Camping di Kaki Gunung Salak


Akhirnya saya camping lagi setelah terakhir kali waktu SMP. Ini pun karena diajak abang sepupu yang biasa camping bareng teman-teman kerjanya. Saya memang belum menekuni camping, jadi peralatan pun nggak punya. Kemarin tenda numpang karena kebetulan tendanya besar dan ada ruangan-ruangan. Saya cuma bawa 1 kasur lipat, 1 kasur angin, kursi, dan beberapa alat makan.

Alhamdulillah sekalinya ikut camping langsung dapat tempat yang enak. Nama tempatnya Panorama Pinus Hjp Land yang ada di kaki Gunung Salak. By kaki I mean mungkin sekitaran betis karena lokasinya belum tinggi-tinggi amat. Karenanya suhu di sana tidak terlalu dingin, jaket hanya diperlukan saat malam saja. Ketika tengah hari justru agak panas, cocok untuk agenda bikin es kelapa muda pakai sirup. 


Akses jalan menuju camping ground sudah diaspal walaupun ketika hampir mencapai lokasi jalannya menyempit. Untungnya arus kendaraan yang ke arah Gunung Salak ini tidak seramai yang ke Puncak. Mungkin karena kami mruput juga ya, sebelum subuh sudah jalan dari Jakarta. Kami sampai di lokasi sekitar pukul 6 pagi, sebelumnya sempat mampir untuk salat subuh. Melihat tempatnya ketika sampai, langsung optimis ini akan jadi dua hari yang menyenangkan.

Camping ground-nya luas, sekitar satu lapangan bola. Bentuknya berundak sehingga orang yang camping tidak saling menutupi pandangan ke arah Kota Bogor. Kendaraan mobil dan motor bisa dibawa sampai tempat mendirikan tenda jadi tidak repot untuk angkat-angkat barang. Saat kami datang lokasi sudah dibersihkan jadi tidak ada sampah kelihatan. Ada fasilitas mushola, toilet dalam jumlah yang cukup, dan warung kalau mau duduk-duduk atau beli barang yang lupa dibawa. Tidak perlu takut gelap atau nggak bisa charge HP, ada terminal listrik yang bisa ditarik sampai ke tenda. Ada juga peliharaan kelinci dan burung merpati yang bebas berkeliaran.



Biaya untuk camping di Panorama Pinus Hjp Land adalah 75.000 untuk 1 slot tenda ditambah 15.000 per orangnya. Enaknya di sini tidak ada garis pembatas antar slot, jadi nggak perlu khawatir kesempitan jatah tendanya. Ada tambahan charge 25.000 untuk slot tenda fasum dapur dan makan. Malam hari mau buat api unggun tapi nggak bawa kayu? bisa beli di pengelolanya seharga 35.000 satu ikat. Cukup untuk menemani ngobrol dan ngelamun sampai dini hari.

Selain camping ground-nya, ada dua atraksi menarik lain yang bisa dikunjungi jika camping di sini. Ada curug dan hutan pinus yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki selama 20 dan 10 menit, respectively. Curugnya cukup deras, tapi tidak terlalu deras sehingga masih bisa dipakai mandi. Hutan pinusnya terjaga karena jadi bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan memang tidak banyak orang yang kesana.

Itulah sekilas cerita persami kami di Panorama Pinus Hjp Land Bogor. Kalau mau lihat seperti apa tempatnya, atau penasaran dengan curug dan pinusnya, saya kemarin bikin reels di instagram @chandranrhmn, yaa walaupun gambar dan editannya seadanya. Semoga cerita ini ada manfaatnya. Terimakasih sudah membaca.



Chandra

Goodhart's Law


Ketika sebuah ukuran dijadikan target, maka ia tidak lagi menjadi ukuran yang baik

Gagasan di atas disampaikan oleh seorang ekonom Inggris bernama Charles Goodhart sehingga selanjutnya disebut Goodhart's Law. Contoh yang paling sering diberikan adalah pabrik paku seperti gambar di atas.

Suatu ketika manajemen ingin mengukur produktivitas pabrik dengan menghitung jumlah paku yang dihasilkan. Semakin banyak semakin baik, maka pabrik memproduksi sebanyak mungkin paku tapi dengan ukuran kecil-kecil. Menyadari kesalahannya, kebijakan diubah dengan menilai produksi berdasarkan total berat paku yang dihasilkan. Kini pabrik memproduksi paku raksasa dalam jumlah sedikit.

Di mana-mana ini terjadi. Prestasi murid diukur berdasarkan nilai ujian. Efeknya banyak yang fokus pada nilai akhir saja bukan proses belajar dan ilmunya. Saat pandemi covid semakin sedikit yang positif semakin dianggap sukses, maka jumlah tesnya yang dikurangi agar kasus yang ketahuan bisa dibatasi. Ketika suatu ukuran dijadikan target, manusia cenderung mencari siasat untuk mencapai target tersebut dan mengerdilkan makna ukuran itu sendiri. 

Mengingat Goodhart's Law ini, memilih metric untuk menilai sesuatu harus bijak. Jika polisi dinilai berdasarkan jumlah penjahat yang ditangkap, potensi kriminalisasi naik. Jika dokter hewan dinilai dengan persentase hewan rawatan yang pulih, rawan muncul kecenderungan dokter menolak merawat hewan yang sudah sakit parah, padahal lebih dibutuhkan.

Upaya yang dapat dilakukan adalah menambahkan metric/ukuran lain sebagai penyeimbang. Selain jumlah atau berat paku, perlu dilihat berapa banyak yang laku di pasaran dan bagaimana kepuasan pelanggan. 

Chandra

pict by CNA.org

Working with Millenials



Kebetulan di pekerjaan saya sekarang, saya banyak bekerja dengan orang-orang yang lebih tua. Dalam tim rekan sebaya hanya satu, sisanya umur 35an dan satu usia bapak-bapak sebagai lead saya. Dalam tingkat yang lebih luas seperti satu departemen pun demografinya kira-kira seperti itu. Ini lumayan berbeda dengan di tempat kerja sebelumnya dimana tim saya diisi lebih banyak angkatan 95an dan freshgrad. 
Saya umur 28, 7 tujuh tahun lebih muda daripada mean/median umur pegawai di tim saya. Karena para 35s ini mayoritas, ada beberapa hal menarik yang saya temui saat bekerja dengan mereka. Pertama secara teknis mereka sudah bekerja lebih lama, otomatis kemampuannya memang rata-rata mumpuni. Enak kerja dengan mereka karena masing-masing sudah menguasai bidang yang dia pegang. Termasuk kemampuan mereka dalam menulis, mendokumentasikan, presentasi, negosiasi, dan komunikasi bahasa inggris sudah bisa dibilang cakap. Wajar sih ini, pengalaman gak bohong.

Kedua, mereka secara sosial sudah lebih mature. Ini berpengaruh ke obrolan sehari-hari. Rata-rata di usia segitu sudah punya anak yang sekolah TK atau SD awal. Sebagian sudah punya rumah dan/atau mobil. Di komunitas yang usianya 35an sudah ada obrolan tentang asuransi swasta, investasi, sekolah anak, dan semacamnya. Saya bersyukur bisa ikut mendengarkan pembicaraan-pembicaraan produktif macam ini, nabung wawasan.

Lalu yang terpenting dalam konteks pekerjaan adalah generasi milenial yang asli ini kalau saya perhatikan punya etos kerja yang lebih baik daripada generasi yang lebih muda. Menurut mereka ketika kita sudah mengikatkan diri dalam suatu pekerjaan maka kita wajib mengikuti arahan yang diberikan. Mereka cenderung tidak pilih-pilih kerjaan, selama itu masuk dalam persetujuan awal tentang jobdescnya berarti wajib dikerjakan. Mereka nggak terlalu bawa-bawa mood, passion, etc ketika sudah dalam kerangka bekerja. Bagi mereka perjanjian kerja itu sakral (dan mereka cermat soal itu), karena hak dan kewajiban pegawai maupun perusahaan refer kesana. Buat mereka penilaian tentang kemauan kerja itu nggak relevan, kalau sudah jadi kewajibannya ya harus mau, bukan lagi pilihan. Bagi mereka aneh ketika orang sudah deal untuk bekerja kok kerja ogah-ogahan atau pilih-pilih.

Baik buruknya debatable ya, tergantung preferensi pribadi. Tapi untuk saya, berada diantara orang-orang yang driven seperti ini menyenangkan. Yaa walaupun dorongan seperti ini kalau nggak bisa ngikutin rawan jadi sumber stress haha. 


Chandra


pict: Impossible Foods

Lebaran

Sebagai orang yang kurang suka keramaian dan tidak mudah akrab sama orang, saya kadang kurang menikmati acara syawalan atau sowan ke tempat saudara yang tingkat kedekatannya nanggung. Saya tetap ikut walau lebih karena social pressure. Tapi seiring tuntutan untuk makin fully developed sebagai anggota masyarakat, tahun ini saya up for challange untuk menikmati lebaran sepenuh-penuhnya. Mumpung lebaran kali ini sudah tidak ada batasan-batasan pandemi seperti tahun-tahun kemarin.



Ternyata ketika saya coba embrace the moment dan aktif berusaha mengenal orang-orang, hasilnya sangat menyenangkan. Ketika ikut ke keluarga besar istri, instead of duduk doang saya nimbrung obrolan bapak-bapak di kebon tentang bisnis ternak kambing, mobil tua, sampai ikan arwana. Dua tahun menikah saya belum paham silsilah keluarga besar istri karena tidak pernah kumpul-kumpul, pulang dari syawalan kemarin sebagian besar saya sudah hafal.

Enaknya bapak-bapak sekarang lebih santai, tidak mensyaratkan yang muda-muda harus bicara krama alus, setidaknya di keluarga besar saya ya. Ceplosan-ceplosan ngoko bikin obrolan jadi hangat dan santai. Saya nggak ada keinginan untuk segera pulang padahal banyak disitu yang baru saya temui pertama kali. Acara syawalan selesai sebelum dzuhur, saya baru pulang sekitar jam 2.


Dulu sebelum jadi menteri dan politisi, Pak Anies pernah bicara di TEDx tentang pentingnya seseorang punya dua hal: world class competence dan grass root understandning. Kompetensi kelas dunia sih belum ya, semoga suatu saat, tapi untuk pemahaman mengenai akar rumput saya rasa cukup okelah, terutama grass root di pedesaan karena saya lahir dan besar di sana. Itu jadi modal untuk masuk ke banyak obrolan hari-hari ini. Yang fancy-fancy biar nanti ketika sudah masuk kerja di kota lagi, waktu mudik saya pakai setingan andhap asor. Matter of fact, saya malah sangat tidak nyaman ketika sebagai pemudik dianggap eksklusif dan 'berbeda'. 

Kalau ke masjid dekat rumah saya usahakan pergi pakai sarung bukan celana panjang. Yes saking conform-nya lingkungan desa saya, pakai celana ke masjid saja sudah sebuah perbedaan yang mencolok. Saya coba kurangi penggunaan handphone ketika sedang bertamu atau bersama orang-orang, karena ini efeknya besar. Begitu saya genggam handphone, meskipun tidak dilihat layarnya, langsung kelihatan bahwa saya tidak memprioritaskan orang di depan saya.

Saya awalnya juga malas dan mau ambil sikap defensif kalau ditanya-tanya di lebaran kali ini. Tapi akhirnya wis lah los wae, kalau kitanya berniat baik semoga orang di sekitar juga nangkapnya baik. Kadang simbah-simbah itu di-iya-in saja sudah happy kok. Ada kemarin simbah yang mengira saya kerja di Garuda dan ngajak ngobrol tentang pesawat, yawis ikutin saja apa yang beliau sampaikan. Teknis jawaban kita menjadi tidak penting setelah pertemuan itu, tapi raut muka dan intonasi jawaban kita akan sampai dan diingat oleh beliau. 

Ditawarin suguhan ya saya coba makan, lagipula dari sekian banyak toples selalu ada yang saya suka. Nggakpapa lah kebanyakan kalori untuk satu dua hari, daripada mengecewakan tuan rumah yang sudah nyuguh tapi tidak disentuh. Nggak perlu berkali-kali dipersilakan baru ambil, sekali bilang monggo langsung gas. Sebenarnya sebelum monggo langsung ambil pun nggak akan marah.

Sama seperti saya yang ingat om dan tante yang sering ngasih uang dulu saat lebaran, anak sekarang pun begitu. Kalau ada rejeki boleh lah bagi-bagi amplop untuk ponakan-ponakan, anak-anak om tante yang dulu ngasih juga. Ada anak saudara yang sebelumnya tidak masuk list THR karena orang tuanya sangat kaya (tapi membumi dan hobi ajak nongkrong adek-adek sepupunya), tapi ibuk tetap suruh kasih karena namanya anak kecil pasti tetap senang dapat amplop seperti teman-teman sebayanya.

Terakhir, pelajaran yang saya ambil selama ini, nggak usah sok tahu dan komplain begini begitu. Nilai dan kebiasaan yang ada di kehidupan fancy-mu di kota belum tentu cocok dibawa mudik ke desa. Ikuti saja apa yang ada, pemudik nggak cukup mengerti keadaan untuk berhak membuat perubahan, dah nikmati saja libur lebaranmu. 

Setelah itu semua lalu tiba-tiba libur dan cuti bersama lebaran habis. Semoga kita semua jadi versi lebih baik dari sebelum puasa dan lebaran kemarin. Selamat kembali beraktivitas, yang dalam perjalanan hati-hati di jalan.


Chandra

Mobil Terbang

Sudah lama saya tidak nulis soal simple injiniring. Kali ini pikiran saya tergelitik dengan ide tentang mobil terbang. Yes some people take nek ora sabar maburo too seriously. Kejengkelan terhadap macetnya kota-kota car oriented di seluruh dunia memberi ide bagi inovator dan investor untuk membuat mobil yang bisa terbang sehingga bisa men-skip kesemrawutan jalan. 

Sudah ada beberapa yang membuat kendaraan seperti ini. Pada dasarnya konsepnya adalah membuat multicopter, atau simpelnya drone, yang punya gaya angkat (lift) cukup besar sehingga bisa mengangkat kabin beserta isinya yaitu manusia. Ini adalah contoh mobil terbang buatan NEC (Japan) dan EHang (China)

Bendanya sudah real bisa terbang ya, bukan model atau CGI lagi ini. Tapi apakah ide ini bakal step up ke level industry-ready dan mass production? Apakah pasarnya ada dan investor mau membiayai terus? Ataukah hanya akan menjadi kendaan konsep dan platform unjuk teknologi saja? Saya rasa kita perlu lihat beberapa hal.

Cara Kerja

Sesuatu bisa terbang karena mengikuti hukum fisika sederhana. Kalau gaya angkat lebih besar dari beratnya, dia akan naik. Kalau sama, dia mempertahankan ketinggiannya. Sedangkan kalau gaya angkat lebih kecil, dia akan turun. Propeller atau baling-baling lah yang bertanggung jawab untuk menghasilkan gaya angkat atau lift. Propeller ini diputar oleh mesin. Secara fisik gerakannya sama saja dengan kipas angin, tapi jauh lebih kuat dan cepat. 

