Macam-Macam Employer


*di bidang IT, pada sektor banking/insurance/finance

Ini berdasarkan pengalaman saya selama bekerja di bidang IT pada sektor perbankan dan finance. Ada beberapa tipe perusahaan employer di bidang ini yang satu sama lain saling terkait. Talent-nya pun begitu, perpindahan dari satu employer ke employer yang lain banyak terjadi. Jadi bukan barang langka coworker yang kerja bareng di satu kantor beberapa tahun yang lalu ketemu lagi di company baru setelah berpisah melewati jalur karir yang berbeda.

Field of view saya tentu tidak mencakup semuanya, orang lain dengan jalur karir yang berbeda pasti punya insight yang lain lagi dan bisa saling melengkapi. Tapi menurut pengalaman saya ada 4 jenis employer, berikut listnya beserta kelebihan dan kekurangannya.

1. Perusahaan User
Ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang finance itu sendiri. Jadi perusahaan seperti Bank Mandiri, BSI, Asuransi Allianz, atau Adira Finance termasuk di dalamnya. Kelebihannya kalau sudah masuk ke perusahaan seperti ini adalah career continuity dan benetif yang relatif baik, apalagi jika company-nya adalah perusahaan dengan nama besar, bagian dari jaringan multinasional, perusahaan publik (Tbk), dan punya performa bisnis yang sehat. Kalau sudah jadi pegawai tetap, bekerja di sana sampai pensiun pun bisa dibilang sebuah pilihan yang masuk akal. Sektor jasa keuangan adalah sektor yang diawasi secara ketat oleh regulator, jadi biasanya perusahaan di bidang ini relatif taat pada UU, termasuk dalam bidang ketenagakerjaan.

Kekurangannya adalah lowongan di perusahaan seperti ini biasanya tidak banyak. In quite rare occasion ketika perusahaan berpikir untuk melakukan external recruitment barulah lowongan akan muncul. Selain itu biasanya ada syarat pengalaman atau skill minimal yang harus dipenuhi. Tapi untuk freshgrad sering ada program semacam Graduate Development Program atau MT, tentu dengan segala ikatan dan TnC-nya. Setahu saya, jumlah full time employee (FTE/pegawai tetap) perusahaan jasa keuangan termasuk item yang perlu dilaporkan ke regulator (OJK), jadi tidak bisa tiba-tiba nambah banyak atau lay-off banyak. Kekurangan lain, yaitu soal preferensi pribadi boleh tidaknya bekerja untuk bank. 

2. Outsource / Talent Provider
Perusahaan jasa keuangan banyak memanfaatkan skema outsourcing untuk memenuhi kebutuhan personelnya. Biasanya ini untuk posisi teknikal, pelaksana, atau junior. Meski ada juga yang untuk posisi tinggi. Ada alasan perusahaan melakukan strategi itu, tapi saya nggak ingin bahas itu di sini. Yang ingin saya bilang adalah dari sudut pandang talent, perusahaan penyedia outsource adalah pilihan lain untuk berkarir. Kelebihannya adalah perusahaan outsource akan membantu talent mencari pekerjaan, bisa sampai dibantu proses pembuatan CV-nya. Talent tinggal menjalani interview saja. Jika diterima, talent akan ditempatkan di kantor user, reporting kepada user, namun status kontrak tetap dengan perusahaan outsource/penyalur. Perusahaan user akan membayar tagihan bulanan pada penyalur. Penyalur akan membayar gaji pekerja sesuai kesepakatan, sisanya tentu jadi 'fee manajemen'.

Kekurangannya tentu saja sistem kontrak yang kurang baik secara sustainability. Jadi biasanya talent yang sudah ada tanggungan keluarga kurang cocok dengan model ini, kecuali salary dan benefit yang ditawarkan sangat tinggi. Tapi untuk fresh grad yang belum ada pengalaman kerja, skema ini bisa membantu karena punya entry barrier yang relatif rendah. Kekurangan lain karyawan oursource kadang tidak mendapat fasilitas 'sosial' yang sama dengan FTE, misal annual gathering ke luar kota atau parcel lebaran khusus FTE saja. 


3. Kontraktor / Konsultan / Service Provider
Pekerjaan yang dilakukan baik oleh karyawan organik perusahaan (no 1) maupun pegawai outsource yang ditempatkan di perusahaan user (no 2) sama-sama bersifat in-house. Tapi dalam proyek atau aktivitas tertentu perusahaan akan butuh resource dan expertise dari luar, di sini lah hadir perusahaan kontraktor atau konsultan yang mengerjakan paket-paket pekerjaan dari user.

