Schiphol
Overall 15 bulan terakhir crossing the border has been a journey. Mengingat ke belakang, kami melalui beberapa hal yang kalau diingat ada gila-gilanya. Berasa nyemplung ke kolam yang tidak tahu di dalamnya ada apa lalu mikir kok dulu berani ya. Sejak kebutuhan paling dasar, kami harus memilih apartemen without barely know the city and the streets. Bagaimana kalau ternyata tempatnya seram atau berbau aneh? Apakah landlordnya amanah? Apakah tetangganya menerima kami sebagai pendatang? Apakah lingkungannya aman untuk imigran? Kalau terjadi sesuatu dan harus cari akomodasi dadakan jelas susah dan mahal. Ternyata setelah sampai tempatnya justru terlalu bagus dan letaknya telak di pusat kota. Setelah tahu lokasi kami pindah ke hunian lain yang lebih pas dan justru dapat harga lebih terjangkau.
Saat pertama kali masuk swalayan Albert Heijn saya baru tahu bahwa supermarket tidak selalu ada kasir manualnya, beruntung kartu BCA yang saya bawa bisa dipakai bayar di mesin. Banyak hal baru yang harus secepat mungkin dipelajari bahkan saat kami masih kesulitan memahami banyak instruksi karena kendala bahasa: cara naik kereta, cara nyegat bis, cara registrasi nomor HP, cara beli furnitur, bahkan cara buang sampah yang juga diatur pemerintah. Kami berusaha menavigasi makanan halal ketika belum tahu terjemahan komposisi di kemasannya.
Saya datang ke showroom mobil bekas tanpa pernah sekalipun sebelumnya bawa mobil setir kiri. Durasi setengah jam yang dikasih untuk test drive adalah waktu yang saya pakai untuk belajar nyetir pertama kali. Tentunya saya tidak tunjukkan pada salesnya bahwa saya gugup, dia tahunya saya punya SIM (kebijakan visa memungkinkan menukar SIM Indonesia dengan SIM Belanda tanpa tes). Kami berusaha secepat mungkin memahami rute transportasi umum dan cara bayarnya. Suatu hari kami pernah salah naik kereta sehingga sampai rumah dini hari. Pernah juga dimarahi sopir bis karena kami mencet tombol stop terlalu cepat padahal masih kurang satu halte. Bis berhenti di halte pertama dan membuka pintu tapi tak ada yang turun. Bis berhenti lagi di halte berikutnya lalu kami turun, sopir berkata dengan nada agak tinggi "next time say sorry!". Sejak itu saya paham untuk jangan diem-diem bae dengan Dutchies, mereka sangat direct dan suka keterbukaan bahkan kalaupun itu pahit. Say thanks, say sorry, etc to the face.
Kami datang membawa paspor sebagai identitas dan visa sebagai ijin masuk. Tapi kami belum punya KTP, belum punya rekening bank, belum punya SIM, belum punya asuransi, belum terdaftar di fasilitas kesehatan, belum tahu cara bayar pajak, dan surat-menyurat sebagian besar dalam bahasa Belanda. Saya punya perjanjian kerja, tapi belum tahu hukum ketenagakerjaan di sana seperti apa, apakah akan langsung terima gaji sejak bulan pertama?
Di sana tidak ada saudara yang berprofesi sebagai dokter, aparat, dan lainnya. Kenalan dari Indonesia baru 2 orang itupun jauh di kota yang berbeda. Safety net sangat tipis tapi alhamdulillah 15 bulan pertama berjalan tanpa major issue. Last time saat sakit flu kami sudah kehabisan obat flu, sementara dokter Belanda terkenal konservatif dalam meresepkan obat dan biasanya hanya ngasih paracetamol. Beruntung ada tetangga masih punya stok obat yang dibawa dari Indonesia. Silaturahmi menambah rejeki dan memperpanjang umur itu beneran kerasa ketika di tempat yang asing.
Tidak banyak tahu apa yang akan dihadapi justru menghindarkan diri dari kekhawatiran yang berlebihan. Have a faith saja sambil jalani hari ke hari. Lama-lama things are getting figured out, kenalan makin banyak, datang ke kantor tidak lagi terasa kerja bareng bule, tulisan-tulisan berbahasa Belanda makin bisa dipahami, pikiran bukan lagi untuk survive tapi bagaimana caranya happy. Awal-awal mau makan saja mikir apa yang doyan, bisa dimasak, dan aman (halal). Sedangkan minggu-minggu sebelum pulang mikirnya sudah milih mau raket padel yang mana.
Satu tahun plus ini masih sebentar dibandingkan banyak diaspora Indonesia lain. Kami masih bersemangat untuk lanjut lagi. Liburan kali ini adalah pitstop untuk recharce baterai sekaligus supaya tidak lupa asal. Tracing root, finding home.
Chandra
0 comments: