Showing posts with label belanda. Show all posts

Kramp Run Varsseveld

Alhamdulillah, event lari pertama seumur hidup terlaksana sudah lewat Kramp Run Varsseveld 2025.



Varsseveld adalah sebuah kota kecil di provinsi Gelderland, lokasinya sudah dekat perbatasan Belanda-Jerman. Meskipun kotanya kecil dan populasinya tidak banyak, kota ini jadi kawasan industri dan pergudangan terutama di bidang agriculture dan bisnis penopangnya. Ada beberapa perusahaan beroperasi di Varsseveld, tapi Kramp jadi synonimous dengan kota ini karena perusahaan ini asli berasal dari Varsseveld. Tahun 1951 Johan Kramp mendirikan bisnis sparepart dan alat-alat pertanian di tempat ini sebelum berekspansi ke wilayah dan negara lain di Eropa.

Kramp Run adalah event lari yang tahunan diselenggarakan di pusat kota Varsseveld. Ada beberapa kategori lari: Kids Run 1km, Jeugd (youth) Run 2km, Recreanten (fun) Run 5km, Business Run 5km, dan Top Run 5km. Course-nya memang tidak panjang, hanya di sekitar centrum Varsseveld. Yang menarik justru untuk Recreanten Run dan Business Run rutenya melewati gudang milik Svedex dan Kramp, dua perusahaan besar yang ada di sana. Di dalam gudang peserta lari sambil disuguhkan musik dan permainan lampu, sangat Dutch sekali. Meskipun ini event lari kecil, tapi untuk result tetap pakai professional equipment sehingga catatan waktu yang didapat akurat.


Acara dimulai dengan lari anak-anak dan remaja. Dikenal sebagai negara dengan bocah paling fit karena sering beraktivitas di luar ruangan dan bersepeda, anak-anak Dutch ini memang kelihatan sehat: lean, kakinya panjang, tegap, dan jauh dari obesitas. Beberapa anak masih sangat kecil sehingga lari sambil digandeng orang tuanya, tapi tetap saja impresif bisa lari sampai 1 km. Beberapa yang sudah agak besar tampak kompetitif dan memang larinya kencang. 

Setelah itu giliran Recreanten Run dan Business Run start bareng sehinggga starternya paling banyak. Rute dan aturannya sama, bedanya hanya untuk Business Run peserta mendaftar secara berkelompok (umumnya mewakili bisnis/kantornya) lalu di akhir catatan waktunya di-average. Sementara Recreanten Run berlari sebagai individu seperti biasa, saya ikut yang ini. Nanti terakhir ada Top Run di mana yang ikut rata-rata atlet  yang larinya kencang dan memperebutkan hadiah yang serius. Beberapa peserta berasal dari luar daerah bahkan luar negeri.

Saya belum pernah ikut event lari, jadi belum pernah pakai bib dan dapat medali finisher sebelumnya. Lari di Kramp Run ini seperti pertandingan home, lari in our own backyard. Meskipun saya mendaftar perseorangan, di sana saya ketemu beberapa familiar faces yang sering saya lihat di tempat kerja. Sebelumnya saya sudah 2 kali lari di Varsseveld untuk nyoba medan, terakhir seminggu yang lalu. Tapi tetap saja ketika akan mulai ada sedikit grogi. 

Event lari pertama, langsung di Varsseveld, disponsori Kramp, bersama para Dutchies, dan personal best 5k, what an experience. Alhamdulillah.


Salam,
Chandra

Tuhan Tahu Tapi Menunggu

InterNations Expat Insider survey kembali merilis laporannya di tahun 2025 ini. Survey yang mereka lakukan bertujuan mengetahui seberapa bersahabat sebuah negara terhadap ekspat atau pekerja asing. Parameternya ada banyak: Quality of Life, Ease of Settling In, Working Abroad, Personal Finance, dan Expat Essentials. Respondennya lebih dari 10 ribu ekspat dari 172 kewarganegaraan yang tersebar di seluruh penjuru dunia.

Aspek yang dilihat cukup luas sehingga untuk mendapat peringkat tinggi tidak semata-mata hanya dilihat dari majunya ekonomi atau tingginya standar hidup sebuah negara. Justru pendekatan yang dilakukan lebih praktikal dan dilihat dari sudut pandang ekspat itu sendiri dengan segala kebutuhannya. Jadi instead of dikuasai oleh negara Eropa, Nordics, US, atau Asia Timur, ini adalah 10 besarnya tahun ini:


Panama jadi pemuncak klasemen dua tahun berturut-turut. Sementara Thailand, Vietnam, Indonesia, dan Malaysia bertengger di 10 posisi teratas. Ini karena yang dilihat bukan besarnya GDP atau banyaknya ekspat yang sudah menetap, tapi lebih dari 'seberapa mudah jadi ekspat di negara ini?'. Keramahan penduduk, hospitality, dan biaya hidup terjangkau di negara-negara Asia Tenggara sangat signifikan mendorong peringkat mereka. Faktor-faktor itu menjadikan mudah bagi orang asing untuk menetap di sana.

Asia Tenggara terkenal dengan gonjang-ganjing politiknya, tapi sebagai ekspat saya merasakan bahwa tidak mudah untuk menangkap semua gejala politik yang terjadi di negara tempat menetap karena perbedaan bahasa dan jarak dengan komunitas umum. Jadi kalau yang ditanya adalah ekspat yang kerja di Treasury Tower dan tinggal di Residence 8 SCBD saya bisa membayangkan pandangannya agak bias ke arah positif. 


