Padelisme

September 27, 2025 Chandra Nurohman 0 Comments


Saya pernah nulis bahwa obrolan di lapangan badminton malam-malam selesai kerja lebih berbahaya daripada obrolan di ruang rapat. Di sana gosip-gosip underground bermunculan, informasi yang tidak semua orang tahu dibagikan, dan hal-hal yang tabu di forum resmi bisa dibicarakan. Agenda seperti ini adalah forum berharga, kalau pejabat dan pengusaha lobi-lobinya di lapangan golf, anak muda ngobrolnya di lapangan badminton.

Bahkan olahraga yang sama di tempat yang sama akan berbeda rasanya antara dilakukan malam-malam dan akhir pekan. Olahraga pagi weekend itu untuk cari keringat biar sehat, tapi olahraga malam setelah bekerja adalah untuk blowing off some steam. Maka sepengelihatan saya orang jadi lebih banyak ngomong dan terbuka. Pukulan mawut-mawut nggak masalah, yang penting pikiran plong dan pulang bisa tidur nyenyak. Apalagi seringnya selesai main masih mampir warung dulu menyelesaikan obrolan.

Saat di Bandung dan Jakarta dulu GOR sering full disewa di hari kerja jam 7-10 malam. Itu primetime-nya orang-orang pulang kerja menjalankan aktivitas olahraga seminggu sekali. Di jam-jam ini banyak first-timer yang main. Tapi nggak masalah toh tujuannya have fun bukan cari keringat. Kalau mau beneran olahraga mainnya minggu pagi bareng bapak-bapak angkatan Liem Swie King yang sampai sekarang masih belum move on dari sistem 15 poin dan pakai pindah bola.

Saat pindah dari Jakarta tahun lalu musimnya masih badminton, mini soccer mulai muncul tipis-tipis, tapi padel mungkin baru viral di Bali. Saat sekarang padel boom-nya gila-gilaan, itu nular ke diaspora Indonesia di Belanda. Saya selama ini kesulitan menemukan komunitas badminton yang English-based, eh malah ketemu grup padel yang isinya orang-orang Indonesia seumuran. Berbasis ini temennya ini, ini satu kantor sama ini, ini ketemu di pengajian, dll networknya ternyata jadi besar dan saya ketarik ke dalamnya.


Ternyata susah adaptasi dari badminton ke padel, apalagi buat saya yang belum pernah main tenis sebelumnya. Bola yang bisa mantul ternyata sangat berbeda dengan shuttlecock. Cara mukulnya juga jadi beda, badminton banyak pakai wrist, sementara padel lebih cocok pakai bahu. Baru di pertemuan kedua saya bisa sekedar pede untuk mukul, untuk bisa nge-trik butuh main lebih banyak lagi. Untungnya karena ini olahraga 'baru' jadi banyak first-timer yang juga baru masuk. 


Padel sudah banyak dimainkan di Belanda sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi sekarang ikut naik juga dengan adanya tren ini walaupun tidak semeledak itu. Di setiap kota ada lapangan padel, ada satu tempat di Arnhem yang cukup unik di mana bangunan bekas gereja disulap jadi lapangan padel lalu dinamai Holy Padel lol. Decathlon jual raket padel dari yang basic sampai yang serius. Di marktplaats juga banyak orang jual raket second.

Grup padel yang saya ikuti biasa main di Utrecht karena kota ini lokasinya central dan banyak anggotanya tinggal di sekitar sana. Grup ini memang tidak berbasis co-worker, tapi karena sesama orang Indonesia dan seumuran tetap banyak yang bisa dirasani: pemerintah Indonesia, isu imigran di Belanda, info tempat tinggal, destinasi liburan, ngrasani atasan, dan lain sebagainya. Main weekday dapatnya slot jam 10 malam, selesai setengah 12, lalu perjalanan pulang 1 jam. Sampai rumah sudah ganti hari dan ngantuk, tapi agenda untuk minggu depannya sudah dibuka lagi di aplikasi Reclub.

Chandra






0 comments: