Aerospace By Heart
Max sering gagal, tapi sebagai penonton berhasil atau tidaknya dia tidaklah penting, kalaupun gagal kita bisa menunggu jawaban dari narasumbernya. Pekerjaan mereka macam-macam, mulai dari firefighter, public relation, therapist, designer, comedian, chef, event organizer, aktor, politisi, notaris, penulis, dan lain sebagainya. Basically semua profesi yang bisa kita bayangkan, beberapa bahkan baru pertama kali saya dengar. Beberapa pertanyaan yang diajukan Max untuk mengerucutkan jawaban misalnya apakah pekerjaan ini bersifat kreatif, apa kamu menjual barang/jasa, apa kamu bekerja di luar ruangan, apa perlu gelar akademik untuk melakukan pekerjaan itu, sudah berapa lama kamu bekerja di profesi ini, dan lain lain.
Pertanyaan yang juga sering dia lontarkan adalah do yo enjoy your job. Jika orangnya jawab ya maka kemungkinan pekerjaannya bersifat seni atau pelayanan. Tapi jika jawabannya tidak, mungkin lawyer atau software engineer. Pada satu episode ketika obyeknya menjawab yes, Max langsung menyimpulkan 'so it's not software engineer'. Saya setuju, software engineer memang bukan job of passion, sejauh yang saya tahu orang bekerja di bidang ini antara karena itu yang paling dia bisa atau itu kesempatan terbaik yang dia punya. Berapa banyak anak kecil sebelum era digital ini yang punya cita-cita jadi ahli komputer? Nggak banyak saya rasa. Ketika bilang bercita-cita jadi insinyur, yang dibayangkan adalah bekerja di lapangan pakai rompi dan helm proyek bukan duduk depan laptop working from home.
Ini memang salah satu pekerjaan yang cukup dijalani tanpa harus dinikmati. Bayangkan sebuah pekerjaan di mana 'error-nya udah ganti' adalah sebuah prestasi wkwk. Error adalah suatu keniscayaan yang ditemui hari ke hari: syntax error, gateway timeout, invalid input, missing semicolon, class not found, compilation error, bad request, unauthorized, etc. Butuh adaptasi untuk jadi biasa saja dan bisa membedakan mana error yang perlu ditanggapi dan mana yang bisa diabaikan.
That being said, setelah enam tahun secara intens menekuni profesi ini, saya tetep tidak mengatakan pekerjaan ini sesuai passion. Bahwa saya bersyukur atas kesempatan ini, sangat. Sama bersyukurnya dulu pernah kuliah penerbangan. Pesawat terbang tetap punya tempat khusus buat saya. Bukan hanya pesawat sebagai barang, tapi juga sebagai keilmuan. Sesimpel sebagai obrolan, saya lebih tertarik berbincang soal teknologinya Boeing dan Airbus daripada AI dan cloud technology.
Cara berpikir yang dibentuk dengan belajar teknik penerbangan dulu cocok buat saya. Bagaimana dalam banyak hal optimasi perlu dilakukan dan you can't have it all. Bagaimana dalam merancang sesuatu perlu memikirkan aspek fail-safe. Bahkan pendekatan terhadap fault/error pun saya suka: calculated safety factor dan redundancy. Kadang-kadang saya masih bawa cara pikir ini dalam bidang software dan ternyata belum tentu cocok.
Maka untuk kasus saya ada batas yang jelas antara passion dan profesi. Jadi saya tidak merasa sia-sia kuliah 4 tahun dan sekarang bekerja di bidang lain karena I got to keep it as a hobby. Saya masih suka nontonin pesawat dan planespotting, seneng ada di bandara, gemar mengamati perangkat aero di mobil dan motor balap, masih punya keinginan membangun UAV dan kincir angin, serta takjub melihat besarnya kincir pembangkit listrik skala besar.
Saya masih ingat dulu di Bandung gedung PTDI tampak keren sekali dilihat dari atas jembatan layang Pasupati. Kalau saya not into penerbangan mungkin tidak segitunya. Tapi karena gemar, saya sering naik motor lewat depannya hanya untuk melihat gedungnya dan hanggarnya dari dekat sekalian planespotting dari dekat runway Bandara Husein Sastranegara. Kini di Belanda alhamdulillah ada kesempatan serupa: mengunjungi kampus Aerospace Engineering-nya TU Delft.
TU Delft adalah salah satu tujuan favorit pemerintah Indonesia menyekolahkan insinyur penerbangannya kala itu sehingga termasuk kampus yang 'dekat'. Dosen-dosen penerbangan banyak yang lulusan sana, di lab ada windtunnel hibah dari Delft kalau saya nggak salah ingat, dan salah satu buku pegangan wajib "Synthesis of Subsonic Airplane Design" ditulis oleh Pak Egbert Torenbeek yang adalah orang Delft. Ibaratnya AE ITB ikut mazhab-nya AE TU Delft. Saat ini juga ada beberapa teman yang sedang kuliah master dan doktoral di sana.
Jalan-jalan ke kampus ini berasa seperti pilgrim. Bangunannya yang tinggi di antara bangunan lain di sekitarnya mengingatkan saya pada gedung PTDI. Saya tidak bisa masuk karena datang ke sana hari Sabtu, semoga lain kali ada kesempatan datang ketika weekday sehingga bisa masuk setidaknya sampai lobi. Saya lihat ada beberapa barang-barang menarik di dalam. Tapi di luar pun sudah nyaman untuk duduk-duduk, khas suasana kampus yang teduh, tenang, lega, dan terbuka.
Luchtvaart- en Ruimtevaarttechniek, keren sekali namanya. Kalau di-Bahasa Indonesia-kan jadi Aeronotika dan Astronotika, nama resmi yang dipakai di ITB sebelum diubah jadi Teknik Dirgantara. Tampaknya Aerospace Engineering TU Delft sudah berumur 85 tahun, masa yang panjang dan hampir pasti sudah berkontribusi banyak pada kepakaran dan perkembangan teknologi penerbangan dan antariksa dunia.
Saya nggak tahu apakah di masa depan akan balik ke bidang penerbangan lagi atau tidak. Tapi saya bersyukur pernah belajar itu sebagai sesuatu yang sangat saya gemari.
Thanks,
Chandra
0 comments :
Post a Comment