Kelebihan dari perusahaan jenis ini adalah pengalaman yang didapatkan sangat banyak karena sebagai engineer akan mendevelop barang yang berbeda untuk masing-masing klien. Portfolio akan cepat bertambah, dan ini bisa dikonversi menjadi nilai jual (read: power nego gaji) di masa yang akan datang. Barrier untuk masuk juga tidak terlalu tinggi, fresh grad pun bisa karena perusahaan biasanya akan memberikan training dan menyediakan referensi dari proyek-proyek serupa yang pernah dikerjakan sebelumnya. Kelebihan lain adalah bisa mengerjakan proyek dari berbagai bidang, bukan hanya banking/finance saja karena technology stack-nya mungkin sama.

Kekurangannya adalah tekanan pekerjaan yang biasanya agak tinggi karena tuntutan klien bisa macam-macam dan kadang tidak terukur. Kalau manajemen proyek kurang bagus, bisa jadi ada hari yang kosong tapi di lain hari lembur sampai tidak tidur. Bekerja sebagai konsultan juga bisa jadi sasaran lemparan kerjaan, pekerjaan yang tidak bisa atau tidak ingin dikerjaan oleh klien bisa dilempar ke kita.

4. Principal
Kontraktor seperti di nomor 3 biasanya juga merupakan vendor yang men-deliver product dari brand tertentu. Contohnya dulu saya pernah bekerja di IT Consultant yang merupakan vendor I** (sebuah brand computing Amrik, maaf ada NDA) di Indonesia. Jadi kami meng-implement produk mereka di klien-klien kami. Nah dalam hal ini, I** adalah perusahaan principal, atau gampangnya yang punya barang. 

Principal ini ada yang skalanya nasional maupun global. Jika bekerja pada perusahaan principal besar, tentu benefit yang didapat juga tinggi. Tapi di sisi lain harus punya skill dan pengetahuan yang benar-benar mumpuni soal produk yang dijual. Principal adalah tempat bertanya melalui support ticket jika ada kendala pada produknya yang diimplemen di sistem milik user. Klien sudah bayar license mahal, tentu mereka mengharapkan support yang prima.

***

Itu tadi 4 jenis employer yang saya pernah bersinggungan selama bekerja di industri ini. Saya tidak bisa bilang mana yang paling baik dan mana yang kurang karena preferensi pekerjaan sifatnya sangat personal. Apa yang baik buat saya belum tentu baik buat Anda, dan sebaliknya. Ada orang yang memilih pekerjaan karena passionnya, atau lokasi kerjanya, atau gajinya, atau lingkungannya. Pun sebenarnya salary, benefit, work life balance, prospek jangka panjang, dan kualitas manajemen tergantung pada perusahaannya. Untuk setiap kategori di atas ada perusahaan yang bagus dan ada pula yang tidak, meski begitu masing-masing kategori punya 'spektrum' yang sedikit berbeda satu sama lain. Sebagai contoh salary di principal pada umumnya punya range lebih tinggi daripada outsource. Ya karena yang kerja di principal sudah punya pengalaman dan skill yang cukup.

Ketika dulu terjun ke industri ini saya tidak tahu apa-apa soal dalamannya. Waktu itu saya sedang menjadi jobseeker jadi bermacam-macam jenis perusahaan saya daftari. Semoga tulisan ini sedikit memberikan gambaran terutama untuk teman-teman fresh grad dan yang mau switch karir ke dunia IT corporate. Sebagai disclaimer, meskipun saya bilang IT, tapi ini tidak sesempit posisi software engineer atau orang yang bisa coding ya. Di divisi IT ada juga peran sebagai project manager, UI UX designer, product owner, business analyst, audit, dll. 

Meski tulisan ini berdasarkan pengalaman pada bidang banking/finance, tapi saya pikir bidang corporate lain juga masih bisa relate. Technology stack yang dipakai di perusahaan banking/finance ada kesamaan dengan di bidang lain seperti telekomunikasi dan ecommerce. Jadi talent juga punya pilihan untuk pindah industri. 


Semoga ada manfaatnya
Thanks,
Chandra

Madesu


Mas-mas di Paksi Band menyuarakan sebuah keresahan melalui lagu berjudul Madesu. Lagu ini menyoroti fenomena kenalakan remaja yang marak terjadi di Jogja. Lebih spesifik, ini soal gejala klithih dan konvoi kendaraan bermotor yang sangat mengganggu dan membahayakan masyarakat umum. Jalur cepat ring road yang secara aturan diperuntukkan bagi roda empat, dilalui konvoi puluhan motor anak-anak muda yang membawa petasan hingga sajam. 



Mas Paksi Raras membuat testimoni lebih lengkap melalui video di kanal Mojok dalam rubrik Ngrasani. Pada intinya dia punya hipotesis mengapa fenomena ini banyak terjadi di waktu-waktu tertentu seperti libur sekolah dan bulan puasa. Ia juga menambahkan bahwa mayoritas pelajar yang melakukan itu adalah yang berasal, nyuwun sewu, dari sekolah non-favorit. Rata-rata dari mereka tidak mau atau tidak bisa melanjutkan ke jenjang kuliah karena satu dan lain hal. Akhirnya aksi di jalan adalah salah satu ekspresi pelampiasannya.

Apakah Jogja satu-satunya kota dengan anak muda yang tidak punya cukup akses ke perguruan tinggi? Tidak juga. Tapi di Jogja ada fakta lain yaitu banyaknya perguruan tinggi dan pendatang yang mengisi kursi-kursi di kampus-kampus tersebut. Bukan tidak mungkin di balik tindakan anak-anak muda ini ada jiwa yang meri. Para pendatanglah yang punya akses lebih ke kampus/jurusan favorit, kos ekslusif, dan kafe-kafe fancy untuk diskusi ndakik-ndakik atau buka bersama bareng circle-nya.

Mas Paksi mengajak, sek to, ayo dipikir lebih jauh kenapa anak-anak muda Jogja berbuat begitu. Kesenjangan kah, kurangnya wahana berekspresi kah, media sosial kah, atau apa. Pemerintah, akademisi, pegiat seni, tokoh masyarakat, dll punya peran dan tanggung jawabnya masing-masing disini. 

Mbok menawa bocah kui saktenane
Pengin neruske sekolahe
Dadi mahasiswa sing omongane dhuwur
Macak intelek kaya liyane

***

Saya diskusi dengan istri soal ini, mau tahu sudut pandang dia sebagai ex mahasiswa lokal Jogja. Dia bilang bahwa bahkan untuk anak kuliahan pun terasa gap antara mahasiswa lokal dan pendatang. Ada satu tempat nongkrong dan nugas di dekat asramanya yang dia 'tidak berani' masuk hingga lulus kuliah. Sebenarnya sesekali masuk bisa, tapi sudah jiper duluan dengan tampilannya, merasa nggak belong. Kalau yang kuliah saja merasa jadi warga negara kelas dua, bagaimana yang tidak punya pilihan untuk kuliah.



Tentu ini bukan salah pemilik tempat, mahasiswa pendatang, atau orang tua mereka. Mahasiswa datang karena memang banyak kampus di Jogja, beberapa diantaranya favorit. Pasar ini dimanfaatkan untuk membuka berbagai jenis usaha seperti F&B, fashion, sampai kos-kosan. Yes di Jogja ada kos-kosan yang sewa bulanannya dua kali UMR Jogja bahkan lebih. 

Jogja (dan DIY) itu daerah yang sensitif terhadap modernisasi dan pendatang. Kecintaan warga pada budaya asli dan stabilitas tinggi. Suara-suara penolakan terhadap pembangunan mall dan hotel selalu ada sejak dulu. Pemerintah pun sempat punya kebijakan moratorium pembukaan hotel. Bantul sampai sekarang tidak punya mall dan bioskop. Jangankan mall, bank BCA saja dulu nggak bisa masuk. Pernah dengar isu etnis tertentu sulit punya properti di Jogja? Dengar kontroversi soal Heha dan kabar Raffi Ahmad mau bangun beach club di Jogja?

Tapi arus mahasiswa tentu nggak bisa dibendung. Jadi saya sepakat dengan poin yang disampaikan Mas Paksi. Tanpa niat membenarkan apa yang dilakukan adik-adik ini, kita perlu sadar bahwa berada di posisi mereka juga tidak enak. Hukum dijalankan, tapi bolehlah taruh sedikit empati.

Saya bersyukur di kampung saya kuliah sudah lumayan jadi tren. Kebanyakan lulusan SMA melanjutkan ke perguruan tinggi, atau daftar polisi. Merantau ke luar kota untuk kuliah bukan lagi hal yang langka. Menurut saya salah satu yang punya andil adalah masyarakatnya. Kondisinya sudah jamak untuk keluarga-keluarga punya rencana bagi anaknya setelah lulus SMA. Hasilnya anak-anak ini jadi lebih punya pilihan.


Jarene pemuda kota pelajar
Duwe kampus neng saben kecamatan

Duwe bakat dadi seniman 
Ning ra isa melu kumpulan
Komunitas sanggar seni skena kolektif 
Sarate cah kuliahan


Nuwun,
Chandra


Menghargai Hak Cipta


Harga resmi Ms Office Home Student di website Microsoft adalah 1.9 juta. Maka kalau ada laptop baru di range harga 5-7 juta yang bilang sudah include office, coba tanyakan itu original atau crack-crack-an. Kemungkinannya itu nggak asli, apalagi kalau di toko biasanya sekalian ditawari gratis install aplikasi seperti Photoshop dan Corel. 

Saya dulu juga cuek soal ini, saya akui pernah beli software bajakan di depan kampus, satu CD 25 ribu, ah Bill Gates sudah kaya pikir saya. Tapi kan duit dan penghargaannya bukan cuma masuk kantong Bill Gates, ada pegawai biasa software engineer dan QA yang perlu menghidupi keluarganya. Adanya bajakan ini mungkin mempengaruhi bonus atau kenaikan gaji mereka. Untuk beberapa software house yang lebih kecil, bahkan bajakan ini adalah soal hidup matinya perusahaan. Setelah beberapa tahun di IT, saya sadar bahwa hak cipta dan apa yang digenerate darinya adalah something matter.


Jadi untuk sekedar pakai komputer bakal keluar banyak duit dong? Belum tentu. Beberapa software memberikan akses gratis untuk penggunaan edukasi dan non-profit. Kadang untuk usaha dalam skala kecil pun masih bisa gratis. Untuk office ada opsi menggunakan Open Office yang gratisan. Bahkan operating system kalau tidak mau bayar untuk windows bisa pakai Linux. Meskipun untuk OS sekarang sudah banyak laptop yang bundle dengan orian. Desain grafis kalau tidak teknis-teknis banget saya rasa bisa pakai Canva. Kalau butuh foto atau footage video ada platform stock yang menyediakan, ada yang gratis dan ada yang berbayar. Asal jangan maksa sampai pakai foto yang masih ada watermarknya.

Teman-teman gamers sudah bergerak ke arah yang lebih baik. Dengan adanya platform seperti Steam kini banyak yang sudah dengan sadar bayar untuk mendapatkan game yang diinginkan. Saya juga untuk pertama kalinya beli game secara resmi tahun ini, Football Manager 2024. Selain peace of mind kalau ada apa-apa bisa contact supportnya, ada rasa sudah melakukan sesuatu yang benar: menghargai kreatornya. Plus bisa dapat full feature, update/patch terbaru, dan tidak takut kalau online akan ketahuan dan diblokir. Steam juga jauh lebih bersih dan aman daripada situs game bajakan dalam hal jebakan klik di webpage-nya.


Kalau di luaran masih ada yang tidak menghargai karya creator, minimal mulai dari kita sendiri. Taubat digital lah, meninggalkan kebiasaan cari bajakan. Kalau memang gratis ayok pakai, kalau bayar ya bayar atau cari alternatif lain yang free. Yang bisa shift definisi keren dari 'kalau bisa gratis kenapa harus bayar' menjadi 'bayar karena menghargai pembuatnya' ya komunitas, bukan pemerintah, yang bahkan menterinya saja membuat poster hari buruh dengan bantuan AI.


Saya tahu nggak mudah untuk langsung mengeluarkan dana jutaan untuk membenarkan software yang sebelumnya bajakan. Saya juga belum pernah beli office seharga 1.9 juta. Tapi bertahap lah, install Open Office dulu, besok kalau ganti laptop sekalian yang sudah ada office resminya. Kalau perangkat kerja mestinya license sudah diurus oleh kantor, atau untuk mahasiswa biasanya ada harga khusus jika install di IT Helpdesk kampus. Pelan-pelan dan berproses, jangan sampai menyulitkan diri sendiri juga, kita tidak hidup di dunia yang ideal.

Thanks,
Chandra