Jakarta

October 16, 2025 Chandra Nurohman 0 Comments

Saya merasa punya unfinished business dengan Jakarta. Lima tahun tinggal di kota itu suasananya hanya kerja, kerja, dan kerja. Saya masuk ke Jakarta hanya satu hari sebelum hari pertama masuk kerja, lalu pindah dari Jakarta hanya empat hari setelah last day dari pekerjaan terakhir di sana. Di antaranya pun saya tidak pernah punya kesempatan libur yang cukup panjang untuk menikmati tempat ini. Saya juga tidak mengjalani masa 'muda' di Jakarta layaknya saya alami di Jogja dan Bandung. Saya tinggal di Jakarta tapi tidak hidup di Jakarta. 

Tempat-tempat, jalan-jalan, dan fasilitas yang ada di Jakarta lekat memorinya dengan suasana bekerja, yang artinya target, tekanan, frustrasi, meeting, dan Microsoft Teams. Saya tidak sempat meng-overwrite memori-memori itu dengan suasana lain yang lebih manis karena perpisahan dengan kota ini yang bisa dibilang buru-buru. Tentu ada weekend-weekend menyenangkan, makan-makan enak, jalan-jalan, camping, dan semacamnya, tapi itu hanya untuk mempersiapkan diri for yet another working week. 

Saya kadang mempertanyakan what it feels berada di Jakarta tapi bukan untuk bekerja. Bagaimana rasanya naik MRT untuk nongkrong ke blok M bukan untuk berangkat ngantor. Bagaimana rasanya naik KRL ketika jam kosong bukan jam orang berdesakan berangkat/pulang kerja. Bagaimana rasanya bermacetan di jalan tapi tetap santai karena tidak ada waktu yang dikejar. Bagaimana rasanya ke Ashta untuk main bukan untuk naik ke lantai 65. Bagaimana rasanya padel di hari Kamis siang lalu pulangnya makan nasi padang eksekutif. Bagaimana rasanya setelah jumatan tidak perlu buru-buru balik ke meja kerja. Bagaimana rasanya bisa ngopi sampai malam di tengah minggu tanpa perlu khawatir besoknya kesiangan. 

Maka dalam kesempatan pulang kali ini tempat yang ingin saya kunjungi bukanlah Bali, Komodo, Labuan Bajo, atau Raja Ampat, tapi Jakarta. Saya mau ke Jakarta di hari kerja. Saya mau melihat jakarta dari sudut pandang yang berbeda. Saya mau mengunjungi Jakarta sebagai pelancong (yang tahu jalan dan tempat, ini sangat membantu). Saya mau menikmati Jakarta di waktu dan kesempatan yang dulu saya tidak punya. Itu semacam misi pribadi yang mesti dituntaskan di liburan kali ini. Bahwa kemudian di Jakarta saya juga ketemu keluarga, teman, dan bisa menjajal makanan yang dikangenin atau dulu tak terbeli itu bonus. Tujuan utamanya adalah untuk mengalami yang belum saya alami di Jakarta. 



Kadang-kadang saya sampai mikir Jakarta owes me something. Selama di sana yang saya dapat adalah macetnya, polusinya, dan ruwetnya. Maka saya bersyukur kemarin sempat short escape empat hari ke Jakarta. Saya tidak membuat agenda yang terlalu padat, dalam beberapa kesempatan saya hanya strolling around, walking slowly, relaks menghabiskan waktu. Polusi tetep polusi, macet tetep macet, tapi setidaknya itu dijalani dengan mindset yang berbeda. Ternyata ini surprisingly refreshing, banyak hal baik tak terlihat selama ini karena hidup yang terburu-buru. 

Weekend berakhir? Muscle memory sepertinya masih mentrigger produksi hormon adrenalin pre-senin jadi ada sedikit rasa gatal. Gejala itu masih kicks in setelah ratusan minggu terbentuk pola yang sama bahkan ketika logically tahu hari senin tidak seseram itu. Butuh kesadaran untuk memaksa diri untuk tenang dan whisper bahwa besok masih libur. Ini adalah libur terpanjang yang pernah saya alami selama bekerja, bahkan jika dibandingkan beberapa momen lebaran. Jadi sudah barang tentu saya ingin nantinya mengakhiri liburan ini dengan badan dan pikiran yang fully refreshed, dan Jakarta jadi salah satu komponen penting liburan kali ini.


Lucu juga kalau ingat dulu Jakarta adalah kota impian sejak SMA dan kini sudah jadi masa lalu (masa depan balik Jakarta lagi? who knows). Ini adalah kunjungan singkat yang menyenangkan ke Jakarta. Tapi ternyata tetap tidak mungkin menghapus memori-memori yang telah lalu, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah membungkusnya dengan memori dan kesan baru yang lebih baik. Karena saya ingin di masa depan yang saya ingat dari Jakarta adalah baik-baiknya saja.

Semua terekam tak pernah mati
Semua terekam tak pernah mati

Chandra

0 comments: