Bumi Langit (Lagi!)



Setelah akhir tahun lalu sempat berkunjung ke Bumi Langit, libur idul adha kemarin alhamdulillah saya berkesempatan berkunjung lagi ke sana. Kali ini bersama Ega dan Ifa, seperti pada post sebelumnya,Tradisi Rewang (edited).

Dalam perjalanan menuju Bumi Langit - saya jadi sopir lagi - saya mereka-reka mau menulis apa soal perjalanan kali ini. Begitu sampai di Bumi Langit, saya coba menghubungi pelayan untuk bertanya apakah ada guide yang available untuk menemani kami berjalan-jalan keliling kebun. Jawabannya agak mengecewakan, tidak ada guide untuk hari-hari ini dan kebun sedang dirombak.

Ahh..sayang sekali, padahal sudah terbayang akan jalan-jalan keliling kebun, melihat lebih banyak hal dari sebelumnya, mengobrol dengan Pak Iskandar Woworuntu, dan menikmati suasana Bumi Langit sampai Dzuhur lalu pulang. Tapi karena nanggung sudah terlanjur sampai sana, diam-diam kami jalan-jalan sendiri.

Saya yang sudah pernah kesana sebelumnya berperan sebagai guide. Kami jalan mengikuti rute yang dulu saya lalui. Rute agak berubah karena memang ada beberapa bagian kebun yang dirombak. Dugaan saya porsi untuk lahan pertanian organik akan ditambah. Saya melihat beberapa bagian dibersihkan dan sepertinya akan digunakan untuk menanam sesuatu.

Sampai di bagian kandang sapi kami melihat beberapa orang sedang menata batu-batu untuk menjadi jalan. Salah satu di antara mereka adalah anak Pak Iskandar, saya masih ingat wajahnya dan penampilannya yang khas, tidak kaosan. Karena tidak dipandu guide, akhirnya saya mencoba beberapa jalur lain dan malah menemukan sesuatu yang baru.

Akhirnya beberapa pertanyaan saya soal Bumi Langit terjawab. Pertama, untuk wilayah seluas itu dan aktivitas sepadat itu terutama di Warung Bumi, tidak mungkin sumber listrik hanya dari tenaga matahari yang terpasang di dekat kandang sapi. Mereka memang tidak memakai listrik PLN tapi ternyata ada generator yang bekerja di sana. Bahan bakarnya tentu dibeli dari pom bensin.

Kedua, soal memasak. Sepertinya Bumi Langit makin serius dengan sayap bisnisnya Warung Bumi. Aktivitas di restoran ini semakin ramai. Mungkin memang kebanyakan orang lebih senang menyantap makanan khas Bumi Langit di Pendopo sambil melihat pemandangan di bawah daripada nyeblok-nyeblok ke kebun. Apalagi kalau beruntung bisa ngobrol langsung dengan Pak Iskandar-nya. Sayang kemarin beliau sedang sibuk kedatangan rombongan entah dari mana, platnya sih Z, Ciamis mungkin. Nah soal memasak ini, walaupun menyertakan biogas, tapi sumber gas utamanya tetap dari LPG. Kemarin saya lihat pick up yang mengantar beberapa tabung gas 12 kg. Maklum, banyak sekali kompor yang digunakan di restorannya, restoran semakin laris mungkin setelah dikunjungi Obama kemarin.



Ketiga, untuk operasional Bumi Langit pasti butuh kendaraan. Benar saja, di dalam saya lihat ada garasi lengkap dengan beberapa mobil. Ada Pajero seingat saya, ada juga sejenis MPV yang saya lupa merk apa, mungkin pick up yang mengantar gas juga punya Bumi Langit sendiri.

Tidak ada yang salah dengan itu semua, namanya juga kegiatan produksi. Hanya saja yang perlu diingat adalah seidealis Bumi Langit pun masih perlu bekerja sama dengan pihak lain, termasuk yang terkesan 'modern'. Sesuatu yang dulunya saya kira 'tabu' untuk Bumi Langit.

Memang kita tidak bisa menghukumi sesuatu sebagai halal atau haram. Pisau bermanfaat kalau digunakan memotong daging kurban, tapi jadi berbahaya kalau dipegang orang yang mampu melukai. Bumi Langit lokasinya di perbukitan daerah Imogiri, yakali transportasinya harus pakai dokar.

Gagasan Bumi Langit untuk menerapkan dan memasyarakatkan permaculture memang baik. Niat untuk menjaga keseimbangan dan hubungan baik manusia - alam juga mulia. Tapi bukan berarti segala hal harus organik, asli, alami, anti-modern.

Dari kunjungan pertama saya ke Bumi Langit saya belajar bahwa "ada lho ternyata orang yang idealis menjauh dari kehidupan kota dan modernitas lalu kembali ke alam sebagai pengayom sambil mencari keberkahan". Dari kunjungan kedua saya, saya belajar bahwa "segala hal tetap harus ditranslasikan karena adanya perkembangan teknologi, budaya, cara berinteraksi, dan lain lain".

Saya juga jadi tertampar. Jangan terlalu banyak pencitraan. Cepat tenar, cepat cemar, kalau omong tok tanpa memperbaiki diri !


Chandra

0 comments :

Post a Comment