WFH, WFO, atau Keduanya?




Sama seperti tulisan saya sebelumnya mengenai layoff, saya mau menulis tentang topik WFH-WFO karena pernah mengalami keduanya, termasuk versi hybrid-nya. Orang yang seangkatan dengan saya rata-rata mulai bekerja sejak sebelum pandemi, dimana kalau bekerja ya ke kantor. Mindsetnya yang namanya karyawan itu mau baru masuk sampai direktur sekalipun aktivitasnya dilakukan di office, pagi berangkat sore pulang. Dulu tidak terpikir bekerja dari rumah itu memungkinkan, kecuali buka usaha sendiri.

Saat pandemi datang, seperti banyak yang lainnya saya juga bekerja dari rumah. Kantor kerepotan waktu awal-awal harus beralih dari cara kerja konvensional ke sistem remote. Tapi dua tiga bulan berlalu lama-lama terbiasa juga. Bahkan karena pandemi awalnya diperkirakan hanya sebentar tapi ternyata jadi tahunan, banyak yang baru kembali bekerja di kantor pada 2022. Menyadari bahwa WFH ada manfaatnya juga, sebagian perusahaan mempertahankannya dan menerapkan metode hybrid atau campuran WFO dan WFH.

Work From Home punya banyak benefit, bahkan term 'WFH' atau 'remote' itu sendiri menjadi sebuah benefit yang ditawarkan beberapa perusahaan dengan harapan bisa menarik talent berkualitas yang ingin bekerja dengan fleksibel, atau nampani pindahan orang dari perusahaan yang memutuskan return to office. Iming-iming bisa WFH ini sangat seksi apalagi di Jakarta dimana commuting adalah sesuatu yang menjadi momok karena macet, polusi, dan transportasi massal yang belum merata dan kurang armada. 

Argumen bahwa WFH membuat karyawan bisa bekerja lebih panjang karena waktu 1-2 jam (2-4 jam PP) yang digunakan untuk commute bisa diconvert menjadi waktu kerja efektif adalah argumen yang valid. Ketika di kantor, jam 5 sudah tenggo tutup laptop lalu jalan pulang, unreachable sampai jam 7 ketika sampai di rumah. Itupun masih bebersih dan lain sebagainya dan baru rampungan jam 8 malam. Sementara kalau dari tadi di rumah ada meeting sore yang bablas lewat jam 5 pun nggak masalah, batasannya paling adzan maghrib. 

WFH memberikan fleksibilitas pada karyawan untuk memenuhi kebutuhan lain di luar pekerjaan. Bisa nyicil kerja dulu dari pagi supaya nanti jam 10 bisa ditinggal untuk perpanjang SIM, atau di sela-sela bekerja bisa sambil membetulkan alat elektronik dan bebersih rumah. Kalau sedang kurang sehat, WFH jauh lebih nyaman untuk tetap bisa bekerja daripada harus berangkat ke kantor. Semakin panjang kebijakan WFH ini diterapkan, karyawan semakin lanyah dan terbiasa untuk memaksimalkan benefit ini hingga inginnya status quo. 

Sebenarnya dari sisi perusahaan pun sadar bahwa menyuruh karyawan return to office pasti butuh effort, minimal pasti ada resistensi. Tapi ini cara pragmatis yang bisa ditempuh dengan ekspektasi produktivitas akan meningkat karena keryawan tidak lagi bisa nyambi-nyambi. Terkini, GOTO yang dianggap sebagai salah satu kiblat start-up digital di Indonesia ramai karena mengadakan townhall untuk meminta karyawan kembali WFO 4 kali seminggu. Katanya alasannya ingin memastikan bahwa para karyawan benar-benar bekerja.

Saya tidak bisa berkomentar banyak tentang GOTO karena saya tidak tahu seperti apa dapur mereka. Faktanya di tempat kerja saya pun beda departemen bisa beda arragement kerja karena sifat pekerjaannya yang berbeda. Nah GOTO ini sudah perusahaan lain, di bidang industri yang berbeda, punya stature yang berbeda pula, siapa saya untuk berpendapat. 

Tapi meanwhile WFH banyak baiknya, menurut saya WFO tetap diperlukan. Lagi pula bukankah di kontrak kerja biasanya diatur waktu dan lokasi kerja ya, yang mana lokasinya di kantor. Dengan ini perusahaan punya dasar untuk meng-enforce WFO. Menurut saya karyawan tidak sepatutnya menolak mentah-mentah, apalagi jika ada di perjanjian kerja. Kalau punya argumen kuat kenapa WFH itu baik dan tidak mengurangi produktivitas, bisa dirundingkan dan dicari titik tengah antara WFH dan WFO, biasanya jadi hybrid.

Secara teknis pun pertemuan tatap muka di kantor ada positifnya. Brainstorming dengan ngeriung di depan papan tulis sering kali lebih efektif daripada call meeting jarak jauh. Hasilnya bisa sama-sama bagus, tapi papan tulis menang cepat. Setelah idenya dapat lalu mengerjakan bagian masing-masing, nah ini masuk akal untuk dikerjakan anywhere senyamannya. Lalu untuk peran yang mengharuskan berkoordinasi dengan banyak orang, WFO lebih praktis. Ketika butuh orang lain bisa langsung datangi mejanya dan tepuk pundaknya lalu tanya kapan bisa quick talk, tidak perlu nunggu status di Teams available.

And then this is the killer, bekerja di kantor memudahkan untuk kenal lebih banyak coworker, terutama dari tim atau divisi lain. Masalah kenal ini sering diabaikan padahal penting. Sesoliter-soliternya sebuah peran di pekerjaan pasti masih bersinggungan dengan orang lain. Manusia bukan mesin, kita punya fitur yang namanya simpati. Makanya banyak kantor mengadakan kegiatan outbond atau semacamnya, untuk membuat anggotanya saling kenal. Kalau sudah kenal lalu muncul simpati, lebih enak untuk komunikasi dan kerja sama. 

Kalau sudah kenal, ketika nanti ketemu di meeting tidak gampang terjebak debat kusir membela kepentingan masing-masing. Kepala relatif lebih dingin kalau merasa ngobrol dengan teman instead of stranger. Ketika belum kenal kalau ada perlu dikit-dikit email dengan bahasa formal, kalau lama belum dibalas nge-remindnya pakai email lagi. Sedangkan ketika sudah akrab, chat di aplikasi kantor atau whatsapp pun jadi. 

Yang kerjaannya berkaitan dengan sering minta approval atau tanda tangan, pasti setuju kalau sudah kenal lebih gampang urusannya. Saya tidak bilang bahwa lingkungan pekerjaan harus dekat seperti keluarga, saya juga tidak setuju dengan konsep itu. Tapi percayalah tatap muka dan simpati bisa membawa perbedaan. Dasarnya orang senang punya teman (yang baik).

Tempat kerja saya sendiri sampai saat ini alhamdulillah masih menerapkan mode hybrid. Untuk departemen IT dua kali seminggu masuk kantor dengan hari yang dipilih sendiri dan bisa ganti hari tiap pekannya. So far saya lihat mood sebagian besar karyawan positif. Kami-kami tidak kehilangan fleksibilitas WFH, di saat yang sama koordinasi mudah dilakukan yang pada akhirnya juga meningkatkan kebahagiaan karena bisa meminimalisir kesalahpahaman dan hambatan dalam menyelesaikan pekerjaan. 

Makanya kalau ditanya preferensi pribadi, yang paling baik menurut saya adalah hybrid. Dengan begitu sisi positif dari masing-masing arrangement dapat diraih. Kita juga mesti sadar bahwa punya pilihan untuk memilih WFH atau WFO sendiri sudah sebuah privilege. Tidak semua profesi memberikan keleluasaan ini. Lebih jauh lagi, masih dapat bekerja adalah hal yang sudah selayaknya kita syukuri.


Regards,
Chandra

0 comments :

Post a Comment