala makdeg wallpapernya masih gambar Imperial College, cita-cita yang dulu pernah ada wkwk
Ada dua tablet lagi di tumpukan yang sama, satu merk 'cina' hasil tryout sbmptn TO Bareng Teknik (Tobat) UGM 2013, satu lagi Ipad 3 saya beli seken steal-deal dapat dari FJB ITB tahun 2016. Sayang sudah nggak punya charger yang bisa masuk. Mungkin nanti cari di Jakarta, lumayan kalau nyala bisa buat istri ngajar.
Kembali ke tablet samsung, meskipun tidak semua tapi sebagian perjalanan awal kuliah saya terekam di gadget ini. Waktu itu HP saya tidak cukup powerful untuk menghandle semua keperluan akademik dan nonakademik. Sebagian file saya transfer ke tab terutama video-video praktikum dan aplikasi berat. Senangnya dulu pas ospek mau masuk jurusan bisa bikin glider yang sekedar bisa terbang dengan imbang.
Galeri adalah yang paling banyak menyimpan kenangan. Ada foto-foto slide kuliah yang akhirnya nggak dibuka lagi, dokumentasi anak robotika waktu KRI, meme tentang engineering dan aerospace, foto jalan-jalan yang agak bikin malu kalau dilihat lagi sekarang, beberapa foto tugas tour kosan waktu osjur, sampai screenshot-screenshot yang banyaknya minta ampun. Tentu konten yang berpotensi mengganggu ketentraman segera dihapus demi kemaslahatan :p
No no no, jangan berpikir itu konten berhubungan sama porn, drug abuse, atau human trafficking ya. Senakal-nakalnya yo nggak segitunya. Lagi pula semua bisa dijelaskan karena file-file disitu semua bertanggal 2016 ke bawah...gimana ya jelasinnya...ya tahulah maksudnya wkwk
Saya pernah bilang bahwa kalau punya mesin waktu yang hanya bisa dipakai satu kali, saya memilih balik ke tahun 2013. Disanalah banyak keputusan-keputusan diambil yang membuat saya berada di state yang sekarang. Tidak boleh berandai-andai berlebihan, tapi saya merasa jika bisa kembali ke tahun itu dengan bekal pengetahuan yang sekarang, rasanya banyak keputusan bisa saya perbaiki sehingga jadi orang yang lebih benyak berguna dan lebih sedikit merepotkan.
Mesin waktu mungkin tidak akan terjadi, tapi ketemunya tab lama ini mengembalikan sebagian ingatan saya tentang diri saya 7-8 tahun lalu, bagaimana saya berpikir, apa yang saya cita-citakan saat itu, siapa teman saya, apa yang saya lakukan, siapa inspirasi saya, apa kebaikan yang dulu ada dan kini saya tinggalkan, apa yang berubah dan apa yang tidak.
Terpenting dari itu semua adalah setelah beberapa jam menyusuri folder dan aplikasi-aplikasi yang sudah vakum beberapa tahun saya mendapat gambaran bahwa saya dulu pernah punya api. Di satu sisi ekpresi dari api itu adalah sifat naif, sombong, keminter, dan merasa berada di puncak dunia. Padahal puncak adalah tempat paling mungkin untuk jatuh. After all, api itu terlalu besar buat saya yang sempit, hingga tanpa sadar membakar beberapa hal yang seharusnya dipelihara.
Tapi di sisi yang lain api itulah yang membuat saya tetap kuat menjalani masa-masa penuh tempaan sambil tetap menjaga asa menolak menjadi sekedar rata-rata. Bahkan saya yang sekarang merasa malu bagaimana dulu jiwa raga ini mampu bekerja nyaris 24/7 hingga akhirnya menemukan bentuk nyamannya. Di masa-masa itulah paling sering saya merasa batas saya diuji.
Semakin mendewasa, rasanya api itu tidak sepanas dulu. Bisa jadi karena saya tidak memeliharanya dengan baik, atau hakikatnya memang api itu teredam seiring pemahaman soal realita kehidupan. Tapi sebagai manusia yang ditugaskan untuk selalu berusaha, setidaknya dari time capsule ini saya jadi tahu ada hal yang perlu saya coba.
Saya harus menjaga nyala api itu sama atau bahkan lebih berkobar daripada 7 tahun lalu. Tapi di saat yang sama harus memastikan bahwa api itu tidak membuat apapun dan siapapun di sekitar saya tidak nyaman. Syukur kalau api itu bisa menyalakan beberapa api lainnya yang mulai padam. Tapi setidaknya saya harus cukup amba untuk menjadikan segalanya seimbang.
Kalau mau lebih baik dari 7 tahun lalu mungkin saya harus lebih presisi, sisanya biar mengikuti.
Maaf atas segala kesalahan
Chandra
Posting Jangan Sering-Sering
Beberapa minggu yang lalu saya dan istri jalan-jalan ke Jakarta. Sudah jadi rutinitas setidaknya satu hari di akhir pekan kami keluar rumah. Waktu itu kami janjian dengan seorang kerabat untuk ketemu di daerah Sudirman.
Kami janjian ketemu pas makan siang di foodcourt dekat stasiun Sudirman, disana ada mie ayam enak katanya. Karena kepagian dan merasa perlu ke toilet saya putuskan untuk mampir di kantor dulu di daerah Mega Kuningan. Ini adalah kali pertama istri saya menginjakkan kaki di tempat itu.
Reaksi pertamanya persis dengan ketika saya onboarding dulu, wah wah wah mulu, khas anak daerah yang pertama kali masuk gedung perkantoran di ibukota. Ada mungkin 30 menitan dia asik foto-foto, beberapa ada yang dipost di instagramnya. Sementara itu satpam tampak mengawasi karena penampilan kami tidak seperti orang mau ngantor, nggak bawa tas, nggak bawa nametag, hanya modal bilang kantor saya di lantai berapa.
Akhirnya istri saya tanya, kamu kok nggak pernah update soal kantormu?
Saya ceritakanlah bawa saya seperti punya janji pada diri sendiri bahwa saya akan membatasi mengekspos pekerjaan saya kepada audience luas. Selain karena beberapa hal memang lebih baik dirahasiakan, back to 2018 saya punya pengalaman yang agak berkesan.
Oktober 2018 kantor tempat saya bekerja pertama kali tutup dan semua pegawainya dirumahkan. Saya tiba-tiba menjadi jobless yang masih ngekos. Awalnya nggak masalah karena kosan saya masih jalan dan sudah dibayar tahunan serta saya punya tabungan. Tapi tabungan yang nggak seberapa itu akhirnya habis juga karena saat bekerja saya terlanjur mengeset gaya hidup saya lebih tinggi daripada ketika masih mahasiswa.
Beban sebagai alumni so called kampus favorit yang menganggur cukup berat. Peluang pekerjaan di bidang penerbangan terbatas, skill coding juga belum mumpuni untuk melamar sebagai software engineer profesional. Alhamdulillah saya akhirnya tertolong karena ada kesempatan menjadi asisten riset di kampus.
Meski begitu rasa menjadi orang yang gagal tetap ada karena pekerjaan asisten riset ini seperti bukan full job. Sementara ig story dipenuhi update-an teman-teman soal pekerjaan barunya, saya masih bingung mau ngapain. Saya uninstall instagram dan untuk pertama kalinya mengerti bahwa mental health itu sesuatu.
Saya coba memikirkan kesalahan-kesalahan yang saya lakukan di masa lalu. Hingga akhirnya saya sadar bahwa selama ini ketika masih bekerja sangat mungkin saya menyakiti banyak orang dengan apa-apa yang saya posting di media sosial.
Karena bantuan orang dalam, setelah lulus saya langsung bekerja di sebuah perusahaan IT di Bandung. Lokasinya premium di kawasan Lembang dekat villa-villa. Pemandangannya hijau semua plus bisa lihat kota Bandung dari atas, lokasi 10/10. Kantornya start-up sekali, saya dapat gear dengan spek yang tinggi. Kantor itu punya gym, meja pingpong, lapangan panahan, mess, kamar mandi air panas, shuttle dari bandung kota, internet kenceng, komputer boleh buat ngegame, makan siang dan sore gratis, dll. Pokok'e perfect untuk pekerjaan pertama.
Tidak bisa tidak saya sering mempostingnya di media sosial, ketika banyak diantara audience saya yang belum bekerja atau belum selesai TA. Saat itu saya merasa biasa saja, penyesalannya terjadi ketika akhirnya saya tidak bekerja disana lagi.
Sejak saat itu saya membuat komitmen untuk sangat membatasi postingan berbau pekerjaan. Alhamdulillah saya masih bisa menjaga komitmen itu sampai saat ini. Beberapa orang tahu saya bekerja dimana tapi tidak tahu detail tempat kerjanya seperti apa atau apa yang saya lakukan sehari-hari.
Saya masih posting soal makan richeese, nongkrong di dunkin, pulang kampung, atau jalan ke luar kota, tapi hanya satu dua kali posting tentang meja kerja. Beberapa momen chat lucu juga saya screenshot dan unggah di twitter. Tapi kayanya chat dari coworker belum pernah ada yang saya post. Selain jarang lucu juga ngapain orang lain harus tahu?
Btw soal mie ayam tadi, namanya Mie Keriting Luwes, ancer-ancernya foodcourt dekat pintu tengah stasiun KRL Sudirman. Harganya 25k dan porsinya guedhe. Masih belum seperti mie ayam manis yang saya inginkan tapi ini OK.
Salam,
Chandra