Kipas angin kalau diputar di setingan tinggi bisa meniup benda-benda ringan. Ini karena blade kipas dibuat punya sudut sedemikian rupa. Bentuk ini, ketika berputar akan memindahkan udara dari satu sisi ke sisi yang lain sehingga menimbulkan udara bergerak alias angin. Baling-baling pada wahana terbang pun begitu, namun massa udara yang digerakkan jauh lebih banyak dan cepat, alias hembusannya kuat. 

Hembusan atau wash dari wahana terbang yang ingin take off vertikal seperti mobil terbang ini perlu besar. Kenapa? Karena wash yang ditimbulkan harus sama berat dengan kendaraannya. Inilah masalah pertama, downwash yang kuat akan mengacaukan apa yang ada di bawahnya. Tanah dan kerikil berterbangan, tanaman rusak, bahkan manusia bisa terpental. Semakin besar dan berat wahananya, semakin masif pula efeknya, dan ini terjadi setiap take off.

Makanya dibuatlah area khusus seperti helipad. Sebuah tempat yang permukaannya solid dan sekelilingnya luas bebas gangguan. Kalau di perkotaan padat, dibuatnya di atas gedung. Jadi pertanyaannya sebarapa praktis kendaraan dengan cara kerja dan requirement seperti ini?

Safety

Sertifikasi untuk kendaraan berpenumpang yang bisa terbang rumitnya luar biasa. Jadi kalau mobil terbang ini bisa terrealisasi, fitur safetynya seharusnya sudah cukup mumpuni. Tapi saya sendiri kok tetap ngeri kalau lihat penumpang duduk diapit 4,6, sampai 8 propeller seperti di gambar. Propeller itu kalau berputar bisa jadi tajam seperti pisau lho.

Dulu ada trend lampu pop-up di mobil. Tapi lalu dilarang sebab dianggap tidak safe karena membuat ada sesuatu yang tajam di bagian depan/kap mesin. Lha ini mobil terbang malah naruh propeller di dekat manusia, gede-gede pula. Pasti ada mekanisme fail-safe-nya sehingga kalau ada kegagalan atau error masih safe. Tapi apakah worth the risk untuk dinaiki?


Efisiensi dan Performa

Wahana seperti ini hampir pasti tenaganya dari baterai. Seolah 'green' ya, padahal konsumsinya sangat tinggi. Jadi tergantung setrumnya dihasilkan dari pembangkit listrik yang benar-bener hijau atau masih dari fosil. Secara biaya pemiliknya mungkin sudah tidak mikir, tapi secara lingkungan agak jadi concern.

Bicara performa wahana terbang, biasanya ada dua yang dinilai, yaitu endurance dan range. Endurance adalah seberapa lama waktu operasinya, range adalah seberapa jauh jangkauannya. Saya kok ragu mobil terbang ini bisa bersaing dengan teknologi transportasi yang sudah ada. Easy to say belum bisa menyaingi jet pribadi dan helicopter secara endurance, range, dan kecepatan.

Helicopter

Kalau saja kita tidak punya fetish bahwa mobil terbang harus berbentuk seperti mobil dan tidak boleh menyerupai capung, mungkin kita bisa sepakat bahwa untuk kita sudah punya mobil terbang berupa helicopter. Helicopter memenuhi semua yang ingin dicapai dengan mobil terbang, tapi dengan teknologi yang sudah mature. Tapi namanya manusia kan tidak pernah puas dan kadang overcomplicate things. Satu hal, secara cuteness memang menang mobil terbang sih.

Conclusion

Mobil terbang ini lebih cocok untuk jadi concept dan barang pameran saja sih menurut saya. Dia tidak memberikan nilai tambah yang berarti untuk moda transportasi eksisting. Meski begitu, sebagai bahan riset ini sangat menarik. Bukan tidak mungkin part of its technology bisa diambil dan diterapkan di wahana terbang lain. Mobil terbang tetap sebuah inovasi yang positif.


Chandra

Kabar Baik


Meskipun brandnya identik dengan kapitalisme barat, setidaknya McDonalds yang ada di Indonesia adalah franchise fastfood yang punya standar mushola paling tinggi dan konsisten menurut saya. Kalau sedang dalam perjalanan dan ingin salat namun tidak ketemu masjid, saya lebih memilih mampir di gerai McD daripada SPBU sekalipun. Bahkan kalaupun saya belum pernah singgah ke gerai McD yang itu, saya bisa cukup yakin bahwa musholanya layak.

Sementara itu franchise lain belum sereliable itu. Saya nggak sebegitu yakin untuk berhenti di KFC misalnya, karena ada yang musholanya bagus, ada yang seadanya, dan ada yang tidak menyediakan sama sekali. Ini berlaku untuk gerai-gerai dari brand lokal maupun luar lainnya. Masih ada restoran atau warung makan yang menganggap mushola setara dengan toilet, hanya pelengkap, bukan fasilitas untuk pelanggan melakukan ibadah sakral.

Kabar baiknya, saya rasa kita sedang menuju ke arah yang benar. Semakin banyak owner bisnis yang sadar bahwa sebagian besar target pasarnya melaksanakan salat, dan dengan memberikan fasilitas ibadah yang layak kemungkinan semakin banyak orang datang dan yang datang akan singgah dalam waktu yang lebih lama. Dengan naiknya volume order online/delivery, dua tiga table dapat dihilangkan dan diconvert jadi mushola. Apalagi menjelang musim buka puasa nanti, keberadaan tempat untuk salat maghrib jadi pertimbangan banyak orang untuk memutuskan mau berbuka dimana.

Dalam ukuran yang lebih besar, setidaknya di Jakarta, kini mall-mall juga meremajakan tempat salatnya. Bahkan beberapa ada yang membuat masjid. Mall-mall yang relatif baru telah dibangun dengan memasukkan mushola sebagai bagian desain direktori/arsitekturnya, tidak lagi asal taruh ruangan kotak di parkiran dan memisahkan mushola pria wanita di lantai yang berbeda. Coba ke PIM 3, Blok M Plaza, Mall of Indonesia, atau Senayan City, di sana mushola diperlakukan sama bersih dan baiknya dengan area komersil yang menghasilkan revenue untuk pengelola. Kalau Blok M Square jangan ditanya, masjid di rooftopnya mungkin punya agenda lebih padat daripada banyak masjid tapak di Jakarta, plus ada ka'bahnya pula.

(..brand new Sarinah left the chat..)

Beberapa tahun yang lalu saya baca buku Generation M karya Shelina Janmohamed. Disana dibahas contoh-contoh di berbagai penjuru dunia bahwa besarnya pasar anak muda muslim (dan peningkatan power ekonominya) telah membuat produsen menghadirkan produk yang ramah islam. Contohnya adalah munculnya bir dengan kandungan 0% alkohol. Meskipun di Indonesia (re: MUI) masih jadi polemik, tapi di luar negeri ini adalah salah satu keberhasilan kolektif pasar anak muda muslim. Bir punya image keren, anak muda muslim juga suka tampak keren namun tidak bisa minum alkohol, tapi yang seperti ini jumlahnya banyak, solusinya adalah 'bir' dibuat tanpa alkohol.

Opini pribadi saya soal ini, kalau saya baca-baca MUI belum mengeluarkan sertifikat halal untuk bir 0%, salah satu alasannya karena namanya masih 'bir'. Tapi saya pikir ini karena tujuan kemaslahatan sosial saja, karena bagaimana dengan bir pletok yang dideclare halal, atau bakmi bakpao bakcang yang mengandung 'bak'.

Masih banyak contoh serupa mengenai perubahan komoditas yang disebabkan naiknya pasar muslim baik secara kuantitas maupun kualitas. Saya tahu dari istri saya bahwa sekarang banyak busana muslim seperti gamis dan jilbab yang harganya mencapai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Jilbab naik kelas dari pakaian untuk menutup aurat menjadi sebuah mode fashion. Bank-bank dan jasa keuangan semakin banyak yang membuka segmen syariah sebagai upaya menarik lebih banyak nasabah muslim. Banyak lagi, you name it, kadang perubahannya gradual jadi nggak terlalu kelihatan tapi tetap bisa dirasakan.

Di saat bersamaan muncul banyak influencer yang secara langsung maupun tidak langsung mempromosikan gaya hidup ala islam. Ustadz yang mengajari ilmu agama tetap perlu as always. Tapi kini kita punya banyak sosok yang menjalani hidup dengan aktivitas yang beragam sambil tetap menunjukkan nilai islam secara keren dan berkelas. Halal is the new cool.

Perubahan-perubahan ini menaikkan kehormatan dan bargaining power komunitas Islam. Jika momentum ini dijaga semoga ke depan kita ada di posisi yang lebih baik lagi. Tujuannya bukan untuk mengintimidasi atau mengalahkan yang lain, tapi untuk membawa perubahan positif bagi dunia. Faktanya sekarang banyak orang barat mulai mempopulerkan zero alcohol lifestyle karena membuat mereka jadi lebih sehat dan lebih baik dalam bekerja. Halal lifestyle sejatinya memang bukan untuk orang islam saja, melainkan untuk seluruh manusia.

Semoga ramadhan kali ini membawa banyak keberkahan dan menjadikan kita jadi manusia yang lebih baik. Selamat menunaikan ibadah puasa. Mari berbahagia menyambut datangnya Bulan Ramadhan. Barakallah.


Chandra
saya tulis ini di pinggir jalan depan masjid pagi-pagi, saya perhatikan masjid ternyata banyak yang mampir salat dhuha.

gambar dari website Blok M Square

Ibu



Ini mungkin salah satu konten YouTube paling menyentuh yang pernah saya tonton. Cek video ini terutama dari timestamp 1:16:30 sampai 1:25:00.



Banyak dari kita merantau ketika mulai bekerja, kuliah, bahkan ketika masih sekolah menengah. Sepertinya ini sudah jadi norma yang umum, bahwa suatu hari anak akan keluar dari rumah untuk meneruskan sekolah atau bekerja. Konsekuensi dari merantau adalah munculnya jarak fisik antara kita dengan orang tua, keluarga, dan saudara. Tapi tanpa disadari kesibukan untuk sekolah atau bekerja yang direstui orang tua itu, justru jadi sebab munculnya jarak batin dengan mereka.

Saya menemukan video itu bertepatan dengan masa dimana saya merasa sedang jauh dengan orang tua. Saya hanya menelepon orang tua seminggu sekali, itupun hanya 20-30 menit. Sementara itu kalau tidak urgen ibuk sangat jarang menelepon duluan karena berpikir saya sedang bekerja. Video ini jadi wake-up call bahwa saya harus lebih sering menelepon mereka, atau minimal menghidupkan group chat keluarga. Ibuk tidak akan protes sesedikit apapun anaknya menghubungi, semata-mata karena kebesaran hatinya. Tapi kita sebagai anak yang sering lupa pada mereka.

Akhir tahun kemarin bapak ibuk berkunjung dan menginap. Tempat tidur ready, tapi saya berinisiatif membelikan dua buah bantal baru. Saya belikan dua bantal itu dengan merk yang berbeda, karena iseng saja. Agar tetap baru, bantal ini baru saya buka ketika mereka mau datang dan tidak saya coba lebih dulu. Betapa menyesalnya saya karena setelah bapak ibuk pulang, saya pakai bantalnya ternyata yang satu sama sekali tidak enak dipakai. Untuk saya saja tidak nyaman, apalagi ibuk, tapi beliau sama sekali tidak berkomentar, blas nggak ada. Menyesalnya luar biasa. Penyesalan ini nggak bisa ditutup pakai keberhasilan apapun di pekerjaan atau lainnya.

Pendek saja, sisanya silakan lihat videonya.
Chandra