Hey Kawan!




Hey Kawan!

Percayalah, dulu saya juga idealis. Lulus kuliah 4 tahun terus langsung dapat beasiswa dan diterima kuliah di kampus-kampus Eropa dan Amerika. Rasanya itulah life path paling cool yang bisa dilalui seorang lulusan kampus yang katanya salah satu terbaik di Indonesia. Seolah seperti itu definisi calon menantu idaman, punya ijazah kampus top 50 dunia. Life goals banget.

Tapi setelah dipikir-pikir, ternyata itu lebih karena urusan gengsi. Saya merasa tidak pantas bagi seorang fresh graduate dari kampus Ganesha wira-wiri keluar masuk kantor membawa map mengajukan lamaran untuk sebuah pekerjaan yang belum tentu diterima. Lebih karena itu saja. Sombong sekali ya, tapi itu dulu kok.

Beberapa bulan terakhir saya mulai banyak bergaul dengan para profesional. Itu mengikis idealisme yang saya tulis di paragraf pertama di atas. Saya mulai masuk ke lingkungan baru dengan individu-individu yang makin bermacam-macam. Mereka berasal dari berbagai latar belakang (pendidikan), usia, dan visi hidup.

Ada lulusan beberapa kampus di Eropa dan Jepang. Sebaliknya, ada juga anak-anak muda lulusan kampus-yang-dipandang-sebelah-mata-oleh-mahasiswa-kampus-gajah yang sangat skillful berkat pengalaman, bukan oleh so-called pendidikan. Banyak bapak-bapak dengan segudang pengalaman industri karena belasan bahkan puluhan tahun mengabdi di IPTN/PTDI. Ada pula yang terpaksa berada di sana karena hanya itu yang paling mereka bisa.

Bertemu dan berinteraksi dengan mereka, memberikan banyak insight baru bagi saya. Cukup untuk membuka wawasan dan melihat banyak hal baru tanpa terbatas pagar melingkar kampus ITB. Dari sana saya mengambil kesimpulan : saya mau menjajal dunia profesional, segera.

Hey Kawan!

Waktu umur 6 tahun kita dimasukkan ke dalam lubang yang namanya SD oleh orang tua kita. Enam tahun kemudian kita sudah cukup besar untuk mentas dari lubang itu kemudian masuk ke lubang berikutnya yang namanya SMP. Setelah 3 tahun kita bisa keluar dan masuk ke lubang SMA untuk menghabiskan waktu 3 tahun berikutnya. Sampai tahap ini mungkin belum terlalu banyak drama. Tapi setelah keluar dari jenjang SMA, pilihan lubang semakin banyak. Ada lubang kuliah, kerja, nikah, dan lain sebagainya. Kuliah juga masih banyak kemungkinan, dimana. Bekerja juga begitu, dimana. Nikah, dengan siapa.

Saya lebih membahas soal lubang kuliah, karena lubang inilah yang saya pilih 4 tahun yang lalu, dan saya bersyukur memilih lubang ini. Setelah 4 tahun (rata-rata) akhirnya seseorang siap untuk keluar dari lubang ini. Sekarang dia harus memilih lagi salah satu dari lubang-lubang yang tersedia di depan matanya. Masalahnya adalah, dia sudah semakin paham hidup, punya gengsi, dan idealisme yang kadang sebagiannya berasal dari nafsu.

Pertimbangan untuk memilih lubang mana yang akan dimasuki menjadi semakin rumit. Tapi yang penting adalah, jangan lama-lama.

Ada sebuah kata mutiara, "penghormatan terhadap kepemimpinan akan berkurang seiring dengan banyaknya penundaan". Kita adalah pemimpin minimal untuk diri sendiri. Semakin lama galau, semakin berkurang penghormatan terhadap diri, semakin sulit untuk recover. Naik turun itu biasa, tapi jangan lama-lama recover-nya. Boleh jatuh (n) kali, tapi bangunlah (n+1) kali.

Hey Kawan!

Jangan lupa bahagia. Lubang-lubang itu menyimpang jenis kebahagiannya masing-masing. Hanya mungkin kita belum terbayang seperti apa. Mungkin kalau teman-teman menganggap saya beruntung, ya memang saya beruntung (dan bersyukur atas itu), tapi itu juga karena keikhlasan saya untuk masuk ke salah satu lubang. Berbekal rasa penasaran atas apa yang akan terjadi nanti saya mengesampingkan sebagian gengsi dan menahan diri terhadap godaan lubang-lubang lain.

"Ciee kejebak haha, niatnya mau presentasi malah disuruh ngobrol sama *** (nama orang HRD)". Saat itulah saya terjun pada lubang yang saya pilih.

Hey Kawan!
Stay cool and amazing like the eagle. But enjoy your food life like this panda






Chandra

Axelsen and His Mental Coach



Mungkin nama Viktor Axelsen belum begitu familiar di telinga masyarakat Indonesia. Maklum, selepas era Taufik Hidayat Indonesia belum terlibat lagi dalam drama persaingan papan atas di nomor tunggal putra badminton dunia. Beberapa nama muncul namun masih belum bisa bersaing di jajaran, let's say, 5 besar dunia. Pemain MS (Men's Singles) Indonesia yang paling tinggi rankingnya saat ini adalah Jonathan Cristie (14). Di sisi lain, Axelsen-nya Denmark sukses meneruskan kebrilianan seniornya Peter Gade dan entah bagaimana Lin Dan masih menjadi pemain terbaik China dan saat ini ada di peringkat 3 dunia, bahkan ketika teman seangkatannya, Lee Chong Wei (Malaysia, rank 7) mulai keteteran. LCW (797) dan Lin Dan (701) adalah pemain dengan jumlah pertandingan terbanyak di 20 besar dunia, maklum mereka seangkatan Gade dan Taufik.

Berbicara soal Viktor Axelsen, ada yang menarik dalam pertandingan-pertandingannya tahun ini. Dalam pertandingan bulutangkis profesional, selalu disediakan kursi untuk pelatih di sisi belakang lapangan pemain. Biasanya, namun tidak selalu, pemain tunggal putra ditemani oleh satu orang pelatih. Kalau pun ada dua, biasanya yang satu lagi adalah asisten pelatih. Tapi tidak begitu dengan Axelsen. Selain pelatih, dia juga ditemani seorang mental coach.

Axelsen termasuk pemain yang sering marah-marah. Coba cari di google atau youtube, banyak dokumentasi "Viktor Axelsen angry moments". Di usia yang masih muda tentu emosi yang meledak-ledak dan naik turun itu wajar. Tapi sebagai pemain andalan Denmark dia harus lebih dewasa kalau tidak ingin menjadi bulan-bulanan pemain senior dunia macam LCW atau Lin Dan. Untuk itulah dia sampai menyewa mental coach pribadi, Carsten Oldengaard.



Tugas mental coach-nya adalah menjadi tempat konsultasi dan memberi advice soal urusan psikis. Yah mungkin seperti psikolog, atau psikiater, atau apapun sebutannya. Patut diapresiasi bagaimana seorang pemain level atas dunia mau mengakui kekurangannya dan melakukan perbaikan dengan cara apapun.

Pemain badminton profesional berlatih ribuan pukulan dengan variasi yang luar biasa banyak. Itu dilakukan untuk menguasai teknik-teknik permainan. Tapi itu jadi sia-sia ketika emosi sudah tidak terkontrol dan tidak bisa bermain dengan kepala dingin. Mengingat badminton adalah olahraga dengan rate gerakan sangat cepat maka emosi ini sangat berpengaruh. Tapi bukan hanya dalam badminton, ini berlaku pula dalam olahraga lain, bahkan bukan hanya olahraga tapi juga segala aktivitas harian.



Axelsen dan tim Denmark menyewa mental coach profesional. Tapi sebenarnya dalam diri masing-masing kita ada sosok 'mental coach' itu, begitu kalau kata motivator. Katanya, ketika kita ingin marah, munculkan duplikasi dari diri kita, dia yang akan menjadi penasehat dan berkata "katanya mau jadi orang besar, kok gitu aja marah". Atau si duplikat itu juga yang akan mencari alternatif kemungkinan yang menjadikan pemicu marah itu menjadi logis. Misalnya lagi di jalan terus disalip orang dengan ngawur, dia akan berkata "mungkin lagi kebelet pipis".

Di sela-sela kesibukan dan lalu-lalang masalah sempatkan untuk ngleremke ati lan pikir. Itu seperti detoks, menghapus cache-cache tidak penting yang memenuhi memori dan jadi beban pikiran. Sebagai muslim kita beruntung punya salat sebagai 'meditasi' dan masjid sebagai tempatnya. Bahkan waktunya sudah dibagi, ketika akan memulai hari, pada tengah hari ketika fisik mulai butuh penyegaran. Selanjutnya dua kali salat dengan jeda +- 3 jam karena badan dan pikiran lelah butuh refreshment lebih frequent. Lalu terakhir untuk menutup hari dan membuka interval istirahat. Silakan ditambah yang sunnah karena pasti punya manfaat jasmani rohani.

Kemampuannya me-manage emosi mengantarkan Viktor Axelsen menuju kemenangan demi kemenangan. Yang terakhir adalah menjadi juara dalam 2017 World Championships di Glasgow setelah di final mengalahkan Lin Dan 22-20 dan 21-16. Sekarang Axelsen berada di peringkat 2 dunia, di usia 23 tahun, and he's not an Asian.



Chandra

What Makes SpaceX DIfferent ?




Ketika roket-roket di dunia dibuang setelah operasinya, SpaceX telah berhasil membangun roket yang fully reusable
Namanya adalah Elon Musk, pria asal Afrika Selatan yang menuntut ilmu di Kanada dan Amerika Serikat. Dia punya mimpi untuk mengkolonisasi Planet Mars, edan. SpaceX  adalah jalan yang dia pilih untuk mewujudkan mimpinya itu. Semakin sedikit orang yang meragukan mimpinya itu setelah satu demi satu misi dituntaskan oleh Falcon 9, produk 'awal' SpaceX.

Falcon 9 dan rencana pengembangannya


Falcon 9 vs Soyuz

Soyuz (Rusia) adalah launch vehicle yang paling sering digunakan di dunia saat ini. Tahun lalu, peluncuran BRISAT (satelit Bank BRI) juga melibatkan salah satu anggota keluarga Soyuz. Kapasitas Soyuz tidak bisa dianggap remeh karena sudah dikembangkan sejak 1966 (bahkan saat itu Elon Musk belum lahir). Soyuz masih beroperasi sampai saat ini diwakili oleh Soyuz-2.

Peluncuran Soyuz

Namun, walaupun baru lahir tahun 2000an, Falcon 9 langsung mempecundangi Soyuz secara spesifikasi. Keduanya mampu membawa payload (muatan) hingga orbit geostasioner[1] atau 35.786 km di atas permukaan laut. Tetapi Falcon 9 mampu membawa muatan sebesar 8300 kg sampai GTO sedangkan Soyuz hanya mampu membawa 3250 kg muatan. Akibarnya, pada orbit yang lebih rendah pun (misal Low Earth Orbit atau LEO) Falcon 9 mampu membawa lebih banyak payload. Hubungannya sederhana, lebih banyak yang bisa dibawa, lebih banyak revenue yang didapat, lebih murah biaya peluncuran per kilogram.

Masih banyak lagi kelebihan Falcon 9-nya SpaceX dibandingkan Soyuz. Misalnya dari segi cost per launch, 62 juta USD untuk Falcon 9 dan 80 juta USD untuk Soyuz. Lalu dari segi site peluncuran, Falcon 9 diluncurkan di Amerika (Kennedy Space Center, Cape Canaveral, dan Vandenberg). Sementara Soyuz 'harus' menyewa tempat di Kazakhtan dan Kourou, di French Guiana, sebelah Suriname di Benua Amerika yang dekat dengan garis katulistiwa. Tujuannya adalah untuk melakukan peluncuran inclinasi rendah yang hanya dapat dilakukan di dekat ekuator [2]. Inclinasi rendah menguntungkan untuk menempatkan satelit pada orbit favorit karena tidak dibutuhkan 'manuver ganti inclinasi' yang memakan biaya lumayan akibat bahan bakar yang dibutuhkan.

Tapi lebih dari itu semua, ada perbedaan yang tidak terbantahkan yaitu Soyuz tidak bisa landing. Soyuz lahir pada jaman di mana filosofi reusable rocket belum populer. Secanggih-canggihnya Soyuz, dia tidak didesain untuk bisa kembali bumi dan mendarat utuh. Setelah stage demi stage pelepasan sukses dilakukan dan misi selesai, Soyuz dibuang dan menjadi space debris [3] maupun rongsokan yang begitu saja jatuh ke bumi.

Salah satu pendaratan Falcon 9, tampak landing leg-nya terbuka

Sementara itu, Falcon 9 telah sukses melakukan 16 pendaratan di bumi (dari 21 percobaan). Setelah melalui proses repair dan maintenance, sebagian part-nya bisa digunakan untuk misi selanjutnya. Itulah yang membuat launch cost Falcon 9 bisa murah.

Tampak betapa SpaceX mampu menekan biaya peluncuran


Falcon 9 vs Space Shuttle

Ide mengenai reusable launch vehicle sebenarnya sudah ada sejak lama, terutama di Amerika Serikat. Pada pertengahan dekade 70-an, US berhasil melakukan first flight Space Shuttle yang diberi nama Enterprise. Namun Enterprise tidak menjalankan misi secara penuh, dia hanya melakukan tes untuk proses approach dan landing. Misi orbital dilakukan oleh penerusnya, Columbia, Challenger [4], Discovery, dan Atlantis. Sayang, dalam riwayatnya Space Shuttle mengalami 2 insiden yang membunuh total 14 astronot : Challenger 1986 dan Columbia 2003.

Space Shuttle take off


Challenger mendarat setelah menjalankan misi

Membandingkan Falcon 9 dan Space Shuttle sebenarnya kurang tepat. Bagaimanapun filosofi Space Shuttle adalah pesawat terbang fixed wing yang didesain sedemikian rupa sehingga mampu melakukan misi orbital dan kembali ke bumi. Ini jelas berbeda dengan Falcon 9 yang nature-nya memang roket.

Implikasinya misalnya fleksibilitas muatan yang bisa di bawa. Dari segi berat muatan maksimal Space Shuttle telah kalah (hampir sama dengan Soyuz), lebih dari itu dimensi dan bentuk payload relatif terbatas karena harus menyesuaikan dengan bentuk wahana. Di sisi lain, selain dapat membawa payload lebih banyak, Falcon 9 dapat menyesuaikan diri dengan payload yang dibawa.

Falcon 9 memiliki 2 opsi penyimpanan payload. Pertama, menggunakan Dragon Spacecraft. Dragon Spacecraft memiliki kabin bertekanan untuk membawa astronot ditambah Trunk untuk membawa kargo. Opsi kedua berguna jika Falcon 9 digunakan untuk membawa satelit berukuran besar, Dragon bisa digantikan dengan Composite Fairing yang berkapasitas besar.

Akibat lain dari perbedaan konsep kedua wahana ini adalah caranya mendarat. Space Shuttle mendarat persis seperti pesawat terbang konvensional. Kadang untuk membantu pengereman Space Shuttle dilengkapi parasut di bagian belakang.

Sementara itu, Falcon 9 - ini yang sangat saya kagumi dari Falcon 9 - mendarat secara vertikal!
Somehow Falcon 9 mampu mencapai koordinat pendaratan dan memposisikan dirinya pada posisi vertikal. Falcon masih menyalakan mesin propulsinya untuk menahan berat badannya sambil sedikit demi sedikit turun. Ketika hampir mencapai ground, 4 kaki pendaratannya di-deploy. Falcon menyentuh pad-nya lalu mematikan mesin. Pinpoint accuracy!

Peluncuran Soyuz, Space Shuttle, dan Falcon 9 sama kerennya. Tapi saya masih terkagum-kagum melihat video pendaratan Falcon 9. Betapa canggihnya teknologi yang dimiliki SpaceX. Wajar kalau SpaceX menjadi satu-satunya perusahaan swasta yang sudah mampu 'mampir' di International Space Station (ISS).

Pendaratan Falcon 9

Beberapa ratus tahun yang lalu, persaingan antar bangsa terjadi di perairan. Aktivitas ekonomi dan militer berpusat di laut. Dari jaman ini lahir penjelajah-penjelajah hebat seperti Ibnu Batutah, Christopher Colombus, Marcopolo, dsb. Penemuan mereka berupa pulau atau bahkan benua baru. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang memiliki armada laut tangguh plus sumber daya alam melimpah.

Beberapa dekade yang lalu persaingan berpindah ke udara. Teknologi penerbangan dan persenjataan berkembang pesat akibat tuntutan dan kebutuhan perang dunia. Siapa lebih cepat mengembangkan teknologi militernya dia yang menang dan ditakuti. Era ini agaknya sudah mulai berakhir, sekarang dimana kita melihat sesama pesawat tembak-tembakan ? [5]. Yang ada, negara pengecut mengirim pesawatnya untuk mengebom negara lain yang nyaris tak bersenjata.

Saat ini perang mulai bergeser ke luar angkasa, star wars. Perang bukan lagi melalui tembakan meriam atau missil, star wars lebih halus. Contoh operasinya adalah spionase, menempatkan satelit mata-mata di atas wilayah negara lain. Bagaimanapun, Rusia dan Amerika Serikat masih menjadi superpower dalam era ini.

Elon Musk

RKA (Rusia) dan NASA (Amerika) punya segala sumber daya untuk menjadi kontestan perang bintang ini. Tapi yang menakjubkan adalah bagaimana seorang pria, Elon Musk, mampu masuk ke industri ini. Space technology adalah salah satu bidang teknologi paling mutakhir saat ini dan dia tampil menjadi seorang yang sangat diperhitungkan. Melalui SpaceX, Elon melakukan sesuatu yang luar biasa.



Chandra
11 September 2017







[1] Pada orbit geostasioner (GTO), benda apapun (misal satelit) akan bergerak di atas ekuator pada kecepatan yang sama dengan gerak rotasi bumi. Akibatnya satelit itu akan berada di atas titik yang sama di atas bumi sepanjang waktu. Satelit telekomunikasi biasanya ada di orbit ini agar dapat mengcover suatu wilayah (misal negara) setiap waktu.

[2] Indonesia sebenarnya punya keuntungan sebagai negara ekuatorial. Launch site, jika didirikan di Indonesia, bisa punya efisiensi yang tinggi dari segi sudut inclinasi awal peluncuran.

[3] Space debris adalah sampah antariksa berupa bekas-bekas roket, satelit yang sudah mati, dan obyek buatan manusia lain. Mengingat ukurannya yang mikro relatif terhadap ukuran ruang antariksa, space debris selama ini dibiarkan saja mengorbit. Namun, gagasan untuk membersihkan debris ini mulai muncul di kalangan engineer dan ilmuan antariksa.

[4] Kalau kamu menonton film Rudy Habibie, di sana ada tokoh bernama Liem Keng Kie (diperankan Ernest), beliau adalah salah satu engineer di Challenger yang juga merupakan tokoh dan dosen Teknik Penerbangan ITB.

[5] Selain faktor hubungan internasional dimana banyak negara sudah membuat perjanjian damai, pertempuran udara (dodge fight) memang sudah tidak relevan lagi. Pemenang perang bahkan sudah bisa diramalkan secara akurat sebelum perang terjadi berdasarkan alutsista yang dimiliki. Buat apa mengorbankan pesawat dan pilot ?


sumber gambar :
Founderfund
Spacenews
LAtimes
NASA
Russian Space Web
Wikipedia

Bumi Langit (Lagi!)



Setelah akhir tahun lalu sempat berkunjung ke Bumi Langit, libur idul adha kemarin alhamdulillah saya berkesempatan berkunjung lagi ke sana. Kali ini bersama Ega dan Ifa, seperti pada post sebelumnya,Tradisi Rewang (edited).

Dalam perjalanan menuju Bumi Langit - saya jadi sopir lagi - saya mereka-reka mau menulis apa soal perjalanan kali ini. Begitu sampai di Bumi Langit, saya coba menghubungi pelayan untuk bertanya apakah ada guide yang available untuk menemani kami berjalan-jalan keliling kebun. Jawabannya agak mengecewakan, tidak ada guide untuk hari-hari ini dan kebun sedang dirombak.

Ahh..sayang sekali, padahal sudah terbayang akan jalan-jalan keliling kebun, melihat lebih banyak hal dari sebelumnya, mengobrol dengan Pak Iskandar Woworuntu, dan menikmati suasana Bumi Langit sampai Dzuhur lalu pulang. Tapi karena nanggung sudah terlanjur sampai sana, diam-diam kami jalan-jalan sendiri.

Saya yang sudah pernah kesana sebelumnya berperan sebagai guide. Kami jalan mengikuti rute yang dulu saya lalui. Rute agak berubah karena memang ada beberapa bagian kebun yang dirombak. Dugaan saya porsi untuk lahan pertanian organik akan ditambah. Saya melihat beberapa bagian dibersihkan dan sepertinya akan digunakan untuk menanam sesuatu.

Sampai di bagian kandang sapi kami melihat beberapa orang sedang menata batu-batu untuk menjadi jalan. Salah satu di antara mereka adalah anak Pak Iskandar, saya masih ingat wajahnya dan penampilannya yang khas, tidak kaosan. Karena tidak dipandu guide, akhirnya saya mencoba beberapa jalur lain dan malah menemukan sesuatu yang baru.

Akhirnya beberapa pertanyaan saya soal Bumi Langit terjawab. Pertama, untuk wilayah seluas itu dan aktivitas sepadat itu terutama di Warung Bumi, tidak mungkin sumber listrik hanya dari tenaga matahari yang terpasang di dekat kandang sapi. Mereka memang tidak memakai listrik PLN tapi ternyata ada generator yang bekerja di sana. Bahan bakarnya tentu dibeli dari pom bensin.

Kedua, soal memasak. Sepertinya Bumi Langit makin serius dengan sayap bisnisnya Warung Bumi. Aktivitas di restoran ini semakin ramai. Mungkin memang kebanyakan orang lebih senang menyantap makanan khas Bumi Langit di Pendopo sambil melihat pemandangan di bawah daripada nyeblok-nyeblok ke kebun. Apalagi kalau beruntung bisa ngobrol langsung dengan Pak Iskandar-nya. Sayang kemarin beliau sedang sibuk kedatangan rombongan entah dari mana, platnya sih Z, Ciamis mungkin. Nah soal memasak ini, walaupun menyertakan biogas, tapi sumber gas utamanya tetap dari LPG. Kemarin saya lihat pick up yang mengantar beberapa tabung gas 12 kg. Maklum, banyak sekali kompor yang digunakan di restorannya, restoran semakin laris mungkin setelah dikunjungi Obama kemarin.



Ketiga, untuk operasional Bumi Langit pasti butuh kendaraan. Benar saja, di dalam saya lihat ada garasi lengkap dengan beberapa mobil. Ada Pajero seingat saya, ada juga sejenis MPV yang saya lupa merk apa, mungkin pick up yang mengantar gas juga punya Bumi Langit sendiri.

Tidak ada yang salah dengan itu semua, namanya juga kegiatan produksi. Hanya saja yang perlu diingat adalah seidealis Bumi Langit pun masih perlu bekerja sama dengan pihak lain, termasuk yang terkesan 'modern'. Sesuatu yang dulunya saya kira 'tabu' untuk Bumi Langit.

Memang kita tidak bisa menghukumi sesuatu sebagai halal atau haram. Pisau bermanfaat kalau digunakan memotong daging kurban, tapi jadi berbahaya kalau dipegang orang yang mampu melukai. Bumi Langit lokasinya di perbukitan daerah Imogiri, yakali transportasinya harus pakai dokar.

Gagasan Bumi Langit untuk menerapkan dan memasyarakatkan permaculture memang baik. Niat untuk menjaga keseimbangan dan hubungan baik manusia - alam juga mulia. Tapi bukan berarti segala hal harus organik, asli, alami, anti-modern.

Dari kunjungan pertama saya ke Bumi Langit saya belajar bahwa "ada lho ternyata orang yang idealis menjauh dari kehidupan kota dan modernitas lalu kembali ke alam sebagai pengayom sambil mencari keberkahan". Dari kunjungan kedua saya, saya belajar bahwa "segala hal tetap harus ditranslasikan karena adanya perkembangan teknologi, budaya, cara berinteraksi, dan lain lain".

Saya juga jadi tertampar. Jangan terlalu banyak pencitraan. Cepat tenar, cepat cemar, kalau omong tok tanpa memperbaiki diri !


Chandra

Tradisi Rewang





Rewang adalah salah satu tradisi masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai salah satu cara membantu keluarga atau tetangga yang sedang mengadakan kenduri, pesta, maupun perhelatan pesta adat di mana membutuhkan tenaga bantuan untuk mengurus konsumsi dan kesibukan rumah tangga lain. - Kompasiana

Saya baru sampai di Bandung setelah seminggu terakhir mudik ke Bantul. Selain Idul Adha, di rumah juga ada acara peringatan 2 tahun meninggalnya Mbah Upi (nama aslinya Supiah, nenek saya). Karena rumah saya di desa, ada adat untuk memeringati 40 hari-an, 100 hari-an, setahun-an, 2 tahun (peling), dan 1000 hari-an. Kalau kamu tinggal di desa pasti paham bahwa ngumumi itu penting, walaupun di keluarga kami konten acaranya dimodifikasi. Kebetulan rumah saya ini rumah tabon[1] jadi sering menjadi tempat acara keluarga, bahkan sengaja dibangun pendopo yang berfungsi seperti aula dan dapur yang mendukung.

Acara mengundang tetangga-tetangga, bapak dan ibu, totalnya sekitar 150 orang dan diisi pengajian dengan menghadirkan pembicara, plus ada pembacaan surat Yasin. Kebiasaan-kebiasaan macam ketan kolak apem, sanggan, atau simbol-simbol lain diputuskan untuk dihilangkan. Bahkan pemilihan tanggal sengaja dipilih tanggal 2 kemarin ngepasin libur idul adha biar saudara-saudara bisa mudik, tidak tepat 2 tahun. Karena ini termasuk tindakan yang kurang ngumumi untuk ukuran masyarakat desa, wajar kalau mengundang komentar. Tapi mungkin memang sifat 'bodo amat' saya menurun dari ibuk. Diniati sedekah saja.

Pak Ustadz yang memang disukai warga di sekitar rumah, sering ceramah di masjid-masjid sekitar


Untuk alasan simplicity, besek diganti dengan tas

Tapi di luar itu semua, ada budaya yang saya sangat suka dari penyelenggaraan acara semacam ini, yaitu tradisi rewang. Konsep rewang hampir sama dengan jasa katering. Kalau katering kita bayar dan tahu beres, tradisi rewang menganut paham bahwa tuan rumah tidak perlu ikut masuk dapur, ra ilok. Hanya saja jasa katering dibayar uang, sedangkan ibu-ibu yang rewang biasanya imbalannya berupa bingkisan, bukan uang (umumnya ya, walaupun ada juga yang menyertakan amplop). Memang yang lebih repot kalau ada hajatan begini kaum perempuan. Yang laki-laki paling hanya menyiapkan tempat acara atau menjadi sopir ngalor-ngidul seperti saya.

lemper, jepretan Bayu Sustiwi

Memasak gulai


Suasana dapur belakang


Militansi armada rewang ini luar bisa. Kemarin waktu membuat lemper[2] ibu-ibu itu begadang entah sampai jam berapa, menjelang pagi mungkin. Menjelang malam mulai dikerjakan, paginya sudah matang dan saya diminta mengantar ke rumah beberapa saudara. Belum lagi harus memasak gulai sapi memanfaatkan daging kurban kemarin, itu juga memakan waktu cukup lama, tapi hasilnya luar biasa enak, sepertinya saya nambah berat beberapa kilo selama libur kemarin.

Susah lho jaman sekarang mencari orang yang mau bekerja keras berbekal niat gotong royong, tak berbayar. Tapi sebenarnya tak sesederhana itu, rewang adalah investasi. Karena nantinya jika diantara yang rewang ini ada yang punya hajatan maka dia akan gantian dibantu oleh yang lain. Dari segi biaya penyelenggaraan acara, konsep ini menghemat anggaran dalam jumlah yang lumayan.

Kemarin saya juga kedatangan Ega dan Ifa yang ikut membantu rewang. Ifa memang masih terhitung tetangga, rumahnya tidak terlalu jauh dan memang sudah kenal lama. Sedangkan Ega adalah teman di kampus yang libur idul adha kemarin dolan ke Jogja dan nginep di rumah Ifa. Ega orang Padang, sengaja diajak oleh Ifa biar tahu rewang ala Jawa katanya.

"Rewang"   |    ig : megalianiputri

Rewang selesai ketika semua kebutuhan konsumsi siap. Saat itu lah giliran pemuda-pemuda yang membantu laden[3]. Hampir sama dengan konsep rewang tadi, tuan rumah tidak boleh ikut laden menyajikan makanan dan minuman. Dulu saya juga aktif ikut laden kalau ada tetangga yang punya acara. Tapi sejak pindah ke Bandung sudah tidak pernah lagi, lagipula sekarang giliran angkatan yang lebih muda. Laden dimulai dengan menyajikan minuman dan snack. Lalu menunggu komando untuk menyajikan makanan utama. Setelah acara selesai mereka bertugas mengambil kembali piring bekas makan tamu.








Acara selesai dan satu per satu tamu pulang. Keluarga tuan rumah biasanya masih mengobrol sambil membereskan tempat. Lalu saudara-saudara satu per satu juga pulang ke rumah masing-masing. Rumah yang beberapa hari terakhir riuh oleh aktivitas rewang menjadi kembali lengang.


Chandra


[1] serumah dengan orang tua, tujuannya menemani
[2] makanan dibuat dari ketan berisi daging, dibungkus daun pisang
[3] penyaji makanan dalam sebuah acara