Warpas


Ini adalah Warpas alias Warung Pasta, restoran pasta yang salah satu cabangnya ada di Dago Bandung, tepat di samping parkiran SR ITB. Sebagian besar yang pernah kuliah di ITB pasti punya kenangan dengan tempat ini. Bisa berupa memori makan bareng sirkel atau gebetan. Tapi di sudut yang lain ada golongan mahasiswa yang mbatin bahwa tempat ini di luar jangkauan wkwkw. Saya salah satunya, sejak kuliah dan 2 tahun bekerja di Bandung belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di tempat ini.

Dari sejumlah restoran yang ada di sekitar kampus, entah kenapa Warpas yang sering jadi benchmark. Kalau bilang pernah makan di-Warpas biasanya respon orang antara dua. Pertama mereka mafhum bahwa kamu orang yang mampu. Kedua ada pertanyaan lanjutan seperti ada acara apa? sama dosen? habis menang lomba? Warpas bukan tempat yang biasa untuk mahasiswa biasa.

Sekali-sekali makan disana mungkin bisa saja, tapi tetap merasa eman-eman. Berasa not belong to begitu. Warung tenda sedap malam di depannya pasti kalah dari segi kebersihan, tapi di sana hati lebih nyaman wkwk.

Kini setelah beberapa tahun lulus dan pindah dari Bandung, saya memutuskan ingin makan di sana. Libur panjang idul adha saya manfaatkan untuk ngadem ke Bandung dengan kelurga. Di antara beberapa tempat yang kami masukkan dalam rencana perjalanan, Warung Pasta adalah salah satunya. Alhamdulillah warpas buka pada hari cuti bersama hari raya.

Saya sama sekali tidak ada masalah dengan teman-teman yang bisa atau bahkan terbiasa makan di sana. Cuma penasaran saja dalamnya seperti apa jadi sekarang mencoba datang. Lagipula kalau bicara kesenjangan pernah ada kejadian yang lebih tidak enak. Yaitu pada suatu hari di semester 2, salah satu teman saya mendekat dan berbisik, "pantes ditolak chan ajakanmu kemaren, pacare pake mobil". hahahaha. This belum-pernah-makan-di-warpas is nothing.

Hari ini waktu saya datang, Warpas sepi sekali. Mungkin karena very-long-weekend dan hari raya jadi lebih banyak orang pulang kampung. Begitu masuk kami disambut welcome drink air mineral. Karena sepi, kami bebas pilih tempat duduk. Ada area smoking dan non smoking, meja kursi maupun sofa. Untuk kenyamanan tentu tidak perlu dipertanyakan lagi. Daftar menu bisa dilihat dengan cara scan QR code, berikut latest menu Warpas bulan ini: Menu Warpas

Portofolio pasta saya hanya sebatas spaghetti la fonte, jadi makan di Warpas sudah tentu saya bilang sangat enak. Porsinya juga lumayan banyak, pas untuk sekali makan. Overall pengalaman makan di Warpas Bandung solid 9/10. Apakah saya akan balik lagi? Iya, tapi mungkin akan coba yang di Jakarta. Yang penting unsur sentimentilnya sudah terbayar hari ini di Jalan Ganeca.


Chandra

Cap Besar-Besar ala Samsat



Saya itu heran waktu menerima hasil cek fisik ini. Sudah 2023 kok masih kaya begini bentuknya ya. Di form ini banyak isian tapi malah nggak perlu diisi, ada ceklist di bawah tapi dicoret begitu saja, malah yang ada kertas formnya dihujani cap gede-gede dengan posisi nggak beraturan. Tentu di belakang kertas ini ada lembar fotokopian KTP, STNK, dan BPKB.

Tapi jangan salah, pelayanan Samsat Ciledug ini sebenarnya tidaklah buruk. Prosesnya cepat, petugas komunikatif dalam memberikan pengarahan, teknisi cek fisik juga ramah dan cepat kerjanya. Antrian tidak panjang sehingga proses dari awal sampai selesai memakan waktu kurang dari 20 menit. Padahal prediksi saya bakal lebih dari satu jam, bahkan mungkin sampai makan siang. Dari beberapa kali saya cek fisik kendaraan, ini yang paling sat set.


Tapi masalah dari urusan per-samsat-an dan sejenisnya ini adalah flow yang nggak jelas. Kita datang ke samsat itu dalam posisi benar-benar blank harus menuju kemana. Walaupun sudah pernah ke kantor samsat tersebut, beda urusan bisa beda jalurnya. Penunjuk arah lokasi cek fisik dan loket memang ada, tapi kita nggak tahu harus kemana dulu dan setelah itu kemana. Solusinya hanya dengan tanya ke petugas. Di Samsat Ciledug ini petugasnya banyak dan ramah-ramah, ini bagus, tapi di sisi lain menunjukkan bahwa flow-nya belum bisa jalan mulus dengan sendirinya, masih banyak campur tangan manusia yang membuat prosesnya terasa tidak terstandar.

Mestinya hal ini bisa diperbaiki. Kita masyarakat bayar pajak juga nggak murah. Gerai fast food sekarang sudah banyak yang menyediakan opsi pesan dan bayar via digital kiosk bahkan aplikasi mobile, proses dan interaksi semakin sederhana. Sistem infomasi rumah sakit sekarang juga sudah semakin berkembang, flownya makin jelas dan sinkronisasi data berjalan baik sehingga tidak perlu berulang-ulang mendaftar atau menunjukkan identitas. 

Yok bisa yok, ini samsat yang dekat dengan ibukota lho. Yang saya paling geli masalah cap ini. Harus dibuat sebesar dan semencolok itu seolah kalau kecil nggak akan dibaca orang. Struk belanja, resi pengiriman, dan lain lain yang rapi dan efisien karena computer-generated sudah diterima luas kok sekarang. Orang juga sudah terbiasa menggunakan handphone dan internet.


But still, layanan cepat Samsat Ciledug patut diapresiasi untuk saat ini. Orang jadi tidak perlu terlalu lama meninggalkan aktivitasnya. For your info biaya cek fisik 30 ribu, tapi saya tidak dapat struk untuk ini. Semoga kelak di urusan berikutnya dengan samsat sistemnya sudah lebih baik. Terimakasih


Chandra

Tips Untuk Maba


Kalau ditanya tips untuk masa kuliah dan memulai karir oleh maba, saya sulit juga jawabnya karena merasa tidak maksimal dan sukses-sukses amat juga waktu menjalaninya. Paling salah satu jawaban yang bisa saya kasih adalah perhatikan kakak tingkat yang beda 2-3 tahun di atasmu. Saya berpikir begitu sumbernya dari pengalaman dan pengamatan yang saya lakukan di lingkungan saya.

Saya perhatikan setiap angkatan itu biasanya secara overall satu langkah lebih maju dari angkatan sebelumnya. Bisa dalam hal apapun, mungkin ada sektor yang unda-undi, tapi kalau dilihat secara menyeluruh kecenderungannya begitu. Itu karena adik tingkat bisa melihat peluang yang diambil katingnya lalu jadi lebih siap untuk memanfaatkan peluang yang sama. Mereka juga bisa melihat kesalahan yang pernah dilakukan dan berusaha untuk tidak mengulanginya.

Kenapa 2-3 tahun? Karena selain fakta bahwa sempat bertemu langsung (asumsi kuliah 4 tahun), jika selisihnya hanya segitu relatif lanskapnya belum banyak yang berubah. Sistem penerimaan mahasiswa masih mirip sehingga orang yang masuk kira-kira tipenya sama. Kurikulum, budaya perkuliahan, dan organisasi intra kampus belum banyak berubah. Program luar kampus seperti konferensi, lomba, pemagangan, dan lain sebagainya tidak banyak bertambah dan berkurang. Setelah lulus pun peta lapangan kerja dan peluang beasiswa masih relatif serupa.

Kakak tingkat ikut lomba dan hanya juara 3 misalnya. Adik tingkat yang ingin ikut lomba yang sama bisa persiapan lebih awal dan menerima sharing dari yang sebelumnya ikut, peluang menangnya jadi lebih besar. Di waktu yang lain ketika melihat katingnya lulus dan bekerja, adik tingkat punya gambaran sejak awal tentang peluang kerja dan beasiswa yang bisa diambil setelah lulus, karena itu ia bisa eksplor dan belajar apa yang diperlukan sejak awal perkuliahan. Kumpulan informasi yang didapat dari kakak tingkat bisa jadi head start dan akan sangat menguntungkan bagi adik tingkat. Ini jenis privilege yang bisa diusahakan.

