Harga-harga Kali Lima
Setelah lewat bulan pertama situasi jadi lebih masuk akal. Meski begitu, kebiasaan mengonversi harga ke rupiah tetap ada. Keputusan untuk membeli atau tidaknya sesuatu ikut ditentukan mahal tidaknya barang itu jika dilihat harganya dalam rupiah. Misal ada eskrim seharga €2, maka kalau dikalikan kurs menjadi sekitar Rp38.000. Ini masih oke karena di Jogja ada gelato yang harganya 30 ribu. Walaupun sebenarnya perbandingan ini tidak fair karena eskrim €2 tadi belinya di kios eskrim kecil sementara bandingannya adalah Tempo Gelato.
Lama-kelamaan persepsi soal harga ini semakin luntur juga. Saya mulai menerima bahwa kalau harganya segitu ya segitu. Tidak perlu dihitung rupiahnya dan dibandingkan dengan harga di Indonesia. Di saat yang sama saya mendapat insight bahwa dalam soal harga gunakan prinsip kalikan lima.
Jadi untuk mendapat bayangan yang lebih pas soal mahal atau tidaknya suatu barang, daripada dikalikan dengan kurs rupiah lebih baik kalikan 5000. Misal kapsalon ini yang saya beli seharga €7.5 di sebuah kios kebab. Kalau dikalikan kurs rupiah jadinya 140 ribu yang mana nggak masuk akal, itu harga makan di mall menengah atas Jakarta. Tapi kalau dikalikan 5 jadi 37 ribu masih bisa diterima karena 'tingkat kepuasan' yang saya dapatkan dari seporsi kapsalon ini (termasuk tempat, layanan, dan rasa) setara dengan makan di gerai ayam goreng di Indonesia yang harganya makanannya 30 sampai 40 ribu.
Air minum 1.5 liter ini harganya €1.2, dengan prinsip yang sama maka 'harganya' 6000 rupiah, tidak mahal tidak murah, just right. Ini berlaku di hampir semua kebutuhan pokok. Karena faktor teknis seperti distribusi, supply vs demand, aturan harga, dan mekanisme pasar bisa jadi ada produk yang terasa terlalu murah atau terlalu mahal setelah dikalikan 5, tapi secara umum kaidah ini mewakili dengan baik.
Harga seporsi nasi padang di resto padang paling terkenal di Belanda, Waroeng Padang Lapek, adalah €19.5. Ini mahal memang, tapi kalau dikalikan 5 jadi 100 ribu masih on par dengan Pagi Sore. Harga sate kambing di Warung Barokah Amsterdam €11, kalau dinormalkan dengan perhitungan yang sama tidak begitu jauh bedanya dengan Sate Khas Senayan atau Sate Pak Pong. Boba tea di Ming Kee harganya €5 untuk yang besar, kalau dikali lima ini kira-kira sama dengan harga Chatime. Harga indomie goreng sebungkus €0.6, dikali lima jadi 3 ribu.
Selain makanan, kebutuhan primer lain juga bisa ditreatment dengan cara yang sama, misalnya harga sewa apartemen, tagihan listrik, dan harga BBM. Penggunaan listrik kami dalam sebulan sekitar 50-60 euro, kalau dikalikan 5 dapatlah 250-300 ribu, angka yang wajar untuk penggunaan berdua. Harga BBM sekitar €1.85 untuk yang biasa dan €2.2 untuk yang bagus, kalau dikalikan lima mendekati harga pertalite dan pertamax.
Intinya dengan faktor pengali 5 ini, kita bisa membayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapat kualitas hidup yang setara dengan di Indonesia. Give better sense on what is expensive and what is affordable. Ini bisa jadi gambaran untuk orang yang akan bermigrasi ke Eropa. Jika tujuannya adalah negara atau region lain, mungkin konsep yang sama bisa diterapkan dengan faktor pengali yang berbeda.
Implementasi yang paling praktikal dari ini adalah soal pertimbangan offering gaji. Misal di Indonesia punya gaji 10 juta nett, maka untuk mendapat kenyamanan hidup yang sama paling tidak offer yang didapat ada di range 40-50 juta nett (kurs sebenarnya). Kalau 'hanya' 25 juta rasanys tidak akan secukup 10 juta di Jakarta walaupun secara angka lebih besar. Ini mirip dengan orang yang bertanya, mending gaji 6 juta di Jogja atau 10 juta di Jakarta.
Itu kalau ngomong satu faktor saja: gaji. Tapi kalau sudah bicara migrasi banyak faktor lain yang juga harus diperhitungkan: keluarga, makanan, bahasa, cuaca, budaya, dan pertimbangan pribadi lainnya. Lalu sebaiknya acuan yang dipakai nett bukan gross karena kalau sudah bicara negara yang berbeda aturan pajak, asuransi, dan pensiun pasti berbeda.
Kegunaan lain dari kaidah ini adalah untuk menjawab kalau ditanya soal harga-harga oleh keluarga atau teman di Indonesia. Pertanyaan 'barang X di sana harganya berapa?' adalah salah satu yang sering muncul. Agak susah buat menjawab mentah-mentah dengan harga yang dikalikan kurs karena jadi terlihat sangat mahal dan nggak make sense bayar segitu untuk barang itu. Saya lebih seneng menjawab secara kualitatif saja dengan mahal/murah/sedang berdasarkan 'rasa' mahalnya ketika membayar, dan ini terbantu dengan kaidah kali lima tadi.
Ada beberapa pengecualian dari aturan ini. Pertama adalah barang-barang yang stoknya melimpah seperti keju, coklat, susu, dan beberapa jenis buah. Karena banyaknya supply, harga keju, coklat, dan susu di sini relatif murah. Bahkan kalau dikalikan kurs sebenarnya pun angkanya masih masuk akal. Produk teknologi juga tidak terimpact karena karakteristik produksinya yang global (chip dari negara A, screen dari negara B, R&D di negara C, produksi massal di negara D). Misalnya IPhone 16 128GB Black di Amac Belanda harganya €839 (16 juta), untuk tipe yang sama harga di Ibox Indonesia adalah 14 juta.
Terimakasih sudah membaca, ambil baik-baiknya saja.
Chandra
0 comments :
Post a Comment