Salah Siapa Jadi Karyawan Swasta


Karena laman resmi sudah publish, berarti saya juga sudah boleh nulis. Jadi tempat kerja saya, PT Bank Commonwealth (PTBC) sedang dalam proses penjualan dari pemilik sebelumnya yaitu Commonwealth Bank of Australia (CBA) kepada OCBC Indonesia. Kesepakatan tercapai tanggal 16 November kemarin, dan sejak hari itu sampai sekarang banyak yang terjadi di dalam, namun tentu saja tidak semua bisa saya tuliskan disini :)


Apa yang akan terjadi nanti saya juga belum tahu. Kalau lihat dari akuisisi-akuisisi yang terjadi di tempat lain ya kemungkinannya ikut ganti seragam, ambil golden handshake (yang buat saya mungkin tidak spektakuler karena masa kerja belum lama), atau pindah duluan. Selama ini cuma dengar-dengar, ternyata kalau mengalami sendiri tidak sesederhana itu ehehe

Ini hal baru lagi buat saya. Baru 6 tahun tapi jalannya sudah kelok-kelok
2017: lulus kuliah lalu masuk kerja pertama di sebuah perusahaan keluarga jalur orang dalam
2018: perusahaan itu tutup dan semua pegawai dirumahkan, seleksi 2 beasiswa gagal dua-duanya, diajak bantu-bantu riset di kampus
2019: pindah ke jakarta karena dapat kerja, akhirnya kerja di korporat walaupun masih pegawai kontrak
2020: jadi kartap, nikah dan pindah dari kosan di kuningan ke pinggiran, merasakan jadi commuter
2021: resign dan pindah ke company lain, mulai merangkak naik secara karir dan paham apa yang dikerjakan (IT), tapi perusahaannya di bidang leasing jadi agak kurang sit well dengan beberapa kerabat
2022: resign dan pindah ke PTBC, proper workplace, manajemen rapi, ilmu banyak, impact dapat
2023: kerja makin ngegrip, lagi RPM tinggi eh malah company-nya diakuisisi

Memang pilihan sendiri sih dulu memulai karir tanpa mengutamakan stabilitas wkwk Semoga saja landingnya mulus. Aamiin aamiin

Berhenti Berlangganan


Hari ini saya meng-cancel subscription Disney+ Hotstar setelah terang bahwa perusahaan ini mendukung zionis. Saya pikir hiburan yang mereka sajikan di platformnya tidak sebanding dengan penderitaan anak-anak di Palestina. Bye Neal Caffrey, Oliver Putnam, Rick Castle, Mike Scofield, etc.


Disney+ sebelumnya adalah tempat saya nonton series crime-drama-comedy seperti Prison Break, White Collar, dan OMITB. Sekarang saya sedang jalan season 2 Castle, tapi saya berhenti hari ini dan tidak memperpanjang subscription saya karena alasan yang sudah jelas. Saat muncul question alasan untuk berhenti berlangganan, saya tulis 'bdnaash campaign'. 

Terus terang lebih gampang ganti merk air mineral daripada berhenti berlangganan streaming digital. Saya terlanjur menemukan genre yang cocok, sesuatu yang selama ini saya nggak tahu sampai akhirnya ketemu Prison Break di Disney+. Let's see apakah saya bisa temukan Castle di platform lain yang tidak termasuk daftar merah.

Di luar dari faktor boikot, ada yang tidak biasa dari Disney+ Indonesia. Entah kenapa biaya langganan jika perpanjang bulan ini naik dari 39 ribu menjadi 107 ribu. Ketika merk kena boikot lain banting harga, mereka malah naik signifikan. Apakah ini last ditch effort sebelum cabut dari Indonesia? (saya sepertinya pernah nemu di twitter soal disney+ berhenti di sini, tapi coba cari lagi gak ketemu, jadi nggak terlalu yakin)

Kenapa nggak pakai bajakan aja? Nggak sreg rasanya pakai barang orang tanpa bayar, kecuali memang dibagi gratis. Sementara saya settle dengan Vidio untuk nonton bola saja.

Blow off Steam


Kalau buka Task Manager di laptop, kita bisa lihat berapa persen memori (RAM) dan prosesor yang terpakai. Semakin banyak aplikasi yang berjalan, semakin tinggi angkanya. Masing-masing aplikasi akan minta alokasi memori dan prosesor yang berbeda. Paint cuma kecil, tapi Photoshop gede. Game solitaire ringan, sedangkan game FIFA terbaru pasti berat. Browser seperti Chrome besarannya tergantung banyaknya tab yang dibuka. 

Dalam kondisi tidak ada aplikasi yang dijalankan pun sebenarnya angkanya sudah ada, karena untuk komputer bisa nyala saja sudah ada service yang berjalan di background. Kalau dalam kondisi idle begini, memori dan prosesor sehatnya dalam kisaran 10-15%.

Dalam kondisi dipakai kerja, baiknya memori berada di kisaran 50-60%, sesekali spike sampai 80% nggak masalah. Tapi kalau terus menerus diatas 80% takutnya kalau buka aplikasi baru atau ada job berat yang dijalankan seperti render atau build, aplikasi bisa crash atau bahkan komputer kena blue screen. Perih kalau kerjaan belum disave.

Nah gini, menurut saya ada kesamaan antara komputer dan manusia. Kalau komputer punya persentase RAM, manusia punya bandwidth. Beban yang dipikul seseorang, baik kelihatan atau tidak, berkontribusi pada naiknya pemakaian bandwidth. Orang yang stress-free, pemakaian bandwidth-nya mungkin di bawah 5%. Sebaliknya orang yang bandwidth-nya tinggi berarti sedang menyandang beban berat. Bisa dari manapun, pekerjaan, keluarga, pergaulan, dll. 

Sama seperti komputer yang idle tadi, manusia untuk sekedar menjalani hidup, tanpa ambisi dan target sekalipun, pasti sudah ada bandwidth yang terpakai. Banyak faktornya, dan dalam hal ini saya merasakan hidup di Jakarta ini paling banyak memakan bandwidth daripada kota lain yang pernah saya diami. Makanya di sini banyak orang gampang emosi. Jakarta ini secara fisik panas dan gerah, polusi udara salah satu yang terparah di dunia (untuk nafas saja susah), lalu lintas macet dan semrawut, tata kota di pinggirannya tidak tertata dengan baik (urban sprawl), dan tekanan sosial/kompetisi yang tinggi.

Bandung juga macet, tapi disana iklimnya enak apalagi di musim hujan. Penduduknya juga ramah dan hangat. For the record, untuk komputer pun suhu yang dingin akan membantu performanya, makanya ruang server selalu dijaga dingin dan kering. Sementara Bantul daerah pedesaan nyaris bebas dari masalah-masalah diatas kecuali dalam hal panas, karena dekat pantai. Kalau saya rasa-rasa, di Jakarta ini mungkin 40an persen bandwidth sudah terpakai untuk nggak ngapa-ngapain. Intinya susah untuk hidup enjoy di ibukota yang begini ini. (take with a grain of salt karena nggak bisa secara akurat diangkakan, beban yang dipikul atau dipendam orang beda-beda dan tak ada yang tahu)

Dengan bandwidth yang sudah terpakai banyak, wajar kalau orang Jakarta sering burn out. Ketika beban tambahan cukup besar, bandwidth bisa habis. Kalau sudah begitu mood jadi jelek, pikiran nggak jernih, not functioning properly lah. Ini cukup jamak sampai bisa diamati dari kebiasaan orang-orangnya dalam hal mengatasi penuhnya pikiran ini.

Di Jakarta, menjadi hal yang normal untuk tidak langsung pulang setelah selesai kerja. Ada yang ke parkiran dulu untuk ngrokok sambil ngobrol, ada yang duduk-duduk diam sambil nonton drama di HP, ada yang masuk warmindo untuk ngopi.Ada yang beli batagor atau tahu gejrot, duduk makan santai tanpa ngobrol tanpa apa-apa. Di masjid-masjid yang ada di jalur orang pulang kerja, setelah maghrib banyak yang leyeh-leyeh dulu nggak langsung lanjut jalan. Selain capek fisik karena commute jauh, juga untuk mendinginkan pikiran. 

Semua itu untuk blow off steam. Setelah seharian beraktivitas bandwidth selalu dalam kondisi tinggi. Laptop saja kalau dipaksa kerja keras akan panas dan berisik. Butuh pendinginan supaya nanti sampai di rumah mood sudah lebih baik dan pikiran sudah lebih enteng. Mending sampai rumah 15 menit lebih lambat tapi sudah enak daripada cepat sampai tapi buka pintu sambil cemberut. Kalau ngekos sendiri sih nggak masalah, cooling down bisa dilakukan di kosan. Tapi kalau ada keluarga di rumah, ya itu tadi yang biasa dilakukan.

Jakartans nggak ramah, Jakartans cuek-cuek. Yaa mungkin disitu ada andil tingginya kadar stres orang-orang. Saat pandemi kemarin dipaksa untuk berubah, rutinitas terdisrupsi, akhirnya banyak juga orang yang memikirkan ulang apakah rutinitas seperti ini sehat. Beberapa orang yang saya kenal mencoba mencari arragement baru yang memungkinkan untuk menurunkan pemakaian bandwidth sambil tetap produktif, termasuk dengan meninggalkan Jakarta bahkan.

Big respect untuk semua pejuang keluarga.

Cheers,
Chandra