Dengan melihat kakak tingkat, adik tingkat tahu belokan mana yang harus diambil agar peluang mencapai prestasi yang lebih baik lebih besar, dalam hal apapun. Itu juga sebabnya tidak terlalu ideal untuk melihat yang hanya 1 tahun di depan karena walaupun kita dapat informasinya, kadang sudah telat untuk belok. Begitu juga yang 4 tahun ke atas, terlalu jauh jadi tidak kelihatan beloknya kemana.

Faktor X bisa terjadi sih, misal covid kemarin yang membuat cara kuliah angkatan pandemi sangat berbeda. Tapi selain itu biasanya perubahan yang terjadi sifatnya gradual. Di ITB ada update kurikulum 5 tahunan, tapi core-nya masih sama menurut saya. Munculnya kelas internasional dan jalur masuk mandiri sedikit mengubah demografi, tapi mayoritasnya tetap via tes masuk umum nasional.

Untuk prakteknya, memperhatikan lewat pergaulan sudah cukup membantu. Tapi kalau mau lebih baik ada 2 yang dapat dicoba. Pertama kerja bareng kakak tingkat, bisa di organisasi atau laboratorium penelitian. Kedua dengan forum mentoring.


Chandra

Derajat Kekacauan, Beberapa Perubahan Tidak Bisa Dibalik


Saya belum selesai baca buku ini, mungkin baru 70%. The Uninhabitable Earth ini membahas pemanasan global secara mendalam, sayangnya terjemahannya kurang luwes jadi agak kesandung-sandung bacanya. Tapi sampai titik ini pun sudah banyak poin yang saya dapat. Satu diantaranya sudah saya tulis di postingan sebelumnya tentang wet bulb temperature. Kali ini saya dapat insight tentang bagaimana pemanasan global ini (bisa jadi) tidak bisa dicegah lagi dan suhu bumi akan terus naik.


Dalam Paris Agreement tentang global warming, disepakati target untuk menekan kenaikan suhu global well below 2 derajat, kalau bisa 1.5 saja. Dalam berbagai jurnal para ilmuwan juga memperkirakan suhu bumi akan naik sekian derajat. Intinya, mindset kita sekarang adalah menahan laju kenaikan suhu bumi, bukan lagi mengurangi suhu bumi. Kenapa? Karena mengurangi suhu bumi bisa dibilang mustahil.

Sebabnya, kita sebagai makhluk hidup untuk sekedar hidup saja sudah pasti mengeluarkan emisi karbon. Kalau kita beraktivitas menggunakan kendaraan bermotor, sudah jelas ada gas buang disana. Misalnya pun semua orang di dunia dipaksa untuk diam di rumah saja, minimal tetap akan ada carbon trail dari makanan yang dikonsumsi. Daging merah mengeluarkan metana, sayur dan buah diangkut dari ladangnya sampai ke warung sayur dekat tempat tinggal kita dengan pickup bermesin bensin, bahkan nasi yang kita makan digiling menggunakan penggilingan berbahan bakar fosil. Kecuali manusia bisa berfotosintesis, untuk sekedar makan demi menjaga tetap hidup saja manusia mengeluarkan sejumlah emisi.

Kalau ada aplikasi penghitung intake kalori, mungkin kita perlu juga aplikasi untuk melihat berapa besar carbon trail yang kita sebabkan setiap harinya. Jadi setiap pagi sebelum mulai beraktivitas kita sadar bahwa ada sejumlah tertentu karbon yang perlu kita offset untuk sekedar membuatnya impas, untuk sekedar bisa mengklaim bahwa kita tidak berkontribusi pada pemanasan global sepanjang hari ini.

Mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, raduce-reuse-recycle sampah, menggunakan bahan-bahan alami menggantikan produk sintetis pabrik, menanam pohon, berternak, dan lain sebagainya adalah upaya untuk meminimalisir 'hutang' kita pada bumi dan anak cucu nanti. Sudah ada beberapa contoh sustainable living seperti ini, namun masih pada skala individu dan komunitas kecil. Salah satu yang pernah saya lihat langsung adalah Pak Iskandar Waworuntu dengan Bumi Langit dan Permaculture-nya

Baca juga: Bumi Langit (Lagi)
note: pardon, ditulis waktu masih kuliah

Balik ke The Uninhabitable Earth, upaya individu masih bisa dilakukan. Tapi untuk punya efek yang cukup guna menahan laju pemanasan bumi, ini harus dilakukan secara kolektif. Kekuatan yang bisa mendorong kolektivitas di sini adalah politik dan ekonomi. Jadi ketika pemanasan global sudah mengganggu stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara besar, bisa jadi saat itu lah baru akan ada gerakan yang lebih konkret daripada Perjanjian Paris. Takutnya saat itu terjadi semuanya sudah terlambat.

Jangankan nanti, saat ini saja pemanasan global ini sudah very unlikely untuk dihentikan. Suhu akan terus naik, tinggal seberapanya yang bisa kita usahakan. Kita kudu menerima bahwa beberapa hal memang tidak reversible. Membaca bagian ini saya jadi teringat materi kuliah termodinamika tentang entropy. 

Entropi ini adalah satuan kimia yang menunjukkan suatu reaksi bisa terjadi atau tidak. Reaksi kimia baru bisa terjadi jika dan hanya jika entropinya positif. Kalau negatif, tidak bisa. Ini juga menunjukkan beberapa reaksi tidak reversible, A ke B dengan entropi (+) bisa berlangsung, tapi jika B ke A punya entropi (-) maka itu tidak mungkin terjadi. Kondisi A ke B tidak reversible. 

Entropi juga disebut degree of disorder atau degree of randomness, atau kalau dosen saya menjulukinya derajat kekacauan. Hukum II Termodinamika mengatakan bahwa entropi selalu bertambah seiring berjalannya waktu. Kekacauan yang selalu bertambah dan perubahan yang tidak bisa dibalik, persis kaya bumi dan penghuninya.

Tapi ada satu hal positif yang ditulis David Wallace-Wells dalam bukunya. Yaitu karena perubahan suhu bumi ini dipengaruhi oleh aktivitas manusia, manusia juga punya kontrol untuk menanganinya. Jadi kita tidak sepenuhnya tak berdaya menghadapi pemanasan global. Suhu memang akan makin panas, tapi bisa saja manusia beradaptasi dengan itu berkat gerakan kolektif dan perkembangan teknologi. 

Bumi ini bukan tinggalan nenek moyang untuk kita, tapi kita pinjam dari anak cucu. Apa yang kita hasilkan sekarang bisa jadi yang memanen bukan kita tapi mereka. Manusia diamanati untuk mengelola bumi dalam tugasnya sebagai 'khalifah', jadi berhasil tidaknya kita, punya konsekuensi yang jauh lebih besar daripada sekedar merasa kegerahan di bumi, pertanggungjawabannya langsung pada Sang Pencipta.

We're together on this. Pemanasan global itu kena satu kena semua.


Chandra

Kenapa Hari-hari ini Sumuk ya?


Sumuk adalah istilah dalam bahawa jawa yang artinya gerah. Saya rasa kita bisa sepakat bahwa sekitar satu setengah bulan terakhir cuaca di Indonesia sedang panas dan gerah. Kombinasi suhu dan kelembaban tinggi membuat badan kurang nyaman. Kita jadi mudah berkeringat dan rawan bau badan jika kurang menjaga kebersihan. Tapi kalau baca buku Bumi yang Tak Dapat Dihuni (The Uninhabitable Earth) karya David Wallace-Wells, efek dari naiknya suhu karena pemanasan global bisa jauh lebih buruk daripada sekedar bau badan.

Tapi itu nanti, saya mau mulai dari yang berhubungan dengan yang kita rasakan sehari-hari. Kenapa sih kita yang tinggal di daerah tropis banyak berkeringat dan sering merasa gerah? Di buku The Uninhabitable Earth saya menemukan istilah wet bulb temperature yang setelah saya browsing ternyata bisa menjawab beberapa pertanyaan.

source: JH Cooling Machine

Wet bulb temperature (WBT) adalah suhu yang terukur dari termometer yang bagian bulb-nya ditutup kain basah kemudian dilewati udara (airflow). Dengan ditutupkan kain basah ini, termometer mereplikasi sistem pendinginan tubuh manusia yang terjadi dengan mengeluarkan keringat atau biasa disebut evaporative cooling. Karena ada fungsi cooling di sini, suhu yang terukur di WBT akan lebih rendah daripada dry bulb temperature, yaitu ketika termometer tidak dipasang apapun, ya seperti cara kita biasanya mengukur suhu pakai termometer merkuri.

Pertanyaannya, seberapa banyak selisih antara wet bulb dan dry bulb temperature? Ini dipengaruhi oleh kelembaban. Kelembaban adalah ukuran berapa banyak air yang ada di udara, semakin banyak air maka dikatakan kelembaban semakin tinggi. Semakin tinggi kelembaban, semakin susah evaporative cooling untuk terjadi karena 'ruang' untuk tambahan uap air sudah sedikit. Semakin sedikit cooling, semakin tinggi suhu yang dirasakan oleh sistem termometer yang ditutup kain basah tadi, yang mana ini menggambarkan bagaimana kita manusia semakin gerah ketika kelembaban udara tinggi.

Jadi barangkali di suatu hari suhu di Jakarta dan Tokyo sama-sama 30 derajat celcius. Tapi kelembaban di Jakarta 75% sementara Tokyo 30%. Dalam kasus ini, 30C di Jakarta terasa lebih gerah daripada di Tokyo. Ukuran kelembaban dalam persen ini disebut relative humidity. Jika relative humidity mencapai 100% maka pengukuran wet bulb = dry bulb karena pada sistem wet bulb tidak bisa lagi ada penguapan. Sebaliknya jika ada di angka 0%, penyerapan moisture akan lebih cepat sehingga apparent temperature (temperatur yang dirasakan) manusia semakin rendah/dingin.

Salah satu mekanisme kerja air conditioner (AC) adalah mengurangi kelembaban udara sehingga kita tidak merasa gerah. Tapi efek sampingnya kulit jadi terasa kering kalau terlalu lama berada di ruang ber-AC. Jadi temperatur dan kelembaban udara bersama-sama menentukan seberapa gerah kita rasakan. Sebenarnya kelembaban agak tinggi pun asal suhunya masih dingin tidak masalah. Karena saat masih dingin kita belum butuh-butuh banget dengan evaporative cooling.

Angka dry bulb temperature, wet bulb temperature, dan kelembaban dapat dihubungkan satu sama lain. Dari sisi yang lain, ilmu kedokteran memberikan data seberapa panas yang aman dan berbahaya bagi manusia. Jadi pada batas tertentu, jika suhu dan kelembaban terlalu tinggi secara bersama-sama, efeknya bukan lagi nyaman-tidak nyaman tapi sudah taraf membahayakan keselamatan. Ada tabel heat index untuk mempermudah melihat amankah aktivitas kita dalam hubungannya dengan temperatur dan kelembaban.

source: researchgate


Banyak pertanyaan lain yang bisa terjawab dengan konsep wet bulb temperature ini. Misalnya kenapa kalau selesai mandi atau baru keluar dari kolam renang kita merasa dingin. Itu karena badan kita yang tertutup air membuat kita jadi seperti termometer yang ditutup kain basah. Sebagian air memang jadi kering karena handuk, tapi sebagiannya lagi menguap sambil mengambil energi panas tubuh. Atlet berbagai cabang olahraga menyiramkan air ke muka atau badan untuk alasan yang sama juga.

Kembali ke buku The Uninhabitable Earth dan kenapa kita bicara lebih luas dari sekedar masalah bau badan. Dengan laju emisi yang ada saat ini, ada kemungkinan pada tahun 2100 suhu bumi akan lebih tinggi 2-4 derajat celcius dibanding sekarang, ada yang bilang lebih tinggi lagi bahkan. Kenaikan beberapa derajat ini bisa jadi membawa kita melewati batas antara livable dan tidak karena jika terlalu panas muncul ancaman heat stroke. Jadi ada potensi banyak tempat di daerah tropis (yang kelembabannya tinggi) akan tidak lagi bisa dihuni.

Kalau yang diusik hanya kenyamanan, mungkin kita akan lupa ketika nanti malam yang dingin di musim hujan sudah datang. Tapi kalau ada kesadaran bahwa kenaikan suhu ini hubungannya dengan keselamatan, seharusnya banyak gerakan kolektif yang dilakukan untuk memperlambat laju pemanasan global. 

Tentang wet bulb temperature dan lainnya, maaf kalau ada penjelasan yang meleset, mungkin fellow chemical engineering grad bisa lebih baik dalam menjelaskan.

Terimakasih, semoga ada manfaatnya.

source: JH Cooling Machine


Chandra