Renovasi Masjid
Salah satu fenomena kurang indah yang saya saksikan di ibukota adalah adanya orang-orang yang meminta uang di jalan dengan mengatasnamakan pembangunan masjid. Bermodal steger yang dipasang di samping masjid atau fasad yang tampak tak segera dirampungkan, beberapa orang duduk dan berdiri di jalan sambil mengacungkan jaring yang biasa digunakan menangkap ikan, kadang diiringi rekaman ceramah atau lantunan ayat.Biaya Kuliah di ITB: UKT yang Tak Lagi Tunggal
Karena ramainya pembahasan dan komplain seputar biaya kuliah dan UKT PTN, saya coba untuk eksplor berapa angka pastinya supaya lebih obyektif kalau berpendapat. Saya coba cari informasi biaya kuliah di ITB karena itu yang saya paling kenal dan tahu dimana harus mencari infonya. Kesimpulan awal yang saya dapat adalah tidak seperti satu dekade lalu dimana UKT adalah satu-satunya biaya yang harus dibayar, sesuai namanya Uang Kuliah Tunggal, kini di ITB ada komponen atau kategori biaya lain seperti UKT IUP, Iuran Pengembangan Institusi (IPI) SM, dan IPI IUP. Sepertinya ini yang membuat biaya kuliah tampak semakin tinggi.
Sebenarnya tidak semua mahasiswa membayar semua komponen biaya di atas. Saya coba buat matriks untuk menggambarkan siapa membayar apa.
Saya mulai dengan UKT Reguler yang akan dibayarkan mayoritas mahasiswa. Berikut adalah besaran UKT Reguler berdasarkan fakultas/sekolah di ITB tahun 2024
Sayangnya saya belum menemukan detail per masing-masing golongan UKT untuk tahun ini. Saya hanya menemukan informasi tahun 2023 dimana untuk golongan 1 Rp0, golongan 2 Rp1.000.000, golongan 3 RP5.000.000, golongan 4 Rp8.750.000, dan golongan 5 Rp12.500.000. Saya pikir penggolongan tahun ini tidak akan banyak berbeda dengan tahun lalu, terutama untuk FMIPA dan kampus Cirebon yang batas atasnya sama. Hanya saja UKT golongan 1 secara aturan di tahun ini menjadi Rp500.000. Sebagai catatan, SBM akan punya UKT yang sama dengan mayoritas, berbeda dengan sebelumnya yang dua kali lipat dari lainnya. UKT Reguler ini dibayarkan per semester.
Kalau dilihat dari tabel di atas, selain FMIPA nilai UKT ITB merata untuk semua program studi. Sehingga variabel biaya kuliah tidak jadi pertimbangan ketika memilih fakultas dan jurusan. Mahasiswa bisa memilih fakultas berdasarkan minat dan bakat yang dimiliki, karena biayanya sama besar. Nilai untuk masing-masing golongan juga relatif terdistribusi dengan spacing yang merata dan tidak banyak berubah dari jaman saya dulu (dulu golongan 3 Rp4.000.000, golongan 4 Rp8.000.000, dan golongan 5 Ro10.000.000). Kemarin saya lihat di tempat lain ada yang golongan 3-nya di atas 10 juta, jauh sekali lompatannya dari golongan 2.
Itu tadi sisi baiknya, tapi di sisi yang lain proses dan kriteria penggolongan UKT ini masih sulit untuk kita ketahui. Apakah universitas bisa menilai secara akurat prosperity masing-masing keluarga mahasiswa? Jika tidak, maka sangat mungkin ada mahasiswa yang mendapat UKT lebih besar dari kesanggupannya. Lalu setelah itu seberapa mudah untuk melakukan advokasi guna meminta golongan UKT yang lebih rendah. Undang-undang hanya mengatur bahwa UKT golongan 1 dan 2 diterima oleh minimal 20% mahasiswa, sedangkan untuk golongan 3, 4, 5 agak susah dipegang.
Selanjutnya untuk kelas internasional (IUP) UKT yang ditetapkan adalah 30 juta per semester merata untuk seluruh mahasiswa IUP di seluruh program studi. Oh ya, semua info biaya yang saya kutip di sini adalah untuk program sarjana. Program magister dan doktoral punya biaya yang berbeda. Saya pikir biaya S2 S3 tidak terlalu urgen dibahas karena masih bisa diterima kalau magister dan doktoral dikatakan 'tersier' atau tidak semua orang harus ambil, tapi kalau tingkat sarjana mestinya negara mau berkontribusi lebih.
Selanjutnya ada Iuran Pengembangan Institusi (IPI), untuk mahasiswa reguler yang masuk melalui SNBP dan SNBT sesuai matriks di atas tidak perlu membayar, namun mahasiswa yang masuk lewat Seleksi Mandiri harus membayar dengan jumlah berikut
- Semester 1: 25 juta
- Semester 2: 25 juta
- Semester 3: 12.5 juta
- Semester 4: 12.5 juta
- Semester 5: 12.5 juta
- Semester 6: 12.5 juta
- Semester 7: 12.5 juta
- Semester 8: 12.5 juta
- Untuk mahasiswa reguler jalur SNBP dan SNBT, membayar UKT dengan range 500 ribu - 14.5 juta per semester, tidak ada uang pangkal, tidak ada IPI.
- Untuk mahasiswa reguler jalur Seleksi Mandiri, membayar UKT dengan range 500 ribu - 14.5 juta per semester, plus membayar IPI tiap semester (25 juta di semester 1 dan 2, lalu 12.5 juta di semester-semester berikutnya). Tidak ada subsidi untuk mahasiswa jalur SM.
- Untuk mahasiswa kelas internasional (IUP), membayar IPI saat daftar ulang sebesar 35 juta, lalu tiap semesternya membayar UKT sebesar 30 juta.
- Mahasiswa reguler (SNBP, SNBT, dan SM) eligible untuk KIP-K, namun ITB akan melakukan verifikasi data sesuai aturan yang berlaku.
Jadi kesimpulannya keresahan soal biaya kuliah yang muncul di media sosial adalah valid. Walaupun ada beberapa cuitan yang mengunggah bukti transfer ratusan juta tanpa penjelasan apa yang dibayar. Uang pangkal? UKT kelas internasional? IPI yang dibayar sekaligus di depan? atau apa. Alangkah baiknya kalau mau mengkritisi secara obyektif mesti menjelaskan detailnya, misal dengan mengunggah informasi UKT beserta prodi/fakultas dan golongan yang didapat. Dari situ advokasi bisa dilakukan dengan benar dan efektif.
Utamanya yang perlu kita advokasi dan perbesar suaranya adalah golongan menengah mayoritas yang tidak punya kuasa untuk menentukan masuk UKT golongan berapa. Jangan sampai pendidikan tinggi jadi pay to win. Apalagi yang harus disiapkan bukan hanya biaya kuliah, ada biaya hidup dan tempat tinggal juga terutama bagi mahasiswa perantau. Sungguh kalau ada saya ingin lihat data persebaran kota/kabupaten asal mahasiswa ITB dari tahun ke tahun, I want to see something.
Thanks,
Chandra
Streisand Effect
Komunitas fans KPOP pendukung ABW patungan untuk menyewa videotron di Grand Metropolitan Mall Bekasi selama seminggu untuk menayangkan video support ke Pak Anies sebagai capres. Tapi baru sejam video itu tayang, tayangannya di-take down dengan alasan yang menurut penyewa 'di luar kuasa kami'.Kabar Baik
WFH, WFO, atau Keduanya?
Layoff
Layoff, atau dalam bahasa yang lain PHK, adalah satu topik yang agak kurang enak untuk dibicarakan karena ada yang berposisi sebagai korban di sana. Tapi meskipun sulit, sebagai orang yang pernah mengalaminya saya juga punya uneg-uneg tentang itu. Saya pernah kena layoff di perusahaan tempat saya bekerja profesional pertama kali. Sebenarnya masih ada hak saya yang belum diberikan oleh ex-perusahaan, tapi agak sulit untuk ditagih karena suatu hal, nanti saya jelaskan.Kenapa HP Sekarang Mahal-Mahal
![]() |
sumber gambar: Kumparan |
Founders
Masa Transisi
Alhamdulillah sebulan terakhir angka positif covid di Indonesia menunjukkan tren penurunan. Mungkin herd immunity mulai bekerja, baik yang terbentuk karena terpapar langsung atau oleh vaksinasi. Aturan aktivitas mulai dilonggarkan meski tetap dengan semboyan protokol kesehatan. Meski mengendur sepertinya situasi tidak akan kembali seperti semula masa pre-covid. Pertama karena covid kemungkinan tidak akan hilang, kedua masyarakat mulai terbiasa dengan prokes yang ringan-ringan seperti memakai masker dan cuci tangan.
Walaupun begitu, menurut saya tidak efisien juga kalau kita mempertahankan cara hidup seperti saat pandemi. Buat saya new normal yang ideal itu pakai masker hanya ketika berada di kerumunan, di jalan, atau situasi tertentu. Selain untuk menangkal covid juga menghindarkan diri dari penyakit lain dan polusi. Tapi rasanya pada satu titik seharusnya tidak ada lagi beban untuk tidak memakai masker ketika ke masjid, berkunjung ke rumah orang, bekerja, aktivitas outdoor, dan event-event yang menurut ahli resikonya ringan hingga sedang.
Poin prokes lain seperti kursi yang disilang-silang di tempat makan serta pembatasan kapasitas di tempat yang sebenarnya bersih juga perlahan perlu dikurangi. Obyek wisata dan tempat publik juga pada satu titik harusnya dibuka untuk umum tanpa batasan usia dan domisili. Selanjutnya penggunaan aplikasi yang agak kontroversial itu tidak lagi perlu dijadikan syarat masuk ke berbagai tempat.
Semua perubahan itu tidak mungkin dilakukan seketika. Perlu proses pelonggaran sedikit demi sedikit. Sekarang pun kita bisa merasakan proses itu berjalan. Pengambil kebijakan punya hak dan kewajiban untuk menentukan aturan-aturan bagi publik. Tapi di level pribadi dan keluarga kita perlu membuat keputusan seberapa kita bisa atau perlu melonggarkan diri?
Apakah saya sudah bisa ke warung tanpa masker? Apakah masih penting membawa sajadah sendiri kemana-mana? Apakah hand sanitizer masih diperlukan setiap saat? Apakah sudah aman untuk nonton film di bioskop? Apakah masih perlu melakukan rapid test mandiri secara rutin? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab sendiri. Inilah masa transisi yang sama rumitnya dengan pertanyaan "seberapa saya harus menjaga diri?" dan "apakah saya terlalu nekat atau terlalu parno?" yang sering muncul tahun lalu.
Masa seperti ini mirip dengan yang dialami masyarakat Bantul pasca gempa Jogja tahun 2006 silam. Sekedar cerita, bukan keluhan, sebagai epicentrum gempa tingkat kerusakan yang timbul di Bantul cukup besar. Kerusakan fisik paling besar disebabkan gempa utama pada tanggal 27 Mei pagi itu. Tapi hal yang membuat letih secara batin saat itu adalah gempa susulan yang terjadi hingga 2-3 bulan berikutnya.
Keputusan kapan bisa kembali masuk rumah dan bisa tidur di dalamnya, kapan sekolah bisa membongkar tendanya dan mengembalikan kegiatan belajar di dalam ruang kelas, apakah sudah aman untuk masuk bangunan besar dan tinggi, kapan pedagang bisa pindah dari parkiran ke bangunan pasar, dan lain sebagainya adalah pertanyaan yang harus dijawab masing-masing orang.
Saya mengalami sendiri tinggal di pengungsian, lalu ketika dirasa sudah cukup aman bisa kembali ke rumah. Ketika di rumah pun tidak langsung masuk, tinggal dulu di tenda sampai hitungan minggu. Perlahan berani masuk rumah pada siang hari namun tidur malam masih di luar. Lama-lama bisa tidur di ruang tamu dengan pintu terbuka sebelum berangsur normal tidur di kamar meskipun beberapa kali lari karena gempa susulan tengah malam.
Di sekolah pun kami mengalami proses dari belajar di tenda, lalu pindah ke bangunan semi permanen dari bambu, sebelum pindah ke ruang kelas yang sebenarnya setelah selesai diperbaiki. Di masjid dalam suatu salat jumat ketika sedang khotbah tiba-tiba sebagian jamaah berhamburan keluar karena merasakan getaran. Pada saat itu berada di pinggir jalan lalu ada truk besar lewat saja sensasinya seperti ada gempa, saking parnonya.
Sekarang untuk kedua kalinya saya merasakan berada di masa transisi. Tahun 2006 yang saya lakukan menikmati saja prosesnya, serba yawis, toh saya masih SD tidak banyak yang bisa dilakukan. Melangkah ke new normal harus tapi kalau resiko terlalu besar mending jaga-jaga tetap aman. Sebulan lebih setelah gempa ketika orang-orang mulai berani masuk rumah saya masih hidup di tenda, simply karena waktu itu baru sunat dan saya tidak bisa lari kalau ada apa-apa.
Menikmati rasa takut sepertinya agak susah, tapi menikmati kewaspadaan harusnya bisa dilakukan.
Salam,
Chandra
Sponsor Rokok
Kalau suatu saat akrab sama orang barat atau malah tinggal di negeri barat, ada pertanyaan yang ingin sekali saya tanyakan ke mereka, kenapa mereka anti tembakau tapi pro alkohol?
Begini begini, hipotesis saya ini sangat mungkin salah karena referensi utama saya adalah balapan Formula 1. Sejak tahun 2006, FIA selaku panitia balapan Formula 1 melarang adanya iklan produk tembakau atau rokok dalam event olahraganya. Larangan ini tidak lepas dari dorongan dari WHO dan negara-negara tempat balapan dihelat. Sementara itu iklan produk-produk alkohol masih diijinkan sampai sekarang.
Saya coba mengesampingkan bias yang mungkin terjadi karena saya orang Indonesia dan muslim yang normalnya menganggap rokok masih mending daripada minumal beralkohol. Tapi meski begitu dalam benak saya tetap logisnya kalau tembakau dilarang seharusnya alkohol juga dilarang, atau sebaliknya dibolehkan dua-duanya saja.
Saya sebagai penonton tidak lantas pengen ngrokok hanya karena lihat iklan rokok. Apalagi di Indonesia iklan rokok ada di mana mana di seluruh sudut kota, sudah kebal. Lagipula sponsor-sponsor rokok di body mobil F1 punya nilai nostalgia dan membuat tampilan tampak lebih maskulin.
Karena larangan iklan rokok ini, Ferrari yang pada era Schumacher sangat identik dengan logo Marlboro-nya mengubahnya menjadi barcode yang katanya kalau dilihat sekilas dalam kecepatan tinggi akan mereplikasi logo Marlboro.
Sekarang logo barcode berubah lagi menjadi Mission Winnow yang ternyata adalah bagian dari gerakan CSR-nya Phillip Morris International, pemilik merk Marlboro. Hal serupa dilakukan McLaren dengan A Better Tomorrow-nya yang ternyata milik British American Tobacco.
Negara seperti Australia lebih ketat lagi sampai sampai Ferrari dan McLaren harus menghapus logo yang nyrempet-nyrempet rokok itu. Kalau kata kementerian kesehatan Australia :
The laws aim to limit messaging that may persuade people to start or continue using tobacco.
Salut sih dengan keberanian pemerintah Australia melawan kapitalisme rokok. Padahal Phillip Morris sudah membayar Ferrari lebih dari 150 juta dollar untuk memasang logo Misson Winnow. Kebijakan yang nggak bisa 'dibeli', Ferrari tetap muncul di balapan polosan.
Kembali ke pertanyaan awalnya, kalau iklan produk tembakau dilarang kenapa produk alkohol enggak ya? Alfa Romeo masih menyematkan logo Singha, sebuah produk beer. Bahkan Heineken masih bisa menjadi title sponsor untuk Zandvoort Grand Prix 2020 meskipun batal karena pandemi.
Kalau dari sisi kesehatan bukannya tembakau dan alkohol sama sama punya efek negatif ya? Soal terlarang bagi anak-anak juga sama kan. Alasan yang valid mungkin karena efek alkohol dirasakan sendiri sedangkan rokok karena mengeluarkan asap membuat orang di sekitar ikut terdampak.
Saya ada pikiran yang agak sinis, entah benar atau tidak, bahwa secara kasta sosial rokok itu ada di bawah alkohol. Faktanya rokok kan memang makanannya negara berkembang macam Indonesia. Mungkin mereka menganggap rokok adalah komoditi rakyat jelata jadi dianggap bukan domain mereka dan nggak masalah mengeluarkan kebijakan yang kontra.
Formula 1 masuk kategori olahraga mahal walaupun masih di bawah golf dan tenis. Sindrom orang kaya ogah memakai barangnya orang biasa mungkin ada di seluruh dunia, dan mungkin salah satu barangnya adalah rokok.
Saran saya ke FIA mbok sudah biarin tim-tim F1 bekerja sama dengan sposor rokok. Ikuti saja cara negara kami: yang penting nggak muncul gambar produk rokoknya. Perusahaan rokok adalah satu dari sedikit perusahaan yang mampu menggelontorkan dana ratusan juta dollar untuk aktivitas olahraga. Cocok untuk membantu tim-tim yang kesulitan pendanaan seperti sekarang ini.
Saya bukan perokok tapi mendukung sponsor rokok kembali menempelkan namanya di body mobil F1 karena keren. Formula 1 tidak perlu terlalu kejam pada brand rokok kalau Sugarbook saja masih bisa jadi sponsor.
Tentang Medhok
Hari-hari ini sedang ramai di twitter bahasan tentang gaya bicara logat jawa alias medhok. Pakai h ya, medhok bukan medok. Gara-garanya ada orang yang membuat status WhatsApp mendiskreditkan orang yang gaya bicaranya medhok. Katanya bagi dia medhok itu bikin malu, nggak mau berteman sama orang medhok, dan cuma akan jadi ceng-cengan di tongkrongan.Pabrik Pesawat Terbang
Pajak Netflix
Per 1 Juli 2020, layanan digital seperti Netflix dan Zoom akan dikenai pajak oleh pemerintah Indonesia. Hal ini disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu yang lalu. Sebelumnya saya sempat sinis dengan langkah pemerintah yang seperti oportunis dalam menarik bayaran. Tapi setelah riset kecil-kecilan saya jadi mafhum kenapa layanan digital seperti mereka perlu dipajaki segera.Coronavirus
Paling susah adalah melawan musuh yang nggak keliatan, tapi cepet nular. Dua bulan yang lalu manusia masih dengan pedenya menganggap diri sebagai pengendali dunia. Sekarang kita dibuat kocar-kacir oleh entitas yang sangat kecil bernama virus corona.
Perasaan saya sudah nggak enak waktu baca breaking news soal munculnya virus baru yang belum ada obatnya di sebuah supermarket di Wuhan, China. Waktu itu hanya seperti sebuah bencana lokal di sebuah kota di China. Lama-lama kondisi disana makin parah. Dimulai dari Wuhan satu per satu kota lockdown termasuk kota-kota penting seperti Beijing.
Kalau ibarat di sebuah sekolah, China adalah anak nerd yang nggak begitu disukai teman-teman sekelasnya. Sama orang barat, China dianggap penjahat ekonomi karena produk bajakan kualitas rendahnya serta hobi perang dagang. Sama tetangganya Jepang Korea mereka nggak akur, bahkan dengan Hongkong yang masih saudara dekat sering bertengkar. Di Indonesia etnis China dibenci karena
Masalahnya virus nggak kenal batas negara. Dengan seenaknya dia nyebrang ke negara-negara tetangga dan negara yang banyak dikunjungi orang China. Cilakanya orang yang bawa kadang nggak tau kalau dia ketitipan.
Asia timur kena, Eropa dan US ngimpor, Asia bagian yang lain ikut kena, Timur Tengah nggak kelewat, negara tetangga kita macam Malaysia, Singapura, Filipina kena. Akhirnya setelah merasa kebal karena terbiasa minum es dari air mentah, Indonesia ngaku kalau kena juga.
Virus juga nggak pandang bulu. Awalnya hanya orang-orang biasa. Lama-lama public figure, petinggi negara, selebritis, dan atlet dunia juga terkonfirmasi positif Covid-19. Jarang-jarang ada keadaan dimana pejabat punya resiko yang sama dengan rakyat...
Pemerintah ini memang agak ngeselin. Memonopoli informasi yang beredar di masyarakat. Kalau masih ingat, waktu itu case 1 dan case 2 corona di Indonesia yang berinisiatif melapor dan meminta diperiksa adalah pasien sendiri, dan ternyata positif, lalu diisolasi. Waktu itu pemerintah sudah nggak punya pilihan. Kalau mau mengelak tinggal nunggu waktu pasien ini bicara sendiri di media dan terbuka semuanya. Pemerintah akhirnya mengumumkan.
Hari-hari selanjutnya pasien positif terus bertambah. Per sore ini hari Sabtu tanggal 14 Maret sudah 96 teridentifikasi positif menurut task force corona bentukan presiden. Lagi-lagi pemerintah nganyeli dengan ambil tindakan tegas. Justru orang-orang di bawahnya lebih aktif.
Solo sudah menetapkan KLB, Jakarta menutup tempat umum dan sekolah, Sleman sudah menutup sekolah, universitas mengubah cara pengajaran jadi online/jarak jauh. Beberapa kantor mengijinkan work from home. Orang-orang di daerah dan institusi bergerak membuat keputusan.
Memang susah jadi pemerintah. Kalau mereka banyak bicara bisa-bisa masyarakat tambah panik. Kalau ada lockdown maka negara terancam lumpuh, apalagi Jakarta. Orang-orang yang mencari nafkah dari hari ke hari akan susah. Orang yang punya uang pun akan bermasalah karena buat apa punya uang kalau toko nggak ada yang buka, uang nggak bisa dimakan.
Masalah lain Indonesia itu harus diakui negara yang nggak kaya-kaya amat. Tidak seperti Singapura Jepang Korsel yang punya dana tak terbatas untuk mengatasi dampak corona. Ibaratnya Singapura adalah rumah tangga kaya yang akan melakukan apapun at all cost demi kesehatan dan keselamatan keluarganya. Sedangkan Indonesia adalah keluarga biasa saja yang nggak punya dana untuk hal hal luxury, lebih parah lagi, keluarga ini anaknya banyak.
Dampak corona nggak akan bisa dihindari. Korban pasti ada, ekonomi pasti turun. Tapi sebelum petugas medis ngeri tertular corona, pemilik usaha kecil menutup tokonya, dan abang ojol kesulitan tutup poin, pemerintah harus siap kalau nanti jadi yang pertama babak belur.
Terakhir, WTF orang yang ngakat duta imunitas corona di saat-saat begini!!!