Sepertiga Hidup



Selasa kemarin saya mendapat kesempatan mengambil libur satu hari setelah hari sabtu dan minggunya lembur untuk menyiapkan acara kunjungan Kepala Staf Angkatan Darat. Saya nggak punya agenda khusus atau jani, tapi hari itu sudah saya niatkan untuk main ke kampus dan say hi pada sebanyak mungkin orang. Sejak bekerja saya jadi skip beberapa agenda seperti sidang teman, acara kumpul-kumpul, dll.

Tapi salah satu yang sangat ingin saya temui adalah dosen pembimbing TA kemarin. Beliau termasuk dosen yang gampang ditemui asal tidak sedang di luar kota. Jadi tanpa bikin janji pun bisa ditemui, cukup memastikan beliau ada di kampus saja. Padahal siapa saya, mahasiswa bukan, udah nggak bayar SPP, beberapa bulan ngilang, dan nggak janjian dulu hahaha.

Saya nggak sendiri kemarin, melainkan bersama seorang teman yang belum lama sidang dan akan wisuda April nanti InsyaAllah. Jadi obrolannya nggak jauh soal "mau apa setelah ini ?".

Ada sebuah pesan dari beliau yang sangat masuk untuk saya. Menurut beliau sebagai fresh graduate kita harus tahu apa yang kita kejar dalam karir. Bekerja 8 jam sehari bukanlah hal yang kecil, itu adalah sepertiga hidup kita, sepertiga men, it's a big deal. Jangan sampai kita tidak mendapat sesuatu yang signifikan dalam kesempatan itu. Delapan jam di tempat yang tidak tepat adalah sebuah kerugian.

Beliau mencontohkan, jangan sampai dalam ikatan selama 8 jam itu secara finansial kita tidak dibayar dengan baik, tidak menjadi lebih ahli dalam bidang yang dikerjakan, atau secara sosial tidak berkembang karena tidak sesuai dengan lingkungannya. Kalau kita memutuskan untuk bekerja, pastikan kita mendapat setidaknya salah satu dari itu. Kalau tidak, sia-sia lah waktumu.

Beliau cukup senang ketika tahu bahwa walaupun saya bekerja 8 jam sehari tapi punya fleksibilitas untuk mengatur waktu masuk dan pulang. Sebagai anak muda yang masih semangat mencoba banyak hal baru kondisi itu sangat mendukung.

Kalau di-zoom out, bekerja hanyalah salah satu dari beberapa pilihan selepas kuliah. Boleh saja kamu mau langsung sekolah lagi, membuka bisnis, atau menikah. Banyak pertimbangan di dalamnya dan sebenarnya kita tidak perlu meniru orang lain karena setiap orang punya alasannya masing-masing yang belum tentu dibuka. Kamu dan saya juga punya itu.

Ada satu teman saya yang begitu lulus ingin sesegera mungkin bekerja. Tidak soal kerja dimana. Itu karena dia menjadi tulang punggung keluarga membiayai ibu dan adiknya. Ketika belum tahu kondisinya saya termasuk yang menyayangkan keputusannya, tapi setelah tahu pandangan saya berubah.

Katanya rata-rata orang baru benar-benar matang di sekitar usia 40 tahun. Artinya kalau sekarang kita berada di angka 20-an masih banyak persimpangan yang harus dilewati, namun di sisi lain masih banyak pula kesempatan untuk belajar, dimanapun.

Jadi, dimanapun kita berada belajarlah, tapi tetap buka mata pada peluang-peluang baru di depan. Pilih pintumu.



gambar : pixabay









0 comments :

Post a Comment