Layoff


Layoff, atau dalam bahasa yang lain PHK, adalah satu topik yang agak kurang enak untuk dibicarakan karena ada yang berposisi sebagai korban di sana. Tapi meskipun sulit, sebagai orang yang pernah mengalaminya saya juga punya uneg-uneg tentang itu. Saya pernah kena layoff di perusahaan tempat saya bekerja profesional pertama kali. Sebenarnya masih ada hak saya yang belum diberikan oleh ex-perusahaan, tapi agak sulit untuk ditagih karena suatu hal, nanti saya jelaskan.

Banyak artikel sudah membahas kenapa sebuah perusahaan melakukan layoff atau PHK. Faktornya ada yang dari internal maupun eksternal. Faktor internal misalnya mismanagement, kegagalan membaca pasar, overhiring-overpay, dan fraud. Lalu dari eksternal ada kondisi ekonomi global/makro yang memburuk, persaingan, intervensi investor, dan force majeur seperti pandemi. Karena sudah banyak detail tentang itu di berbagai media, saya ingin berpendapat dari sudut pandang karyawan.

Undang-undang ketenagakerjaan memberikan beberapa hak dan kuasa karyawan di hadapan perusahaan tempatnya bekerja. Tapi dalam hal PHK, agak susah bagi karyawan untuk bicara. Jika kondisi keuangan perusahaan tidak sehat, salah satu jalan yang bisa dilakukan perusahaan adalah PHK, dan sulit bagi karyawan dan serikatnya untuk mem-veto itu. Saya bisa tulis begini karena pernah mengalaminya sendiri beberapa tahun yang lalu. Perusahaan tutup dan semua karyawan dirumahkan, apa yang bisa kami lakukan?

UU memberikan aturan main tentang PHK termasuk kompensasi apa yang berhak didapat oleh karyawan. Secara teori ini bisa sedikit meningkatkan power karyawan yang berisiko terkena PHK. Tapi tingkat ketaatan perusahaan pada aturan yang ada juga berbeda-beda. Di sisi lain, banyak karyawan yang belum/kurang melek peraturan (atau malah tidak peduli) sehingga tidak bisa mengingatkan. Ada juga yang sudah tahu tapi tidak mau atau tidak bisa menuntut perusahaan untuk menjalankannya.

Balik lagi saya mau lebih banyak bicara dari POV karyawan bukan perusahaan. Ada tiga golongan karyawan dalam hal menyikapi peraturan ketenagakerjaan: yang tahu haknya dan menuntut untuk dipenuhi, yang tahu haknya tapi tidak bisa/mau menuntut, dan yang tidak tahu haknya sehingga tidak tahu mau menuntut apa dan bagaimana. 

Golongan karyawan yang paling berdaya adalah yang pertama, dimana meraka paham aturan yang berlaku dan hak-hak yang selayaknya mereka terima. Lalu mereka secara tegas meminta perusahaan memenuhi itu dan kalau tidak mereka melakukan langkah-langkah yang diperlukan. Individu bisa melakukan ini, ada beberapa ceritanya, tapi untuk sampai di level pemahaman dan keberanian seperti ini bisanya dilakukan oleh serikat pekerja yang kuat. 

Golongan kedua ini sebenarnya cukup enlighten, tapi ada alasan yang membuat mereka tidak bisa menuntut haknya. Alasan paling banyak mungkin karena kurangnya power, individu bisa merasa sangat inferior di hadapan korporat besar. Untuk kasus saya dulu, sebenarnya kalau power sih ada, tapi lebih dominan ketidakenakan disana. Perusahaan tempat saya dulu bekerja adalah perusahaan keluarga, nyaris semua karyawannya direkrut berdasarkan hubungan keluarga atau pertemanan, dan banyak yang kerja disana bertahun-tahun. Setelah kantor tutup pun banyak yang masih keep in touch. Meskipun beberapa kali sempat memanas lagi isunya, tapi pada akhirnya lebih ke yawislah, bilangnya "tunggu aja deh ntar kapan tahun tiba-tiba ada transferan masuk". 

Golongan ketiga biasanya didominasi oleh angkatan yang baru mulai bekerja alias freshgrad. Baru selesai kuliah atau sekolah, dihantam kenyataan masuk ke dunia kerja yang tuntutannya tinggi. Menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan mengerjakan pekerjaan basic saja sering sudah keponthal-ponthal, mana sempat mempelajari undang-undang ketenagakerjaan. Sebenarnya golongan ini kasihan dan perlu dibantu, hanya saja kadang yang duluan nyemplung sebal duluan dengan angkatan baru ini karena ulah beberapa oknum tengil oversharing "one day of my life at". Lagi-lagi, nulis karena been there doing that.

Ini gejala Swiss Cheese Model ya, dimana suatu hal yang tidak diinginkan terjadi karena bertemunya multiple factors di waktu yang bersamaan. Sebenarnya mau karyawannya golongan pertama, kedua, ketiga, kalau perusahaannya comply dengan peraturan yang ada seharusnya tidak masalah. Karyawan muda lugu polos sekalipun kalau masuk di perusahaan yang manajemennya matang dan teratur relatif tetap aman dan bisa berkembang. Tapi kalau di perusahaan yang masih belum bener sana sini, mesti waspada. 

Ingat, perusahaan 'tidak baik' belum tentu karena orang-orangnya punya niat jahat, bisa saja memang baru tumbuh. Membentuk budaya dan manajemen yang kuat butuh waktu. Sebagai karyawan kita harus prepare untuk menghadapi itu karena kita tidak selalu bisa memilih untuk bekerja dimana. 

Karyawan juga harus belajar, kalau di pekerjaannya sulit untuk berserikat, minimal mau meluangkan waktu untuk membaca peraturan perusahaan. Perusahaan yang baik punya peraturan perusahaan yang sudah sesuai aturan pemerintah. Kalaupun itu belum ada juga, baca baik-baik dokumen kontrak kerja. Kalau itu juga tidak ada, berarti itu kerja kelompok bukan bekerja. Mau seegaliter apapun tempat kerjanya, perjanjian hitam di atas putih harus ada.

Hubungan pengusaha - karyawan pasti beda-beda di tiap perusahaan. Tapi keduanya punya bagiannya masing-masing dalam memajukan perusahaan, semoga itu dapat dijalankan dengan baik. Saya percaya bahwa ketika pengusaha dan karyawan sama-sama happy pekerjaan akan dapat dijalankan dengan lebih baik.

Apa yang saya tulis disini berdasarkan pengalaman pribadi, jadi mohon maaf kalau ada yang kurang sesuai. Kita bekerja niatnya kan baik ya, semoga dimudahkan dan dilancarkan dalam prosesnya. Aamiin

Rerards,
Chandra






0 comments :

Post a Comment