Di sisi lain Belanda meskipun sudah naik banyak masih tertahan di posisi 22. Di satu sisi peringkat Belanda bagus dalam hal work culture dan digitalisasi. Saya merasakan ini di mana budaya kerja orang Belanda yang tidak ngoyo dan tidak ingin pekerjaan jadi satu-satunya fokus. Keluarga adalah pusat kehidupan dan mereka sangat menghargai ini. Selain itu budaya volunteering dan keterlibatan dalam aktivitas sosial dan olahraga juga tinggi. Saya punya kolega yang terdaftar sebagai pemain sepakbola profesional di klub kasta bawah Liga Belanda. Suatu hari dia ijin kerja karena kena groin injury setelah bertanding. Jadi kalau ada yang bilang MU kalah lawan part time plumber itu ya bisa jadi benar wkwk

Digitalisasi juga jadi faktor pendorong naiknya peringkat Belanda. Berbagai sistem sudah terintegrasi sehingga mempermudah dan mempercepat proses berbagai urusan. Seamless dan almost paperless. Waktu pertama kali datang dan belum mengurus apapun, kartu BCA yang saya bawa dari Indonesia sudah bisa dipakai untuk belanja dan naik transportasi umum. Setelah jadi penduduk kita punya yang namanya DigId, sistem authenticator tunggal yang sangat memudahkan untuk log in dan mengakses semua layanan digital pemerintah.

Tapi di sisi lain ada yang memberatkan misalnya healthcare. Jumlah migran yang semakin banyak tidak diimbangi dengan naiknya kapasitas dokter umum alias huisart/GP (general practicioner). Sebabnya bidang kesehatan susah untuk dimasuki para migran sehingga terlalu banyak calon pasien untuk jumlah dokter yang terbatas. Akibatnya sulit untuk menemukan GP yang masih punya kuota untuk didaftari. 

Kendala lain adalah housing market yang semakin ketat. Efeknya harga sewa dan beli semakin mahal dan pesaingnya ketika house hunting semakin banyak. Ekspat yang belum bisa bahasa Belanda tentu berada dalam disadvantage ketika bersaing mencari hunian. Pertumbuhan penduduk (banyak dikontribusikan migrasi) terjadi terlalu cepat dan tidak diimbangi kecepatan pertambahan jumlah perumahan. Pertambahan 1 juta penduduk karena migrasi tentu beda dengan pertambahan 1 juta penduduk karena kelahiran dalam hal nge-strecht kapasitas hunian. 

Satu hal lagi yang jadi penghambat bagi ekspat adalah integrasi sosial. Orang Belanda itu ramah dan tidak rasis. Mereka sudah terbiasa melihat orang dengan warna kulit atau cara berpakaian berbeda, terutama di kota-kota besar. Dalam berbicara mereka juga adalah penutur bahasa Inggris yang sangat baik dan mudah dimengerti. Tapi sulit bagi pendatang untuk masuk ke sirkel pertemanan mereka, mereka agak tertutup untuk menerima orang baru dekat-dekat. 

Walaupun bisa English, ketika ngumpul di antara sesama mereka mereka akan pakai Dutch. Even ketika ada satu dua orang asing, they don't bother switch ke English atau minimal memelankan cara bicaranya, lanjut saja walaupun kita sebagai pendengar roaming parah. Saya cukup yakin mereka tidak berniat buruk menjadikan para pendatang ini outsider, hanya saja itu nyamannya dan kebiasaan mereka. 

Ini seperti kebiasaan orang Jawa yang kalau melingkar dengan sesamanya suka pakai bahasa Jawa bahkan ketika di situ ada yang tidak bisa berbahasa Jawa. Harus diakui saat kuliah saya sering tanpa sadar melakukan ini. Nggak ada niat jahat, cuma ini otomatis setingannya begitu. Sekarang saya paham rasanya teman-teman Jakarta dan luar Jawa ketika berada pada posisi yang cuma bisa senyum-senyum kecut tanpa tahu apa yang dibicarakan.

Tuhan tahu tapi menunggu - Edensor (Andrea Hirata)

Laporan lengkap Expat Insider: Survey Report

Thanks,
Chandra

Melihat Indonesia Dari Jauh


Apa kabar nasionalisme setelah setahun lebih 'melihat Indonesia dari jauh?'. Saya nggak mau ndadik-ndakik dengan bilang "saya makin cinta NKRI setelah tinggal di luar negeri", karena ya nggak gitu-gitu amat. Walaupun sebenarnya tersentuh juga kalau hari-hari ini mendengar lagu berbau nasionalisme, mungkin faktor kangen berperan besar di situ. Heavy rotation saya belakangan ini Bendera-nya Coklat yang anthemic, Kebyar-Kebyar versi Arkarna karena seratus untuk effortnya membawakan lagu berbahasa Indonesia, dan Tanah Airku versi Gitasav & Angklung Hamburg, terasa sekali vibes diasporanya.

Saya pikir orang yang lahir dan besar di suatu negara akan susah untuk benar-benar lepas dari akarnya. Kalaupun ganti paspor, banyak yang karena alasan teknis saja, misalnya biar bebas visa ke banyak negara atau supaya mendapat hak penuh sebagai warga di mana dia tinggal. Untuk kasus Indonesia-Belanda ada juga yang karena pernikahan. Upacara 17an hari ini menunjukkan bahwa bahkan yang sudah puluhan tahun di sini, sangat fasih berbahasa Belanda, dan membawa pasangan bule pun bisa sangat antusias dan khidmat mengikuti jalannya upacara, plus bersemangat menyanyikan medley lagu-lagu patriotik. Get to this later.

Problemnya adalah pandangan bahwa kalau mau mencintai indonesia maka harus pula mendukung pemerintahnya. Padahal bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya itu milik bangsa bukan punya presiden atau kabinet. Memang pendengung sialan, mempropaganda bahwa kalau tidak mendukung atau sepakat dengan pemerintah maka tidak NKRI. Padahal makin kesini makin banyak kebijakan menyebalkan yang dibuat. Saya yang eksposure ke kebijakan-kebijakan itu terbatas saja mangkel apalagi yang terimbas langsung. Padahal ketika bilang NKRI yang dimaksud adalah manusianya, alamnya, budayanya, solidaritas warganya, bahasanya, seninya, makanannya, keberagamannya, kebersamaannya, tawanya, hangatnya.

***

Now that I'm kebetulan lagi standing on 'rumput tetangga' yang katanya lebih hijau, justru muncul kesadaran bahwa rumput tidak selalu untuk dibanding-bandingkan. Seperti warna merah dan biru saja, beda tapi tidak untuk dicari mana yang lebih baik diantara keduanya. Andaikan ada cara untuk bisa meng-copy-paste mentah-mentah manusia dan cara hidupnya dari negara A ke negara B, ini belum tentu works juga. 

Guru geografi kami di SMA dulu pernah bilang, Indonesia susah maju wong duduk aja gembrobyos. Ya iklim dan kondisi geografis adalah salah satu hal yang tidak bisa diubah. Bahwa Indonesia ada di khatulistiwa ya begitulah adanya. Apakah berada di daerah tropis itu keuntungan atau kerugian bisa diperdebatkan, tapi yang jelas cara hidup orang Indonesia pasti beda dengan orang nordic. Iklim memengaruhi bagaimana orang berpakaian, bagaimana membuat bangunan, dan apa yang dimakan. Sandang, pangan, papan, means tiga pilar yang membentuk peradaban. Dalam orde ratusan tahun sudah pasti deviasinya besar. Manusia memang diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa.

Kalau bicara kemajuan secara ekonomi dan teknologi juga nggak selamanya konstan kok. Baru beberapa dekade yang lalu US dan Uni Soviet perang bintang, canggih-canggihan menuncurkan manusia ke luar angkasa. Kini Uni Soviet sudah tidak ada, Eropa mungkin akan melambat, justru China yang melaju gila-gilaan. Tentu ini bukan excuse untuk berpangku tangan. Kalau bisa maju, kalau bisa meningkatkan kualitas hidup segera, kenapa tidak. Tapi instead of meniru plek-plekan, mestinya yang dibangun adalah dasarnya: disiplin, kerja keras, dan mau belajar.

Kalau kata Cak Nun, jangan dibandingkan pohon kelapa dengan pohon yang lain. Pohon kelapa ya begitu itu, pohon yang lain ya begitu itu. Belanda super teratur, tapi saking teraturnya ada yang melenceng dikit panggil polisi. Jangankan sound horeg, AC gedung sebelah terlalu berisik karena hari lagi panas saja ada yang kepikiran mau manggil polisi. Maju memang, tapi kaku. Saya sudah kangen ingin liburan ke Indonesia karena kangen fleksibilitas dan spontanitas warganya. 


Hari ini kami ikut upacara detik-detik proklamasi di Den Haag. Kebetulan 17 Agustus tahun ini jatuh di akhir pekan, terakhir sebelum terjadi lagi di 2030. Event ini lumayan menyenangkan buat saya yang terakhir upacara bendera lebih dari 10 tahun yang lalu. Ada sensasi lain yang dirasakan dalam momen-momen seperti ini. Bagaimana menjelaskannya ya, tapi mungkin sama dengan rasa yang membuncah dan solidaritas yang tiba-tiba naik ketika bareng-bareng nonton timnas. Speaking about timnas, di upacara hari ini hadir pula Patrick Kluivert sebagai undangan.


Upacara peringatan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia ini diadakan di Sekolah Indonesia Den Haag. Selain seremoni upacara, ada juga panggung hiburan, lomba anak-anak, dan bazaar makanan. Beberapa brand warung makan Indonesia favorit hadir misalnya Warung Barokah, Warung Padang Lapek, dan Pempek Elhysa. Tidak ketinggalan yang mencuri perhatian tahun ini adalah pendatang baru Sate House Senayan, ekspansi Sate Khas Senayan dari Indonesia. Nyaris semua antri panjang, rasanya upacara tahun ini jauh lebih ramai dari tahun lalu.




80 tahun merdeka adalah angka yang bagus, bulat. Tapi ini juga hanya 20 tahun away dari 100, checkpoint yang di mana mestinya sebuah bangsa dan negara sudah punya capaian yang bisa dibanggakan. Semoga segala permasalahan di tanah air bisa segera diselesaikan, kualitas hidup membaik, dan warga bahagia dan sejahtera. Merdeka!


Chandra


Harga-harga Kali Lima


Bulan pertama di Belanda dulu harus diakui terasa cukup berat. Selain berbagai adaptasi yang harus dilakukan, ada juga shock dalam hal cashflow. Sebabnya bekal yang sebelumnya dikumpulkan sebagai rupiah dibelanjakan sebagai euro dan ini membuat segala hal terasa mahal. Dalam pikiran harga-harga selalu dikonversi ke rupiah. Sebotol air mineral jadi terasa 20 ribu, jajan di luar jadi seperti 200 ribu sekali makan.

Setelah lewat bulan pertama situasi jadi lebih masuk akal. Meski begitu, kebiasaan mengonversi harga ke rupiah tetap ada. Keputusan untuk membeli atau tidaknya sesuatu ikut ditentukan mahal tidaknya barang itu jika dilihat harganya dalam rupiah. Misal ada eskrim seharga €2, maka kalau dikalikan kurs menjadi sekitar Rp38.000. Ini masih oke karena di Jogja ada gelato yang harganya 30 ribu. Walaupun sebenarnya perbandingan ini tidak fair karena eskrim €2 tadi belinya di kios eskrim kecil sementara bandingannya adalah Tempo Gelato.

Lama-kelamaan persepsi soal harga ini semakin luntur juga. Saya mulai menerima bahwa kalau harganya segitu ya segitu. Tidak perlu dihitung rupiahnya dan dibandingkan dengan harga di Indonesia. Di saat yang sama saya mendapat insight bahwa dalam soal harga gunakan prinsip kalikan lima.

Jadi untuk mendapat bayangan yang lebih pas soal mahal atau tidaknya suatu barang, daripada dikalikan dengan kurs rupiah lebih baik kalikan 5000. Misal kapsalon ini yang saya beli seharga €7.5 di sebuah kios kebab. Kalau dikalikan kurs rupiah jadinya 140 ribu yang mana nggak masuk akal, itu harga makan di mall menengah atas Jakarta. Tapi kalau dikalikan 5 jadi 37 ribu masih bisa diterima karena 'tingkat kepuasan' yang saya dapatkan dari seporsi kapsalon ini (termasuk tempat, layanan, dan rasa) setara dengan makan di gerai ayam goreng di Indonesia yang harganya makanannya 30 sampai 40 ribu.


Air minum 1.5 liter ini harganya €1.2, dengan prinsip yang sama maka 'harganya' 6000 rupiah, tidak mahal tidak murah, just right. Ini berlaku di hampir semua kebutuhan pokok. Karena faktor teknis seperti distribusi, supply vs demand, aturan harga, dan mekanisme pasar bisa jadi ada produk yang terasa terlalu murah atau terlalu mahal setelah dikalikan 5, tapi secara umum kaidah ini mewakili dengan baik.


Harga seporsi nasi padang di resto padang paling terkenal di Belanda, Waroeng Padang Lapek, adalah €19.5. Ini mahal memang, tapi kalau dikalikan 5 jadi 100 ribu masih on par dengan Pagi Sore. Harga sate kambing di Warung Barokah Amsterdam €11, kalau dinormalkan dengan perhitungan yang sama tidak begitu jauh bedanya dengan Sate Khas Senayan atau Sate Pak Pong. Boba tea di Ming Kee harganya €5 untuk yang besar, kalau dikali lima ini kira-kira sama dengan harga Chatime. Harga indomie goreng sebungkus €0.6, dikali lima jadi 3 ribu.

Selain makanan, kebutuhan primer lain juga bisa ditreatment dengan cara yang sama, misalnya harga sewa apartemen, tagihan listrik, dan harga BBM. Penggunaan listrik kami dalam sebulan sekitar 50-60 euro, kalau dikalikan 5 dapatlah 250-300 ribu, angka yang wajar untuk penggunaan berdua. Harga BBM sekitar €1.85 untuk yang biasa dan €2.2 untuk yang bagus, kalau dikalikan lima mendekati harga pertalite dan pertamax.

Intinya dengan faktor pengali 5 ini, kita bisa membayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapat kualitas hidup yang setara dengan di Indonesia. Give better sense on what is expensive and what is affordable. Ini bisa jadi gambaran untuk orang yang akan bermigrasi ke Eropa. Jika tujuannya adalah negara atau region lain, mungkin konsep yang sama bisa diterapkan dengan faktor pengali yang berbeda. 

Implementasi yang paling praktikal dari ini adalah soal pertimbangan offering gaji. Misal di Indonesia punya gaji 10 juta nett, maka untuk mendapat kenyamanan hidup yang sama paling tidak offer yang didapat ada di range 40-50 juta nett (kurs sebenarnya). Kalau 'hanya' 25 juta rasanys tidak akan secukup 10 juta di Jakarta walaupun secara angka lebih besar. Ini mirip dengan orang yang bertanya, mending gaji 6 juta di Jogja atau 10 juta di Jakarta. 

Itu kalau ngomong satu faktor saja: gaji. Tapi kalau sudah bicara migrasi banyak faktor lain yang juga harus diperhitungkan: keluarga, makanan, bahasa, cuaca, budaya, dan pertimbangan pribadi lainnya. Lalu sebaiknya acuan yang dipakai nett bukan gross karena kalau sudah bicara negara yang berbeda aturan pajak, asuransi, dan pensiun pasti berbeda.

Kegunaan lain dari kaidah ini adalah untuk menjawab kalau ditanya soal harga-harga oleh keluarga atau teman di Indonesia. Pertanyaan 'barang X di sana harganya berapa?' adalah salah satu yang sering muncul. Agak susah buat menjawab mentah-mentah dengan harga yang dikalikan kurs karena jadi terlihat sangat mahal dan nggak make sense bayar segitu untuk barang itu. Saya lebih seneng menjawab secara kualitatif saja dengan mahal/murah/sedang berdasarkan 'rasa' mahalnya ketika membayar, dan ini terbantu dengan kaidah kali lima tadi.

Ada beberapa pengecualian dari aturan ini. Pertama adalah barang-barang yang stoknya melimpah seperti keju, coklat, susu, dan beberapa jenis buah. Karena banyaknya supply, harga keju, coklat, dan susu di sini relatif murah. Bahkan kalau dikalikan kurs sebenarnya pun angkanya masih masuk akal. Produk teknologi juga tidak terimpact karena karakteristik produksinya yang global (chip dari negara A, screen dari negara B, R&D di negara C, produksi massal di negara D). Misalnya IPhone 16 128GB Black di Amac Belanda harganya €839 (16 juta), untuk tipe yang sama harga di Ibox Indonesia adalah 14 juta. 

Terimakasih sudah membaca, ambil baik-baiknya saja.

Chandra

Aerospace By Heart


Ada seorang YouTuber yang video Shorts-nya sering lewat di tempat saya akhir-akhir ini, namanya Max Klymenko. Salah satu kontennya adalah Career Ladder, di mana Max berdiri di atas tangga lipat bersama orang yang dia temui di jalan. Max kemudian melempar beberapa pertanyaan cepat seputar karir dan pekerjaan pada orang itu. Tujuannya dalam waktu 2 menit dia harus bisa menebak apa pekerjaan lawan bicaranya, jika Max gagal si obyek boleh stay misterious atau memberikan jawabannya ke kamera. Mungkin sudah ratusan video seperti ini dia buat di berbagai tempat yang dia kunjungi.

Max sering gagal, tapi sebagai penonton berhasil atau tidaknya dia tidaklah penting, kalaupun gagal kita bisa menunggu jawaban dari narasumbernya. Pekerjaan mereka macam-macam, mulai dari firefighter, public relation, therapist, designer, comedian, chef, event organizer, aktor, politisi, notaris, penulis, dan lain sebagainya. Basically semua profesi yang bisa kita bayangkan, beberapa bahkan baru pertama kali saya dengar. Beberapa pertanyaan yang diajukan Max untuk mengerucutkan jawaban misalnya apakah pekerjaan ini bersifat kreatif, apa kamu menjual barang/jasa, apa kamu bekerja di luar ruangan, apa perlu gelar akademik untuk melakukan pekerjaan itu, sudah berapa lama kamu bekerja di profesi ini, dan lain lain.

Pertanyaan yang juga sering dia lontarkan adalah do yo enjoy your job. Jika orangnya jawab ya maka kemungkinan pekerjaannya bersifat seni atau pelayanan. Tapi jika jawabannya tidak, mungkin lawyer atau software engineer. Pada satu episode ketika obyeknya menjawab yes, Max langsung menyimpulkan 'so it's not software engineer'. Saya setuju, software engineer memang bukan job of passion, sejauh yang saya tahu orang bekerja di bidang ini antara karena itu yang paling dia bisa atau itu kesempatan terbaik yang dia punya. Berapa banyak anak kecil sebelum era digital ini yang punya cita-cita jadi ahli komputer? Nggak banyak saya rasa. Ketika bilang bercita-cita jadi insinyur, yang dibayangkan adalah bekerja di lapangan pakai rompi dan helm proyek bukan duduk depan laptop working from home.

Ini memang salah satu pekerjaan yang cukup dijalani tanpa harus dinikmati. Bayangkan sebuah pekerjaan di mana 'error-nya udah ganti' adalah sebuah prestasi wkwk. Error adalah suatu keniscayaan yang ditemui hari ke hari: syntax error, gateway timeout, invalid input, missing semicolon, class not found, compilation error, bad request, unauthorized, etc. Butuh adaptasi untuk jadi biasa saja dan bisa membedakan mana error yang perlu ditanggapi dan mana yang bisa diabaikan.

That being said, setelah enam tahun secara intens menekuni profesi ini, saya tetep tidak mengatakan pekerjaan ini sesuai passion. Bahwa saya bersyukur atas kesempatan ini, sangat. Sama bersyukurnya dulu pernah kuliah penerbangan. Pesawat terbang tetap punya tempat khusus buat saya. Bukan hanya pesawat sebagai barang, tapi juga sebagai keilmuan. Sesimpel sebagai obrolan, saya lebih tertarik berbincang soal teknologinya Boeing dan Airbus daripada AI dan cloud technology. 

Cara berpikir yang dibentuk dengan belajar teknik penerbangan dulu cocok buat saya. Bagaimana dalam banyak hal optimasi perlu dilakukan dan you can't have it all. Bagaimana dalam merancang sesuatu perlu memikirkan aspek fail-safe. Bahkan pendekatan terhadap fault/error pun saya suka: calculated safety factor dan redundancy. Kadang-kadang saya masih bawa cara pikir ini dalam bidang software dan ternyata belum tentu cocok.

Maka untuk kasus saya ada batas yang jelas antara passion dan profesi. Jadi saya tidak merasa sia-sia kuliah 4 tahun dan sekarang bekerja di bidang lain karena I got to keep it as a hobby. Saya masih suka nontonin pesawat dan planespotting, seneng ada di bandara, gemar mengamati perangkat aero di mobil dan motor balap, masih punya keinginan membangun UAV dan kincir angin, serta takjub melihat besarnya kincir pembangkit listrik skala besar. 

                Planespotting bandara Schiphol

Saya masih ingat dulu di Bandung gedung PTDI tampak keren sekali dilihat dari atas jembatan layang Pasupati. Kalau saya not into penerbangan mungkin tidak segitunya. Tapi karena gemar, saya sering naik motor lewat depannya hanya untuk melihat gedungnya dan hanggarnya dari dekat sekalian planespotting dari dekat runway Bandara Husein Sastranegara. Kini di Belanda alhamdulillah ada kesempatan serupa: mengunjungi kampus Aerospace Engineering-nya TU Delft.

TU Delft adalah salah satu tujuan favorit pemerintah Indonesia menyekolahkan insinyur penerbangannya kala itu sehingga termasuk kampus yang 'dekat'. Dosen-dosen penerbangan banyak yang lulusan sana, di lab ada windtunnel hibah dari Delft kalau saya nggak salah ingat, dan salah satu buku pegangan wajib "Synthesis of Subsonic Airplane Design" ditulis oleh Pak Egbert Torenbeek yang adalah orang Delft. Ibaratnya AE ITB ikut mazhab-nya AE TU Delft. Saat ini juga ada beberapa teman yang sedang kuliah master dan doktoral di sana. 

Jalan-jalan ke kampus ini berasa seperti pilgrim. Bangunannya yang tinggi di antara bangunan lain di sekitarnya mengingatkan saya pada gedung PTDI. Saya tidak bisa masuk karena datang ke sana hari Sabtu, semoga lain kali ada kesempatan datang ketika weekday sehingga bisa masuk setidaknya sampai lobi. Saya lihat ada beberapa barang-barang menarik di dalam. Tapi di luar pun sudah nyaman untuk duduk-duduk, khas suasana kampus yang teduh, tenang, lega, dan terbuka. 


Luchtvaart- en Ruimtevaarttechniek, keren sekali namanya. Kalau di-Bahasa Indonesia-kan jadi Aeronotika dan Astronotika, nama resmi yang dipakai di ITB sebelum diubah jadi Teknik Dirgantara. Tampaknya Aerospace Engineering TU Delft sudah berumur 85 tahun, masa yang panjang dan hampir pasti sudah berkontribusi banyak pada kepakaran dan perkembangan teknologi penerbangan dan antariksa dunia. 




Saya nggak tahu apakah di masa depan akan balik ke bidang penerbangan lagi atau tidak. Tapi saya bersyukur pernah belajar itu sebagai sesuatu yang sangat saya gemari.


Thanks,
Chandra

Cerita Ganti Oli

Sekedar ganti oli, but make it cool


Ganti oli adalah maintenance paling dasar yang diperlukan sebuah kendaraan. Kalau mau murah dan bersedia kotor-kotoran dikit kita bisa beli oli di online shop lalu diganti sendiri di rumah. Oli bekasnya kemudian ditampung dan dibawa ke bengkel terdekat untuk dititip buang. Alternatif lainnya yang lebih simpel adalah datang ke bengkelnya langsung, biasanya ganti oli selesai dalam 30 menit kalau tidak antre. Biayanya tergantung mobil dan jenis oli yang dipakai, tapi maksimal 500 ribu sudah termasuk filter dan jasa untuk mobil standar.

Sementara di Belanda, nyuci mobil bukan di tempat cuci mobil saja tidak boleh, apalagi ganti oli. Kadang saya susah paham betapa strict-nya beberapa aturan di sini. Argumen tidak boleh cuci mobil di sembarang tempat adalah air sabun sisa cucinya akan terbuang ke tanah atau jalan dan ini dosa karena bisa mencemari jaringan air bersih (air minum). Jadi kalau mau cuci mobil harus di tempat cucian yang punya sistem pembuangan limbah khusus. Beberapa tempat cuci mobil menyediakan opsi bayar tempat saja, nyucinya lakukan sendiri, jadi lebih murah. 

Kalau bekas air sabun saja treatment-nya begitu, apalagi oli yang jelas lebih berbahaya. Kalau ketahuan ganti oli sendiri di tempat umum seseorang bisa kena denda. Denda. Dua tempat yang kemungkinan boleh dipakai adalah garasi pribadi dan pom bensin, itupun prosesnya harus clean. Oli bekasnya tidak boleh dibuang sembarangan, harus dibawa ke milieustraat, semacam recycling center yang ada di setiap kota. Kalau tidak yakin bisa clean, kendaraan sebaiknya di bawa ke bengkel. Sama seperti banyak urusan lainnya, untuk ganti oli di bengkel pun perlu bikin appointment dulu.



Harga 150€ ini adalah quotation paling masuk akal yang saya temukan, ada bengkel yang matok harga di atas 300€. Memang kebanyakan di sini pakai long life oil yang bisa dipakai sampai 10 hingga 15 ribu kilometer, tapi tetap itu harga yang bisa dibilang mahal untuk ganti oli dan filter. Tapi saya tetap datang karena ganti oli rutin adalah cheap insurance, cara memperpanjang umur kendaraan dengan harga lebih terjangkau daripada biaya perbaikan kalau terjadi apa-apa pada komponen mesin. Selain itu motor mobil yang olinya baru terasa lebih enak dan enteng ketika digas.

Saya datang sekitar 5 menit sebelum appointment di hari senin pagi dan langsung masuk ke bagian Receptie. Mobil langsung dibawa ke belakang dan dinaikkan ke jack. Sebenarnya customer tidak boleh masuk ke area bengkel tapi saya colongan lihat dan ambil gambar karena penasaran. Selanjutnya saya duduk di ruang tunggu sambil lihat-lihat beberapa onderdil dan brosur yang ada di sana. 


Prosesnya lebih lama dari yang saya kira karena paket ganti oli ini ternyata termasuk beberapa check-up dasar. Mereka menginfokan poin advice yang perlu saya tahu kalau nanti mau uji berkala tahunan (APK). Fun fact, saat menjelaskan hasil check-up, mereka menggunakan bahasa yang sangat-sangat awam. Kecuali seseorang tampak jelas sebagai auto enthusiast, dia akan dianggap tidak tahu mobil sama sekali di sini. Padahal di Indonesia ganti oli, kampas rem, dan wiper sendiri adalah hal biasa. Seminimal-minimalnya orang kalau datang ke bengkel akan ikut melongok ke kap mesin untuk tahu apa yang dilakukan mekaniknya. Tapi di sini mobil dianggap seperti black box, pengguna tahu pakai saja, hampir mirip sikap orang terhadap handphone.

Overall pengalaman servis mobil pertama di Belanda berjalan baik. Pelayanan mereka memuaskan dan mereka paham bahwa saya belum bisa berbahasa Dutch dengan baik sehingga komunikasi dalam Bahasa Inggris. Bengkel ini akan masuk pertimbangan untuk melakukan major maintenance sekaligus APK sekitar akhir tahun nanti.


Chandra


Mampir Masjid


Awalnya saya merasa perlu untuk mencatat masjid-masjid di Belanda yang bisa jadi tempat salat ketika bepergian. Jadi saya buat katalog sederhana di google sheet untuk mengingat lokasi masjid di jalur dan kota utama sehingga kapan dibutuhkan saya tahu dimana bisa mampir. Problem yang mau saya pecahkan adalah tidak mudahnya mencari tempat salat yang layak di negara ini. Jumlah masjid dalam satu kota bisa dihitung jari, fasilitas umum seperti pom bensin tidak menyediakan mushola, dan tidak di semua tempat ada akses ke air wudhu dan permukaan suci. Satu persatu masjid dicatat, setelah setahun ternyata terkumpul 50 tempat, alhamdulillah. 


Beberapa masjid lebih berkesan di antara yang lain. Masjid Al-Hikmah di Den Haag sangat nyaman buat saya dengan kehangatan orang-orang Indonesianya. Andai memungkinkan ingin rasanya tinggal dekat masjid itu. Moskee Ulu Camii jadi andalan untuk mampir ketika lewat Utrecht, ini sekaligus masjid pertama di Belanda yang saya salat di dalamnya. Lalu ada masjid di Amsterdam yang dari luar tampak seram karena bekas gereja tua tapi dalamnya nyaman dan selalu buka setiap mau mampir.

Saya mencari masjid saat berkunjung ke kota besar seperti Amsterdam, Roterdam, dan Den Haag. Di sana relatif ada lebih banyak opsi masjid karena demografinya yang heterogen, termasuk di dalamnya komunutas muslim. Seiring berjalannya waktu saya eksplor juga kota-kota lain dan mampir ke masjid di Tilburg, Breda, Eindhoven, Enschede, Groningen, Wageningen, dan lain sebagainya. Total ada lebih dari 25 kota di list ini ditambah dua kota di luar negeri (Cologne/Koln dan Paris). 

Dulu awal-awal saya beberapa kali kecele mendapati masjid yang tutup atau tidak akomodatif untuk pejalan (misal tidak dibuka untuk jamaah wanita sehingga istri tidak bisa ikut salat di dalamnya), tapi lama kelamaan dari melihat tampilannya di google saya bisa memprediksi kira-kira masjid ini bisa dipakai mampir atau tidak. Saya mulai mengenali karakter masjid dari organisasi-organisasi Turki, Maroko, dan tentu Indonesia. 

Awalnya saya fokus pada masjid yang letaknya dekat stasiun atau halte bus karena kemana-mana masih pakai transportasi umum, itu juga sebabnya pada list yang saya buat saya cantumkan transit in proximity. Tapi sejak ada kendaraan sendiri pencarian saya bisa lebih luas ke masjid yang lokasinya lebih masuk. Kota-kota kecil seperti Terborg, Doesburg, dan Dieren juga jadi bisa saya singgahi. 

Sebenarnya kalau sebagai alat pencari masjid google maps sudah cukup, pun untuk tahu jam salat sudah ada aplikasi Mawaqit yang diadopsi sebagian besar masjid. Jadi katalog masjid ini mungkin tidak akan terlalu berguna bagi orang lain selain buat exercise saya sendiri. Adanya list ini juga tidak serta merta membuat saya bisa selalu salat dengan proper, masih ada saatnya di mana saya salat di taman, lapangan golf, pojokan gedung, atau belakang pepohonan. 

Banyak cerita dari sekedar mencari tempat salat, semoga Allah mudahkan dan jaga supaya tetap (dan semakin) beraktivitas around salat meskipun di tanah yang asing, bukan sebaliknya.

Salam,
Chandra

Satu Tahun


Hari ini setahun yang lalu..


Pagi pertama di Belanda



Time flies, what have you become? Semoga Allah jaga dan beri petunjuk..


CEO minta maaf

Dua minggu terakhir sektor transportasi Belanda sedang tidak baik-baik saja. Tidak tercapainya kesepakatan antara Nederlandse Spoorwegen (KAI-nya Belanda) dengan serikat pekerja terkait gaji dan kesejahteraan memicu terjadinya strike alias mogok kerja para karyawan kereta api. Akibatnya ada beberapa hari di mana kereta tidak beroperasi di seluruh atau sebagian wilayah Belanda. Situasi ini menjadi sorotan dan headline media karena kereta adalah salah satu moda transportasi paling penting di negara ini. Karena strike terus berulang dan sampai saat ini belum jelas kapan akan tercapai kesepakatan, CEO NS sampai mengirim email permohonan maaf langsung ke email pelanggan, berikut emailnya:

***

Dear traveler,

We don't often speak to each other one-on-one. Nevertheless, I think it is important to make myself heard now. After all, you are the most important reason why we at NS do what we do: keeping the Netherlands sustainably accessible for everyone.

That is also exactly why I am so annoyed that today you are having to deal with the consequences of a strike on the railways for the fourth time. I would like to offer you my apologies for that. It is a nuisance that you do not deserve.

The strikes are the result of stalled collective labor agreement negotiations between unions and NS. Although of great importance to our company, these negotiations are ultimately an internal conflict in which you have no part. Partly because of this, I find it annoying that on a day like today you do not get what you may expect from NS.

My colleagues take care of your train journey. A cheerful announcement on the train, good service at the station: it makes a world of difference. Other colleagues ensure behind the scenes that you can take your train; for example by creating a timetable or work schedule or tinkering with the trains.

All those colleagues deserve a good reward. That is also an investment in the future of your journey. At the same time, we also want to continue investing in beautiful stations, new and clean trains and keeping our tickets affordable. Things that you as a traveller can also benefit from.

The financial possibilities for our company - with five years of losses in a row and no profit this year either - are limited. We have to get our balance sheet in order like any other company, NS cannot structurally spend more money than it has.

What now? NS had not yet negotiated. Unfortunately, negotiations are difficult if not everyone shows up at the table. That is why we will now make the unions a so-called final offer and ask them to present it to their members. The floor is then up to them.

Unfortunately, I cannot promise that the strikes will end quickly with this step. I do hope that the unions and NS will still find a solution quickly. In your interest, that of my colleagues and for the future of NS.

Yours sincerely,

Wouter Koolmees
President and CEO of NS

***

Seorang kolega kedatangan keluarganya dari Kolombia pada Jumat 6 Juni kemarin. Namun hanya beberapa hari sebelumnya NS mengumumkan bahwa akan terjadi mogok kerja di seluruh Belanda tepat pada hari itu. Biasanya mogok kerja terjadi sektoral di provinsi tertentu saja, tapi kali ini strike meliputi pusat kontrol NS di Utrecht sehingga NS sama sekali tidak bisa beroperasi. Akibatnya teman ini terpaksa menyewa mobil untuk menjemput ke Schiphol. 

Perjalanan jarak dekat bisa digantikan bis atau kereta lokal non-NS (tersedia untuk rute tertentu saja), tapi mogoknya NS benar-benar merepotkan orang yang perlu pergi antar kota. Akibatnya terjadi kemacetan di highway karena lebih banyak orang memilih bawa mobil. Bahkan jalur sepeda pun jadi lebih semrawut karena commuter jarak dekat/sedang banyak yang pakai sepeda hari itu. Situasi ini tidak ideal dan sudah terjadi empat kali dalam dua minggu terakhir. 

Beda dengan KAI di Indonesia yang selain mencari profit juga punya fungsi pelayanan pada masyaratakat, NS bisnisnya lebih swasta. Maka pemerintah seperti tidak punya kontrol penuh atasnya. Tapi di sisi lain isu ini menunjukkan bahwa NS punya serikat pekerja yang kuat dan solid sampai bisa head-to-head selama berminggu-minggu dengan perusahaan sebesar ini. 

Kini negosiasi masih terus berjalan dan NS sudah memberikan tawaran terakhir pada union. Para pekerja selanjutnya akan voting untuk menentukan apakah mereka akan menerima tawaran itu. Entah apa yang terjadi kalau mereka menolak tapi untuk sementara belum ada rencana untuk mogok lagi. Statement dari CEO NS di atas juga jadi penjelasan yang ditunggu para customer untuk meredakan spekulasi. Inisiatif untuk mengirim email adalah keputusan PR yang baik, instead of hanya pasang ucapan maaf di instagram official perusahaan.


Setidaknya take away dari ini adalah bahwa negara yang biasanya tampak beres apa-apanya ini sebenarnya juga punya masalah di belakangnya. Begitu ngikuti berita politik dan ekonomi, akan terlihat morat maritnya sebuah negara. Belum lama sebelum ini terjadi pecah koalisi pemerintahan karena isu kebijakan suaka. Geert Wilders mundur dan akan ada pemilu pada Oktober nanti. 





Eet Smakelijk!

Tidak perlu terlalu banyak berkata-kata, cuma mau taruh foto-foto makan siang ala Belanda. Gimana rasanya adaptasi dari universe nasi padang, soto, dan bakmi ke roti, salad, dan keju?


Surprisingly saya cocok dengan sopnya, rasanya gurih hangat dan teksturnya kental, biasanya isinya asparagus, prei, atau ui. Untuk keju yang paling cocok adalah varian jong belegen karena empuk dan rasanya ringan. 

Kadang saya ambil tortilla dan/atau roti tawar. Biasanya orang-orang membikinnya jadi sandwich dengan diisi daging, tapi karena saya menghindari perhewanan jadi biasanya cuma saya isi keju dan sayur. 

Saya juga ambil satu bun roti yang nantinya diolesi mentega, andalan dari dulu kalau sarapan di hotel. Telur rebus dan pisang biasa saya ambil untuk dikantongi biar nanti bisa dimakan ketika lapar. Minumnya jus jeruk atau ladang-kadang infused water.

Soal rasa memang butuh adaptasi tapi lama-lama lidah cocok juga. Justru yang agak ribet adalah cara makan. Sebagai orang yang biasa makan ngadep tumpukan nasi dan lauk di atas piring dan makan dengan sendok, makan model seperti ini jujur agak ribet.

Tidak setiap hari saya makan seperti ini karena tidak tiap hari pula WFO dan kalaupun di kantor kadang-kadang makan siangnya bawa bekal. Tapi inilah salah satu realita yang harus diterima tanpa menjadi kagetan: cara makan ala barat, tidak bisa asal makan daging, dan tidak ada rasa pedas.


Eet smakelijk,
Chandra