Move Straight Towards Your Fears



Satu
Dulu saya pikir kalau berani keluar dari zona nyaman itu artinya kita sudah berkembang menjadi sosok yang lebih baik. Tapi hari ini saya paham bahwa ada syarat yang harus dipenuhi agar keberanian kita meninggalkan zona nyaman tidak berakhir menjadi sebuah kesia-siaan.

Oops, bukan keberanian meninggalkan, terkadang ada orang yang terpaksa keluar dari zona nyamannya. Mungkin ada orang di sekitar kita yang kehilangan pekerjaannya, keluarganya mendapat masalah, atau tertunda cita-citanya. Ada juga kasus saudara-saudara kita yang mungkin seumur hidupnya belum pernah benar-benar merasakan yang namanya zona nyaman.

Sudah banyak orang bicara soal keluarlah dari zona nyamanmu. Namun berada di luar zona nyaman tidak mudah, ada yang namanya fear zone dan learning zone. Ternyata wajar jika kita kehilangan kepercayaan diri, merasa kikuk/inferior, atau bingung pada langkah-langkah awal kita beranjak keluar dari zona nyaman.

Kita tidak perlu menjadi gagah sepanjang waktu. Sebaliknya justru pada kondisi ini kita harus ikhlas merendah, kalau bisa menyembunyikan siapa kita dan apa yang sudah dicapai sebelumnya. Ibarat gelas yang harus dikosongkan isinya agar bisa diisi dengan yang baru, yang lebih baik, lebih manis.

Tidak bisa tidak, kita pasti merasa kecil ketika masuk ke lingkungan, komunitas, sekolah, pekerjaan baru. Mungkin ada yang cepat beradaptasi tapi ada juga yang minder (lack of self-confidence). Tidak masalah karena itu tahap yang harus dilalui untuk naik. Ikhlas menerima bahwa hari tak selalu cerah, karena tahu di balik awan matahari tetap bersinar, selalu ada jalan.

Setelah mampu berdiri tegak, langkah selanjutnya kita masih harus belajar. No way bisa maju tanpa berbekal ilmu-ilmu baru. Ilmu adalah bekal yang tidak berkurang sedikitpun walaupun dibagi-bagi, jarang ada entitas yang sifatnya begitu. Belajar apapun karena yang tampak tidak berguna di dunia pun tetap dijanjikan diangkat derajat orang yang memiliki dan mengamalkannya. Lalu ingat kata-kata ini:

Kalau kamu merasa tidak berguna, ingatlah dongkrak. Dongkrak di mobil itu nggak ada gunanya kecuali waktu ban bocor. Kalau jadi dongkrak mungkin kita bertanya-tanya ngapain aku disini, nggak pernah disentuh, nggak pernah diberi kepercayaan, dll. Tapi ketika ban bocor dia jadi yang paling penting. Bertahan untuk tidak karatan dan berguna maksimal ketika dibutuhkan membutuhkan ilmu dan dedikasi yang tinggi.

Dua
Saya pernah bilang pada orang tua untuk jangan mengkhawatirkan saya di perantauan, selama saya masih menulis artinya saya baik-baik saja. Tapi bulan Desember dan Januari kemarin saya tidak menulis. Bahkan blog ini jadi nggak bisa dibuka karena saya terlalu tidak mood untuk memperpanjang sewa domainnya. Sekarang saya ganti sekalian dari .com menjadi .id, rasanya lebih kekinian untuk sebuah blog pribadi.

Harus diakui bahwa 4 bulan terakhir saya tidak berada dalam kondisi ideal untuk tumbuh. Yah saya baru bisa menuliskannya sekarang karena bahkan kemarin tidak cukup berminat untuk membuka dashboard Blogger.

Ada beberapa kejadian yang memaksa saya keluar dari zona nyaman. Mungkin ini tikungan yang paling besar yang pernah saya alami sejauh ini karena sebelumnya konflik-konflik yang muncul sifatnya temporer. Misalnya masalah di organisasi kampus yang nanti selambat-lambatnya akan selesai kalau pertanggungjawaban sudah diterima, atau ketika sudah lulus dari kampus.

Tapi yang terjadi akhir-akhir ini bisa jadi memengaruhi jalan hidup saya kedepannya. Detail apa yang terjadi nggak akan saya ceritakan disini, cuma beberapa orang saja yang tahu.

Walaupun tidak tertulis di gambar itu saya mau menambahkan satu lagi ciri-ciri orang yang berada di fear zone yaitu pretending to be OK. Saya selama ini berlagak baik-baik saja walaupun sebenarnya saya khawatir akan beberapa hal.

Life at this stage is no longer a simulation.
Selama ini saya seperti berada di dalam sebuah simulasi. Sekalipun melakukan kesalahan atau ditimpa kejadian buruk, itu nggak akan membuat saya jatuh-jatuh amat. Ibarat game kalau mati nanti bisa direset lagi. Apalagi ketika masih di dalam institusi yang namanya sekolah (dan universitas), saya merasa aman dan nyaman. Beberapa teman bilang nasib saya selalu baik dulu ketika kuliah, berada di tempat yang tepat di waktu yang tepat.

Tapi Malcolm Gladwell menulis dalam David and Goliath bahwa yang selama ini dianggap sebagai kelebihan belum tentu benar menguntungkan. Nasib saya yang alhamdulillah mujur itu membuat saya kurang siap untuk beberapa hal. Contohnya, sampai saat ini saya belum pernah menjalani interview mencari kerja karena tahun 2017 saya sudah direkrut sebuah perusahaan sebelum saya selesai tugas akhir.

Dalam kondisi seperti itu sebisa mungkin saya mencari pelampiasan yang paling baik. Saya coba merenungi mungkin ada aktivitas-aktivitas yang selama ini kurang disukai-Nya. Atau mungkin ada orang-orang yang pernah saya sakiti baik sadar ataupun tidak. Mungkin ada postingan-postingan di sosial media yang dilihat orang lalu membuat orang itu tersinggung atau sedih.

Saya mungkin punya andil dalam tertundanya kuliah seorang teman beberapa tahun yang lalu. Di saat yang sama saya petentang-petenteng karena sudah diterima di ITB. Saya pernah salah mengajak makan teman yang ternyata saat itu dia benar-benar sedang tidak punya uang, tapi tidak mengaku. Saya posting di instagram ketika bekerja, saat teman-teman yang lain belum mendapat pekerjaan.

Saya menyesal karena tidak memiliki cukup empati. Bukan hanya karena jiwa saya kurang terasah, tapi juga karena secara lahiriah saya belum pernah benar-benar berada dalam posisi sulit. Saya mulai menghibur diri bahwa mungkin ini cara Allah untuk 'merenovasi' saya dengan memberikan pengalaman-pengalaman yang belum pernah saya dapatkan.

Ngutip kata-kata Aznad dalam blognya:
Tuhan itu sangat komplit dan menyeluruh. Tidak akan dikabulkannya doa kita sampai Dia persiapkan dulu hal-hal kecil maupun prasarana dan sarananya sehingga kita mampu dan sukses menjalani apa yang kita panjatkan kepada-Nya. Saat doa terkabul, tidak dibiarkannya kita menjalaninya sendirian. Tidak dilepaskannya kita begitu saja. Semua titik kecil yang berserakan dihimpunkan-Nya menjadi sebuah aksara kun fayakun untuk kita. Saat doa terkabul, kita telah direngkuh untuk terlibat menjadi bagian dari perencanaan-Nya. dan bukankah sebuah kehormatan, jikalau hidup kita telah dimasukkan dalam lintasan Qadha-Nya?

Lalu, mungkin menjadi bagian dari kurikulum-Nya juga, bahwa bulan lalu ibu saya masuk rumah sakit. Menjadi hal yang tidak biasa karena ini pertama kalinya beliau sakit sampai harus opname, di luar saat melahirkan. Ini juga menjadi pengalaman pertama saya menunggu di rumah sakit. Melihat pasien-pasien di rumah sakit membikin sadar bahwa bisa menarik nafas segar dan membuka mata lalu berdiri bersembahyang di pagi hari sudah merupakan hal yang patut disyukuri.

Tiga
Sepertinya sekarang sudah terlalu berlarut-larut dan kurang baik hasilnya kalau hanya digunakan untuk merenung dan merenung. Tulisan ini juga menjadi cekpoin untuk berpindah dari fear zone ke learning zone. Berbekal masukan dan pelajaran yang saya terima beberapa waktu ke belakang saya  coba untuk rebound.

Semua dimulai dengan menyadari bahwa kondisi gak burut-buruk amat kok. Kenapa to? Mosok hidup harus selalu diatas? 

Terkadang kita perlu mundur beberapa langkah untuk bisa melihat gambaran utuh dari seatu kejadian.

Bersyukur masih ada keluarga yang memahami, teman-teman yang mau berbagi tawa dengan senang hati. Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?

All is well.