Paris Happens
Sejak melangkah keluar dari stasiun kereta bawah tanah Champ de Mars, semua mata langsung tertuju ke atas menyaksikan betapa besar dan garangnya Eiffel Tower. Tempat ini adalah keajaiban dunia nomor dua yang saya kunjungi setelah Candi Borobudur di Magelang. Borobudur juga sebuah struktur yang besar, bedanya candi itu mengesankan nuansa kalem dan dingin, sementara Eiffel tampak sangar dan progresif. Bentuk dan material besinya menjadikannya punya kesan modern dan masih relevan dengan jaman. Eiffel jauh lebih mengesankan ketika disaksikan secara langsung.
Eiffel bisa dinikmati dengan menaikinya lalu memandang semua yang ada di bawah, bisa juga dilihat dari kejauhan dari arah Trocadero. Di bawahnya ada hamparan rumput hijau yang nyaman untuk piknik dan berfoto. Sebagian orang yang mementingkan dokumentasi sengaja bolak-balik naik Metro jalur 6 supaya bisa memvideokannya secara dramatis sambil jalan. Eiffel adalah landmark yang bisa dinikmati dengan berbagai macam cara.
Dari apa yang saya lihat kemarin, tidak heran kalau Paris jadi salah satu kota tujuan wisata terfavorit dunia. Eiffel itu baru salah satunya, masih ada Musee du Louvre, Arc de Triomphe, Seine River, Grande Mosquee de Paris, dan Montmartre. Pelancong dari berbagai negara, ras, dan bahasa berbaur di sana. Ada yang solo traveling, datang bersama keluarga, maupun dalam rombongan besar dengan pemandu wisata. Sejak pindah ke sini, Paris jadi salah satu bucket list yang prioritas dikunjungi. Namanya terlalu besar untuk diabaikan ketika jaraknya kini hanya beberapa jam perjalanan. Sebagai penggemar tetralogi Laskar Pelangi, kesempatan mengunjungi Paris jelas sesuatu yang tidak ingin saya lewatkan.
Sebuah pengalaman menarik di Paris Grand Mosque. Masjid ini free entry untuk muslim yang akan menjalankan ibadah salat tapi juga dibuka untuk visitor dengan membayar tiket masuk 3€. Sekitar 75% area masjid bisa diakses oleh pengunjung umum, hanya area salat yang tidak boleh. Tempat salatnya punya beberapa pintu besar yang terbuka dan terlihat dari luar sehingga orang-orang salat sambil dilihat para turis. Saya pikir ini inisiatif yang bagus untuk menunjukkan ademnya Islam ke masyarakat Perancis di tengah Islamophobia yang lumayan tinggi.
Arc de Triomphe berdiri di tengah persimpangan Charles de Gaule dan menjadi penanda kawasan belanja mewah Avenue de Champ-Elysees. Arc de Triomphe-nya sendiri tidak semengagumkan itu jika dibandingkan Eiffel kalau saya bilang, tapi kawasan di sekitarnya menawarkan pengalaman iconic walk yang sayang jika dilewatkan. Paris sebagai kota mode dan fashion terasa di sini.
Musee de Louvre dengan prisma-nya yang ikonik sudah barang tentu wajib dikunjungi. Kalau mau bisa sekalian book tiket untuk masuk ke dalamnya menyaksikan koleksi karya seni yang ada di sana, salah satunya yang paling terkenal adalah lukisan Monalisa. Waktu terbaik untuk mengunjungi Louvre ini adalah di waktu pagi atau sore ketika matahari tidak sedang terlalu terik dan di luar musim liburan sehingga tidak terlalu ramai.
Sungai Seine membentuk busur setengah lingkaran mengelilingi kota Paris dan hampir di semua titiknya cantik. Kalau nyore di sembarang pinggiran kali saja sudah asik, apalagi kalau kalinya adalah Seine. Di kanan kirinya banyak bangunan tua bersejarah yang sangat komikal. Kapal wisata dan pesiar sungai hilir mudik di aliran sungai ini. Jembatannya dibangun bukan sekedar untuk bisa dilewati orang tapi juga dipikirkan dengan matang estetikanya. Dari jembatan-jembatan ini kita bisa bertegur sapa dengan orang-orang yang melintas dengan kapal di bawah. Mungkin ada ratusan spot berbeda untuk menikmati Seine, jadi dimanapun berada melipirlah kesana dan hampir pasti ketemu tempat yang menarik.
Secara umum Paris kota yang cantik, ratusan bahkan mungkin ribuan cafe dan restoran estetik berjejer di sepanjang jalan. Bangunan lawas tersebar di area yang luas bukan hanya di pusat kotanya saja. Third space ala Eropa-nya tersebar dimana-mana. Untuk kota sebesar dan seramai ini, kualitas air dan udaranya cukup bagus. Matter of fact, perlu stiker khusus pada kendaraan yang mau masuk ke kota Paris untuk mengontrol emisinya.
Sistem transportasi dalam kotanya mencakup moda kereta, metro, tram, bis, hingga taksi yang memungkinkan menjangkau seluruh sudut kota. Tidak butuh waktu lama untuk memahami cara kerja transportasi umum di sana. Hanya saja ketika sampai di Paris harus membeli kartu khusus (navigo) dulu untuk masuk transportasi umum karena tidak bisa pakai kartu bank seperti di Belanda. Meski begitu topup bisa dilakukan lewat handphone, 1-day pass harganya 12€ sudah bisa dipakai untuk keliling kota tanpa batas sehari penuh (kecuali arah bandara, bis wisata, dan taksi).
Kami datang ke Paris dengan sedikit waswas karena kabar yang bilang bahwa di sana banyak copet, homeless, dan scammer. Scammer benar ada dan kami ketemu langsung, mereka minta tandatangan seolah untuk mendukung sebuah gerakan non profit tapi endingnya minta uang. Homeless dan beggars juga ada walaupun tidak sebanyak yang kami bayangkan sebelumnya. Tapi dalam hal keamanan alhamdulillah kami pulang tanpa kehilangan dan kekurangan suatu apapun. Beberapa sudut kota gelap dan pesing, masih lebih baik Belanda dan Indonesia (ada benefitnya jadi negara mayoritas muslim karena orang-orangnya lebih bersih). Beberapa stasiun dan kereta bawah tanahnya tampak usang dan tua, kalau saya lihat mereka lebih mementingkan headway yang singkat daripada comfort.
Kami punya limitasi dalam menikmati Paris karena tidak bisa sembarang masuk pesan makanan dan minum wine di cafe-cafe-nya seperti yang dilakukan wisatawan-wisatawan barat. Kami mengandalkan cemilan supermarket, buah, dan kebab shop untuk mengisi tenaga yang habis dipakai untuk melangkah lebih dari 16 ribu langkah sehari. Setelah bosan dengan kentang goreng dan kebab, baru di hari ketiga kami makan nasi dan mie goreng hangat dari warung Thai halal. Paris bukan yang paling muslim friendly dalam hal kuliner.
Perancis dikenal sebagai negara Eropa paling tidak bisa berbahasa Inggris. Bahkan di Paris pun kami sering menemui kesulitan dalam berkomunikasi. Pengalaman ikut les bahasa Perancis level paling basic sedikit membantu untuk sekedar nyebut bilangan angka atau mengucap terimakasih, tapi itu jelas tidak cukup.
Apakah akan kembali lagi ke Paris? Mungkin. Empat hari di sana terasa belum cukup. Tadinya saya mau juduli tulisan ini Tiba Tiba Paris tapi nggak jadi karena terlalu Vindes. Kadang saya mikir karena apa bisa ada di sini sehingga Paris hanya sepelemparan batu. Laa kuwwata illa billah..
Chandra
0 comments :
Post a Comment