Rasanya Terbang 15 Jam

October 26, 2025 Chandra Nurohman 0 Comments

Beberapa kali dalam seminggu Garuda Indonesia terbang langsung dari Jakarta ke Amsterdam dan sebaliknya. Di atas kertas penerbangan ini memakan waktu 14 jam 50 menit. Ada dua alasan kenapa kemarin kami memilih penerbangan yang panjang ini untuk ke Indonesia. Pertama karena tawaran harga yang menarik dengan memanfaatkan promo Garuda Online Travel Fair (GOTF). Dengan promo ini kami mendapat harga lebih murah daripada berbagai opsi yang ditawarkan maskapai lain. Kami membayar €1581 untuk 2 orang pulang-pergi (jadi 4 tiket). Tapi memang syarat untuk mendapatkan promo maksimal di event ini adalah dengan membeli tiket pulang pergi, tidak bisa hanya one-way.

Alasan kedua adalah kami ingin simplicity karena ini pulang pertama kami ke Indonesia dari Belanda. Kami ingin saat mendarat sudah langsung ada di tanah Indonesia yang kami tahu bahasanya, kenal orangnya, dan familiar letaknya. Kami tidak sedang dalam mood untuk menavigasi bandara Dubai, Doha, atau Abu Dhabi. Mungkin lain kali, tapi kali ini kami ingin travel time sesingkat mungkin karena setelah dari Jakarta masih harus lanjut ke Jogja. Kami juga membawa barang yang agak shady seperti keju ke Indonesia dan bumbu-bumbuan organik serta obat resep ke Belanda. Jadi semakin sedikit gate yang harus kami lewati rasanya semakin baik. Sebagai bonus, Garuda menyediakan makanan yang sesuai selera dan flight attendants yang berbahasa Indonesia. 

Tapi sebagai gantinya adalah penerbangan yang lebih lama. Maskapai timur tengah membagi penerbangan CGK<->AMS jadi dua dengan transit di negara homebase-nya. Sementara Garuda terbang dari Jawa sampai Eropa sekali jalan. Saya sempat punya keraguan memilih penerbangan ini karena khawatir pegel kalau duduk terlalu lama di pesawat. Lima belas jam itu lebih dari setengah hari, kalaupun tidur mau berapa lama dan berapa kali. Sementara itu di atas pesawat tidak ada koneksi internet mobile dan harus diakui in-flight entertainment-nya Garuda belum secanggih punya Emirates. Saya sampai download 1 season Castle sebelum berangkat untuk persiapan nonton di pesawat.


Di luar dugaan penerbangan dari Amsterdam ke Jakarta tidak semembosankan itu. Karena terbangnya ke arah timur, waktu jadi terasa berjalan lebih cepat, tahu-tahu gelap, tahu-tahu sudah fajar lagi. Dalam 15 jam sampai ada 5 salat, jamak dzuhur ashar, jamak maghrib isya, dan subuh. Pesawat Boeing 777-300ER yang kami naiki take off dari Schiphol pukul 14.00 CEST dan landing di Soekarno-Hatta jam 10.00 WIB keesokan harinya. Selama penerbangan kami disuguhi 2 kali makan ditambah 1 kali snack yang secara keseluruhan saya kasih nilai 9/10.

Alhamdulillah cuaca yang cukup mendukung dan pesawat wide body yang stabil menjadikan turbulensi tidak terlalu terasa walaupun beberapa kali awak kabin mengingatkan penumpang untuk duduk dan mengenakan sabuk pengaman. Saya bisa tidur lumayan nyenyak sampai 3 kali. Saya tidur dari selatan Eropa sampai menjelang semenanjung Arab, lepas Oman tidur lagi sampai India, lalu tidur lagi dan tahu-tahu sudah hampir di atas Sumatera. Diantaranya ada makan, salat, ke toilet, dan ngobrol, menjadikan jam-jam di pesawat tidak terlalu terasa membosankan. Kebetulan lagi kami duduk di pulau tengah yang mana dari 3 kursi hanya terisi 2 oleh kami, jadi kami punya 1 kursi kosong untuk naruh barang dan menjadikan duduk jadi terasa lebih lega. Serial Castle yang saya download hanya ketonton 2 episode. 

Penerbangan balik ke Amsterdam kami pakai pesawat yang berbeda. Jenisnya masih sama 777-300ER tapi kali ini bernomor registrasi PK-GIK dengan livery retro Garuda berwarna merah. Saya merasa kabin pesawat ini agak lebih lawas daripada PK-GIJ yang sebelumnya kami naiki ke Jakarta. Ada hal minor seperti kompartemen bagasi kabin yang agak susah ditutup dan toilet yang terasa lebih used. Tapi ini kosmetik saja karena saya cukup yakin secara safety ada maintenance dan inspeksi ketat yang standarnya terpenuhi. Apalagi ini rute jarak jauh dan mungkin flagship bagi Garuda.



