Book Review : Keluarga Cemara Ada Lanjutannya




Judul : Keluarga Cemara 2
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2017 (Desember, cetakan kedua)
Jml Halaman : 341


Minggu siang yang agak longgar dan saya iseng jalan-jalan ke toko buku. Tanpa sengaja melihat buku Keluarga Cemara 2. Saya baru tahu kalau Keluarga Cemara ada buku keduanya. Akhirnya sampai browsing dan ternyata memang ada, cetakan pertama tahun 2013. Buku yang pertama saya baca sekitar dua tahun yang lalu dan bagus. Bagaimana dengan yang ini ?

Keluarga Cemara 2 masih soal keluarga Abah, Ema, Euis, Ara, dan Agil. Keluarga yang dulunya pengusaha kaya di Jakarta lalu bangkrut karena dicurangi lalu mengasingkan diri ke pedesaan Tasikmalaya. Bagi keluarga ini hanya kejujuran yang bisa menyelamatkan hidup mereka. Ceritanya sangat menyentuh, tentang keluarga dari golongan yang dianggap rendah pada society yang melihat segala sesuatu berdasarkan kepemilikan.

Sebuah kutipan (kredit Arswendo) :

Melalui pembantunya, Tante Pressier akhirnya memberi gantu rugi. Memberikan uang lima ratus rupiah. Euis menggeleng.
"Habis, apa dicetak lagi kalau sudah terbakar?"
"Saya tidak mau."
"O, kamu minta yang baru, ya? Yang dari toko ?
"Tidak. Saya minta tiga ratus lima puluh rupiah."
"Ambil saja semuanya. Saya tidak peduli sisanya."
"Tidak. Saya mau harga sewaktu tempat minum plastik itu saya beli.", ucap Euis.
Keangkuhan Tante Pressier terjotos di pusatnya. Untuk pertama kalinya Tante Pressier merasa dikalahkan oleh seorang anak kecil. Dalam hal yang selalu dibanggakan : uang!

Sudah terbayang bukunya seperti apa ?

Keluarga Cemara 2 adalah kompilasi dari tiga cerita : Tempat Minum Plastik dari Toko, Becak Emak, dan Bunga Pengantin. Sayangnya, kompilasi ini seperti terlalu dipaksakan. Masih oke kalau misalnya ceritanya tidak berhubungan. Tapi di buku ini ada banyak sekali perbedaan fundamental antara bagian 1 dengan bagian 2-3nya. Sekilas saja bisa dilihat font-nya berbeda, format penulisan judul juga berbeda, impresi cerita berbeda, tapi yang parah adalah perbedaan penggunaan kata Ema (bagian 1) dan Emak (bagian 2-3). Rasanya seperti bagian 1 adalah lanjutan dari buku pertama yang tertinggal sedangkan 2-3 adalah kisah yang lain walaupun masih soal keluarga ini.

Kalau dibandingkan buku pertama masih lebih menyenangkan yang pertama untuk dibaca. Tapi itu lebih karena faktor ketidaksinkronan di atas, kalau mutu ceritanya sih setara. Kalau dulu sempat nonton serial Keluarga Cemara di TV pasti sulit untuk tidak membaca buku Keluarga Cemara (1). Dan ketika sudah membaca yang pertama, sulit untuk mengelak dari yang kedua.

Lagi kurang bersyukur ? baca ini. Lagi iri dengan keberhasilan orang lain ? baca ini. Buku ini sangat menampar. Orang yang lebih sulit hidupnya daripada rata-rata kita ternyata lebih pandai bersyukur.

Saya kemarin nemu buku ini di Toga Mas Bandung, tapi harusnya juga tersedia di toko buku besar lain. Kalau mau pinjam punya saya nggak masalah juga sih, silakan kontak. Selamat membaca!


Film Review : King Kenny Documentary



Judul : Kenny
Tahun : 2017
Sutradara : Steward Sugg
Cast : himself!


Kenneth Mathieson Dalglish a.k.a Kenny Dalglish adalah pemain paling penting Liverpool pada era keemasan di dekade 80an. Periode tahun 1978 sampai 1990 Liverpool memenangkan 8 gelar Liga Inggris, 3 European Cup, 2 FA Cup, 4 League Cup, 5 Charity Shield, dan 1 UEFA Super Cup. Sayang, terakhir Liverpool juara Liga Inggris adalah tahun 1990, dengan Kenny Dalglish sebagai pelatih dimana musim itu juga menjadi musim terakhirnya.

Kenny Dalglish juga menjadi saksi terjadinya dua tragedi besar dalam sepakbola yaitu peristiwa Heysel dan Hillsborough. Tragedi Heysel (di Belgia) terjadi pada final European Cup 1985 antara Liverpool melawan Juventus. Hal buruknya bukan Liverpool kalah 1-0 oleh penalti Platini tapi karena ada 39 orang kehilangan nyawanya di stadion itu. Liverpool dilarang bermain di Eropa selama beberapa tahun setelahnya.

Tragedi Hillsborough terjadi sekitar 4 tahun setelahnya di Sheffield, Inggris pada pertandingan semifinal FA Cup 1989 antara Liverpool melawan Nottingham Forest. Pada peristiwa itu total 96 nyawa melayang. Sampai saat ini peristiwa ini terus diperingati tiap tahun dan untuk mengenang jasa suporter yang meninggal pada jersey Liverpool disematkan angka 96. Sampai saat ini penyelesaian kasus ini belum juga tuntas.

Prestasi dan tragedi adalah dua sisi yang di-highlight oleh film Kenny (2017, IMDb 7.3/10) garapan Steward Sugg. Film ini bercerita tentang karier Kenny Dalglish sebagai pemain, pemain merangkap pelatih, dan pelatih. Pada tahun 1985 sehari setelah tragedi Heysel Dalglish ditunjuk menggantikan Joe Fagan sebagai pelatih. Saat itu kontraknya sebagai pemain masih berjalan. Alhasil dia menjadi pelatih tim sekaligus pemain di lapangan - dan menyumbangkan banyak gelar hingga musim 1989-1990. A king for a reason.

Sejak bergabung dengan Liverpool pada 1977 Kenny Dalglish langsung menjadi pemain penting. Dia disebut oleh rekan setimnya kala itu sebagai pemain yang jenius. Barnes dan Ian Rush adalah partner sekaligus junior yang banyak muncul pada film ini menyampaikan pujiannya. Oh ya, film Kenny lebih seperti dokumenter ya, bukan biografi dimana Dalglish diperankan oleh orang lain lalu diskenariokan mengulangi kejadian-kejadian lampau. Bagi orang yang tidak mengikuti Liverpool selama ini mungkin akan merasa bosan menontonnya, tapi bagi Kopites (sebutan untuk fans Liverpool) film ini sangat menggugah. Meski begitu, banyak spirit soal semangat, pengorbanan, dan kebangkitan yang bisa menjadi pelajaran bagi semua orang.

On the field

Dalglish bercerita di film ini soal detail-detail peristiwa yang selama ini tidak ditulis oleh media. Itulah sebabnya film ini sangat layak tonton. Dikombinasikan dengan footage-footage dari masa lampau, film memberikan gambaran jelas, menarik, dan mendebarkan tentang masa kejayaan Liverpool.

Biografi adalah salah satu genre film favorit saya. Tapi film ini berbeda dari yang lainnya karena selain berasal dari kisah nyata, tokohnya sendiri yang menuturkan dan tampil. Rasanya tidak banyak film seperti ini. 

Biasanya yang menarik dari film biografi adalah di akhir film ada penjelasan mengenai orang yang diceritakan, misalnya 

"Ini adalah foto Ginsberg ketika ditemukan (sambil menampilkan foto) . . . 12 tahun kemudian Ginsberg kembali ke sungai di Hutan Amazon yang nyaris merenggut nyawanya", film Jungle (2017)

Ngerti lah ya maksudnya, banyak film memberikan penjelasan seperti ini di akhir sebagai penutup. Tapi film Kenny sudah soal Kenny itu sendiri, apa yang ditampilkan adalah literally apa yang terjadi, jadi tidak penting memberikan catatan seperti itu. 

However, kekuatan film ini tetap ada peda endingnya. Bukan penjelasan melainkan rangkaian footage dan foto yang disusun untuk meringkas karier dan jasa seorang Kenny Dalglish bagi Liverpool yang panjang itu. Tentu dengan diiringi lagu kebanggan You'll Never Walk Alone. One of the best movie ending!!

Welcome...

Oktober 2017 Liverpool memberikan penghargaan kepada King Kenny dengan menamai salah satu sisi stadion Anfield dengan nama "Kenny Dalglish Stand". What an accomplishment...

Kenny Dalglish Stand

All round the field of Anfield Road
Where once we watch the King Kenny play
Stevie Heighway on the wing
We have dreams and songs to sing
'Bout the glory round the field of Anfield Road





Belanja Online : Yes or No ?



Saya lupa baca dimana, tapi ada yang bilang kegagapan belanja online di Indonesia saat ini sudah jauh menurun dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Kabar gembira. Menurut saya e-commerce akan berkembang tahun-tahun ke depan. Kenapa ? karena motif ekonomi. Orang ingin mendapat barang sebagus mungkin dengan harga tertentu atau mendapat harga terendah untuk kualitas barang tertentu. Gampangnya, secara umum belanja online lebih murah. Itu alasan paling simpel dan masuk ke semua orang.

Tanpa promo dan program sale pun, harga-harga barang yang dijual di internet biasanya dibawah harga pasaran. Alasannya karena biaya operasional yang harus dikeluarkan penjual lebih sedikit. Penjual tidak harus punya/sewa kios, tidak perlu banyak pegawai, dan untuk skala tertentu tidak ada pajak sama sekali. Nggak tahu ya kalau nanti pemerintah mengenakan pajak untuk e-commerce...

Tapi memang belanja online punya kelemahan yaitu rentan penipuan. Tidak adanya tatap muka antara penjual dan pembeli serta terbatasnya akses pembeli untuk mengecek barang membuka peluang oknum-oknum nakal untuk bermain. Mungkin orang-orang yang masih ragu belanja online itu sebagian besar sebabnya karena pernah kena tipu.

Atas dasar pemahaman itu saya coba untuk sejujur mungkin selama 6 bulan terakhir berjualan online. Alhamdulillah belum ada keluhan karena faktor barang tidak sesuai atau semacamnya. Bahwa pernah ada barang rusak di tangan kurir ekspedisi itu iya, tapi itupun bisa diselesaikan baik-baik.

Sebagai orang yang sudah merasakan manfaat e-commerce saya mau memberikan beberapa info untuk kawan-kawan yang masih khawatir belanja online.

Pertama, ada banyak marketplace di Indonesia (lebih banyak lagi kalau memasukkan yang skala internasional seperti eBay dan Aliexpress). Kalau yang populer di Indonesia diantaranya Tokopedia, Shopee, Bukalapak, OLX, Lazada, dll. Sebaiknya memang kita tahu karakteristik masing-masing marketplace itu. Misalnya Tokopedia saat ini masih menjadi pasar paling ramai jadi kemungkinan varian barang yang dijual disana lebih lengkap. Tapi Shopee punya lebih banyak promo gratis ongkir kalau ingin lebih hemat. Lain kasus kalau ingin cari barang second misal motor bekas lebih cocok buka OLX. Info-info seperti ini bisa diketahui dari forum-forum di internet atau merasakan sendiri dengan berbelanja disana. Silakaaan..

Kedua, tentang oknum pedagang tidak jujur. Di setiap marketplace pasti ada penjual yang memanfaatkan lubang nir tatap muka tadi untuk berbuat jahat. Tapi percayalah itu hanya oknum, lebih banyak penjual yang jujur. Jangan sampai karena satu pengalaman buruk belanja di salah satu marketplace lalu membenci semua penjual di marketplace itu (saya pernah ketemu kasus begini). Saya punya beberapa tips untuk membedakan penjual yang jujur dari yang tidak. Di poin selanjutnya ya.

Ketiga, tips membedakan penjual jujur dan tidak jujur. Yang paling penting untuk dilakukan adalah melihat review/feedback/ulasan di laman penjual yang bersangkutan. Orang-orang yang pernah membeli dari toko tersebut biasanya akan meninggalkan review berupa penilaian atas layanan, kualitas barang, kesesuaian, dll. Konsepnya persis seperti rating bintang di Gojek/Grab. Coba perhatikan review dari pembeli sebelumnya. Semakin banyak review positifnya maka InsyaAllah penjual tersebut bisa dipercaya. Bahkan sama-sama jujur pun dengan review ini bisa dilihat mana penjual yang responnya cepat mana yang lambat, mana yang packingnya rapi mana yang tidak, dan masih banyak lagi.

Keempat, membayar belanjaan online itu tidak susah, banyak caranya. Kalau kamu sudah punya saldo di marketplace yang digunakan misal Saldo Tokopedia atau Buka Dompet, maka kamu bisa langsung mengambil dana dari sana. Kalaupun tidak, pembayaran bisa dilakukan melakui transfer ATM, Indomaret, kartu kredit, dll. Dan yang paling penting soal bayar membayar, uang yang kamu transfer nggak akan masuk ke saldo penjual kalau barang belum kamu konfirmasi diterima dalam keadaan baik, jadi santai aja. Worst case-nya, kalau barang nggak diterima uang itu akan dikembalikan 100% tanpa potongan.

Kelima, berjualan online itu gampang. Kamu nggak perlu mengeluarkan banyak modal karena membuka toko di marketplace sepenuhnya gratis. Yang perlu disiapkan hanya barang yang akan dijual. Ketika sudah jalan, nggak perlu takut waktumu tersita untuk mengurus toko online. Saya selama ini menjalankan toko online sambil bekerja full-time dan oke oke saja. Saya menunggu orderan masuk lalu mengirim barang pagi hari sekalian berangkat dan malam hari sepulang kantor. Sebagai bonusnya, alhamdulillah hasil berjualan online itu cukup bahkan lebih untuk menutup daily expenses.

Kalau ditanya belanja online yes or no tentu saya jawab yes karena sudah merasakan sendiri manfaatnya. Saya ingin mengajak yang masih ragu, yok cobain belanja di internet. E-Commerce adalah efek tak terpisahkan dari berkembangnya dunia digital. Belanja online adalah aktivitas ekonominya netizen.

Kita ini kan hidup di dua dunia, nyata dan maya. Kita belajar di sekolah tapi juga suka cari video DIY (Do It Yourself) di YouTube. Kita ngobrol di warung kopi tapi juga rame di twitter. Kita jalan-jalan ke berbagai tempat tapi nyimpen kenangannya di Instagram. Jadi belanja online pun simply hanya belanja di supermarket yang di-maya-kan.

Semua riset mengatakan bahwa dari tahun ke tahun nilai transaksi e-commerce meningkat. Ayok yang ngaku netizen milenial yang melek internet jangan sampai ketinggalan arus ini. Belanja online itu mudah, murah, dan aman :)


Regards,
Chandra


gambar : www.e-spincorp.com







Welcome to the Ownerless Era ?




Akhir-akhir ini mencuat istilah ownerless era di kalangan generasi milenial terutama di perkotaan. Kira-kira artinya adalah tidak terlalu penting lagi untuk memiliki semua hal, yang penting bisa merasakan manfaatnya.

Gojek, Grab, dan Uber telah menggerus urgensi untuk memiliki kendaraan sendiri. Kini dengan sangat mudah orang dapat pergi dari satu tempat ke tempat lain bermodal smartphone dan koneksi internet. Spotify dan Joox menjadikan kita tidak perlu menyimpan file MP3 di komputer seperti jaman Winamp dulu. Platform buku dan komik digital memungkinakn untuk membaca konten tanpa harus membeli dan mimiliki buku fisik.

Kemajuan teknologi (digital) membantu banyak aktivitas manusia dengan menjadikannya semakin efisien. Sharing economy membuat milenial tidak perlu memiliki beberapa jenis barang untuk bisa memanfaatkan nilai gunanya. Tapi perkembangan ini menimbulkan kekhawatiran. Kemudahan untuk menggunakan tanpa harus memiliki diduga membuat milenial malas untuk membeli properti, kendaraan, dll.

Dua puluh tahun yang lalu transportasi umum belum sebaik sekarang. Saat itu tempat tinggal kontrak/apartemen juga masih sulit dicari. Yang lebih jelas lagi, teknologi digital dan internet belum booming seperti sekarang. Akibatnya, generasi orang tua kita mau tidak mau harus mengusahakan untuk punya tempat tinggal dan kendaraan.

Tapi sekarang itu bukan lagi prioritas karena toh kita masih bisa wira-wiri naik mobil dengan taksi online yang harganya terjangkau. Untuk tempat tinggal ada banyak kos, rumah kontrakan, atau apartemen yang nyaman ditempati.

Beberapa waktu yang lalu tirto.id sempat merilis bahwa banyak milenial membelanjakan tabungannya untuk traveling demi mendapatkan experience dan foto untuk feed social media instead of investasi. Makan di restoran ala-ala dan gadget juga menjadi chanel pengeluaran. Ngeksis or die pokoknya. Akibatnya, kata tirto.id, mayoritas milenial (urban) tabungannya kurang dari 13 juta.

Kekhawatiran yang kemudian muncul adalah bagaimana jika nanti anak-anak milenial ini jadi tidak punya aset sama sekali ? Jaman sekarang perubahan sosial dan ekonomi bisa terjadi sangat tiba-tiba, bagaimana kalau kita-kita ini tidak siap ?

Beruntung ada media dan orang-orang yang mengangkat isu ownerless era ini. Kita jadi sadar dan bisa bercermin soal pengelolaan uang. Saya belum lama lulus kuliah, tapi selama ini saya sudah menyaksikan orang yang menderita dikejar-kejar tagihan kartu kredit, ada yang tidak bisa meneruskan kredit mobilnya sehingga terpaksa menawarkan over kredit di grup jual beli, atau ada orang yang hedon di tanggal muda tapi jadi pendiam di akhir bulan.

Baik buruk dan jalan apa yang dipilih terserah pada pribadi masing-masing. Saya juga tidak merasa sepenuhnya benar. Alangkah senangnya kalau ada teman yang bisa diajak sharing soal fenomena ini. Tapi untuk saat ini saya bersyukur masih bisa mempertahankan gaya hidup ala mahasiswa saat sudah bekerja hehe..

Sebagai penutup, "rejeki itu urusannya berkah-berkahan"


Chandra

gambar : money.usnews.com