Tokyo 2020

Olimpiade adalah tempat dimana kita bisa menyaksikan olahraga-olahraga 'aneh' yang selama ini tidak mendapat akses broadcast mainstream. Dayung, anggar, menembak, panahan, triathlon, dan lain sebagainya. Buat saya cabang-cabang ini jadi refreshment diantara rutinitas nonton bola dan balapan. Di sepakbola kadang kita perlu menunggu puluhan menit sampai terjadinya sebuah goal dan balapan F1 bisa memakan waktu sampai hampir 2 jam.

Sementara itu olahraga olimpiade menjanjikan excitement-excitement rapid yang hadir beberapa menit sekali. Atlet angkat beban butuh kurang dari 1 menit untuk tiap angkatan, satu set dalam panahan selesai sekitar 3 menit, balap dayung dan renang berlangsung hanya beberapa menit tiap heat. Belum lagi setelah satu cabang atau partai selesai penonton bisa switch ke tayangan lain hanya dengan beberapa klik. Menyenangkan sekali.

Olimpiade adalah tempat dimana lebih dari 200 negara mengirimkan wakilnya. Dalam cabang badminton kita bisa lihat pemain Indonesia bertanding lawan wakil dari sebuah negara di Afrika atau Timur Tengah. Hal yang jarang terjadi dalam kompetisi World Tour biasa dimana didominasi beberapa negara Asia saja. 

Pernahkah kamu dengar negara Aruba? Comoros? Sao Tome and Principe? Saint Lucia? Kemungkinan besar belum, sama seperti saya. Tidak semua negara lolos karena qualified, ada yang mendapat tempat di olimpiade karena 'undangan'. Bahkan ada tim bentukan IOC yang diperuntukkan bagi refugee yaitu Refugee Olympic Team (EOR). Di satu level Olympic adalah ajang bagi atlet papan atas untuk mengejar medali tertinggi, tapi lebih dari itu Olympic memberi ruang bagi semua negara untuk berpartisipasi.

Kebanyakan orang Indonesia tahu pasangan ganda putra Indonesia Kevin/Gideon serta Hendra/Ahsan karena namanya sudah sering lalu lalang di media sosial dan berita ketika mereka berprestasi di ajang badminton dunia. Sebagian dari kita juga mungkin tahu lifter Eko Yuli Irawan atau masih ingat sprinter muda Lalu Mohamad Zohri yang sempat trending beberapa waktu lalu.

Tapi barangkali belum banyak yang dengar nama Windy Aisah yang kemarin menyumbangkan medali pertama untuk Indonesia, atau tim panahan Indonesia yang cukup impresif setidaknya di level Asia, lalu atlet Rio Waida dari surfing, duet Mutiara-Melani dari dayung, Vidya Rafika dari menembak, dan anggota kontingen lainnya. Olimpiade memberi kesempatan bagi atlet di cabang yang belum begitu populer untuk berdiri di panggung yang sama dengan atlet media darling. Tidak semuanya berprestasi, tapi bisa tampil di Olympic saja sudah sebuah pengalaman tak terlupakan pasti.

Saya sebagai penonton merasa sangat dimanjakan dengan tayangan olahraga tanpa henti yang disajikan Tokyo 2020. Tinggal pilih mau nonton di TV atau ambil gadget untuk buka Vidio. Tidak harus Indonesia yang main tetap saya tonton karena kapan lagi nonton tayangan live olahraga-olahraga tak biasa. Masa tunggu datangnya musim bola berikutnya jadi terasa lebih ringan. Mantap dan terimakasih #Tokyo2020

Citius Altius Fortius

Faster Higher Stronger, Together 

Vettel to Aston Martin ;-)



I used to rule the grid
Fans would rise when I took the win
Now in the garage I feel alone
Spin on tracks I used to own

I used to scrap for miles
Feel the fear in Alonso's eyes
Listened as the crowds would chant
As I matched Senna, Nikki, Jack, and Alain

One minute I held the crown
Next the media tried to drown me in critique and doubt
And now, I think my confidence's down, that's why I spin 'round

I see the blue flags the stewards are waving
But this time it is I who's paving
The road for the winner like in Brazil
Where Schumacher handed me the wheel

There's some issues I can explain
I'll be gone but never
Never without a dream
Could I reach it with a new team?

I see the blue flags the stewards are waving
But this time it is I who's paving
The road for the winner like in Brazil
Where Schumacher handed me the wheel

There's some issues I can explain
I know Red Bull still regards my name
as though I still a king
Even without all the bling


Akseyna

Setelah 6 tahun peristiwa duka itu terjadi, berita tentang Akseyna kembali melintas di timeline twitter saya. Keluarganya sampai saat ini masih terus berusaha mencari keadilan atas kasusnya. Ketika peristiwa itu terjadi Maret 2015 silam dan langsung menjadi headline berita, saya termasuk yang terkejut karena secara pribadi saya kenal Akseyna.

Almarhum Akseyna Ahad Dori adalah siswa SMAN 8 Yogyakarta angkatan 2013, satu angkatan dengan saya. Karena DIY adalah provinsi yang kecil namun padat akan event pendidikan, menjadi hal yang wajar waktu itu ketika seorang siswa punya kenalan dari berbagai sekolah lain seprovinsi. Bisa jadi ketemu di lomba, seminar, try-out, jambore, dan semacamnya. Begitu juga dengan saya kenal dengan Ace, panggilan Akseyna.

Kami sempat mewakili Provinsi D.I.Yogyakarta dalam OSN tingkat nasional tahun 2012 di Jakarta. Bersama sekitar 35an siswa lainnya dari SMA-SMA di DIY kami sempat nge-camp dan mendapat pelatihan di salah satu hotel kawasan Malioboro. Pelatihannya sekitar satu bulan dan karena dikarantina harus ijin tidak ikut pembelajaran di sekolah.

Meskipun beda cabang sehingga kelasnya terpisah (saya matematika, dia biologi), aktivitas lain seperti makan sahur dan buka, salat, tarawih, dan lain-lain dilakukan bersama-sama. Tidak bisa tidak lama-lama kenal juga, beberapa diantaranya bahkan berteman akrab sampai sekarang. Sayang waktu itu belum jamannya cekrek upload jadi saya tidak berhasil menemukan dokumentasi yang bagus.

Akseyna adalah siswa yang brilian. Tahun sebelumnya ketika masih kelas 10 dia sudah lolos OSN 2011 Manado. Jadi di 2012 dia jadi ujung tombak tim biologi DIY dan salah satu yang paling berpengalaman di kontingen OSN Jogja. Mengingat prestasinya di bidang biologi wajar jika dia meneruskan studinya di Biologi UI. 

Selepas SMA saya sudah tidak keep in touch dengan Ace memang. Tapi ketika tiba-tiba berita yang muncul adalah berita duka saya tentu ikut merasa kehilangan. Ace adalah anak muda dengan potensi yang sangat besar, di masa depan dia pasti jadi 'orang'.

Tentu kesedihan saya tidak ada apa-apanya dengan apa yang dirasakan keluarganya. Apalagi sampai sekarang peristiwa ini masih jadi misteri dengan banyak dugaan dan teori-teori. Sampai lebih dari 6 tahun kepergiannya belum ada penjelasan gamblang tentang apa yang sebenarnya terjadi, tidak banyak kasus kriminal yang bisa 'tersembunyi' sampai se-lama ini. 

Keluarga, terutama sang ayah, Pak Mardoto terus mengusahakan keadilan untuk anaknya. Kalau kamu baca ini yuk ikut tandatangani petisi ini: Sudah 6 Tahun, Segera Ungkap Pembunuh Putra Kami Akseyna!

Terima kasih!


Chandra

Gimana Kondisi Sekitarmu, Lur?

Memasuki tahun kedua pandemi masyarakat di sekitar tempat tinggal saya tampaknya mulai abai. Banyak orang sudah secara mantap gantung masker. Di beberapa masjid sekitar rumah jamaah yang pakai masker hanya 10-20% saja, kadang kurang. Dari beberapa masjid yang saya datangi untuk tarawih sejauh ini, hanya masjid An-Nashr Bintaro yang masih konsisten menerapkan distancing dan wajib masker. Maklum lokasinya di tengah peradaban maju dan makmur. Kawasan dengan penduduk yang relatif tidak risau urusan dapur dan terbiasa berprokes ditempat aktivitas sehari-hari terbukti lebih gampang diatur. Minimal kalau kita masih ikhtiar menuju kaya, bermental kaya dulu aja.

Saya tinggal dekat kawasan pasar yang ramai hampir 24 jam. Ada pasar induk buah, pasar tradisional, dan terminal bis di satu lokasi. Tambah ramai dengan adanya pasar kaget tiap menjelang buka puasa. Masker agak lumayan karena sepertinya di pasar ada satgasnya, tapi masalah distancingnya hmmm...

Geser sedikit dari pasar ada deretan tempat ngopi dan nongkrong anak muda. Heran saya tiap malam sabtu dan minggu parkirannya penuh. Saya belum pernah masuk karena selain malas berkerumun saya memang tidak suka kopi. Di beberapa sudut jalan dan muka perumahan masih ada banner-banner waspada covid, tapi sepertinya itu catakan 2020 saat orang-orang masih respek sama corona. 

Pagi dan sore hari jalanan dipenuhi orang-orang yang mau masuk dan keluar Jakarta untuk bekerja. Nampaknya bisnis mulai menggeliat lagi diikuti peningkatan volume orang-orang WFO. Transjakarta yang bulan-bulan lalu nyaman mulai penuh sesak, perubahan terasa sebulan terakhir.

Beberapa kali saya lihat Pol PP dan satgas merazia kerumunan warga. Tapi yang dirazia kebanyakan hanya tempat-tempat umum dan terbuka saja. Sementara gang-gang sementara ini sering luput dari pengawasan. Razia juga masih sporadis, diusir sekali besoknya balik lagi.

Secara aturan mudik dilarang (tapi wisata dan belanja didorong). Untuk kali kedua saya ngalamat tidak merayakan idul fitri di kampung halaman. Tapi mengingat di Indonesia bangjo saja ditrabas dan separator busway dipencoloti saya kok ragu masyarakat akan taat. Minim penggedhe yang lead by example saat ini. Motif yang manjur untuk bangsa kita ini sepertinya hanya takut mati (seperti lebaran 2020 waktu corona masih dianggap sangat mematikan) dan urusan perut. Kalau ada kebijakan dimana yang nggak mudik dapat insentif jutaan saya yakin akan efektif. Masalahnya kita bukan negara kaya, dan jumlah penduduknya segunung.

Efek dari euforia vaksinasi juga mungkin membuat sebagian orang lengah. Saya sendiri belum ada kabar berita kapan akan dapat jadwal vaksin. Selama pandemi sudah tiga kali pilek tapi semoga itu flu biasa saja. Dengan segala kesimpangsiuran ini sepertinya kita memang harus menjaga diri dan keluarga masing-masing. Hormati orang yang masih memasang standar tinggi penjagaan diri terhadap covid. Semoga pandemi segera berakhir. Aamiin


Chandra

Sushi Masa: Kisah dari Utara Jakarta

Di tengah komplek perniagaan ikan di Jakarta Utara ada sebuah bangunan yang mencolok karena deretan mobil-mobil yang terparkir di depannya. Tak kurang BMW, Mercedes, Lexus, dan MPV high end berderet di depan dan samping gedung tersebut. Saya coba cari di google tempat apa itu karena tidak ada tulisannya, ternyata itu adalah sebuah kedai sushi.

Saya sebut Sushi Masa ini hidden gem bukan karena saya baru tahu tapi memang lokasinya tersembunyi di tengah pasar ikan Muara Baru, Jakarta Utara. Untuk mencapainya saja harus melewati jalan akses Pluit yang saingannya truk-truk kontainer besar khas kawasan utara Jakarta. Begitu masuk kawasan pasar ikannya aroma amis ikan tercium tajam. 

Sushi Masa berada di sebuah bangunan tingkat 6 di samping ATM center kawasan pasar ikan Muara Baru. Selain tidak ada banner nama, tempatnya pun tidak tampak dari luar, saya harus bertanya ke satpam memastikan bahwa restonya benar disana.

Bisa ditebak tempat seperti ini menjual eksklusivitas, tidak mengharapkan banyak tamu, dan mematok harga tinggi untuk sajiannya. Saya dan istri beruntung bisa datang langsung dan dapat tempat duduk karena ternyata tamu yang datang kesana harus melakukan reservasi lebih dulu. Tamu walk-in hanya diterima jika masih ada meja yang belum terbooking.

Begitu keluar dari lift lantai 3 kami langsung disambut oleh resepsionis dan ditanya apakah sudah reservasi. Selanjutnya kami diarahkan ke tempat duduk yang masih tersedia. Kebetulan ada kursi kosong untuk dua orang di bagian bar sehingga kami bisa melihat langsung proses pembuatan sushi oleh para chef dengan pakaian khas chef sushi dari Jepang dan tampak sudah sangat berpengalaman.




Meski kemasannya high-class, cara pesan makanannya ternyata cukup sederhana. Cukup memanggil waiter lalu pesanan kami ditulis di kertas. Kami juga diberi tahu bahwa waktu menikmati sushi dibatasi sampai jam 7 malam saja. Ternyata selain memakai reservasi, restoran ini juga menggunakan sistem shift. Shift 1 pukul 11.00-14.00, shift 2 pukul 17.00-19.00, shift 3 pukul 19.00-21.00, di luar itu tutup.

Secara harga Sushi Masa memang agak mahal. Tapi ada harga ada rupa, rasa sushinya memang sangat enak, bahan-bahan laut yang digunakan tampak sangat segar. Untuk makan sushi casually saya mungkin prefer sushi Aeon untuk saat ini, tapi Sushi Masa ini bolehlah sekali-sekali untuk selebrasi. Untuk dinner di tempat ini, per tamu perlu merogoh kocek 75 sampai 250 ribu.


Kalau ingin sajian yang lain, di lantai 5 (1 lantai diatas, tidak ada lantai 4 fyi) gedung yang sama ada Shabu Masa dengan berbagai tawaran self grill. Sementara itu ada patisserie di lantai 2 dan toko seafood beku di lantai 1-nya. Kalau ingin berfoto dengan background sunset dan kapal-kapal bisa naik ke rooftopnya. 

Apakah saya merekomendasikan restoran ini? Ya, cocok untuk selebrasi dengan keluarga atau teman-teman. Kalau Anda tidak berkeberatan spending ratusan ribu per orang boleh saja datang kesini berkali-kali dalam seminggu. Paling enak kesini pakai kendaraan pribadi mobil atau motor (masih ada parkiran motor walaupun kecil). Tapi kalau mau pakai angkutan umum bisa pakai taksi online dari rumah atau naik KRL, TJ, MRT (kalau sudah jadi) sampai kawasan Kota Tua/Jakarta Kota lalu nyambung taksi.

Jika dirasa terlalu niat kalau sampai pucuk utara Jakarta hanya untuk makan sushi, bisa sekalian eksplor spot-spot menarik di sekitarnya. Opsi tempat wisata utama selain komplek Kota Tua adalah Ancol dan PIK. Kalau mau yang lebih adventure bisa masuk-masuk ke kawasan pelabuhan tradisional Muara Angke, Muara Karang, Muara Baru, dan Sunda Kelapa.


Chandra

Virtual Private Network (VPN)



Ketika mau mengambil screenshot untuk dikirimkan ke orang atau grup WhatsApp, biasanya saya pastikan dulu tidak ada logo VPN di bagian atas layar. Karena kalau sampai dilihat orang yang paham bisa jadi dikira habis buka situs yang tidak-tidak, padahal untuk beberapa keperluan memang VPN diperlukan, streaming bola dan balapan misalnya. 

Popularitas VPN di Indonesia meningkat seiring langkah pemerintah memblokir situs-situs dewasa. Langkah yang bijak dari pemerintah untuk melindungi anak bangsa. Tapi pagar yang dibuat pemerintah untuk membatasi akses anak bangsa ke situs-situs itu masih dapat diakali dengan fasilitas yang namanya VPN atau Virtual Private Network. Tutorial cara menyetting VPN muncul dimana-mana.

Ketika berselancar di internet menggunakan VPN, kita tidak tampak sebagai orang Indonesia. Akibatnya blokir yang dilakukan pemerintah tidak berlaku untuk kita. Analoginya seperti orang tua mencegah anaknya bermain di luar rumah dengan mengunci pintu depan, tapi si anak tetap bisa keluar lewat pintu samping.

Entah orang tuanya tidak tahu kalau pintu samping bisa dibuka atau sebenarnya tahu tapi dibiarkan saja yang penting perintah atasan sudah dikerjakan, urusan eksekusinya itu belakangan.  

Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian orang menggunakan VPN untuk mengakses situ abu-abu. Lagipula banyak layanan VPN gratis yang aplikasinya dengan mudah dapat diunduh dari Playstore atau Appstore. Akibatnya citra VPN jadi buruk karena sering dikaitkan dengan konten berbau pornografi. Padahal banyak manfaat bisa didapatkan dari penggunaan VPN.

Pertama, VPN menyamarkan identitas kita di internet, dalam hal ini IP Address. Kita jadi tidak perlu khawatir meninggalkan jejak digital selama mengakses dunia maya. Kalau-kalau bernasib sial masuk situs yang mengandung malware atau bersinggungan dengan hacker, privasi kita akan jadi lebih aman.

Selain dari sisi keamanan, menggunakan VPN juga mencegah kalau-kalau pemilik situs atau penyedia layanan internet bertindak nakal dengan menjual informasi kita pada pihak ketiga. VPN ini satu lapis perlindungan tambahan untuk data pribadi kita.

Kedua, VPN membantu mengatasi masalah geo-blocks alias pembatasan konten berdasarkan wilayah. Sebagai contoh, penyedia konten hiburan seperti Netflix memiliki menu yang berbeda-beda tergantung pada lokasi penggunanya. Jadi misal kita sedang berada di luar negeri namun tetap ingin menyaksikan tayangan Netflix Indonesia, kita bisa pakai VPN dan memilih region Indonesia.

Ketiga, VPN membantu mengamankan kita ketika terhubung ke jaringan yang unsecured seperti WiFi gratis. Biasanya ada WiFi yang ketika akan menyambungkan muncul notifikasi bahwa orang lain mungkin saja melihat data kita. Kalau kita pakai koneksi seperti ini untuk hal penting seperti transaksi perbankan atau kartu kredit tentu berbahaya.

Keempat, terkadang ketika kita berada di sekolah, bandara, atau hotel lalu mencoba mengakses suatu situs ternyata diblokir karena regulasi tertentu. Biasanya hal seperti ini dilakukan dengan firewall. Jika merasa tujuan dan aktivitas kita sesuai regulasi maka VPN bisa dipakai untuk melewati blokir ini.

Tapi di luar keuntungan-keuntungan itu, VPN punya kelemahan yaitu berpotensi menurunkan kecepatan koneksi internet bergantung pada jarak dengan lokasi server dan tingkat enkripsi yang dilakukan. Selain itu tidak semua perangkat mendukung VPN secara langsung. Ada perangkat yang butuh pengaturan manual dan hal ini membutuhkan pengetahuan tentang sistem operasi dan jaringan.

Sebagai sebuah layanan, VPN juga berbiaya. Walaupun ada yang gratis namun lebih disarankan menggunakan layanan yang berbayar. VPN gratis pada umumnya tidak mengijinkan kita memilih region sesuai keinginan, harus manut sama software. Secara keamanan juga dikatakan yang premium lebih aman karena penyedia layanan sudah mendapat pembayaran dari pengguna sehingga lebih kecil kemungkinan untuk punya kebijakan menjual data pada pihak ketiga.

Kesimpulannya, VPN lebih dari sekedar sebuah cara untuk mengakali blokir internet positif pada situs-situs pornografi. VPN adalah cara yang mudah dan murah untuk dapat mengakses internet dengan aman dan bebas. Meski begitu tetaplah bijak dalam menggunakan internet ya.

Kalau dihubungkan dengan kondisi pandemi kali ini, VPN itu ibarat masker. Pertama, dia mengurangi risiko kita tertular virus. Kedua, dia membantu menyembunyikan siapa kita sampai kadang sulit dikenali. Ketiga, dengan memakai masker kita tidak perlu ragu untuk masuk ke tempat-tempat yang memasang tanda ‘Wajib pakai masker’.

Posting Jangan Sering-Sering

Beberapa minggu yang lalu saya dan istri jalan-jalan ke Jakarta. Sudah jadi rutinitas setidaknya satu hari di akhir pekan kami keluar rumah. Waktu itu kami janjian dengan seorang kerabat untuk ketemu di daerah Sudirman. 

Kami janjian ketemu pas makan siang di foodcourt dekat stasiun Sudirman, disana ada mie ayam enak katanya. Karena kepagian dan merasa perlu ke toilet saya putuskan untuk mampir di kantor dulu di daerah Mega Kuningan. Ini adalah kali pertama istri saya menginjakkan kaki di tempat itu. 

Reaksi pertamanya persis dengan ketika saya onboarding dulu, wah wah wah mulu, khas anak daerah yang pertama kali masuk gedung perkantoran di ibukota. Ada mungkin 30 menitan dia asik foto-foto, beberapa ada yang dipost di instagramnya. Sementara itu satpam tampak mengawasi karena penampilan kami tidak seperti orang mau ngantor, nggak bawa tas, nggak bawa nametag, hanya modal bilang kantor saya di lantai berapa.



Akhirnya istri saya tanya, kamu kok nggak pernah update soal kantormu?

Saya ceritakanlah bawa saya seperti punya janji pada diri sendiri bahwa saya akan membatasi mengekspos pekerjaan saya kepada audience luas. Selain karena beberapa hal memang lebih baik dirahasiakan, back to 2018 saya punya pengalaman yang agak berkesan.

Oktober 2018 kantor tempat saya bekerja pertama kali tutup dan semua pegawainya dirumahkan. Saya tiba-tiba menjadi jobless yang masih ngekos. Awalnya nggak masalah karena kosan saya masih jalan dan sudah dibayar tahunan serta saya punya tabungan. Tapi tabungan yang nggak seberapa itu akhirnya habis juga karena saat bekerja saya terlanjur mengeset gaya hidup saya lebih tinggi daripada ketika masih mahasiswa.

Beban sebagai alumni so called kampus favorit yang menganggur cukup berat. Peluang pekerjaan di bidang penerbangan terbatas, skill coding juga belum mumpuni untuk melamar sebagai software engineer profesional. Alhamdulillah saya akhirnya tertolong karena ada kesempatan menjadi asisten riset di kampus.

Meski begitu rasa menjadi orang yang gagal tetap ada karena pekerjaan asisten riset ini seperti bukan full job. Sementara ig story dipenuhi update-an teman-teman soal pekerjaan barunya, saya masih bingung mau ngapain. Saya uninstall instagram dan untuk pertama kalinya mengerti bahwa mental health itu sesuatu.

Saya coba memikirkan kesalahan-kesalahan yang saya lakukan di masa lalu. Hingga akhirnya saya sadar bahwa selama ini ketika masih bekerja sangat mungkin saya menyakiti banyak orang dengan apa-apa yang saya posting di media sosial.

Karena bantuan orang dalam, setelah lulus saya langsung bekerja di sebuah perusahaan IT di Bandung. Lokasinya premium di kawasan Lembang dekat villa-villa. Pemandangannya hijau semua plus bisa lihat kota Bandung dari atas, lokasi 10/10. Kantornya start-up sekali, saya dapat gear dengan spek yang tinggi. Kantor itu punya gym, meja pingpong, lapangan panahan, mess, kamar mandi air panas, shuttle dari bandung kota, internet kenceng, komputer boleh buat ngegame, makan siang dan sore gratis, dll. Pokok'e perfect untuk pekerjaan pertama.

Tidak bisa tidak saya sering mempostingnya di media sosial, ketika banyak diantara audience saya yang belum bekerja atau belum selesai TA. Saat itu saya merasa biasa saja, penyesalannya terjadi ketika akhirnya saya tidak bekerja disana lagi.

Sejak saat itu saya membuat komitmen untuk sangat membatasi postingan berbau pekerjaan. Alhamdulillah saya masih bisa menjaga komitmen itu sampai saat ini. Beberapa orang tahu saya bekerja dimana tapi tidak tahu detail tempat kerjanya seperti apa atau apa yang saya lakukan sehari-hari. 

Saya masih posting soal makan richeese, nongkrong di dunkin, pulang kampung, atau jalan ke luar kota, tapi hanya satu dua kali posting tentang meja kerja. Beberapa momen chat lucu juga saya screenshot dan unggah di twitter. Tapi kayanya chat dari coworker belum pernah ada yang saya post. Selain jarang lucu juga ngapain orang lain harus tahu?

Btw soal mie ayam tadi, namanya Mie Keriting Luwes, ancer-ancernya foodcourt dekat pintu tengah stasiun KRL Sudirman. Harganya 25k dan porsinya guedhe. Masih belum seperti mie ayam manis yang saya inginkan tapi ini OK.


Salam,

Chandra