Showing posts with label opiniku. Show all posts

What 'Belum Ada Zonasi' Did To You?

Banyak yang bilang, 'andai dulu sudah ada zonasi, tentu saya yang dari kampung ini tidak akan bisa masuk SMP A, SMA A, lalu kuliah di A, sehingga sekarang jadi A'. 

Meskipun saya juga berasal dari daerah pinggiran kabupaten, somehow ini tidak berlaku untuk saya. Walaupun dari SD sampai SMA di sekolah negeri, saya tidak pernah daftar sekolah pakai NEM dan tidak pernah ikut PPDB. Sehingga ada tidaknya zonasi bisa dibilang nggak ngaruh. Jadi begini..

Waktu SD, orang tua mendaftarkan saya ke sekolah dekat rumah sebagaimana umumnya teman-teman sebaya di sana. Sebuah SD negeri sederhana yang oleh tetangga sekolah lebih akrab disebut SD inpres karena dibangun atas Instruksi Presiden jaman Pak Harto. Sekolah ini seperti gambaran yang muncul di kepala kalian kalau mendengar kata SD di desa. Semua yang daftar kesana diterima, 99% diantaranya adalah warga sekitar. Orang-orang tua menyekolahkan anaknya di sana karena dekat dan tidak perlu nyebrang jalan raya. Cuma ada satu teman saya yang rumahnya agak jauh, dia sekolah di situ karena bapaknya guru. 

Waktu itu di desa saya belum ngetren yang namanya menyekolahkan anak ke sekolah favorit di kota kabupaten, top of mind ketika mendaftar SD ya yang dekat rumah. Favorit atau tidak itu urusan belakangan, yang penting si anak bisa bersosialisasi dan punya teman. SD saya ini favorit tingkat kecamatan saja belum, lomba olahraga sering kalah, drumband alatnya kalah mewah, cuma akademik saja yang lumayan menyala di tahun-tahun terakhir sebelum sekolahnya tutup :)

                  Sekolah kami dari street view

Yes, sekolah kami sudah tutup, angkatan saya adalah lulusan terakhirnya. Saya tidak tahu persis sebabnya, setelah gempa 2006 pemerintah banyak melakukan regrouping dan SD kami adalah salah satu 'korbannya'. Suasananya agak sedih dan marah waktu tahu sekolah akan digabung waktu itu karena dalam banyak aspek sekolah ini sedang tumbuh, lagipula tidak ada SD negeri lain yang dekat dari sana. Pada akhirnya gedung sekolah yang kosong itu dipinjam oleh Muhammadiyah untuk dijadikan SD Muh, adik kelas saya yang masih sekolah pindah nyaris semuanya ke SD Muh itu. Cuma ada satu siswa yang ikut diangkut pindah ke sekolah negeri yang baru, fail banget kebijakannya.

Setelah regrouping itu bapak ibu ex-guru dan alumni masih saling kontak, di beberapa kesempatan kami ketemu dalam acara syawalan saat lebaran. Kami dengar bahwa beberapa guru jadi rebutan sekolah-sekolah lain karena dianggap bagus, saya sih tidak heran karena beberapa guru menurut saya memang pintarnya di atas rata-rata. SD kami kalau lomba ekstrakurikuler babak belur karena keterbatasan fasilitas, tapi kalau lomba matematika-IPA not bad.

Kakak kelas saya juara 1 lomba IPA se kabupaten, sekarang dia sedang PPDS di UGM, S1-nya dulu juga masuk kedokteran UGM jalur reguler. Tahun berikutnya saya juara 2 di ajang yang sama. Di angkatan saya, selain saya saat ini banget ada satu orang di Inggris dan satu orang di Jepang. Memang ini bukan standar 'kesuksesan', but still sampai sekarang masih dongkol kenapa sekolah yang punya potensi, melayani warga beberapa desa, dan dapat nilai ujian akhir daerah ranking 1 sekecamatan (orangnya sekarang di Manchester) malah ditutup dan digabung ke SD yang prestasinya lebih di bawah (tapi lebih tua). Bisanya bilang prestasi sekecamatan aja, karena kalau sekabupaten out of question, sebab ada satu kecamatan di pinggiran Bantul juga yang entah kenapa anaknya pinter-pinter, zonasi benefits them karena sekarang SMA di wilayah itu makin bagus, will get to that.

Cukup cerita SD-nya, beranjak ke SMP. Di Jogja ada koran Kedaulatan Rakyat (KR). Rumah kami dulu langganan itu sebelum masuknya kanal berita digital. Suatu hari ibu saya melihat iklan di KR tentang try out yang diselenggarakan SMPN 1 Bantul, sekolah paling favorit di Bantul (saat itu, sekarang masih gak ya). Daftarlah saya jadi salah satu dari 1181 peserta, banyak banget sampai harus pinjam ruang kelas SMA 2 yang ada di depannya. FYI info-info event dan lomba seperti ini sering tidak sampai ke SD saya mungkin karena saking 'jauh'-nya, atau barangkali sampai tapi guru tidak mengumumkan karena khawatir dikira mewajibkan ikut. Saya, berdua teman, pernah hampir ikut lomba matematika Pasiad di Kota Jogja, tapi pas sudah dekat batal berangkat :)

Saya merasa inferior di try out itu karena siapalah saya yang dari SD antah berantah ini. Banyak anak-anak dari SD negeri dan swasta bagus di kota kabupaten, rame-ramean pula. Saya mengerjakan soal tanpa ambisi, orang tua menunggu tidak jauh dari lokasi karena dikira acaranya nggak lama. Setelah selesai peserta menunggu proses koreksi sambil lihat-lihat sekolah bagus itu, lalu sekitar satu jam kemudian kami diminta masuk ke dalam ruangan lagi untuk dibagikan hasilnya. Sebelum mengumumkan panitia meminta saya dan satu anak lagi di ruangan kami untuk pindah ke lab biologi, tapi dia tidak bilang untuk apa. Ternyata ranking 1 sampai 20 dari babak pertama tadi dikumpulkan lagi untuk babak final. Serius saya bahkan tidak tahu kalau try out ini ada finalnya, saya cuma ikut karena mau tahu kesiapan saya untuk ujian akhir (dan mau memastikan pensil 2B saya valid dipakai di LJK). Di babak final ini soalnya essay menjurus olim.

Pada akhirnya di final saya nggak menang, dapat rangking 13. Tapi yang paling penting justru pengumuman yang disampaikan kepala sekolah saat pidato penutupan, beliau bilang bahwa di tahun itu SMPN 1 Bantul membuka kelas RSBI alias Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional angkatan pertama. Saya mendaftar karena why not, pendaftaran dan tesnya dilakukan sebelum PPDB reguler sehingga kalau belum diterima pun nanti bisa daftar jalur normal. Lagi-lagi informasi soal RSBI ini tidak sampai ke SD saya, jadi semua info dicari sendiri. Setelah mendaftar ada tes, bridging course selama 2 minggu (sekolah di SMP padahal belum lulus SD), tes lagi, lalu alhamdulillah diterima. Teman seruangan yang dipanggil ke lab biologi tadi akhirnya jadi teman sekelas saya 3 tahun, classmate paling jenius selama saya sekolah. Di antara 20 finalis tadi juga banyak yang berteman sampai sekarang. 

Itu RSBI pertama dan pelaksanaannya sangat serius. Kelas kami diberi komputer, proyektor, AC, meja kursi baru, dan lain-lain. Aktivitas khusus kelas RSBI juga banyak, ekstrakurikulernya beda, ada lomba dan event khusus sekolah RSBI, niat banget lah saat itu karena targetnya untuk menghapus huruf R sehingga menjadi SBI. Walaupun akhirnya malah program RSBI dihentikan karena dianggap tidak sesuai dengan semangat kesetaraan pendidikan. 

Di jenjang berikutnya saya mendaftar RSBI lagi di SMAN 1 Bantul, walaupun kali ini rasa RSBI-nya sudah pudar karena semua kelas statusnya sama, tidak seperti pas SMP yang mana RSBI hanya 2 kelas berisikan 50-an anak. Meski begitu masuknya tetap dengan tes sehingga lagi-lagi saya tidak perlu ikut PPDB. Saya tidak mendaftar PPDB Kota Jogja untuk mencoba masuk sekolah favorit di sana seperti yang banyak dilakukan anak-anak dari kabupaten. Saya tidak daftar karena jarak yang jauh dari rumah dan ada beberapa sebab lain. Jadilah saya seumur hidup tidak pernah mendaftar sekolah pakai NEM, dan karena itulah andaikata saat itu sudah ada zonasi mungkin tidak ada pengaruhnya anyway.

***

Tentang zonasi, kalau saya lihat perdebatan di Twitter itu selalu bertabrakan antara dua pandangan atau prioritas yang berbeda. Orang yang pro zonasi berpendapat bahwa pendidikan mesti adil dan setara, baik secara kualitas maupun akses. Harapannya setara pada kualitas yang tinggi, kalau belum ya mesti maju bareng jangan sampai timpang antara sekolah bagus dan sekolah belum bagus. Sementara itu yang kontra zonasi mengkhawatirkan bahwa akan ada talent berbakat yang tersia-sia hanya karena faktor lokasi rumah yang mana si anak nyaris tidak punya kuasa atas itu. Kesetaraan dan anak berbakat sama-sama penting untuk negara, itu masalahnya.

Perdebatan zonasi sampai di topik boleh tidaknya ada sekolah favorit baik secara faktual maupun konsep, bagaimana mitigasi banyaknya kasus pindah KK untuk daftar sekolah (ini sudah ada sejak jaman saya masuk SMA karena efek kuota luar kota), penting tidaknya peer-teaching, daya tampung sekolah vs populasi, dan lain sebagainya. Menurut saya zonasi ini bisa bagus. Kata kuncinya bisa yang tercetak miring karena ada banyak syarat yang mengikutinya. 

Pertama persentase jalur masuk harus dikalibrasi secara benar sehingga kuota jalur zonasi, prestasi, dan jalur lain 'imbang'. Imbang tidak berarti harus sama secara angka, yang penting aksesibilitas dan meritokrasi bisa jalan berbarengan. Untuk sampai ke kalibrasi yang tepat memang butuh waktu, jadi sangat mungkin akan ada beberapa angkatan yang 'dikorbankan'. Ini juga mesti diperhatikan sampai level kabupaten kota karena tiap daerah punya karakter yang berbeda. 

Kedua, permainan pindah-pindah KK perlu dihentikan karena percuma regulasi bagus kalau pelaksanaan amburadul dan aturan dipencoloti. Sulit? Iya, karena yang harus diawasi banyak banget. Maka turunkan motivasinya dengan menurunkan persentase zonasi yang sekarang minimal 50%, katakan ubah jadi 30-40%, sehingga dorongan orang untuk pindah KK agar memenuhi syarat zonasi berkurang karena lebih longgar lewat jalur lain. Ini relate dengan poin sebelumnya soal kalibrasi.

Ketiga, konsep sekolah favorit itu nggakpapa, nggak mungkin semua bisa setara apalagi kalau menghitung sekolah swasta. Makanya ada yang namanya akreditasi di mana untuk tiap tier ada standarnya. Pastikan akreditasi ini works: kriteria dibuat dengan benar dengan melibatkan ahli lalu penilaian dilakukan oleh asesor yang kompeten, independen, dibayar dengan baik, dan berani bilang jelek jika memang jelek. Kalau akreditasi benar-benar dijalankan, kita bisa ambil titik 'setara' di saat semua sekolah sudah terakreditasi A misalnya. Selanjutnya jika ada sekolah, guru, siswa yang ingin going extra miles ya silakan itu bagus. Pada jangka panjang kita berharap pendidikan se-Indonesia bisa bagus semua jadi perbedaan antara satu sekolah dengan sekolah lain hanya masalah alamat saja. Sekarang seberapa percaya masyarakat dengan akreditasi ketika kampus abal-abal nggak jelas aja bisa kasih gelar Dr HC?

Keempat, ini wildcard. Saya kepikiran, kan ada kuota jalur prestasi, kenapa yang jalur prestasi ini nggak pakai tes saja tapi semua orang boleh daftar regardless tinggal dimana? Dengan begitu yang masuk benar-benar tersaring, bukan berkat nilai raport yang nggak bisa dibandingkan satu sama lain karena yang ngasih nilai beda sekolah dan beda guru (di-incentivize ngatrol-ngatrol nilai juga). Toh nantinya di saat mau kuliah seleksinya ada yang dengan tes juga. 

***

Membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang besar, itu kan semangatnya. Lihat hasil UTBK SMA di Bantul tahun 2022 ini:

Traditional fav SMA 1 dan 2 turun, sementara yang lain naik. Tapi tidak ada yang lebih signifikan daripada SMAN 1 Sanden. Sanden ini adalah sebuah kecamatan di selatan Bantul yang saya sebut tadi, mepet pantai dan jauh dari kota, tapi terkenal pendidikannya bagus dan anaknya pinter-pinter. Balik ke soal hasil ujian SD, di kecamatan saya nilai tertingginya 27.27 (max 30.00) yang didapat teman sekelas saya. Sementara itu di Sanden adalah 28.80, ini nilai tertinggi se-Bantul tahun itu. Di tryout yang pesertanya 1100an tadi, ada sebuah SD negeri di Sanden yang 'mengirimkan' 5 siswa, 4 diantaranya masuk final 20 besar, that's BPK Penabur number. Di jenjang SMP, 1 Sanden dan 1 Bantul sudah wheel-to-wheel sejak dulu, kini saat zonasi diterapkan SMA di sana jadi sangat terkerek prestasinya. 

Saya sih berharap semoga di Bantul ekuilibrium antara zonasi dan meritokrasi ini sudah atau segera ketemu, jadi sekolah negeri di semua kecamatan bisa terkerek tanpa menyebabkan kemunduran pada sekolah yang sebelumnya sudah baik. Hasil di atas lumayan menaikkan optimisme karena banyak panah hijaunya. Cherrypicking? Maybe yes maybe no, tapi di 2021 lebih gila lagi, 400 peringkat naik wkwk. 

Sekarang menterinya baru, urusan dikdasmen juga dipisah dari dikti. Katanya menteri yang baru menjabat ini juga dipilih karena kompetensi (eks kepala BSNP) bukan konsesi. Mari berharap sambil tetap memberikan kritik konstruktif agar pendidikan di Indonesia semakin maju, semua orang punya akses pada pendidikan yang berkualitas, dan bakat-bakat dari kota besar maupun desa terpencil bisa terfasilitasi. Saya banyak pakai nilai-nilai eksak akademis di sini karena itu yang datanya paling mudah didapat, tapi bakat bukan cuma itu, ada banyak anak punya potensi di bidang seni, olahraga, leadership, bisnis, dan lain sebagainya yang semuanya adalah calon mutiara yang bisa dipoles.

Because while student is 20% of our population, they are 100% of our future - Prince Ea


Thanks,
Chandra

Renovasi Masjid

Salah satu fenomena kurang indah yang saya saksikan di ibukota adalah adanya orang-orang yang meminta uang di jalan dengan mengatasnamakan pembangunan masjid. Bermodal steger yang dipasang di samping masjid atau fasad yang tampak tak segera dirampungkan, beberapa orang duduk dan berdiri di jalan sambil mengacungkan jaring yang biasa digunakan menangkap ikan, kadang diiringi rekaman ceramah atau lantunan ayat. 

Foto di bawah ini saya ambil sendiri di suatu sore di daerah Pamulang, kegiatan ini sudah dilakukan berbulan-bulan tanpa terlihat perubahan signifikan pada bangunan masjid, karena masjidnya sebenarnya juga sudah berdiri. Kalau yang sering masuk dari arah barat Jakarta, pasti pernah melihat juga aktivitas serupa di daerah Joglo dan Cipulir.



Menurut saya aktivitas ini tidak elok. Ini merendahkan izzah(kemuliaan)-nya rumah Allah. Pengendara yang lewat di jalan itu belum tentu orang Islam. Seminimal-minimalnya, aktivitas ini menyebabkan macet tambah parah. Kalaupun benar uang yang terkumpul digunakan untuk pembangunan masjid, ini menunjukkan pengurus yang kurang bagus dalam melakukan perencanaan, mestinya renovasi kalau dana sudah ada. Saya masih bisa paham kalau kebutuhannya untuk membeli lahan atau membangun bangunan baru, fundraising sambil jalan. Tapi dalam banyak kasus masjidnya sudah tampak jadi dan sudah digunakan, tidak ada urgensi untuk melakukan renovasi. 

Masjid Jogokariyan di Jogja pernah melakukan renovasi yang memakan biaya hingga 2,4 milyar. Tidak ada pihak masjid minta-minta di jalan. Salah satu upaya penggalangan dana yang pengurus lakukan adalah me-repro sebuah foto arsip masjid yang menampilkan seorang mandor yang sedang mengawasi pembangunan masjid Jogokaryan pada tahun 1960an. Foto itu dicetak besar dan dipigura, lalu diantarkan pada cucu bapak mandor yang ada di foto itu, kebetulan sang cucu sudah jadi pengusaha kayu jati sukses di Jogja. Beliau bersedia datang saat diundang rapat panitia renovasi masjid oleh pengurus. Bahkan demi melanjutkan amal jariyah eyangnya, beliau bersedia secara aklamasi ditunjuk sebagai ketua panitia, sekaligus bersedekah setengah dari biaya keseluruhan. Foto + pendekatan hati = 1,2 M.

Baca juga: Masjid untuk Semua

Oke Masjid Jogokariyan mungkin contoh yang terlalu jauh. Saya mundur ke masjid dekat rumah saya. Masjid ini dulu sangat sederhana, hanya ruang salat saja tanpa serambi. Pelan-pelan bangunan meluas dengan serambi seadanya, lalu makin lama makin disempurnakan dengan lantai dan atap yang rapi. Tempat wudhu, parkiran, sampai gudang juga berikutnya dibangun dengan baik. Progresnya pelan tapi pasti, salah satu alasannya ya menunggu terkumpulnya dana. Biasanya pemasukan paling banyak terjadi saat ramadhan hingga hari raya. Setelah lebaran sering ada improvement bangunan fisik masjid. Benar saja kemarin saat long weekend waisak saya pulang dan saat itu ada kerja bakti merapikan parkiran. Pekerjaan padat karya seperti ngecor akan dilakukan dengan gotong royong warga, hanya hal-hal yang butuh keterampilan khusus yang akan di-outsource ke tukang.

Bukan hanya satu, masjid kampung sejenis banyak menunjukkan pola pembangunan yang serupa. Masjid kami di desa, tidak banyak hal yang bisa diusahakan dari sisi finansial. Pemasukan terbesar dari dua hari raya, plus kalau pas ada donatur mungkin. Sisanya kotak infaq yang ditaruh begitu saja bagi yang hendak mengisi. Tapi saya belum pernah dengar ada warga yang usul untuk pasang jaring di jalan atau minta pada orang yang lewat.

Begini, di tempat saya masjid kebanyakan berafiliasi dengan salah satu antara NU atau Muhammadiyah. Contohnya di masjid saya ada ustadz yang secara rutin dikirim oleh ranting Muhammadiyah untuk mengisi kajian warga. Dalam proses itu tentu ada semacam 'audit' yang akan memicu alarm jika masjid dikelola dengan tidak benar. Ada nama baik organisasi dan gerakan yang dititipkan di sana. Sementara di kota, dengan banyaknya tempat ibadah dan padatnya penduduk saya ragu jaringan pembinaannya bisa seintens di daerah, impact-nya tentu pengawasan yang tidak optimal.

Pemerintah pun sebenarnya punya alat untuk melakukan pengawasan, atau minimal penyuluhan melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Kementerian Agama. Menindak secara hukum sih saya pikir nggak bisa, tapi menetapkan prosedur dan melakukan pelatihan manajemen masjid saya pikir bisa dilakukan. Mereka punya data masjid di seluruh Indonesia, bisa lah berangkat dari sana. Saya beberapa kali menulis hal positif soal Kemenag periode sekarang, andai pembinaan masjid ini benar bisa dilakukan wah salut banget.




Saya yakin saya bukan satu-satunya orang yang gusar dengan adanya aktivitas penggalangan dana di jalan yang dilakukan oleh institusi masjid atau yayasan yang mengatasnamakan agama. Ada cara yang lebih pantas untuk fundraising. Kalau akuntabilitas terjaga, jamaah dan donatur akan percaya untuk menitipkan ZIS-nya, bahkan dalam jumlah besar. Alangkah baiknya masjid berfokus pada membangun jamaah, jika jamaahnya tumbuh InsyaAllah masjidnya akan membesar dengan sendirinya sambil jalan.

Kiamat tidak akan terjadi hingga manusia bermegah-megahan dalam membangun masjid,” (HR Abu Dawud).

Lalu, sorry to say, konsesi tambang untuk ormas keagaamaan adalah bentuk besar dari ini.

Mohon maaf atas salah-salah kata.
Salam,
Chandra

Biaya Kuliah di ITB: UKT yang Tak Lagi Tunggal

Karena ramainya pembahasan dan komplain seputar biaya kuliah dan UKT PTN, saya coba untuk eksplor berapa angka pastinya supaya lebih obyektif kalau berpendapat. Saya coba cari informasi biaya kuliah di ITB karena itu yang saya paling kenal dan tahu dimana harus mencari infonya. Kesimpulan awal yang saya dapat adalah tidak seperti satu dekade lalu dimana UKT adalah satu-satunya biaya yang harus dibayar, sesuai namanya Uang Kuliah Tunggal, kini di ITB ada komponen atau kategori biaya lain seperti UKT IUP, Iuran Pengembangan Institusi (IPI) SM, dan IPI IUP. Sepertinya ini yang membuat biaya kuliah tampak semakin tinggi. 

Sebenarnya tidak semua mahasiswa membayar semua komponen biaya di atas. Saya coba buat matriks untuk menggambarkan siapa membayar apa. 


Saya mulai dengan UKT Reguler yang akan dibayarkan mayoritas mahasiswa. Berikut adalah besaran UKT Reguler berdasarkan fakultas/sekolah di ITB tahun 2024



Sayangnya saya belum menemukan detail per masing-masing golongan UKT untuk tahun ini. Saya hanya menemukan informasi tahun 2023 dimana untuk golongan 1 Rp0, golongan 2 Rp1.000.000, golongan 3 RP5.000.000, golongan 4 Rp8.750.000, dan golongan 5 Rp12.500.000. Saya pikir penggolongan tahun ini tidak akan banyak berbeda dengan tahun lalu, terutama untuk FMIPA dan kampus Cirebon yang batas atasnya sama. Hanya saja UKT golongan 1 secara aturan di tahun ini menjadi Rp500.000. Sebagai catatan, SBM akan punya UKT yang sama dengan mayoritas, berbeda dengan sebelumnya yang dua kali lipat dari lainnya. UKT Reguler ini dibayarkan per semester.

Kalau dilihat dari tabel di atas, selain FMIPA nilai UKT ITB merata untuk semua program studi. Sehingga variabel biaya kuliah tidak jadi pertimbangan ketika memilih fakultas dan jurusan. Mahasiswa bisa memilih fakultas berdasarkan minat dan bakat yang dimiliki, karena biayanya sama besar. Nilai untuk masing-masing golongan juga relatif terdistribusi dengan spacing yang merata dan tidak banyak berubah dari jaman saya dulu (dulu golongan 3 Rp4.000.000, golongan 4 Rp8.000.000, dan golongan 5 Ro10.000.000). Kemarin saya lihat di tempat lain ada yang golongan 3-nya di atas 10 juta, jauh sekali lompatannya dari golongan 2.

Itu tadi sisi baiknya, tapi di sisi yang lain proses dan kriteria penggolongan UKT ini masih sulit untuk kita ketahui. Apakah universitas bisa menilai secara akurat prosperity masing-masing keluarga mahasiswa? Jika tidak, maka sangat mungkin ada mahasiswa yang mendapat UKT lebih besar dari kesanggupannya. Lalu setelah itu seberapa mudah untuk melakukan advokasi guna meminta golongan UKT yang lebih rendah. Undang-undang hanya mengatur bahwa UKT golongan 1 dan 2 diterima oleh minimal 20% mahasiswa, sedangkan untuk golongan 3, 4, 5 agak susah dipegang.

Selanjutnya untuk kelas internasional (IUP) UKT yang ditetapkan adalah 30 juta per semester merata untuk seluruh mahasiswa IUP di seluruh program studi. Oh ya, semua info biaya yang saya kutip di sini adalah untuk program sarjana. Program magister dan doktoral punya biaya yang berbeda. Saya pikir biaya S2 S3 tidak terlalu urgen dibahas karena masih bisa diterima kalau magister dan doktoral dikatakan 'tersier' atau tidak semua orang harus ambil, tapi kalau tingkat sarjana mestinya negara mau berkontribusi lebih.

Selanjutnya ada Iuran Pengembangan Institusi (IPI), untuk mahasiswa reguler yang masuk melalui SNBP dan SNBT sesuai matriks di atas tidak perlu membayar, namun mahasiswa yang masuk lewat Seleksi Mandiri harus membayar dengan jumlah berikut

  • Semester 1: 25 juta 
  • Semester 2: 25 juta
  • Semester 3: 12.5 juta
  • Semester 4: 12.5 juta
  • Semester 5: 12.5 juta
  • Semester 6: 12.5 juta
  • Semester 7: 12.5 juta
  • Semester 8: 12.5 juta
*Ini simplifikasi, beberapa fakultas punya ketentuan IPI semester 1 dan 2 sebesar 27 juta lalu berikutnya 14 juta. Untuk mendapatkan info paling akurat silakan meluncur ke website Admission ITB langsung.

IPI ini dibayarkan tiap semester on top of UKT yang telah ditetapkan. Yes, ini mahal, 37.5 juta di dua semester pertama lalu 25 juta per semester hingga lulus bukan untuk semua kalangan. Sementara itu untuk mahasiswa IUP, IPI dibayarkan satu kali di depan saat daftar ulang sebesar 35 juta. Selanjutnya mahasiswa IUP membayar 30 juta UKT tiap semesternya, tidak ditambah dengan IPI.

Jadi kalau diresume, uang kuliah yang harus dibayarkan mahasiswa baru ITB adalah sebagai berikut:
  • Untuk mahasiswa reguler jalur SNBP dan SNBT, membayar UKT dengan range 500 ribu - 14.5 juta per semester, tidak ada uang pangkal, tidak ada IPI.
  • Untuk mahasiswa reguler jalur Seleksi Mandiri, membayar UKT dengan range 500 ribu - 14.5 juta per semester, plus membayar IPI tiap semester (25 juta di semester 1 dan 2, lalu 12.5 juta di semester-semester berikutnya). Tidak ada subsidi untuk mahasiswa jalur SM.
  • Untuk mahasiswa kelas internasional (IUP), membayar IPI saat daftar ulang sebesar 35 juta, lalu tiap semesternya membayar UKT sebesar 30 juta.
  • Mahasiswa reguler (SNBP, SNBT, dan SM) eligible untuk KIP-K, namun ITB akan melakukan verifikasi data sesuai aturan yang berlaku.

Kalau saya lihat skema baru ini tidak serta merta menghilangkan jatah kursi calon mahasiswa yang masuk berbekal kompetensi (SNBP dan SNBT). Hanya saja karena adanya komponen biaya lain di luar UKT maka average dan median biaya kuliah secara keseluruhan akan terkerek naik. Karena biaya kuliah ini adalah isu skala nasional maka naiknya average dan median ini efeknya besar. Tidak heran jika muncul protes dimana-mana. Apalagi secara terang-terangan pemerintah malah mengeluarkan banyak sekali uang untuk membangun ibukota baru. Padahal para mahasiswa ini adalah investasi, nantinya setelah lulus mereka akan mengembalikan pada negara dalam bentuk pajak. 

Lebih jauh saya melihat isu lain yang muncul dengan adanya skema baru ini. Dulu di jaman saya penerimaan mahasiswa hanya ada 2 jalur: SNMPTN dan SBMPTN. Sebenarnya dua jalur ini bisa dianggap satu, karena setelah masuk sama sekali tidak ada yang berbeda, perbedaan hanya teknis seleksinya saja. Kalau mau masuk ITB pipeline-nya hanya itu, tidak ada opsi lain.

Sementara sekarang ada opsi SM dan terutama kelas internasional yang masuknya lebih mudah tapi bayarnya lebih mahal. Dari POV orang tua calon mahasiswa, pasti ada keinginan untuk menyekolahkan anaknya secara proper, atau ingin memfasilitasi anaknya sebaik mungkin untuk masuk ke kampus idamannya. Ini tidak jadi masalah jika memang punya komitmen dan mampu untuk memenuhi segala kewajiban utamanya pembayaran. Sayangnya ada yang memanfaatkan ini dengan yang penting masuk dulu, bayarnya dipikir kemudian. Efeknya semua pihak jadi mendapat kesulitan dan serba salah. Bayar lebih untuk dapat jalur yang lebih mudah kadang works, masalahnya dalam konteks kuliah ini bukan sekali bayar, tapi setidaknya 8 kali dalam jangka waktu 4 tahun ke depan. 

Jadi kesimpulannya keresahan soal biaya kuliah yang muncul di media sosial adalah valid. Walaupun ada beberapa cuitan yang mengunggah bukti transfer ratusan juta tanpa penjelasan apa yang dibayar. Uang pangkal? UKT kelas internasional? IPI yang dibayar sekaligus di depan? atau apa. Alangkah baiknya kalau mau mengkritisi secara obyektif mesti menjelaskan detailnya, misal dengan mengunggah informasi UKT beserta prodi/fakultas dan golongan yang didapat. Dari situ advokasi bisa dilakukan dengan benar dan efektif.

Utamanya yang perlu kita advokasi dan perbesar suaranya adalah golongan menengah mayoritas yang tidak punya kuasa untuk menentukan masuk UKT golongan berapa. Jangan sampai pendidikan tinggi jadi pay to win. Apalagi yang harus disiapkan bukan hanya biaya kuliah, ada biaya hidup dan tempat tinggal juga terutama bagi mahasiswa perantau. Sungguh kalau ada saya ingin lihat data persebaran kota/kabupaten asal mahasiswa ITB dari tahun ke tahun, I want to see something.


Thanks,

Chandra




Streisand Effect

Komunitas fans KPOP pendukung ABW patungan untuk menyewa videotron di Grand Metropolitan Mall Bekasi selama seminggu untuk menayangkan video support ke Pak Anies sebagai capres. Tapi baru sejam video itu tayang, tayangannya di-take down dengan alasan yang menurut penyewa 'di luar kuasa kami'.


Andaikata video itu tetap tayang, mungkin yang melihat hanya orang yang lewat sana seminggu ke depan. Ratusan ribu, sejuta mungkin. Saya dan banyak orang yang tidak ada kepentingan ke sana mungkin nggak akan ngeh soal videotron itu. Tapi karena berita penurunan sepihak ini viral di sosial media, kini yang tahu sampai berjuta-juta. Apalagi kabar tentang ini sudah sampai di media mainstream.

Ini mungkin salah satu contoh akurat dari Streisand Effect. An effort to conceal or surpress something draws attention to it. Orang kalau makin dilarang makin penasaran. Penasaran bukan hanya untuk tahu tapi juga untuk menyebarkan. Ini jadi bumerang untuk siapapun yang meminta penurunan video di Bekasi itu. 

Mengasumsikan penayangan videotron ini berdasarkan kontrak, bisa jadi pengelola harus mengembalikan seluruh atau sebagian besar uang sewa yang telah dibayarkan. Dari sisi penyewa, sudah uangnya kembali, dapat exposure jauuuh lebih besar pula. Unreal business LOL.

Mari sedikit berspekulasi, seminimal-minimalnya video itu diturunkan karena si yang punya mall tidak mau diasosiasikan dengan capres manapun (or capres tertentu, beda makna). Videotron jamak dikelola pihak ke-3, jadi bos besar pemilik mall mungkin tidak tahu sebelumnya. Dugaan yang lebih mengkhawatirkan adalah jika ini karena tekanan tokoh, ormas, atau parpol yang berafiliasi dengan calon lain. Kalau penekan ini nanti jadi kubu yang menang, apa kabar kebebasan berpendapat?

After all penurunan video sudah terjadi dan kita tahu malah membuat konten dukungannya semakin viral. Ini satu twist lagi menjelang pilpres yang membuat situasinya tambah menarik. Saya sudah menulis sebelumnya bahwa saya pendukung 01. Memang sih belum tentu menang, tapi jangan sampai kalah tanpa perlawanan. Dan perlawanan yang diisi ide-ide kreatif, aksi kolektif, terkonsep, dan efisien seperti ini seru untuk disaksikan. Jadi kampanye bukan hanya knalpot blombongan, joget-joget, dan buzzer.

Thanks,
Chandra



Kabar Baik


Meskipun brandnya identik dengan kapitalisme barat, setidaknya McDonalds yang ada di Indonesia adalah franchise fastfood yang punya standar mushola paling tinggi dan konsisten menurut saya. Kalau sedang dalam perjalanan dan ingin salat namun tidak ketemu masjid, saya lebih memilih mampir di gerai McD daripada SPBU sekalipun. Bahkan kalaupun saya belum pernah singgah ke gerai McD yang itu, saya bisa cukup yakin bahwa musholanya layak.

Sementara itu franchise lain belum sereliable itu. Saya nggak sebegitu yakin untuk berhenti di KFC misalnya, karena ada yang musholanya bagus, ada yang seadanya, dan ada yang tidak menyediakan sama sekali. Ini berlaku untuk gerai-gerai dari brand lokal maupun luar lainnya. Masih ada restoran atau warung makan yang menganggap mushola setara dengan toilet, hanya pelengkap, bukan fasilitas untuk pelanggan melakukan ibadah sakral.

