Bukan Tulisan Saya : Sebuah Kisah Cinta



Sebelumnya saya peringatkan, ini bukan tulisan saya. Ada seorang teman yang mengirim ini lewat LINE kemarin pagi. Saya pikir sangat bagus untuk dibaca.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


SEBUAH KISAH CINTA
Telah meriwayatkan kepada kami Ustadz @Cahyadi_Takariawan dan lafazh ini adalah dari keterbatasan ingatan @salimafillah:
Ketika itu Mbak Siti Syamsiah sudah seorang pengajar di Jurusan Teknik Kimia, Universitas Gadjah Mada. Seorang dosen cemerlang yang menyelesaikan pendidikan lanjutnya di Swedia. Adapun suaminya, Mas Rahman Sudiyo, adalah mahasiswa yang diajarnya.
Usia mereka terpaut 10 tahun. Semangat berislam dan semangat berdakwah yang mempertemukan mereka. Allah yang menganugrahi mereka cinta.
Dan Profesor yang membimbing Siti Syamsiah tak habis pikir, bagaimana wanita cerdas yang sudah bergelar Ph.D itu rela kembali lagi ke Swedia hanya untuk mendampingi suaminya belajar di jenjang S-2 dan S-3. Allah mengaruniakan pesona pada tiap manusia, dan pesona pasangan suami istri ini adalah kecintaan pada ilmu dan totalitas pengabdian yang tanpa pamrih.
Ketika mereka berdua pulang, Sang Profesor mengaku. “Baru kali ini aku bertemu muslim cerdas dan berdedikasi tinggi seperti kalian.”
Ya, karena di Swedia, citra tentang para muslim pencari suaka adalah mereka yang suka menggantungkan diri pada jaminan negara, tak merasa perlu bekerja, dan keterlibatan dalam berbagai persoalan sosial yang terasa membebani masyarakat pembayar pajak.
“Kalau Anda ingin bertemu orang-orang muslim yang jauh lebih hebat dari kami”, demikian keduanya tersenyum, “Datanglah ke Indonesia.”
Dan Sang Profesor menerima tantangan itu. Melihat para dosen dan mahasiswa yang rajin ke mushalla, menyaksikan para mahasiswi berjilbab yang begitu tekun di dalam laboratorium, dia tertegun. Universitas Gadjah Mada meruntuhkan gengsi yang selama ini membuatnya mengunci dalam-dalam keimanannya. Untuk kali kedua, dia merasa dilahirkan kembali sebagai muslim dengan kesadaran baru. Airmata di pipi menjadi saksi syahadat ulang dan komitmennya untuk mengamalkan Islam.
Mas Rahman Sudiyo dan Mbak Siti Syamsiah juga punya cita tinggi tentang pendidikan putra-putranya dan seluruh anak-anak muslim sedunia. Dengan penuh pengorbanan, mereka turut membidani berdirinya SDIT Lukman Hakim Internasional di Yogyakarta. Sang Profesor mengerahkan jejaringnya, dan decak takjub tular-menular di Eropa hingga Australia melihat guru-guru dan murid-murid sekolah islami begitu fasih berkomunikasi antar-bangsa, percaya diri, dan yakin mempresentasikan konsep-konsep pendidikan yang luar biasa.
Orang baik begitu dicintai Allah. Mas Rahman Sudiyo meninggalkan kita satu setengah tahun lalu dalam usia sekira 43 tahun. Kanker hati dari semula hepatitis menjadi jalannya menghadap Allah setelah bertahun-tahun tak diperlihatkan pada siapapun dengan kerja keras memforsir diri yang membuat iri.
Dan kemarin, Mbak Siti Syamsiah, yang juga mengidap lupus namun tak pernah mengeluh dan tak suka mengurangi segala dedikasinya untuk ilmu dan ummat meski sering hanya untuk memakai pakaian pun beliau sudah harus jeda beristirahat berulangkali, menyusul kekasih tercintanya.
Ini adalah duka kami semua, duka sedalam cinta. Ghafarallahu lahuma wa rahimahuma rahmatan wasi'ah.😭
(Ust. Salim A Fillah)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Innalillahi wainnailaihi rajiun
Mungkin kalau saya masih berdomisili di Jogja atau kuliah di UGM saya akan banyak mendengar kisah-kisah inspiratif dari beliau-beliau. Sayangnya tidak, baru kemarin saya mendapat cerita itu.
Judulnya saja "Sebuah Surat Cinta", maka bisa dipastikan salah satu point dari tulisan ini adalah kisah cinta antara Bapak Rahman Sudiyo dan Ibu Siti Syamsiah. Keduanya berselisih 10 tahun, dengan Pak Rahman lebih muda.  Bu Siti dengan setia menemani sang suami belajar di Swedia padahal sendirinya sudah selesai menjalani studi lanjut. Pasangan yang inspiratif dan pantas diteladani. Belum lagi, keduanya memiliki dedikasi yang tinggi dalam pengembangan manusia terutama melalui pendidikan. 
Beliau berdua itu sendiri-sendiri saja sudah baik, apalagi menjadi pasangan suami istri. Walaupun saya belum mengalami, tapi dalam bayangan saya menikah dan hidup berumah tangga bisa membuka kebaikan-kebaikan yang sebelumnya belum muncul. Jika masing-masing memiliki kualitas bernilai 9 dan 9. Maka jika digabungkan dalam pernikahan nilainya akan lebih dari 18.
Ndherek bela sungkawa, semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan.

Salam,
Chandra


0 comments :

Post a Comment