Didi Kempot dan Backsound Masa Kecil



Walaupun tulisan saya nggak mungkin setrengginas tulisannya Agus Magelangan, tapi ijinkan saya sebagai insan Jawa untuk ikut menyampaikan sesuatu tentang Pakdhe Didi Kempot. 

Jaman saya SD dulu, apalagi di desa, belum ada kebiasaan orang tua memasukkan anaknya dalam program les renang, piano, bahasa Inggris, dan lain sebagainya. Jadi aktivitas saya sepulang sekolah sampai maghrib ya main. Asal sudah makan siang ijin main sudah di tangan, tidak dicari asal pulang sebelum gelap. Saat itu kalau keluar rumah pasti terdengar ada tetangga memutar musik keras-keras pakai speaker/salon-nya. Selain lagu-lagu pop Dewa, Slank, Padi, tentu ada juga kalanya lagu Didi Kempot diputar.

Dari pergaulan akhirnya tahu kalau lagu kaya gini namanya campursari. Sebagai anak kecil respon pertama saya sesimpel 'wah ini lagunya simbah-simbah'. Nama genrenya saja campursari, Gunungkidul banget, nggak masuk sama dunia anak muda yang waktu itu lagi gila Meteor Garden dan Amigos x Siempre, budaya asing sebelum masuknya Korean wave di Indonesia.

Momen lain seperti perayaan 17an bahkan nikahan juga muter campursari. Saya pikir orang-orang bodoamat sama lirik yang sebenarnya nggak cocok untuk acara nikahan tapi karena lagu-lagu Didi Kempot bisa buat joget ya show must go on. Kalau ada orang sedang renovasi atau bangun rumah biasanya lagu campursari juga jadi backsound. Tukang-tukang andalan asal Gunungkidul mungkin sudah menemukan bahwa musik meningkatkan efisiensi energi ketika bekerja. (Fun Fact: di daerah DIY, tukang bangunan paling elit adalah yang berasal dari Gunungkidul, mungkin seperti orang India di dunia tech Amrik sekarang)

Karena saya hanya mendengar sepotong-sepotong lagu campursari terutama karya Didi Kempot tanpa ada keinginan untuk tahu lebih lanjut, saya hanya tahu lagunya tanpa tahu judulnya. Walaupun tidak diinginkan kadang sampai hafal reff-nya juga sih. Sekarang ketika ada akses ke internet untuk cari lirik lagu dan chord baru ngeh 'oh lagu ini judulnya ini'.

Fast forward ke masa SMA. Saya buta alat musik hingga SMA. Tiga tahun di SMP saya cuma bisa main recorder. Walaupun pernah dibelikan keyboard tapi tetep hanya bisa doremi sederhana tanpa bisa main kombinasi kunci. Baru di SMA saya ketemu guru seni musik yang paten, namanya Pak Achid Nur Hidayat, beliau aktif di IG dan FB dengan nama Pakdhe KliminZs, silakan dicari kalau kepo. Bapake orang Gunungkidul, ngajar di dua sekolah sekaligus, SMAN 1 Bantul dan SMAN 1 Wonosari (sekolah favorit di GK).

Di SMA, seni musik di hari sabtu jadi pelajaran paling menyenangkan ke-2 setelah matematika (hehehe). Salah satu tugas yang masih saya ingat adalah kami per orang diminta belajar gitar lalu penilaiannya adalah main gitar sambil nyanyi lagu campursari. Lagu yang dipilih bebas asal ber-genre campursari. Lagu yang saya pilih waktu itu judulnya Layang Kangen, by Didi Kempot tentu saja. Tidak ada larangan menyanyikan lagu yang sama, tapi hasil eksplorasi teman-teman menghasilkan lagu yang sangat beragam. Khasanah pengetahuan saya tentang campursari otomatis bertambah.

Pada tugas-tugas berikutnya kami disuruh untuk main drum, cover lagu bebas, saya pilih Seventeen - Selalu Mengalah, dapat nilai 8 nggak jelek-jelek amat wkwk. Kami juga sempat dibagi kelompok untuk bikin band bawakan lagu Lestari Alamku Lestari Desaku alias Berita Cuaca by Gombloh, saya main keyboard. Tapi tugas yang paling kena tentu yang campursari, karena itu pertama kalinya saya main alat musik dan bisa 'bunyi'.

Ketika kuliah, karena sudah tidak lagi di tanah jawa, melodi yang sayup-sayup terdengar bukan lagi campursari tapi lagu Sunda yang saya nggak tahu artinya. Tapi dalam beberapa titik heavy rotation di youtube laptop saya adalah konser live-nya Didi Kempot. Entah kenapa saya lebih suka nonton versi live-nya daripada versi rekaman. Suara dan ekpresi melas para sad boys dan sad girls jadi bumbu yang bikin tontonan lebih menyala. Lip service dari Didi Kempot juga one of the best. Saya mau tunjukkan rekaman konser yang menurut saya bagus banget. Visual Full HD, sound mantap, musiknya bagus, Pakdhe Didi jempolan. Hebatnya, ini sebuah pensi SMA di Jogja!



Kemarin kita dapat kabar kalau Didi Kempot meninggal dunia. Saya nggak ingin mengaku sebagai orang yang sangat attach pada beliau. Pun saya nggak mau mengklaim sebagai fans berat. Namun setidaknya penghujung tahun lalu saya sudah berhasil mencoret satu bucket list saya yaitu nonton Didi Kempot secara live. Terima kasih Family Day BRI alias Brifest 2019. 

Bagi saya lagu Didi Kempot adalah media nostalgia yang mengingatkan saya pada rumah. Merefresh ingatan tentang lingkungan masa kecil dan tetangga-tetangga, tentang siang hari terik ketika saya bermain di halaman tetangga tanpa merasa kepanasan karena rimbunnya pohon-pohon di atas kepala. Menjadi pengingat bahwa sejauh apapun pergi, tidak boleh ada jarak dan sekat antara kita dan kampung halaman. Kalau pendidikan dan pengalaman menjadikan kita tidak lagi bisa melebur, ada yang salah dengan yang kita lakukan.

Selamat jalan Pakdhe Didi Kempot...


0 comments :

Post a Comment