Kabar baiknya, saya rasa kita sedang menuju ke arah yang benar. Semakin banyak owner bisnis yang sadar bahwa sebagian besar target pasarnya melaksanakan salat, dan dengan memberikan fasilitas ibadah yang layak kemungkinan semakin banyak orang datang dan yang datang akan singgah dalam waktu yang lebih lama. Dengan naiknya volume order online/delivery, dua tiga table dapat dihilangkan dan diconvert jadi mushola. Apalagi menjelang musim buka puasa nanti, keberadaan tempat untuk salat maghrib jadi pertimbangan banyak orang untuk memutuskan mau berbuka dimana.

Dalam ukuran yang lebih besar, setidaknya di Jakarta, kini mall-mall juga meremajakan tempat salatnya. Bahkan beberapa ada yang membuat masjid. Mall-mall yang relatif baru telah dibangun dengan memasukkan mushola sebagai bagian desain direktori/arsitekturnya, tidak lagi asal taruh ruangan kotak di parkiran dan memisahkan mushola pria wanita di lantai yang berbeda. Coba ke PIM 3, Blok M Plaza, Mall of Indonesia, atau Senayan City, di sana mushola diperlakukan sama bersih dan baiknya dengan area komersil yang menghasilkan revenue untuk pengelola. Kalau Blok M Square jangan ditanya, masjid di rooftopnya mungkin punya agenda lebih padat daripada banyak masjid tapak di Jakarta, plus ada ka'bahnya pula.

(..brand new Sarinah left the chat..)

Beberapa tahun yang lalu saya baca buku Generation M karya Shelina Janmohamed. Disana dibahas contoh-contoh di berbagai penjuru dunia bahwa besarnya pasar anak muda muslim (dan peningkatan power ekonominya) telah membuat produsen menghadirkan produk yang ramah islam. Contohnya adalah munculnya bir dengan kandungan 0% alkohol. Meskipun di Indonesia (re: MUI) masih jadi polemik, tapi di luar negeri ini adalah salah satu keberhasilan kolektif pasar anak muda muslim. Bir punya image keren, anak muda muslim juga suka tampak keren namun tidak bisa minum alkohol, tapi yang seperti ini jumlahnya banyak, solusinya adalah 'bir' dibuat tanpa alkohol.

Opini pribadi saya soal ini, kalau saya baca-baca MUI belum mengeluarkan sertifikat halal untuk bir 0%, salah satu alasannya karena namanya masih 'bir'. Tapi saya pikir ini karena tujuan kemaslahatan sosial saja, karena bagaimana dengan bir pletok yang dideclare halal, atau bakmi bakpao bakcang yang mengandung 'bak'.

Masih banyak contoh serupa mengenai perubahan komoditas yang disebabkan naiknya pasar muslim baik secara kuantitas maupun kualitas. Saya tahu dari istri saya bahwa sekarang banyak busana muslim seperti gamis dan jilbab yang harganya mencapai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Jilbab naik kelas dari pakaian untuk menutup aurat menjadi sebuah mode fashion. Bank-bank dan jasa keuangan semakin banyak yang membuka segmen syariah sebagai upaya menarik lebih banyak nasabah muslim. Banyak lagi, you name it, kadang perubahannya gradual jadi nggak terlalu kelihatan tapi tetap bisa dirasakan.

Di saat bersamaan muncul banyak influencer yang secara langsung maupun tidak langsung mempromosikan gaya hidup ala islam. Ustadz yang mengajari ilmu agama tetap perlu as always. Tapi kini kita punya banyak sosok yang menjalani hidup dengan aktivitas yang beragam sambil tetap menunjukkan nilai islam secara keren dan berkelas. Halal is the new cool.

Perubahan-perubahan ini menaikkan kehormatan dan bargaining power komunitas Islam. Jika momentum ini dijaga semoga ke depan kita ada di posisi yang lebih baik lagi. Tujuannya bukan untuk mengintimidasi atau mengalahkan yang lain, tapi untuk membawa perubahan positif bagi dunia. Faktanya sekarang banyak orang barat mulai mempopulerkan zero alcohol lifestyle karena membuat mereka jadi lebih sehat dan lebih baik dalam bekerja. Halal lifestyle sejatinya memang bukan untuk orang islam saja, melainkan untuk seluruh manusia.

Semoga ramadhan kali ini membawa banyak keberkahan dan menjadikan kita jadi manusia yang lebih baik. Selamat menunaikan ibadah puasa. Mari berbahagia menyambut datangnya Bulan Ramadhan. Barakallah.


Chandra
saya tulis ini di pinggir jalan depan masjid pagi-pagi, saya perhatikan masjid ternyata banyak yang mampir salat dhuha.

gambar dari website Blok M Square

WFH, WFO, atau Keduanya?



Sama seperti tulisan saya sebelumnya mengenai layoff, saya mau menulis tentang topik WFH-WFO karena pernah mengalami keduanya, termasuk versi hybrid-nya. Orang yang seangkatan dengan saya rata-rata mulai bekerja sejak sebelum pandemi, dimana kalau bekerja ya ke kantor. Mindsetnya yang namanya karyawan itu mau baru masuk sampai direktur sekalipun aktivitasnya dilakukan di office, pagi berangkat sore pulang. Dulu tidak terpikir bekerja dari rumah itu memungkinkan, kecuali buka usaha sendiri.

Saat pandemi datang, seperti banyak yang lainnya saya juga bekerja dari rumah. Kantor kerepotan waktu awal-awal harus beralih dari cara kerja konvensional ke sistem remote. Tapi dua tiga bulan berlalu lama-lama terbiasa juga. Bahkan karena pandemi awalnya diperkirakan hanya sebentar tapi ternyata jadi tahunan, banyak yang baru kembali bekerja di kantor pada 2022. Menyadari bahwa WFH ada manfaatnya juga, sebagian perusahaan mempertahankannya dan menerapkan metode hybrid atau campuran WFO dan WFH.

Work From Home punya banyak benefit, bahkan term 'WFH' atau 'remote' itu sendiri menjadi sebuah benefit yang ditawarkan beberapa perusahaan dengan harapan bisa menarik talent berkualitas yang ingin bekerja dengan fleksibel, atau nampani pindahan orang dari perusahaan yang memutuskan return to office. Iming-iming bisa WFH ini sangat seksi apalagi di Jakarta dimana commuting adalah sesuatu yang menjadi momok karena macet, polusi, dan transportasi massal yang belum merata dan kurang armada. 

Argumen bahwa WFH membuat karyawan bisa bekerja lebih panjang karena waktu 1-2 jam (2-4 jam PP) yang digunakan untuk commute bisa diconvert menjadi waktu kerja efektif adalah argumen yang valid. Ketika di kantor, jam 5 sudah tenggo tutup laptop lalu jalan pulang, unreachable sampai jam 7 ketika sampai di rumah. Itupun masih bebersih dan lain sebagainya dan baru rampungan jam 8 malam. Sementara kalau dari tadi di rumah ada meeting sore yang bablas lewat jam 5 pun nggak masalah, batasannya paling adzan maghrib. 

WFH memberikan fleksibilitas pada karyawan untuk memenuhi kebutuhan lain di luar pekerjaan. Bisa nyicil kerja dulu dari pagi supaya nanti jam 10 bisa ditinggal untuk perpanjang SIM, atau di sela-sela bekerja bisa sambil membetulkan alat elektronik dan bebersih rumah. Kalau sedang kurang sehat, WFH jauh lebih nyaman untuk tetap bisa bekerja daripada harus berangkat ke kantor. Semakin panjang kebijakan WFH ini diterapkan, karyawan semakin lanyah dan terbiasa untuk memaksimalkan benefit ini hingga inginnya status quo. 

Sebenarnya dari sisi perusahaan pun sadar bahwa menyuruh karyawan return to office pasti butuh effort, minimal pasti ada resistensi. Tapi ini cara pragmatis yang bisa ditempuh dengan ekspektasi produktivitas akan meningkat karena keryawan tidak lagi bisa nyambi-nyambi. Terkini, GOTO yang dianggap sebagai salah satu kiblat start-up digital di Indonesia ramai karena mengadakan townhall untuk meminta karyawan kembali WFO 4 kali seminggu. Katanya alasannya ingin memastikan bahwa para karyawan benar-benar bekerja.

Saya tidak bisa berkomentar banyak tentang GOTO karena saya tidak tahu seperti apa dapur mereka. Faktanya di tempat kerja saya pun beda departemen bisa beda arragement kerja karena sifat pekerjaannya yang berbeda. Nah GOTO ini sudah perusahaan lain, di bidang industri yang berbeda, punya stature yang berbeda pula, siapa saya untuk berpendapat. 

Tapi meanwhile WFH banyak baiknya, menurut saya WFO tetap diperlukan. Lagi pula bukankah di kontrak kerja biasanya diatur waktu dan lokasi kerja ya, yang mana lokasinya di kantor. Dengan ini perusahaan punya dasar untuk meng-enforce WFO. Menurut saya karyawan tidak sepatutnya menolak mentah-mentah, apalagi jika ada di perjanjian kerja. Kalau punya argumen kuat kenapa WFH itu baik dan tidak mengurangi produktivitas, bisa dirundingkan dan dicari titik tengah antara WFH dan WFO, biasanya jadi hybrid.

Secara teknis pun pertemuan tatap muka di kantor ada positifnya. Brainstorming dengan ngeriung di depan papan tulis sering kali lebih efektif daripada call meeting jarak jauh. Hasilnya bisa sama-sama bagus, tapi papan tulis menang cepat. Setelah idenya dapat lalu mengerjakan bagian masing-masing, nah ini masuk akal untuk dikerjakan anywhere senyamannya. Lalu untuk peran yang mengharuskan berkoordinasi dengan banyak orang, WFO lebih praktis. Ketika butuh orang lain bisa langsung datangi mejanya dan tepuk pundaknya lalu tanya kapan bisa quick talk, tidak perlu nunggu status di Teams available.

And then this is the killer, bekerja di kantor memudahkan untuk kenal lebih banyak coworker, terutama dari tim atau divisi lain. Masalah kenal ini sering diabaikan padahal penting. Sesoliter-soliternya sebuah peran di pekerjaan pasti masih bersinggungan dengan orang lain. Manusia bukan mesin, kita punya fitur yang namanya simpati. Makanya banyak kantor mengadakan kegiatan outbond atau semacamnya, untuk membuat anggotanya saling kenal. Kalau sudah kenal lalu muncul simpati, lebih enak untuk komunikasi dan kerja sama. 

Kalau sudah kenal, ketika nanti ketemu di meeting tidak gampang terjebak debat kusir membela kepentingan masing-masing. Kepala relatif lebih dingin kalau merasa ngobrol dengan teman instead of stranger. Ketika belum kenal kalau ada perlu dikit-dikit email dengan bahasa formal, kalau lama belum dibalas nge-remindnya pakai email lagi. Sedangkan ketika sudah akrab, chat di aplikasi kantor atau whatsapp pun jadi. 

Yang kerjaannya berkaitan dengan sering minta approval atau tanda tangan, pasti setuju kalau sudah kenal lebih gampang urusannya. Saya tidak bilang bahwa lingkungan pekerjaan harus dekat seperti keluarga, saya juga tidak setuju dengan konsep itu. Tapi percayalah tatap muka dan simpati bisa membawa perbedaan. Dasarnya orang senang punya teman (yang baik).

Tempat kerja saya sendiri sampai saat ini alhamdulillah masih menerapkan mode hybrid. Untuk departemen IT dua kali seminggu masuk kantor dengan hari yang dipilih sendiri dan bisa ganti hari tiap pekannya. So far saya lihat mood sebagian besar karyawan positif. Kami-kami tidak kehilangan fleksibilitas WFH, di saat yang sama koordinasi mudah dilakukan yang pada akhirnya juga meningkatkan kebahagiaan karena bisa meminimalisir kesalahpahaman dan hambatan dalam menyelesaikan pekerjaan. 

Makanya kalau ditanya preferensi pribadi, yang paling baik menurut saya adalah hybrid. Dengan begitu sisi positif dari masing-masing arrangement dapat diraih. Kita juga mesti sadar bahwa punya pilihan untuk memilih WFH atau WFO sendiri sudah sebuah privilege. Tidak semua profesi memberikan keleluasaan ini. Lebih jauh lagi, masih dapat bekerja adalah hal yang sudah selayaknya kita syukuri.


Regards,
Chandra

Layoff

Layoff, atau dalam bahasa yang lain PHK, adalah satu topik yang agak kurang enak untuk dibicarakan karena ada yang berposisi sebagai korban di sana. Tapi meskipun sulit, sebagai orang yang pernah mengalaminya saya juga punya uneg-uneg tentang itu. Saya pernah kena layoff di perusahaan tempat saya bekerja profesional pertama kali. Sebenarnya masih ada hak saya yang belum diberikan oleh ex-perusahaan, tapi agak sulit untuk ditagih karena suatu hal, nanti saya jelaskan.

Banyak artikel sudah membahas kenapa sebuah perusahaan melakukan layoff atau PHK. Faktornya ada yang dari internal maupun eksternal. Faktor internal misalnya mismanagement, kegagalan membaca pasar, overhiring-overpay, dan fraud. Lalu dari eksternal ada kondisi ekonomi global/makro yang memburuk, persaingan, intervensi investor, dan force majeur seperti pandemi. Karena sudah banyak detail tentang itu di berbagai media, saya ingin berpendapat dari sudut pandang karyawan.

Undang-undang ketenagakerjaan memberikan beberapa hak dan kuasa karyawan di hadapan perusahaan tempatnya bekerja. Tapi dalam hal PHK, agak susah bagi karyawan untuk bicara. Jika kondisi keuangan perusahaan tidak sehat, salah satu jalan yang bisa dilakukan perusahaan adalah PHK, dan sulit bagi karyawan dan serikatnya untuk mem-veto itu. Saya bisa tulis begini karena pernah mengalaminya sendiri beberapa tahun yang lalu. Perusahaan tutup dan semua karyawan dirumahkan, apa yang bisa kami lakukan?

UU memberikan aturan main tentang PHK termasuk kompensasi apa yang berhak didapat oleh karyawan. Secara teori ini bisa sedikit meningkatkan power karyawan yang berisiko terkena PHK. Tapi tingkat ketaatan perusahaan pada aturan yang ada juga berbeda-beda. Di sisi lain, banyak karyawan yang belum/kurang melek peraturan (atau malah tidak peduli) sehingga tidak bisa mengingatkan. Ada juga yang sudah tahu tapi tidak mau atau tidak bisa menuntut perusahaan untuk menjalankannya.

Balik lagi saya mau lebih banyak bicara dari POV karyawan bukan perusahaan. Ada tiga golongan karyawan dalam hal menyikapi peraturan ketenagakerjaan: yang tahu haknya dan menuntut untuk dipenuhi, yang tahu haknya tapi tidak bisa/mau menuntut, dan yang tidak tahu haknya sehingga tidak tahu mau menuntut apa dan bagaimana. 

Golongan karyawan yang paling berdaya adalah yang pertama, dimana meraka paham aturan yang berlaku dan hak-hak yang selayaknya mereka terima. Lalu mereka secara tegas meminta perusahaan memenuhi itu dan kalau tidak mereka melakukan langkah-langkah yang diperlukan. Individu bisa melakukan ini, ada beberapa ceritanya, tapi untuk sampai di level pemahaman dan keberanian seperti ini bisanya dilakukan oleh serikat pekerja yang kuat. 

Golongan kedua ini sebenarnya cukup enlighten, tapi ada alasan yang membuat mereka tidak bisa menuntut haknya. Alasan paling banyak mungkin karena kurangnya power, individu bisa merasa sangat inferior di hadapan korporat besar. Untuk kasus saya dulu, sebenarnya kalau power sih ada, tapi lebih dominan ketidakenakan disana. Perusahaan tempat saya dulu bekerja adalah perusahaan keluarga, nyaris semua karyawannya direkrut berdasarkan hubungan keluarga atau pertemanan, dan banyak yang kerja disana bertahun-tahun. Setelah kantor tutup pun banyak yang masih keep in touch. Meskipun beberapa kali sempat memanas lagi isunya, tapi pada akhirnya lebih ke yawislah, bilangnya "tunggu aja deh ntar kapan tahun tiba-tiba ada transferan masuk". 

Golongan ketiga biasanya didominasi oleh angkatan yang baru mulai bekerja alias freshgrad. Baru selesai kuliah atau sekolah, dihantam kenyataan masuk ke dunia kerja yang tuntutannya tinggi. Menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan mengerjakan pekerjaan basic saja sering sudah keponthal-ponthal, mana sempat mempelajari undang-undang ketenagakerjaan. Sebenarnya golongan ini kasihan dan perlu dibantu, hanya saja kadang yang duluan nyemplung sebal duluan dengan angkatan baru ini karena ulah beberapa oknum tengil oversharing "one day of my life at". Lagi-lagi, nulis karena been there doing that.

Ini gejala Swiss Cheese Model ya, dimana suatu hal yang tidak diinginkan terjadi karena bertemunya multiple factors di waktu yang bersamaan. Sebenarnya mau karyawannya golongan pertama, kedua, ketiga, kalau perusahaannya comply dengan peraturan yang ada seharusnya tidak masalah. Karyawan muda lugu polos sekalipun kalau masuk di perusahaan yang manajemennya matang dan teratur relatif tetap aman dan bisa berkembang. Tapi kalau di perusahaan yang masih belum bener sana sini, mesti waspada. 

Ingat, perusahaan 'tidak baik' belum tentu karena orang-orangnya punya niat jahat, bisa saja memang baru tumbuh. Membentuk budaya dan manajemen yang kuat butuh waktu. Sebagai karyawan kita harus prepare untuk menghadapi itu karena kita tidak selalu bisa memilih untuk bekerja dimana. 

Karyawan juga harus belajar, kalau di pekerjaannya sulit untuk berserikat, minimal mau meluangkan waktu untuk membaca peraturan perusahaan. Perusahaan yang baik punya peraturan perusahaan yang sudah sesuai aturan pemerintah. Kalaupun itu belum ada juga, baca baik-baik dokumen kontrak kerja. Kalau itu juga tidak ada, berarti itu kerja kelompok bukan bekerja. Mau seegaliter apapun tempat kerjanya, perjanjian hitam di atas putih harus ada.

Hubungan pengusaha - karyawan pasti beda-beda di tiap perusahaan. Tapi keduanya punya bagiannya masing-masing dalam memajukan perusahaan, semoga itu dapat dijalankan dengan baik. Saya percaya bahwa ketika pengusaha dan karyawan sama-sama happy pekerjaan akan dapat dijalankan dengan lebih baik.

Apa yang saya tulis disini berdasarkan pengalaman pribadi, jadi mohon maaf kalau ada yang kurang sesuai. Kita bekerja niatnya kan baik ya, semoga dimudahkan dan dilancarkan dalam prosesnya. Aamiin

Rerards,
Chandra






Kenapa HP Sekarang Mahal-Mahal


sumber gambar: Kumparan



Phone prices are getting ridiculous.

Langsung ke pokok keresahan saya ya. Sejak banyaknya layanan pembelian handphone secara kredit, harga handphone jadi tidak masuk akal. Tahun 2018 seorang teman beli Samsung S8 yang mana flagship pada waktu itu seharga 8 jutaan, tahun ini Samsung mengeluarkan S23 di harga 13 juta. Untuk sama-sama versi basicnya, naiknya sekitar 50%.

Okelah kita bisa justifikasi kenaikan itu dengan mengingat bahwa 2018 itu sudah 5 tahun yang lalu, ada faktor inflasi dan perkembangan teknologi. Tapi kalau kita bandingkan versi termahalnya, S8+ atau Note waktu itu mungkin paling mahal 10-11 juta. Sekarang varian tertinggi S23 Ultra 12GB/1TB dibanderol 26 juta. Seharga Vario 150cc, tambahin dikit dapat Nmax.

Harga handphone untuk kelas midrange kenaikannya masih wajar. HP entry level baru terus bermunculan untuk mengisi slot harga bawah. Tapi kini pabrikan berani mengeluarkan spek super yang belum tentu diperlukan kebanyakan orang dengan harga sangat tinggi. Para reviewer gadget pun mengatakan bahwa fitur kamera di seri Pro Max-nya Iphone overkill untuk digunakan average user, karena levelnya sudah pro photographer. 

Saya tidak bilang bahwa semua yang beli Iphone seri Pro Max atau Samsung seru Ultra belinya dengan cara kredit. Tapi harus diakui bahwa banyaknya peluang sistem kredit ini memperbesar pasar handphone flagship secara signifikan. Cukup signifikan sehingga pabrikan merasa segmen ini profitable untuk digarap. Kalau yang memang mampu dan belinya cash mah monggo saja, konsumsi tinggi baik untuk pertumbuhan ekonomi.

Yang saya kritisi adalah sistem kreditnya, bukan produsen handphone maupun pembeli/penggunanya. Handphone mahal ini bagus bagus, not gonna lie, saya juga minat. Sementara pengguna hanya memanfaatkan sistem yang ada. Tapi soal kredit-kredit ini tampaknya masih kurang aturan. Saudara saya ada yang jadi 'korban' pinjol kredit HP. Tidak perlu keluar uang, HP sudah dikirim ke rumah. Katanya prosedurnya sangat mudah dan cepat. Tapi ketika cicilan macet ditagihnya ke keluarga atau teman.

Sistem kredit bukan satu-satunya penyebab harga handphone inflated ini. Publikasi dan media sosial juga punya peran. Tapi kalau beli handphone bisanya cash, walaupun tahu dan kepengen, masih ada barrier berupa harga kalau ingin mendapatkannya. Dengan adanya sistem kredit (setau saya bisa sampai 12 bulan), barrier itu jadi rendah atau bahkan tidak ada. Ibarat reaksi kimia yang butuh energi aktivasi tinggi untuk bereaksi, katalis ditambahkan untuk menurunkannya sehingga reaksi bisa/cepat terjadi. Sistem kredit ini adalah katalis bisnis gawai.

Meskipun menunjang perkembangan bisnis dan teknologi gadget, menurut saya regulasi sistem ini perlu diperketat. Sama dengan soal sistem pembayaran COD di marketplace, memang dia memudahkan pembeli yang belum punya atau susah mengakses rekening. Tapi dengan kenyataan banyaknya order fiktif dan kurir yang kena masalah di lapangan, seharusnya bisa ditinjau ulang. Yah tapi tidak semudah itu, pasarnya gede.

Semoga kita dimudahkan untuk membeli handphone dan barang-barang lain secara cash ya. Kalau memang jodoh sama Galaxy Z Fold 5 ya pasti Allah punya jalannya. Aamiin aamiin.

Chandra

Founders



Elizabeth Holmes selalu tampil dengan pakaian polos gelap mengikuti idolanya, Steve Jobs. Model bajunya turtleneck mungkin untuk menutupi lipatan di lehernya ketika ia memperdalam suaranya setiap tampil di depan media. Holmes mengaku menemukan sebuah alat yang mampu melakukan ratusan jenis tes darah hanya dengan mengambil beberapa tetes sampel dari ujung jari. Alat ini dinamai Theranos, ia berhasil menggaet investor-investor besar, namun sebenarnya produk gagal.

Trevor Milton berusaha menandingi Tesla di bidang industri kendaraan elektrik dengan meluncurkan brand-nya sendiri: Nikola. Dengan bangga ia mempresentasikan produk andalannya, Nikola One, sebuah truk elektrik. Perusahaannya juga merilis sebuah video 'Nikola One in motion' yang memperlihatkan truk itu berjalan di atas aspal. Sampai akhirnya ada whistleblower yang membocorkan bahwa truk itu tak pernah berfungsi, ia bisa berjalan karena diluncurkan dari atas bukit. Bahkan dalam acara launchingnya, truk ini harus dicolok ke power supply agar lampunya dapat menyala. 

Billy McFarland dan Ja Rule bermimpi menyelenggarakan festival musik fenomenal di Bahamas. Dia mengundang model dunia untuk mempromosikan betapa indah pantai disana dan betapa eksklusifnya event yang diberi nama Fyre Festival ini. Selebriti kelas dunia dibayar untuk memposting kotak warna oranye terang sebagai promosinya. Namun pembeli tiket tiba disana hanya untuk menyaksikan villa yang dijanjikan diganti tenda layaknya pengungsian, musisi-musisi batal hadir, akomodasi berantakan, panitia lokal tak dibayar. Pada akhirnya festival ini bukan hanya gagal, tapi juga berbahaya. 

Sam Bankman-Fried memimpin sebuah perusahaan cryptocurrency terbesar ketiga di dunia yang mengelola milayaran dollar dana investor. Beberapa waktu yang lalu FTX ambruk dan ketahuan betapa manajemennya dikelola secara awur-awuran. Bahkan FTX tidak punya data tepat berapa orang jumlah karyawan mereka maupun berapa banyak cash yang dimiliki perusahaan. Tidak ada dokumentasi, komunikasi via chat dan akan dihapus setelah jangka waktu tertentu. Di tengah kerugian yang dialami investor, SBF tertangkap kamera sedang jalan-jalan di Bahamas.

Adam Neumann dipuji-puji sebagai founder muda yang akan mencapai tingkat kesuksesan sangat tinggi. Dia adalah founder WeWork, sebuah start-up office sharing. Neumann yang ambisius ingin dengan cepat melebarkan jangkauan WeWork dengan menambah cabang-cabang baru tanpa punya business model yang profitable. IPO gagal total. Neumann juga dikabarkan punya kebiasaan yang tidak lazim seperti berjalan keliling kantor dengan bertelanjang kaki dan panuh keringat usai latihan tinju di jam kerja. What a guy. 

Saya mungkin terlalu banyak nonton documentary tentang cerita kejatuhan sebuah perusahaan yang didirikan oleh founder yang terlalu halu. Saya senang ketika mendengar orang punya ide dan gagasan untuk mencipta sesuatu. Tapi begitu ucapannya sudah terlalu ndakik-ndakik, ambisius, dan dhuwur, saya langsung skeptis. Apalagi kalau dia sudah berbicara tentang sesuatu yang baru akan dilakukannya namun seolah-olah itu sudah pasti berhasil dan akan mendatangkan fame & fortune

Beberapa tahun yang lalu waktu sedang banyak pendanaan startup yang ditawarkan oleh angel investor, rasanya profesi paling mulia di dunia ini adalah founder startup. Disruptive, innovative, solving people problem, helping people maximize its potential, etc. Startup bidang apapun dibuat ada tech-tech-nya. Masih ingat nggak waktu aplikasi Club House lagi booming lalu ada room yang title-nya kurang lebih 'kumpulan founder dan leader Indonesia'. Hadeeh. 

Saya bukannya anti wirausaha ya (eh apakah founder startup mau disebut wirauasaha). Tapi saya lebih percaya dengan bisnis riil konvensional. Saya sangat interest dengan cerita seorang teman yang buka workshop desain interior, melayani permintaan kreasi interior untuk rumah, kantor, rumah sakit, dll. Ada juga teman yang beli truk dan menggunakannya untuk mengangkut kayu bahan mebel, sudah mempekerjakan orang juga. Ada sepasang teman yang mendirikan sebuah wedding organizer dan terus eksis hingga sekarang. Bisnis-bisnis biasa tapi jelas profitnya. 

Tentu yang bisa halu dan delusional bukan cuma founder-founder muda. Ada Bernie Madoff dengan praktek Ponzi scheme terbesar sepanjang sejarah, atau bapak bapak serakah yang ada di belakang bangkrutnya perusahaan energi Enron. Tapi yang ambisius dan haus ingin disebut founder sukses, mepekerjakan banyak orang padahal dirinya sendiri belum pernah bekerja pada orang lain, lebih bikin gemes.

Masa Transisi

Alhamdulillah sebulan terakhir angka positif covid di Indonesia menunjukkan tren penurunan. Mungkin herd immunity mulai bekerja, baik yang terbentuk karena terpapar langsung atau oleh vaksinasi. Aturan aktivitas mulai dilonggarkan meski tetap dengan semboyan protokol kesehatan. Meski mengendur sepertinya situasi tidak akan kembali seperti semula masa pre-covid. Pertama karena covid kemungkinan tidak akan hilang, kedua masyarakat mulai terbiasa dengan prokes yang ringan-ringan seperti memakai masker dan cuci tangan.

Walaupun begitu, menurut saya tidak efisien juga kalau kita mempertahankan cara hidup seperti saat pandemi. Buat saya new normal yang ideal itu pakai masker hanya ketika berada di kerumunan, di jalan, atau situasi tertentu. Selain untuk menangkal covid juga menghindarkan diri dari penyakit lain dan polusi. Tapi rasanya pada satu titik seharusnya tidak ada lagi beban untuk tidak memakai masker ketika ke masjid, berkunjung ke rumah orang, bekerja, aktivitas outdoor, dan event-event yang menurut ahli resikonya ringan hingga sedang.

Poin prokes lain seperti kursi yang disilang-silang di tempat makan serta pembatasan kapasitas di tempat yang sebenarnya bersih juga perlahan perlu dikurangi. Obyek wisata dan tempat publik juga pada satu titik harusnya dibuka untuk umum tanpa batasan usia dan domisili. Selanjutnya penggunaan aplikasi yang agak kontroversial itu tidak lagi perlu dijadikan syarat masuk ke berbagai tempat.

Semua perubahan itu tidak mungkin dilakukan seketika. Perlu proses pelonggaran sedikit demi sedikit. Sekarang pun kita bisa merasakan proses itu berjalan. Pengambil kebijakan punya hak dan kewajiban untuk menentukan aturan-aturan bagi publik. Tapi di level pribadi dan keluarga kita perlu membuat keputusan seberapa kita bisa atau perlu melonggarkan diri?

Apakah saya sudah bisa ke warung tanpa masker? Apakah masih penting membawa sajadah sendiri kemana-mana? Apakah hand sanitizer masih diperlukan setiap saat? Apakah sudah aman untuk nonton film di bioskop? Apakah masih perlu melakukan rapid test mandiri secara rutin? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab sendiri. Inilah masa transisi yang sama rumitnya dengan pertanyaan "seberapa saya harus menjaga diri?" dan "apakah saya terlalu nekat atau terlalu parno?" yang sering muncul tahun lalu.

Masa seperti ini mirip dengan yang dialami masyarakat Bantul pasca gempa Jogja tahun 2006 silam. Sekedar cerita, bukan keluhan, sebagai epicentrum gempa tingkat kerusakan yang timbul di Bantul cukup besar. Kerusakan fisik paling besar disebabkan gempa utama pada tanggal 27 Mei pagi itu. Tapi hal yang membuat letih secara batin saat itu adalah gempa susulan yang terjadi hingga 2-3 bulan berikutnya. 

Keputusan kapan bisa kembali masuk rumah dan bisa tidur di dalamnya, kapan sekolah bisa membongkar tendanya dan mengembalikan kegiatan belajar di dalam ruang kelas, apakah sudah aman untuk masuk bangunan besar dan tinggi, kapan pedagang bisa pindah dari parkiran ke bangunan pasar, dan lain sebagainya adalah pertanyaan yang harus dijawab masing-masing orang.

Saya mengalami sendiri tinggal di pengungsian, lalu ketika dirasa sudah cukup aman bisa kembali ke rumah. Ketika di rumah pun tidak langsung masuk, tinggal dulu di tenda sampai hitungan minggu. Perlahan berani masuk rumah pada siang hari namun tidur malam masih di luar. Lama-lama bisa tidur di ruang tamu dengan pintu terbuka sebelum berangsur normal tidur di kamar meskipun beberapa kali lari karena gempa susulan tengah malam.

Di sekolah pun kami mengalami proses dari belajar di tenda, lalu pindah ke bangunan semi permanen dari bambu, sebelum pindah ke ruang kelas yang sebenarnya setelah selesai diperbaiki. Di masjid dalam suatu salat jumat ketika sedang khotbah tiba-tiba sebagian jamaah berhamburan keluar karena merasakan getaran. Pada saat itu berada di pinggir jalan lalu ada truk besar lewat saja sensasinya seperti ada gempa, saking parnonya.

Sekarang untuk kedua kalinya saya merasakan berada di masa transisi. Tahun 2006 yang saya lakukan menikmati saja prosesnya, serba yawis, toh saya masih SD tidak banyak yang bisa dilakukan. Melangkah ke new normal harus tapi kalau resiko terlalu besar mending jaga-jaga tetap aman. Sebulan lebih setelah gempa ketika orang-orang mulai berani masuk rumah saya masih hidup di tenda, simply karena waktu itu baru sunat dan saya tidak bisa lari kalau ada apa-apa.

Menikmati rasa takut sepertinya agak susah, tapi menikmati kewaspadaan harusnya bisa dilakukan.

Salam,

Chandra

Sponsor Rokok

Kalau suatu saat akrab sama orang barat atau malah tinggal di negeri barat, ada pertanyaan yang ingin sekali saya tanyakan ke mereka, kenapa mereka anti tembakau tapi pro alkohol?

Begini begini, hipotesis saya ini sangat mungkin salah karena referensi utama saya adalah balapan Formula 1. Sejak tahun 2006, FIA selaku panitia balapan Formula 1 melarang adanya iklan produk tembakau atau rokok dalam event olahraganya. Larangan ini tidak lepas dari dorongan dari WHO dan negara-negara tempat balapan dihelat. Sementara itu iklan produk-produk alkohol masih diijinkan sampai sekarang.

Saya coba mengesampingkan bias yang mungkin terjadi karena saya orang Indonesia dan muslim yang normalnya menganggap rokok masih mending daripada minumal beralkohol. Tapi meski begitu dalam benak saya tetap logisnya kalau tembakau dilarang seharusnya alkohol juga dilarang, atau sebaliknya dibolehkan dua-duanya saja.

Saya sebagai penonton tidak lantas pengen ngrokok hanya karena lihat iklan rokok. Apalagi di Indonesia iklan rokok ada di mana mana di seluruh sudut kota, sudah kebal. Lagipula sponsor-sponsor rokok di body mobil F1 punya nilai nostalgia dan membuat tampilan tampak lebih maskulin.


Karena larangan iklan rokok ini, Ferrari yang pada era Schumacher sangat identik dengan logo Marlboro-nya mengubahnya menjadi barcode yang katanya kalau dilihat sekilas dalam kecepatan tinggi akan mereplikasi logo Marlboro. 

Sekarang logo barcode berubah lagi menjadi Mission Winnow yang ternyata adalah bagian dari gerakan CSR-nya Phillip Morris International, pemilik merk Marlboro. Hal serupa dilakukan McLaren dengan A Better Tomorrow-nya yang ternyata milik British American Tobacco.


Negara seperti Australia lebih ketat lagi sampai sampai Ferrari dan McLaren harus menghapus logo yang nyrempet-nyrempet rokok itu. Kalau kata kementerian kesehatan Australia :

The laws aim to limit messaging that may persuade people to start or continue using tobacco.

Salut sih dengan keberanian pemerintah Australia melawan kapitalisme rokok. Padahal Phillip Morris sudah membayar Ferrari lebih dari 150 juta dollar untuk memasang logo Misson Winnow. Kebijakan yang nggak bisa 'dibeli', Ferrari tetap muncul di balapan polosan.

Kembali ke pertanyaan awalnya, kalau iklan produk tembakau dilarang kenapa produk alkohol enggak ya? Alfa Romeo masih menyematkan logo Singha, sebuah produk beer. Bahkan Heineken masih bisa menjadi title sponsor untuk Zandvoort Grand Prix 2020 meskipun batal karena pandemi.

Kalau dari sisi kesehatan bukannya tembakau dan alkohol sama sama punya efek negatif ya? Soal terlarang bagi anak-anak juga sama kan. Alasan yang valid mungkin karena efek alkohol dirasakan sendiri sedangkan rokok karena mengeluarkan asap membuat orang di sekitar ikut terdampak. 

Saya ada pikiran yang agak sinis, entah benar atau tidak, bahwa secara kasta sosial rokok itu ada di bawah alkohol. Faktanya rokok kan memang makanannya negara berkembang macam Indonesia. Mungkin mereka menganggap rokok adalah komoditi rakyat jelata jadi dianggap bukan domain mereka dan nggak masalah mengeluarkan kebijakan yang kontra.

Formula 1 masuk kategori olahraga mahal walaupun masih di bawah golf dan tenis. Sindrom orang kaya ogah memakai barangnya orang biasa mungkin ada di seluruh dunia, dan mungkin salah satu barangnya adalah rokok.

Saran saya ke FIA mbok sudah biarin tim-tim F1 bekerja sama dengan sposor rokok. Ikuti saja cara negara kami: yang penting nggak muncul gambar produk rokoknya. Perusahaan rokok adalah satu dari sedikit perusahaan yang mampu menggelontorkan dana ratusan juta dollar untuk aktivitas olahraga. Cocok untuk membantu tim-tim yang kesulitan pendanaan seperti sekarang ini.

Saya bukan perokok tapi mendukung sponsor rokok kembali menempelkan namanya di body mobil F1 karena keren. Formula 1 tidak perlu terlalu kejam pada brand rokok kalau Sugarbook saja masih bisa jadi sponsor.





Tentang Medhok

Hari-hari ini sedang ramai di twitter bahasan tentang gaya bicara logat jawa alias medhok. Pakai h ya, medhok bukan medok. Gara-garanya ada orang yang membuat status WhatsApp mendiskreditkan orang yang gaya bicaranya medhok. Katanya bagi dia medhok itu bikin malu, nggak mau berteman sama orang medhok, dan cuma akan jadi ceng-cengan di tongkrongan.

Screenshotnya tersebar di twitter dan jadi bahan olok-olokan. Banyak yang terpancing, kalau ketahuan identitasnya pasti sudah habis itu diserbu netizen. Nggak salah sih kalau dikatakan rasis karena logat bahasa ada hubungannya sama suku, dan disana ada unsur perendahan. 

Saya sih bukannya nggak pernah mendapat perlakuan diskriminatif karena logat masih medhok walaupun sudah 7 tahun merantau. Nggak sampai disakiti lah, hanya kadang ada perasaan tidak bisa ngeblend dengan lingkungan sekitar. Kemarin sempat ada yang mengkuantifikasi privilege. Suku Jawa dapat skor paling positif diantara suku lainnya, tapi entah kenapa logat jawa malah dianggap setback.

Tapi alhamdulillah yang nggak enak-nggak enak itu tidak terjadi di lingkungan utama. Di lingkungan tempat tinggal, kuliah, kerja, semua tetap kondusif. Saya dikelilingi orang-orang yang nggak mengernyitkan dahi mendengar logat medhok saya. Di sisi lain saya juga memahami mereka yang geli dengan aku-kamu sehingga sebisa mungkin saya tidak mengucapkan itu.

Karena lidah masih kaku untuk berkata lu-gue jadi ini bukan solusi terbaik. Baru setelah bekerja saya lebih terbiasa. Sebelumnya waktu kuliah sulit sekali karena saya dikelilingi banyak orang Jawa baik di kosan maupun di kampus. ITB adalah tempat yang membuat Anda belajar bahasa Jawa walaupun tidak menginginkannya.

Seiring berjalannya waktu saya bisa mengotak atik kalimat sehingga tidak perlu mengucap aku-kamu maupun lu-gue, dengan maksud yang tetap tersampaikan. Percakapan lisan kan nggak harus semuanya sesuai SPOK untuk bisa dipahami. Kalau konteksnya komunal biasa pakai kita-mereka-kalian yang berterima di kedua belah budaya. Jadi saya juga nggak primordial mentok yang menganggap logat dan kebiasaan bahasa saya yang terbaik. Saya sadar saya berada di tanah orang.

Saya bersyukur tidak punya teman seperti orang yang membuat status WA tadi. Kalaupun ada perasaan berjarak dengan lingkungan tertentu itu terjadi secara mutual understanding. Saya tahu saya nggak nyaman dalam pergaulan yang terlalu ibukota. Di sisi lain orang lain juga berhak merasa tidak nyaman di lingkungan saya. 

Kebahagiaan dalam aktivitas seperti badminton, nonton film, makan, karaoke, atau futsal itu tentu akan maksimal jika dilakukan dengan orang yang satu selera. Semakin tidak ada batasan maka semakin momen itu bisa dinikmati. Semua orang ingin menikmati momen secara penuh sehingga cenderung berkumpul dengan sesamanya. That's totally fine.

Nggak usah terlalu baper dengan kasus "kita ada grup yang nggak ada kamunya lho" karena kecocokan dalam pergaulan orang dewasa tidak bisa dipaksakan. Asalkan kita being left out bukan karena melakukan kesalahan atau jadi orang yang terlalu menyebalkan itu nggak masalah. 

Saya punya geng namanya Batan Community bersama teman-teman sejurusan yang dulu kalau siang suka rebahan menjurus tidur siang di masjid Batan samping kampus. Temanya memang jowo tapi ada teman dari Cirebon dan Bekasi juga yang ikut di dalamnya. Di tempat kerja ada grup Beruang Sopodel bersama teman-teman yang tahu-tahu cocok aja kalau ngobrol. Kebanyakan dari Jawa juga walaupun ada satu orang dari Sulteng.

Dalam pergaulan sehari-hari saya jarang menyebut soal grup itu pada orang yang tidak ada di dalamnya. Tapi beberapa teman dekat sudah tahu dan tidak menanyakan apalagi mempermasalahkannya. Sama halnya saya happy-happy saja kalau teman punya circle lain yang saya tidak ikut di dalamnya. Intinya nggak usah baper.

Apakah saya ingin meninggalkan logat medhok? Saya ingin menguranginya sampai level dimana itu tidak lagi menjadi batasan bagi saya untuk berhubungan dengan siapapun. Tapi saya tidak ingin menghilangkannya babar blas. Selain sebagai penghargaan akan identitas, kadang medhok ada untungnya juga. Misal dalam pekerjaan sebagai engineer, menjadi orang medhok (berarti dari daerah) menguntungkan karena dianggap pekerja keras dan tidak banyak nuntut sehingga lebih disukai, begitu kata senior saya. 

Bagi saya nggak ada gunanya merasa rendah karena medhok. Lihat tu video-video yang menampilkan crazy rich surabaya, banyak yang logat Suroboyonan-nya minta ampun kentalnya dan mereka tidak malu dengan itu. Tapi kita juga jangan me-roasting orang yang pakai lu-gue apalagi kalau memang berasal atau tinggal di ibukota. Faktanya sapaan elo dan gue itu bagian dari budaya Betawi juga.

Mari melihat persoalan logat ini tidak lebih dari kenyamanan pergaulan. Keinginan untuk berada di lingkungan yang nyaman ini sangat wajar. Apapun yang ada di alam cenderung mencari posisi kesetimbangan dimana di tempat itu resistansinya minimal. Jangan sampai masalah ini mengganggu kolaborasi dan silaturahmi. 

Soal oknum yang membuat status WA tadi, saya nggak yakin dia nggak ikut heboh dengan revival Pakde Didi beberapa waktu terakhir ini.


Chandra

Pabrik Pesawat Terbang


Bisnis layanan penerbangan jadi salah satu sektor yang mendapat pukulan paling keras atas perubahan yang terjadi selama pandemi Covid-19. Jumlah orang yang bepergian lewat udara menurun drastis hingga 70-90%. Pemerintah juga sempat melakukan penghentian operasi penerbangan umum sebelum akhirnya dibuka kembali dengan beberapa syarat.

Efek yang terlihat misalnya Garuda meng-grounded 70% armadanya serta tidak melanjutnya kontrak sebagian pilotnya. Lion Group (Lion, Wings, Batik) yang sempat beroperasi akan menghentikan operasinya kembali mulai 5 Juni hingga waktu yang belum ditentukan.

Efek domino menurunnya okupansi perjalanan udara merembet hingga sektor lainnya seperti layanan bandara, transportasi antar moda, in-flight catering, aircraft maintenance, hingga industri pembuatan pesawat terbang itu sendiri.

Kondisi benar-benar sulit jika perusahaan sekelas Boeing sampai kembang kempis. Boeing berencana mem-PHK hingga 6000 karyawan di minggu-minggu ini. Karena penurunan produksi pula mereka terancam harus mem-PHK 10% karyawannya hingga akhir 2020 atau setara 160.000 orang di seluruh dunia. Sementara itu Airbus membukukan kerugian hingga setengah milyar dollar pada kuartal pertama 2020. Hal ini disebabkan maskapai-maskapai yang mereview dan membatalkan rencana pembelian armada pesawat terbang baru.

Kesulitan bisnis yang dialami maskapai penerbangan di seluruh dunia membuat pembelian armada baru tidak jadi prioritas. Analogi sederhananya pemilik rental mobil akan berpikir berulang kali untuk membeli unit baru dalam kondisi permintaan konsumen yang menurun seperti saat ini.

Diperkirakan butuh waktu 2-3 tahun pasca corona bagi maskapai penerbangan untuk dapat mengembalikan state bisnisnya menjadi seperti tahun 2019. Artinya dalam 2-3 tahun ke depan akan ada adjustment rute dan jadwal yang sebagian besarnya berupa pengurangan karena diperkirakan jumlah pengguna angkutan udara juga berkurang.

Oleh karenanya pengadaan armada baru menjadi tidak terlalu diperlukan. Padahal maskapai-maskapai dengan layanan berjadwal adalah pasar besar bagi pembuat pesawat terbang. Saat ini hingga maskapai besar dan kaya seperti Emirates saja berada dalam posisi yang terancam membatalkan pembelian pesawat dari Boeing dan Airbus.

Pun nanti ketika industri layanan penerbangan sudah pulih, masih butuh waktu bagi industri pembuat pesawat terbang untuk ikut bangkit. Diperkirakan butuh waktu 2-3 tahun juga setelah frekuensi dan okupansi penerbangan normal hingga permintaan pesawat terbang baru kembali ke level membahagiakan.

Artinya pelaku industri pembuatan pesawat terbang harus menunggu hingga 4-6 tahun setelah corona reda hingga bisa kembali ke kondisi seperti tahun 2019. Kita berharap industri ini tetap mampu bertahan karena akan sangat dibutuhkan di masa yang akan datang.

Indonesia sendiri tidak lepas dari tekanan negatif penurunan bisnis akibat pandemi. Indonesia memiliki beberapa proyek pesawat penumpang yang tengah berjalan seperti N219 serta yang masih dalam rencana N245 dan R18. Kita tentu berharap proyek ini tidak berhenti, namun tidak bisa dipungkiri sekarang adalah masa yang sulit bagi para stakeholder yang terlibat dalam pekerjaan besar tersebut.

Terlepas dari pertimbangan politik (jika ada), secara teknis dan bisnis keputusan pemerintah untuk lebih memprioritaskan pengembangan drone/pesawat tanpa awak dibanding pesawat penumpang adalah hal yang masuk akal. 

Pesawat tanpa awak jelas tidak terpengaruh turunnya bisnis layanan perjalanan udara selama pandemi. Selain itu ada atau tidak ada pandemi, pesawat tanpa awak tetap dibutuhkan untuk berbagai keperluan seperti servey perbatasan, mapping, dan monitoring. Modal yang lebih kecil dan regulasi industri yang lebih sederhana juga membuat pengembangan pesawat tanpa awak lebih feasible untuk digenjot saat ini.


Chandra

Pajak Netflix

Per 1 Juli 2020, layanan digital seperti Netflix dan Zoom akan dikenai pajak oleh pemerintah Indonesia. Hal ini disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu yang lalu. Sebelumnya saya sempat sinis dengan langkah pemerintah yang seperti oportunis dalam menarik bayaran. Tapi setelah riset kecil-kecilan saya jadi mafhum kenapa layanan digital seperti mereka perlu dipajaki segera.



Setidaknya ada 3 alasan yang membuat Netflix dan layanan sejenisnya harus diwajibkan membayar pajak

1. Kontribusi pada negara

Sampai saat ini Netflix dan Zoom tidak dapat membuktikan bahwa mereka punya kantor atau data center di Indonesia. Itu artinya ada potensi keuntungan negara yang lepas. Karena tidak ada kantor di Indonesia, bisa dikatakan mereka tidak mempekerjakan orang Indonesia. Tidak ada kontribusi dari sisi pembukaan lapangan kerja. 

Business model mereka juga tidak memerlukan banyak pekerja lapangan seperti ojek online yang secara tidak langsung membantu pemerintah membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat. Layanan digital seperti Netflix kalaupun ada karyawan barangkali hanya untuk keperluan marketing, atau ada vendor yang disewa untuk keperluan ini.

Kedua, dengan tidak membuka kantor di darat maka mereka tidak perlu membayar sewa fasilitas perkantoran dan infrastruktur data center yang secara nilai lumayan besar. Banyak ruang perkantoran dan data center disediakan oleh perusahaan swasta nasional dan BUMN, tapi tidak ada pemasukan dari jalur ini karena kemungkinan server mereka ada di luar negeri.

Dari sisi internet service provider mungkin mereka ada sedikit kontribusi. Kehadiran layanan streaming digital membuat subscription ISP dalam negeri terdongkrak. Sayangnya hal ini sulit dikuantifikasi karena penggunaan internet tidak semata-mata untuk nonton Netflix atau meeting Zoom saja. Apalagi sampai saat ini masih ada ISP yang memblokir Netflix.

2. Sulit dipajaki dengan cara konvensional

Jika penyedia layanan digital itu tidak punya badan hukum di Indonesia dan tidak mempekerjakan karyawan secara legal maka tidak ada pajak penghasilan yang bisa di-collect. Padahal pajak penghasilan adalah salah satu sumber pajak yang besar bagi negara. Lagi-lagi potensi pendapatan negara hilang di sini.

Di samping itu, karena tidak memiliki aset berupa kantor atau lahan di Indonesia maka mereka juga tidak membayar PBB. Menyamarkan keberadaan kantor supaya terhindar dari pajak adalah hal yang biasa dilakukan oleh pelaku usaha terutama yang masih berupa usaha kecil dan menengah. Tapi hal ini tentu tidak etis jika dipraktekkan oleh perusahaan sebesar Netflix.

Kesulitan untuk memajaki dari segala sisi ini membuat mau tidak mau pemerintah harus menarik pajak dari layanannya. Berdasarkan kenyataan bahwa mereka membuka layanan untuk subscriber di Indonesia. Sayangnya memang hukum kita ini kadang telat dalam melayani dan mengakomodir perkembangan teknologi sehingga kebijakan seperti ini selalu memakan waktu cukup lama hingga bisa direalisasikan.

3. Persaingan dengan brand lokal

Walaupun secara nama belum sebesar Netflix, tapi ada beberapa brand lokal Indonesia yang membuka layanan yang sama, streaming video. Tentu tidak fair jika brand lokal menjadi objek pajak dan harus membayar pajak sedangkan Netflix tidak. 

Pengenaan pajak akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh provider. Untuk menjaga margin, biasanya biaya ini akan dibebankan pada konsumen melalui penyesuaian harga. Ketika semua pelaku usaha yang bersaing dipajaki secara fair maka tidak ada brand yang kembang kempis karena lebih terbebani daripada yang lain. 

Banyaknya potensi yang hilang jika model yang sekarang tetap dilanjutkan menjadi alasan yang valid bagi pemerintah untuk segera menarik pajak dari platform digital luar negeri yang selama ini belum membayar pajak. Banyak negara lain sudah lebih dulu menerapkan kebijakan serupa. Indonesia termasuk yang belakangan melakukan ini.

Hal yang perlu dikritisi dari pemerintah adalah soal bagaimana kita ini sering kelabakan dalam menghadapi perkembangan teknologi. Ketika awal taksi dan ojek online masuk ke Indonesia layanan ini tidak mendapat sambutan yang baik bahkan di beberapa daerah ada Uber yang ditahan dan ojek online bermasalah dengan ojek konvensional. Sebabnya adalah tidak ada model bisnis transportasi online ini dalam peraturan tentang transportasi umum sehingga tidak jelas apa yang harus dilakukan. Pihak-pihak jadi bergerak mengikuti pemikiran dan kepentingannya masing-masing sehingga tampak berantakan.

Teknologi akan selalu berkembang. Komunitas teknologi selalu memikirkan sesuatu yang belum ada sekarang untuk diwujudkan di masa depan demi memudahkan kehidupan manusia. Jika regulator tidak berpikir dengan cara yang sama maka potensi-potensi kebocoran akan terus ada. 

Coronavirus


Paling susah adalah melawan musuh yang nggak keliatan, tapi cepet nular. Dua bulan yang lalu manusia masih dengan pedenya menganggap diri sebagai pengendali dunia. Sekarang kita dibuat kocar-kacir oleh entitas yang sangat kecil bernama virus corona.

Perasaan saya sudah nggak enak waktu baca breaking news soal munculnya virus baru yang belum ada obatnya di sebuah supermarket di Wuhan, China. Waktu itu hanya seperti sebuah bencana lokal di sebuah kota di China. Lama-lama kondisi disana makin parah. Dimulai dari Wuhan satu per satu kota lockdown termasuk kota-kota penting seperti Beijing.

Kalau ibarat di sebuah sekolah, China adalah anak nerd yang nggak begitu disukai teman-teman sekelasnya. Sama orang barat, China dianggap penjahat ekonomi karena produk bajakan kualitas rendahnya serta hobi perang dagang. Sama tetangganya Jepang Korea mereka nggak akur, bahkan dengan Hongkong yang masih saudara dekat sering bertengkar. Di Indonesia etnis China dibenci karena kaya-kaya dianggap itungan dan anti mayoritas. China menderita nyaris tanpa bantuan, bahkan mendapat cemoohan rasis.

Masalahnya virus nggak kenal batas negara. Dengan seenaknya dia nyebrang ke negara-negara tetangga dan negara yang banyak dikunjungi orang China. Cilakanya orang yang bawa kadang nggak tau kalau dia ketitipan.

Asia timur kena, Eropa dan US ngimpor, Asia bagian yang lain ikut kena, Timur Tengah nggak kelewat, negara tetangga kita macam Malaysia, Singapura, Filipina kena. Akhirnya setelah merasa kebal karena terbiasa minum es dari air mentah, Indonesia ngaku kalau kena juga.

Virus juga nggak pandang bulu. Awalnya hanya orang-orang biasa. Lama-lama public figure, petinggi negara, selebritis, dan atlet dunia juga terkonfirmasi positif Covid-19. Jarang-jarang ada keadaan dimana pejabat punya resiko yang sama dengan rakyat...

Pemerintah ini memang agak ngeselin. Memonopoli informasi yang beredar di masyarakat. Kalau masih ingat, waktu itu case 1 dan case 2 corona di Indonesia yang berinisiatif melapor dan meminta diperiksa adalah pasien sendiri, dan ternyata positif, lalu diisolasi. Waktu itu pemerintah sudah nggak punya pilihan. Kalau mau mengelak tinggal nunggu waktu pasien ini bicara sendiri di media dan terbuka semuanya. Pemerintah akhirnya mengumumkan.

Hari-hari selanjutnya pasien positif terus bertambah. Per sore ini hari Sabtu tanggal 14 Maret sudah 96 teridentifikasi positif menurut task force corona bentukan presiden. Lagi-lagi pemerintah nganyeli dengan ambil tindakan tegas. Justru orang-orang di bawahnya lebih aktif.

Solo sudah menetapkan KLB, Jakarta menutup tempat umum dan sekolah, Sleman sudah menutup sekolah, universitas mengubah cara pengajaran jadi online/jarak jauh. Beberapa kantor mengijinkan work from home. Orang-orang di daerah dan institusi bergerak membuat keputusan.

Memang susah jadi pemerintah. Kalau mereka banyak bicara bisa-bisa masyarakat tambah panik. Kalau ada lockdown maka negara terancam lumpuh, apalagi Jakarta. Orang-orang yang mencari nafkah dari hari ke hari akan susah. Orang yang punya uang pun akan bermasalah karena buat apa punya uang kalau toko nggak ada yang buka, uang nggak bisa dimakan.

Masalah lain Indonesia itu harus diakui negara yang nggak kaya-kaya amat. Tidak seperti Singapura Jepang Korsel yang punya dana tak terbatas untuk mengatasi dampak corona. Ibaratnya Singapura adalah rumah tangga kaya yang akan melakukan apapun at all cost demi kesehatan dan keselamatan keluarganya. Sedangkan Indonesia adalah keluarga biasa saja yang nggak punya dana untuk hal hal luxury, lebih parah lagi, keluarga ini anaknya banyak.

Dampak corona nggak akan bisa dihindari. Korban pasti ada, ekonomi pasti turun. Tapi sebelum petugas medis ngeri tertular corona, pemilik usaha kecil menutup tokonya, dan abang ojol kesulitan tutup poin, pemerintah harus siap kalau nanti jadi yang pertama babak belur.

Terakhir, WTF orang yang ngakat duta imunitas corona di saat-saat begini!!!