Kami takeoff dari CGK jam 01.30 dini hari dan landing di AMS sekitar 11.30. Secara sekilas penerbangannya tampak pendek karena kami seperti hanya 'kehilangan' 10 jam di jalan. Tapi pada kenyataannya penerbangan ini terasa lebih lama. Salah satu faktor mungkin karena sebelumnya sudah ada lelah perjalanan dari Jogja ke Jakarta. Selain itu waktu terbangnya naggung, pagi belum, sore sudah lewat. Baru satu jam setelah naik dan sedang akan tidur ternyata makanan pertama sudah dihidangkan padahal itu baru sekitar jam setengah 3 pagi. Setelah itu bisa tidur sebentar hingga subuh, tapi setelahnya sinar matahari mulai masuk dan susah untuk nyenyak kembali. Makanan kedua baru keluar sekitar 2 jam sebelum landing jadi jeda di antara keduanya cukup lama membuat perut sempat lapar dan tenggorokan sempat kering. Alhamdulillah kami travelling dalam kondisi sehat sehingga tidak terasa seberat itu. Tapi overall, perjalanan ke Indonesia adalah yang lebih menyenangkan diantara keduanya.

Kalau direkap perjalanan liburan kali ini:

Pulang (+- 28 jam)
1. Bis dari apartemen ke stasiun Arnhem Centraal
2. Kereta NS dari Arnhem Centraal ke Schiphol
3. Pesawat Garuda GA89 AMS-CGK
4. Skytrain Bandara Soekarno-Hatta dari T3 ke T2
5. Batik Air CGK-YIA
6. Dijemput keluarga dari YIA

Pergi (+- 39 jam)
1. Diantar keluarga ke Stasiun Yogyakarta
2. Kereta Argo Lawu ke Gambir
3. Grabcar dari Gambir ke T3 Soekarno-Hatta
4. Pesawat Garuda GA88 CGK-AMS
5. Kereta NS dari Schiphol ke 's-Hertogenbosch
6. Kereta NS dari 's-Hertogenbosch ke Arnhem Zuid 
7. Bis ke apartemen
8. Pakai mobil untuk ngangkut koper dari Arnhem Zuid

Perjalanan balik ke Belanda lebih lama karena selain di Indonesianya pakai kereta, pas sampai di Belanda ternyata beberapa jalur kereta sedang ditutup untuk maintenance jadi terpaksa ambil rute nonkonvensional alias agak muter. Selain itu sebagai WNI bisa pakai autogate di imigrasi Jakarta tapi mesti antri paspor cukup panjang di Amsterdam. 

Apakah di waktu yang akan datang kami akan pakai Garuda dan terbang direct lagi? Bisa jadi, yang jelas pengalaman ini tidak menjadikan kami kapok. Kemudahan dan makanannya jadi nilai plus bagi kami. Saya bahkan berharap frekuensi penerbangan Jakarta-Amsterdam PP ini diperbanyak oleh Garuda karena kalau saya lihat kemarin okupansinya cukup tinggi bahkan hampir penuh. Selain orang Indonesia, cukup banyak juga wajah-wajah Belanda dan orang kulit putih lainnya. Schiphol adalah hub menuju berbagai negara Eropa lain maka akan jadi opsi strategis kalau Garuda memaksimalkan rute ini. Nama maskapai Garuda sendiri sudah bukan nama yang asing bagi orang Belanda. 

Tapi lepas dari itu tentu ada keinginan juga untuk mencoba maskapai lain seperti Emirates, Etihad, Saudia, Qatar, Singapore, atau bahkan KLM. Bukan hanya soal transit di mana tapi sebagai aircraft enthusiast saya juga ingin merasakan (lagi) berbagai jenis pesawat wide body seperti B777, B787, A350, dan A380. Semoga ada cukup banyak kesempatan pulang ke Indonesia sehingga bisa mencoba banyak jalan berbeda dan singgah di berbagai tempat lainnya. Aamiin.


Chandra




0 comments:

Jakarta

October 16, 2025 Chandra Nurohman 0 Comments

Saya merasa punya unfinished business dengan Jakarta. Lima tahun tinggal di kota itu suasananya hanya kerja, kerja, dan kerja. Saya masuk ke Jakarta hanya satu hari sebelum hari pertama masuk kerja, lalu pindah dari Jakarta hanya empat hari setelah last day dari pekerjaan terakhir di sana. Di antaranya pun saya tidak pernah punya kesempatan libur yang cukup panjang untuk menikmati tempat ini. Saya juga tidak mengjalani masa 'muda' di Jakarta layaknya saya alami di Jogja dan Bandung. Saya tinggal di Jakarta tapi tidak hidup di Jakarta. 

Tempat-tempat, jalan-jalan, dan fasilitas yang ada di Jakarta lekat memorinya dengan suasana bekerja, yang artinya target, tekanan, frustrasi, meeting, dan Microsoft Teams. Saya tidak sempat meng-overwrite memori-memori itu dengan suasana lain yang lebih manis karena perpisahan dengan kota ini yang bisa dibilang buru-buru. Tentu ada weekend-weekend menyenangkan, makan-makan enak, jalan-jalan, camping, dan semacamnya, tapi itu hanya untuk mempersiapkan diri for yet another working week. 

Saya kadang mempertanyakan what it feels berada di Jakarta tapi bukan untuk bekerja. Bagaimana rasanya naik MRT untuk nongkrong ke blok M bukan untuk berangkat ngantor. Bagaimana rasanya naik KRL ketika jam kosong bukan jam orang berdesakan berangkat/pulang kerja. Bagaimana rasanya bermacetan di jalan tapi tetap santai karena tidak ada waktu yang dikejar. Bagaimana rasanya ke Ashta untuk main bukan untuk naik ke lantai 65. Bagaimana rasanya padel di hari Kamis siang lalu pulangnya makan nasi padang eksekutif. Bagaimana rasanya setelah jumatan tidak perlu buru-buru balik ke meja kerja. Bagaimana rasanya bisa ngopi sampai malam di tengah minggu tanpa perlu khawatir besoknya kesiangan. 

Maka dalam kesempatan pulang kali ini tempat yang ingin saya kunjungi bukanlah Bali, Komodo, Labuan Bajo, atau Raja Ampat, tapi Jakarta. Saya mau ke Jakarta di hari kerja. Saya mau melihat jakarta dari sudut pandang yang berbeda. Saya mau mengunjungi Jakarta sebagai pelancong (yang tahu jalan dan tempat, ini sangat membantu). Saya mau menikmati Jakarta di waktu dan kesempatan yang dulu saya tidak punya. Itu semacam misi pribadi yang mesti dituntaskan di liburan kali ini. Bahwa kemudian di Jakarta saya juga ketemu keluarga, teman, dan bisa menjajal makanan yang dikangenin atau dulu tak terbeli itu bonus. Tujuan utamanya adalah untuk mengalami yang belum saya alami di Jakarta. 



Kadang-kadang saya sampai mikir Jakarta owes me something. Selama di sana yang saya dapat adalah macetnya, polusinya, dan ruwetnya. Maka saya bersyukur kemarin sempat short escape empat hari ke Jakarta. Saya tidak membuat agenda yang terlalu padat, dalam beberapa kesempatan saya hanya strolling around, walking slowly, relaks menghabiskan waktu. Polusi tetep polusi, macet tetep macet, tapi setidaknya itu dijalani dengan mindset yang berbeda. Ternyata ini surprisingly refreshing, banyak hal baik tak terlihat selama ini karena hidup yang terburu-buru. 

Weekend berakhir? Muscle memory sepertinya masih mentrigger produksi hormon adrenalin pre-senin jadi ada sedikit rasa gatal. Gejala itu masih kicks in setelah ratusan minggu terbentuk pola yang sama bahkan ketika logically tahu hari senin tidak seseram itu. Butuh kesadaran untuk memaksa diri untuk tenang dan whisper bahwa besok masih libur. Ini adalah libur terpanjang yang pernah saya alami selama bekerja, bahkan jika dibandingkan beberapa momen lebaran. Jadi sudah barang tentu saya ingin nantinya mengakhiri liburan ini dengan badan dan pikiran yang fully refreshed, dan Jakarta jadi salah satu komponen penting liburan kali ini.


Lucu juga kalau ingat dulu Jakarta adalah kota impian sejak SMA dan kini sudah jadi masa lalu (masa depan balik Jakarta lagi? who knows). Ini adalah kunjungan singkat yang menyenangkan ke Jakarta. Tapi ternyata tetap tidak mungkin menghapus memori-memori yang telah lalu, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah membungkusnya dengan memori dan kesan baru yang lebih baik. Karena saya ingin di masa depan yang saya ingat dari Jakarta adalah baik-baiknya saja.

Semua terekam tak pernah mati
Semua terekam tak pernah mati

Chandra

0 comments:

Schiphol

October 07, 2025 Chandra Nurohman 2 Comments


Saat jalan menuju gate di bandara Schiphol kemarin, mata saya menangkap banner dari ING ini. Saya merasa relate dengan grafis ini karena beberapa tahun yang lalu punya hobi 'jalan-jalan' via google street view. Salah satunya saya tuliskan di sini, di mana saya eksplor street view di negara-negara bagian di US. Saya belum sampai ke Amerika saat ini, tapi Belanda sebagai gantinya ya no complaint. 

Overall 15 bulan terakhir crossing the border has been a journey. Mengingat ke belakang, kami melalui beberapa hal yang kalau diingat ada gila-gilanya. Berasa nyemplung ke kolam yang tidak tahu di dalamnya ada apa lalu mikir kok dulu berani ya. Sejak kebutuhan paling dasar, kami harus memilih apartemen without barely know the city and the streets. Bagaimana kalau ternyata tempatnya seram atau berbau aneh? Apakah landlordnya amanah? Apakah tetangganya menerima kami sebagai pendatang? Apakah lingkungannya aman untuk imigran? Kalau terjadi sesuatu dan harus cari akomodasi dadakan jelas susah dan mahal. Ternyata setelah sampai tempatnya justru terlalu bagus dan letaknya telak di pusat kota. Setelah tahu lokasi kami pindah ke hunian lain yang lebih pas dan justru dapat harga lebih terjangkau.

Saat pertama kali masuk swalayan Albert Heijn saya baru tahu bahwa supermarket tidak selalu ada kasir manualnya, beruntung kartu BCA yang saya bawa bisa dipakai bayar di mesin. Banyak hal baru yang harus secepat mungkin dipelajari bahkan saat kami masih kesulitan memahami banyak instruksi karena kendala bahasa: cara naik kereta, cara nyegat bis, cara registrasi nomor HP, cara beli furnitur, bahkan cara buang sampah yang juga diatur pemerintah. Kami berusaha menavigasi makanan halal ketika belum tahu terjemahan komposisi di kemasannya. 

Saya datang ke showroom mobil bekas tanpa pernah sekalipun sebelumnya bawa mobil setir kiri. Durasi setengah jam yang dikasih untuk test drive adalah waktu yang saya pakai untuk belajar nyetir pertama kali. Tentunya saya tidak tunjukkan pada salesnya bahwa saya gugup, dia tahunya saya punya SIM (kebijakan visa memungkinkan menukar SIM Indonesia dengan SIM Belanda tanpa tes). Kami berusaha secepat mungkin memahami rute transportasi umum dan cara bayarnya. Suatu hari kami pernah salah naik kereta sehingga sampai rumah dini hari. Pernah juga dimarahi sopir bis karena kami mencet tombol stop terlalu cepat padahal masih kurang satu halte. Bis berhenti di halte pertama dan membuka pintu tapi tak ada yang turun. Bis berhenti lagi di halte berikutnya lalu kami turun, sopir berkata dengan nada agak tinggi "next time say sorry!". Sejak itu saya paham untuk jangan diem-diem bae dengan Dutchies, mereka sangat direct dan suka keterbukaan bahkan kalaupun itu pahit. Say thanks, say sorry, etc to the face.

Kami datang membawa paspor sebagai identitas dan visa sebagai ijin masuk. Tapi kami belum punya KTP, belum punya rekening bank, belum punya SIM, belum punya asuransi, belum terdaftar di fasilitas kesehatan, belum tahu cara bayar pajak, dan surat-menyurat sebagian besar dalam bahasa Belanda. Saya punya perjanjian kerja, tapi belum tahu hukum ketenagakerjaan di sana seperti apa, apakah akan langsung terima gaji sejak bulan pertama? 

Di sana tidak ada saudara yang berprofesi sebagai dokter, aparat, dan lainnya. Kenalan dari Indonesia baru 2 orang itupun jauh di kota yang berbeda. Safety net sangat tipis tapi alhamdulillah 15 bulan pertama berjalan tanpa major issue. Last time saat sakit flu kami sudah kehabisan obat flu, sementara dokter Belanda terkenal konservatif dalam meresepkan obat dan biasanya hanya ngasih paracetamol. Beruntung ada tetangga masih punya stok obat yang dibawa dari Indonesia. Silaturahmi menambah rejeki dan memperpanjang umur itu beneran kerasa ketika di tempat yang asing.

Tidak banyak tahu apa yang akan dihadapi justru menghindarkan diri dari kekhawatiran yang berlebihan. Have a faith saja sambil jalani hari ke hari. Lama-lama things are getting figured out, kenalan makin banyak, datang ke kantor tidak lagi terasa kerja bareng bule, tulisan-tulisan berbahasa Belanda makin bisa dipahami, pikiran bukan lagi untuk survive tapi bagaimana caranya happy. Awal-awal mau makan saja mikir apa yang doyan, bisa dimasak, dan aman (halal). Sedangkan minggu-minggu sebelum pulang mikirnya sudah milih mau raket padel yang mana.

Satu tahun plus ini masih sebentar dibandingkan banyak diaspora Indonesia lain. Kami masih bersemangat untuk lanjut lagi. Liburan kali ini adalah pitstop untuk recharce baterai sekaligus supaya tidak lupa asal. Tracing root, finding home.



Chandra

2 comments: