Hard Mode



Sebagai anak kecil dulu rasanya sekolah SD saja sudah sangat sucks dengan keharusan bangun pagi tiap senin sampai sabtu, membuat PR, dan tekanan harus bersikap baik dan anteng agar terhindar dari hukuman guru. Setelah itu ternyata SMP lebih berat lagi karena harus commute 10 km menuju sekolah tiap hari, pelajaran lebih banyak dan susah, dan konflik dengan teman atau kakak kelas. Segala kesusahan waktu SD jadi terasa sepele.

Hal yang sama terulang waktu masuk SMA, kemudian kuliah, lalu lulus dan bekerja. Tumbuh memang ada enaknya juga seperti bisa keluar malam dan pergi ke luar kota, punya uang sendiri, bisa pacaran (eh!). Tapi di setiap tahap selalu ada masalah baru yang kita tidak tahu bagaimana menyelesaikannya. Setiap jaman ada bingung dan degdegan-nya masing-masing.

Saya menggunakan periode sekolah sebagai titik acuan karena buat saya itu yang paling cocok untuk menggambarkan kenaikan level sulitnya hidup. Orang lain mungkin berbeda, ada yang domisilinya pindah-pindah sehingga menggunakan kota/negara ia tinggal untuk mengukur periode. "Waktu kecil di Kalimantan . .", "pas pindah ke Bali . . ", dan sebagainya. Satuan yang lain lagi pasti juga ada.

Bahwa leveling saya paralel dengan masa sekolah, level terbaru yang saya jalani justri dimulai ketika keluar dari sekolah. Artinya sudah lulus lalu pindah dari yang tadinya mengikuti aturan, sistem, dan target yang ditentukan institusi pendidikan ke fakta yang ada di masyarakat dan dunia kerja. Di tahap ini kemarin sebenarnya ada pilihan, apakah level berikutnya mau tetap di sekolah dengan melanjutkan studi atau cari jalur lain seperti sekarang ini. Tapi ini satu bahasan sendiri karena penjelasannya panjang. Apakah saya mengambil keputusan yang tepat? I don't know.

Sama seperti sebelumnya, di level ini pun ada jatuhnya ada lompatnya. Saya tidak pakai istilah jatuh-bangun karena bangun seperti hanya resolusi dari jatuh itu, sedangkan saya merasa Allah kasih satu dua hal menyenangkan diantara kejatuhan-kejatuhan itu yang lebih tinggi dari sekedar bangun, jadi saya pakai sebutan lompat. Anyway kalau mau lompat juga harus bangun dulu.

Mindset bahwa selama ini sedang leveling sering membuat saya penasaran level berikutnya kapan datangnya dan seperti apa. Kapan adalah soal waktunya, karena tepat hari ini genap sudah lima tahun saya berada di level ini ditandai sidang tugas akhir saya pada 15 Agustus 2017, on this day tepat lima tahun yang lalu. Apa karena di posisi sekarang tempat berikutnya belum tentu jelas, tidak seperti waktu SMP yang bisa dibayangkan setelah tiga tahun tiba waktunya masuk SMA.

Lima tahun lalu saya memulai level ini dengan seolah tampak baik namun sebenarnya disastrous. Saya overconfidence waktu masuk ke pekerjaan pertama, merasa jadi warga negara yang utuh karena sudah selesai sekolah dan sudah bekerja, bangga betul waktu itu. Turns out saya tidak terlalu bisa dan cocok dengan jobdesc yang harus saya kerjakan, di sisi lain saya oversharing karena merasa telah mencapai sesuatu hebat. 

Hal yang tidak diingikan terjadi, perusahaan tutup dan semua karyawan termasuk saya jadi jobless (mana uang pisah sama gaji terakhir belum dibayar lagi wkwkwk hayo pak, bapak masih punya hutang lho ke para ex karyawan :) ). Endingnya tidak baik memang, tapi banyak yang bisa dipelajari dari sana. Salah satu titik tersulit di level ini adalah menjadi jobless ketika teman-teman sudah bekerja, saya tidak perlu jelaskan karena pasti sudah terbayang. 

I've just cleaned my mess in 2019, dua tahun setelah selesai level kuliah. Bisa dibilang saya mulai dari nol lagi ketika pindah dari Bandung ke Jakarta. Sampai sekarang I don't feel right untuk banyak sharing atau update soal karir sejak di Jakarta kecuali di media yang memang berhubungan dengan itu. Sedikit banyak masih trauma dengan yang terjadi di pekerjaan pertama di atas. Satu kalimat saja untuk sum up: alhamdulillah karir membaik setelah menikah.

Pekerjaan hanyalah satu fitur dari level ini. Masih banyak tanggung jawab lain sebagai orang dewasa yang harus dilakukan dengan baik. Apalagi setelah menikah ya, tanggung jawab sebagai kepala keluarga jauh lebih besar daripada sekedar anak laki-laki pertama. Banyak hal yang dulu adalah comfort zone sekarang menjadi tempat dimana kita exposed, dan itu tidak enak.

Menurut saya pengalaman berat itu tidak enak dijalani sekarang, tapi besoknya menyenangkan untuk dikenang sebagai "oh dulu pernah begini ya, kok bisa survive ya". Tentu ini selama kesusahannya tidak menyangkut asasi dan prinsip. Sepaham saya juga, dari tak terbatasnya kuasa Allah, dua diantaranya adalah kuasanya untuk menaikkan derajat (level) dan mengangkat masalah. Bisa lah yok keep going berbekal itu.

Kalau level-level sebelumnya juga ada masalah tapi akhirnya selesai juga, mestinya yang ini juga begitu. Semua level hard mode sampai kita menyelesaikannya. 





0 comments :

Post a Comment