Biar Nggak Takut Matematika



Sesuai janji saya sebelumnya, kali ini saya akan menulis tentang matematika.

Di ITB, ada yang namanya Bumi Medika Ganesha (BMG). BMG adalah salah satu UPT di ITB yang tugasnya memberikan layanan kesehatan kepada civitas akademika ITB dan umum. Jika berobat di klinik ini, biayanya dipukul rata 20 ribu rupiah. 

Saya lupa dalam forum apa tepatnya, tapi pernah saya dengar bahwa ada saat-saat tertentu dimana pasien BMG tiba-tiba melonjak. Saat-saat tersebut adalah ketika musim ujian mahasiswa tingkat satu, tingkat tahap persiapan bersama (TPB). Kabarnya pasien BMG melonjak ketika tiba jadwal ujian Matematika Dasar, Fisika Dasar, dan Kimia Dasar.

Sistem ujian mahasiswa TPB ITB agak berbeda. Mereka tidak ada minggu ujian atau semacamnya. Semua ujian diletakkan pada hari sabtu. Jadi yang terjadi misalnya sabtu ini ujian kimia, sabtu minggu berikutnya matematika, lalu sabtunya lagi fisika. Pada saat-saat seperti ini lah BMG tiba-tiba ramai.

Materi kuliah yang sulit dan tekanan yang besar tampaknya menimbulkan anxiety parah di kalangan mahasiswa. Jika diperparah dengan manajemen diri yang kurang baik di perantauan dan musim yang kurang bersahabat maka penyakit lebih mudah menjangkit. 

Jadi, ada 2 musim dimana mahasiswa ITB banyak sakit, yaitu musim pancaroba dan musim ujian.

Problemnya adalah, ketika mendengar kata matematika, kita langsung membayangkan angka dan itung-itungan. Padahal matematika bukan tentang itu. Pada tingkat yang lebih tinggi proses menghitung bisa diambil alih oleh otomasi komputer. Alasan yang seharusnya mengapa kita belajar matematika adalah untuk mengasah logika dan kemampuan melihat pola.

Matematika adalah ilmu yang paling bersih karena kita tidak memberikan pengaruh di dalamnya. Kita sedang sedih 2 + 2 = 4. Kita sedang jatuh cinta tetap 2 + 2 = 4.

Matematika juga bukan ilmu pasti, tapi kesepakatan. Hitungan kita terjadi seperti yang biasa kita lakukan karena kita sepakat menggunakan bilangan persepuluhan (desimal). Semua akan berbeda bila dunia sepakat menggunakan bilangan biner atau heksadesimal.

Tapi yang lebih penting dari itu adalah kita perlu memahami matematika sebagai bahasa. Matematika memang terlihat hanya berisikan angka dan notasi-notasi, kalaupun ada kata-kata hanya pelengkap. Tapi sebenarnya notasi-notasi itu adalah kata-kata dalam bahasa matematika. 

Contoh jika kita punya kalimat :
Budi sudah mandi dan sarapan, sekarang dia siap berangkat sekolah.

Kalimat tersebut bisa diubah menjadi :
X + Y = Z
dengan
X : Budi sudah mandi
Y : Budi sudah sarapan
Z : Budi siap berangkat sekolah.

Itu adalah sebuah contoh sederhana. Yang lebih rumit banyak. Dulu di SD kita juga sudah diajarkan notasi macam < (berarti lebih kecil), > (lebih besar), dll. Kita menganggap itu hanya untuk mengerjakan soal ujian pertidaksamaan. Padahal itu salah satu awalan untuk mengajarkan matematika sebagai bahasa.

Penurunan rumus legendaris E = mc2 atau persamaan Navier Stokes adalah hasil otak-atik ribuan persamaan (kalimat) matematika. Orang matematika menghasilkan persamaan-persamaan itu sama saja seperti seorang penulis menulis novel. Keduanya memiliki kesamaan yaitu proses berantai mengolah sesuatu. Jika novelis mengolah kata menjadi kalimat dan paragraf, matematikawan mengolah angka, simbol, dan notasi menjadi persamaan.

Pernahkah Anda memaksa otak Anda untuk memunculkan kalimat dan kata mutiara ? Sebenarnya saat itu Anda sedang membuat otak-atik matematis di kepala Anda. Anda menghubungkan pengalaman masa lalu, kondisi sekarang, apa yang pernah didengar dan dilihat, dll. Muncullah sebuah kalimat (persamaan) hasil dari otak-atik kalimat (persamaan) yang banyak itu.

Mungkin agak sulit membayangkan dan menerima konsep matematika sebagai bahasa. Tapi sebenarnya tanpa sadar kita menggunakan matematika setiap hari. Contohnya ketika pulang kantor atau kampus, kita memilih jalan tertentu karena kita sudah bisa mengelompokkan pola kemacetan jalan. Kemampuan melihat pola adalah salah satu fungsi matematika.

Contoh lain, kita memakai sabuk pengaman karena kemungkinan untuk celaka di jalan lebih sedikit. Misal ada data yang menyatakan hal ini. Sense tentang kemungkinan dan statistik juga dibangun oleh matematika.

Dalam diri kita sudah ada software yang mengambil keputusan menggunakan cara berpikir matematika. Menurut saya, salah satu orang yang sangat pintar mentranslate bahasa kata menjadi bahasa matematika adalah Sabrang Mowo Damar Panuluh

Matematika adalah ilmu yang sangat baik untuk mengasah logika dan penalaran. Gampangnya matematika perlu dipelajari supaya kita jadi orang yang gampang paham terhadap apapun. Sayang sekali sejak tingkat dasar kita sudah diajarkan bahwa matematika adalah ilmu (untuk) menghitung. Untuk menentukan apakah jawaban yang benar a,b,c,d, atau e.

Pemahaman matematika sebagai cara untuk menghitung sesuatu menjadikannya sangat kaku dan menakutkan. Yaa memang ketika ujian kita harus menghitung, tapi ujian itu kan hanya sesaat. Kalau mau memahami matematika secara lebih menyenangkan maka kita perlu paham matematika sebagai sebuah bahasa dan seni berlogika.

Sabar yaa adek-adek. Matematika itu indah kok. Jangan takut

Ada sebuah quote, diolah dari dalam kepala mahasiswa matematika ITB yang gagal lulus, Sujiwo Tejo : "Cinta nggak ada karena-karena, yang ada karena-karena adalah kalkulasi bukan cinta".

Sekian pemikiran saya tentang matematika. Semoga mudah dipahami. Tinggalkan pesan jika ingin berdiskusi :)


Salam,
Chandra



0 comments :

Post a Comment