Pelajaran dari Bapak


Saya masuk TK tahun 1999 dan sekarang 2016. Artinya saya sudah belajar di institusi sekolah selama 17 tahun, sekitar 80% dari umur saya sekarang.

Bicara tentang pendidikan, sosok yang pertama terlintas di benak saya adalah Bapak. Bukan karena beliau yang selalu membantu saya mengerjakan PR atau menemani belajar - ini Ibu yang melakukan. Bukan juga karena Bapak yang membiayai pendidikan saya - walaupun ini memang Bapak yang melakukan.

Tapi karena Bapak adalah orang paling getol mendorong saya untuk belajar setinggi-tingginya dan berkarir sebaik-baiknya. Bagi beliau pendidikan adalah investasi paling penting.

Ibu saya dibesarkan di keluarga yang berkecukupan. Kakek saya dari jalur ibu adalah seorang polisi dengan jabatan lumayan tinggi. Ibu dan saudara-saudaranya bisa belajar di sekolah dan kampus favorit. Mereka sekolah di SMA 1 Teladan atau SMA 1 Bantul. Kuliah di UGM, IKIP (sekarang UNY), atau IPP (sekarang IPDN).

Keluarga bapak saya berbeda. Mereka dari keluarga yang pas-pasan. Tapi yang sangat ditekankan kepada Bapak dan saudaranya adalah mereka harus lulus kuliah. UGM adalah kampus yang utopis bagi mereka. Bapak dan saudaranya kuliah di kampus semacam akademi pariwisara, akademi akuntansi, dll. Bapak lulus D3, kerja dulu baru melanjutkan S1.

Namun, pendidikan yang 'dipaksakan' itu menjadikan Bapak punya konsep bahwa pendidikan lah investasi terpenting untuk menciptakan generasi yang semakin baik. Itu diterapkan kepada saya dan adik.

Pernah di suatu siang di sebuah kota berjarak 7 jam dari rumah - perjalanan udara - saya sedang bersama Bapak ketika itu dan beliau berkata, 

"Nek(kalau) sekolah atau kerja di luar negeri mudik sehari perjalanan nyampe to."

Di kesempatan lain beliau berkata,

"Jadi arep(mau) neruske(meneruskan) neng ngendi(dimana) ?"

Ketika mendiskusikan studi lanjut, beliau selalu menjawab,

"Ya sak karepmu sing koe seneng dan cocok" (Ya terserah kamu, yang kamu suka dan cocok)

Itu baru beberapa contoh obrolan, belum termasuk motiavasi-motivasi beliau ketika mau ujian, lomba, atau apapun.

Bapak sangat membebaskan saya ingin jadi apa saja dan pergi kemana saja. Syarat yang diminta dari saya cuma : "Mau sekolah dan nggak nakal". Bapak mendorong saya untuk belajar setinggi-tingginya. 

Bapak juga mensupport secara materi. Pendirian Bapak adalah : jangan foya-foya, tapi kalau untuk pendidikan jangan kurang-kurang.

Sekali lagi saya tekankan karena ini adalah asbabun nuzul dari tulisan ini. "Jangan foya-foya, tapi kalau untuk pendidikan jangan kurang-kurang".

Alhamdulillah saya mendapat kost yang kondusif untuk belajar, gadget dan laptop yang memadai, kalau mau pulang tinggal beli tiket, dll. Bapak tidak mau kesusahannya ketika kuliah dulu terulang pada anak-anaknya.

Sungguh saya merasa bersalah dan merasa belum cukup bersyukur dan berusaha jika mengingat support yang diberikan kedua orang tua saya. Saya masih terlalu banyak membuang waktu dan mendustakan nikmat. Saya berhutang budi pada orang tua, dengan jumlah mendekati tak hingga.

Masih panjang perjalanan dan masih banyak tantangan yang harus saya jalani untuk memenuhi ekspektasi kedua orang tua. Saya ingin menjadi lebih dari yang beliau ekspektasikan. Mohon doanya.


And now I try hard to make it,
I just want to make you proud.
Simple Plan - Perfect


Salam,
Chandra
di kamar kost

0 comments :

Post a Comment