Derajat Kekacauan, Beberapa Perubahan Tidak Bisa Dibalik


Saya belum selesai baca buku ini, mungkin baru 70%. The Uninhabitable Earth ini membahas pemanasan global secara mendalam, sayangnya terjemahannya kurang luwes jadi agak kesandung-sandung bacanya. Tapi sampai titik ini pun sudah banyak poin yang saya dapat. Satu diantaranya sudah saya tulis di postingan sebelumnya tentang wet bulb temperature. Kali ini saya dapat insight tentang bagaimana pemanasan global ini (bisa jadi) tidak bisa dicegah lagi dan suhu bumi akan terus naik.


Dalam Paris Agreement tentang global warming, disepakati target untuk menekan kenaikan suhu global well below 2 derajat, kalau bisa 1.5 saja. Dalam berbagai jurnal para ilmuwan juga memperkirakan suhu bumi akan naik sekian derajat. Intinya, mindset kita sekarang adalah menahan laju kenaikan suhu bumi, bukan lagi mengurangi suhu bumi. Kenapa? Karena mengurangi suhu bumi bisa dibilang mustahil.

Sebabnya, kita sebagai makhluk hidup untuk sekedar hidup saja sudah pasti mengeluarkan emisi karbon. Kalau kita beraktivitas menggunakan kendaraan bermotor, sudah jelas ada gas buang disana. Misalnya pun semua orang di dunia dipaksa untuk diam di rumah saja, minimal tetap akan ada carbon trail dari makanan yang dikonsumsi. Daging merah mengeluarkan metana, sayur dan buah diangkut dari ladangnya sampai ke warung sayur dekat tempat tinggal kita dengan pickup bermesin bensin, bahkan nasi yang kita makan digiling menggunakan penggilingan berbahan bakar fosil. Kecuali manusia bisa berfotosintesis, untuk sekedar makan demi menjaga tetap hidup saja manusia mengeluarkan sejumlah emisi.

Kalau ada aplikasi penghitung intake kalori, mungkin kita perlu juga aplikasi untuk melihat berapa besar carbon trail yang kita sebabkan setiap harinya. Jadi setiap pagi sebelum mulai beraktivitas kita sadar bahwa ada sejumlah tertentu karbon yang perlu kita offset untuk sekedar membuatnya impas, untuk sekedar bisa mengklaim bahwa kita tidak berkontribusi pada pemanasan global sepanjang hari ini.

Mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, raduce-reuse-recycle sampah, menggunakan bahan-bahan alami menggantikan produk sintetis pabrik, menanam pohon, berternak, dan lain sebagainya adalah upaya untuk meminimalisir 'hutang' kita pada bumi dan anak cucu nanti. Sudah ada beberapa contoh sustainable living seperti ini, namun masih pada skala individu dan komunitas kecil. Salah satu yang pernah saya lihat langsung adalah Pak Iskandar Waworuntu dengan Bumi Langit dan Permaculture-nya

Baca juga: Bumi Langit (Lagi)
note: pardon, ditulis waktu masih kuliah

Balik ke The Uninhabitable Earth, upaya individu masih bisa dilakukan. Tapi untuk punya efek yang cukup guna menahan laju pemanasan bumi, ini harus dilakukan secara kolektif. Kekuatan yang bisa mendorong kolektivitas di sini adalah politik dan ekonomi. Jadi ketika pemanasan global sudah mengganggu stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara besar, bisa jadi saat itu lah baru akan ada gerakan yang lebih konkret daripada Perjanjian Paris. Takutnya saat itu terjadi semuanya sudah terlambat.

Jangankan nanti, saat ini saja pemanasan global ini sudah very unlikely untuk dihentikan. Suhu akan terus naik, tinggal seberapanya yang bisa kita usahakan. Kita kudu menerima bahwa beberapa hal memang tidak reversible. Membaca bagian ini saya jadi teringat materi kuliah termodinamika tentang entropy. 

Entropi ini adalah satuan kimia yang menunjukkan suatu reaksi bisa terjadi atau tidak. Reaksi kimia baru bisa terjadi jika dan hanya jika entropinya positif. Kalau negatif, tidak bisa. Ini juga menunjukkan beberapa reaksi tidak reversible, A ke B dengan entropi (+) bisa berlangsung, tapi jika B ke A punya entropi (-) maka itu tidak mungkin terjadi. Kondisi A ke B tidak reversible. 

Entropi juga disebut degree of disorder atau degree of randomness, atau kalau dosen saya menjulukinya derajat kekacauan. Hukum II Termodinamika mengatakan bahwa entropi selalu bertambah seiring berjalannya waktu. Kekacauan yang selalu bertambah dan perubahan yang tidak bisa dibalik, persis kaya bumi dan penghuninya.

Tapi ada satu hal positif yang ditulis David Wallace-Wells dalam bukunya. Yaitu karena perubahan suhu bumi ini dipengaruhi oleh aktivitas manusia, manusia juga punya kontrol untuk menanganinya. Jadi kita tidak sepenuhnya tak berdaya menghadapi pemanasan global. Suhu memang akan makin panas, tapi bisa saja manusia beradaptasi dengan itu berkat gerakan kolektif dan perkembangan teknologi. 

Bumi ini bukan tinggalan nenek moyang untuk kita, tapi kita pinjam dari anak cucu. Apa yang kita hasilkan sekarang bisa jadi yang memanen bukan kita tapi mereka. Manusia diamanati untuk mengelola bumi dalam tugasnya sebagai 'khalifah', jadi berhasil tidaknya kita, punya konsekuensi yang jauh lebih besar daripada sekedar merasa kegerahan di bumi, pertanggungjawabannya langsung pada Sang Pencipta.

We're together on this. Pemanasan global itu kena satu kena semua.


Chandra

0 comments :

Post a Comment