Tuhan Tahu Tapi Menunggu
InterNations Expat Insider survey kembali merilis laporannya di tahun 2025 ini. Survey yang mereka lakukan bertujuan mengetahui seberapa bersahabat sebuah negara terhadap ekspat atau pekerja asing. Parameternya ada banyak: Quality of Life, Ease of Settling In, Working Abroad, Personal Finance, dan Expat Essentials. Respondennya lebih dari 10 ribu ekspat dari 172 kewarganegaraan yang tersebar di seluruh penjuru dunia.
Aspek yang dilihat cukup luas sehingga untuk mendapat peringkat tinggi tidak semata-mata hanya dilihat dari majunya ekonomi atau tingginya standar hidup sebuah negara. Justru pendekatan yang dilakukan lebih praktikal dan dilihat dari sudut pandang ekspat itu sendiri dengan segala kebutuhannya. Jadi instead of dikuasai oleh negara Eropa, Nordics, US, atau Asia Timur, ini adalah 10 besarnya tahun ini:
Panama jadi pemuncak klasemen dua tahun berturut-turut. Sementara Thailand, Vietnam, Indonesia, dan Malaysia bertengger di 10 posisi teratas. Ini karena yang dilihat bukan besarnya GDP atau banyaknya ekspat yang sudah menetap, tapi lebih dari 'seberapa mudah jadi ekspat di negara ini?'. Keramahan penduduk, hospitality, dan biaya hidup terjangkau di negara-negara Asia Tenggara sangat signifikan mendorong peringkat mereka. Faktor-faktor itu menjadikan mudah bagi orang asing untuk menetap di sana.
Asia Tenggara terkenal dengan gonjang-ganjing politiknya, tapi sebagai ekspat saya merasakan bahwa tidak mudah untuk menangkap semua gejala politik yang terjadi di negara tempat menetap karena perbedaan bahasa dan jarak dengan komunitas umum. Jadi kalau yang ditanya adalah ekspat yang kerja di Treasury Tower dan tinggal di Residence 8 SCBD saya bisa membayangkan pandangannya agak bias ke arah positif. 
Digitalisasi juga jadi faktor pendorong naiknya peringkat Belanda. Berbagai sistem sudah terintegrasi sehingga mempermudah dan mempercepat proses berbagai urusan. Seamless dan almost paperless. Waktu pertama kali datang dan belum mengurus apapun, kartu BCA yang saya bawa dari Indonesia sudah bisa dipakai untuk belanja dan naik transportasi umum. Setelah jadi penduduk kita punya yang namanya DigId, sistem authenticator tunggal yang sangat memudahkan untuk log in dan mengakses semua layanan digital pemerintah.
Tapi di sisi lain ada yang memberatkan misalnya healthcare. Jumlah migran yang semakin banyak tidak diimbangi dengan naiknya kapasitas dokter umum alias huisart/GP (general practicioner). Sebabnya bidang kesehatan susah untuk dimasuki para migran sehingga terlalu banyak calon pasien untuk jumlah dokter yang terbatas. Akibatnya sulit untuk menemukan GP yang masih punya kuota untuk didaftari. 
Kendala lain adalah housing market yang semakin ketat. Efeknya harga sewa dan beli semakin mahal dan pesaingnya ketika house hunting semakin banyak. Ekspat yang belum bisa bahasa Belanda tentu berada dalam disadvantage ketika bersaing mencari hunian. Pertumbuhan penduduk (banyak dikontribusikan migrasi) terjadi terlalu cepat dan tidak diimbangi kecepatan pertambahan jumlah perumahan. Pertambahan 1 juta penduduk karena migrasi tentu beda dengan pertambahan 1 juta penduduk karena kelahiran dalam hal nge-strecht kapasitas hunian. 
Satu hal lagi yang jadi penghambat bagi ekspat adalah integrasi sosial. Orang Belanda itu ramah dan tidak rasis. Mereka sudah terbiasa melihat orang dengan warna kulit atau cara berpakaian berbeda, terutama di kota-kota besar. Dalam berbicara mereka juga adalah penutur bahasa Inggris yang sangat baik dan mudah dimengerti. Tapi sulit bagi pendatang untuk masuk ke sirkel pertemanan mereka, mereka agak tertutup untuk menerima orang baru dekat-dekat. 
Walaupun bisa English, ketika ngumpul di antara sesama mereka mereka akan pakai Dutch. Even ketika ada satu dua orang asing, they don't bother switch ke English atau minimal memelankan cara bicaranya, lanjut saja walaupun kita sebagai pendengar roaming parah. Saya cukup yakin mereka tidak berniat buruk menjadikan para pendatang ini outsider, hanya saja itu nyamannya dan kebiasaan mereka. 
Ini seperti kebiasaan orang Jawa yang kalau melingkar dengan sesamanya suka pakai bahasa Jawa bahkan ketika di situ ada yang tidak bisa berbahasa Jawa. Harus diakui saat kuliah saya sering tanpa sadar melakukan ini. Nggak ada niat jahat, cuma ini otomatis setingannya begitu. Sekarang saya paham rasanya teman-teman Jakarta dan luar Jawa ketika berada pada posisi yang cuma bisa senyum-senyum kecut tanpa tahu apa yang dibicarakan.
Tuhan tahu tapi menunggu - Edensor (Andrea Hirata)
Laporan lengkap Expat Insider: Survey Report
Thanks,
Chandra
 
 
 
0 comments: