Apa Kabar?

Semakin hari semakin banyak yang nanya soal kabar saya di masa isolasi corona ini. Alhamdulillah saya sehat. Soal yang lain-lainnya saya mau ceritakan di sini.

Makan
Sejak corona heboh dan banyak perusahaan menerapkan WFH, omset pedagang makanan di daerah kawasan perkantoran turun drastis. Sepertinya kebanyakan dari mereka yang biasa berjualan sudah pulang kampung sejak akhir Maret.

Yang masih bertahan adalah yang memang penduduk setempat, restoran yang mengandalkan order online, dan franchise fast food. Sedangkan warung non permanen yang biasa berjualan di pinggir jalan mungkin tinggal 30% yang masih buka.

Saya sendiri sejak awal ada perintah social distancing sudah menyiapkan keperluan untuk bisa memasak di dalam kosan. Saya beli penanak nasi, teflon, panci, dan alat masak lain, serta beberapa macam sembako. Untuk kompornya kebetulan saya sudah punya kompor listrik. Air minum saya pakai galon seperti biasa.

Namun karena tidak banyak variasi masakan yang bisa saya buat, saya masih mengandalkan delivery online grabfood dan gofood. Saya pilih restoran yang memberikan promo besar sehingga sisanya bisa digunakan untuk tip saja. Rekomendasi saya untuk yang berlokasi di sekitar Kuningan/ Sudirman: Bebek BKB dan Ngikan.

Aktivitas
Sejak 4 minggu lalu tempat kerja saya sudah menerapkan WFH. Walaupun di awal sedikit kurang efektif tetapi makin kesini produktivitas makin mendekati level normal. Jam kerja saya memang jadi lebih pendek yaitu jam 9 sampai 4 sore. Siang hari tetap ada istirahat makan siang.

Di luar itu, saya baca buku, nonton film yang lalu saya buat review super singkat di instagram, nulis-nulis sedikit, riset kecil-kecilan soal beberapa hal, belajar main saham, dan main gitar. Iya saya memutuskan beli gitar untuk mengisi masa isolasi, siapa tau jadi jago mainnya habis ini.

Pagi atau sore hari saya jalan keluar untuk memastikan saya tetap bergerak minimal 6000 langkah. Biasanya sambil ke minimarket atau warung beli kebutuhan. This to preserve my sanity as well.

Komunikasi dan Hiburan
Alhamdulillah tidak ada masalah dengan jaringan internet dan listrik sehingga saya masih bisa dengan mudah terhubung dengan dunia luar. Ini sangat membantu karena di dalam kos, walaupun sesekali ngobrol dengan penghuni kanan kiri, tetap saja akan terasa sepi.

Hiburan saya di internet antara lain youtube (saya sedang suka nonton basket NBA dan video woodturning) dan film. Sejujurnya saya nonton film gratisan mengandalkan keluarga indoxxi. Masih mempertimbangkan apakah akan ambil langganan Netflix atau tidak, what do you think?

Ibadah
Jakarta termasuk kota yang gercep sejak awal meminta social distancing dan membuat himbauan untuk beribadah di rumah. Sekarang masjid-masjid di sekitar tempat tinggal saya sudah tidak menyelenggarakan salat berjamaah apalagi salat jumat. Masjid hanya dibuka untuk adzan.

Saya tidak tahu bagaimana nanti ibadah di bulan puasa yang notabene tinggal beberapa hari lagi. Kemungkinan akan jadi ramadhan paling sepi.

Transportasi
Meskipun harus physical distancing, kadang-kadang saya juga perlu pergi ke luar rumah. Saya yang sebelumnya sangat mengandalkan angkutan umum atau online sekarang beralih pakai motor sendiri untuk kemana-mana. Kalau tidak terlalu jauh saya memilih jalan kaki.

Sekarang pemprov DKI Jakarta sudah secara resmi menerapkan PSBB. Layanan transportasi umum di Jakarta dipangkas dan kapasitas dibatasi hanya 50% kapasitas normal.

Apa lagi ya yang perlu ditulis? Nanti diupdate kalau kepikiran. Stay safe everyone, sehat sehat. Begini banget ya jadi saksi sejarah dunia.

Doa

Ya Allah
Kami manusia yang sangat terbatas
Memohon kepadaMu yang tak terbatas

Jika kami memilih pilihan yang benar
Jadikanlah pilihan itu jalan menuju kebaikan yang lebih besar

Jika kami memilih pilihan yang salah
Hindarkanlah kami dari keadaan yang bisa membuat kami lebih salah lagi
Berikanlah kemudahan untuk kami menyadari kesalahan
Berikanlah kerendahan hati untuk menerima pelajaran
Dan berikanlah kesabaran untuk menunggu waktu dimana kami bisa memperbaiki pilihan

Man arofa nafsahu faqad arafa rabbahu

Apa yang terjadi ketika social distancing (atau physical distancing)? Pertama jelas kita jadi lebih jarang ketemu orang. Kita mungkin masih chatting, telepon, video conference, saling lihat di media sosial, dll. Tapi itu semua tetap tidak akan lebih banyak daripada interaksi yang biasanya terjadi.

Kita (terutama yang ngekos seperti saya), dibuat sadar bahwa selama ini kita diatur oleh sistem. Lebih tepatnya kita dibantu mengatur diri. Keharusan untuk keluar rumah memaksa kita untuk sarapan dan mandi pada waktunya. Sengantuk-ngantuknya kita belum tentu bisa istirahat siang karena selalu ada orang di sekitar kita. Banyak keputusan-keputusan sederhana yang ternyata selama ini pengaturannya datang dari luar diri kita.

And then what? Otoritas pengaturan diri itu saat ini dibebankan seluruhnya pada masing-masing individu. Ketika pandemi Covid-19 ini nanti sudah reda (dan semoga segera) akan terlihat mana orang yang memanfaatkan waktu sendirinya dengan optimal dan mana yang tidak.

Sudah hampir separuh bulan Maret lumpuh. Bagaimana jika ini nanti terjadi selama 1 atau 1,5 atau 2 bulan? Perhatikan ilustrasi berikut:


We don't want to go the whole year with this pandemic, but 30 instead of 365 will be ridiculous as well

Orang bisa ngaku 'aku udah selesai dengan diriku kok, mau coba hal baru'. Tapi virus ini akan membuktikan sejauh apa masing-masing dari kita mampu mengontrol diri sendiri. It has some positive sides tho..

Banyak aktivitas bermanfaat yang bisa dilakukan dalam masa-masa mengurung diri ini. Memperbanyak ibadah, berjemur sejenak di pagi hari, membaca lebih banyak buku, mencoba resep masakan baru, belajar main musik, fitnes di dalam rumah, mengembalikan pola tidur tepat waktu, dan lain sebagainya.

Setelah semua ini berlalu, katakanlah satu bulan lagi, apakah kita akan menjadi orang yang membuang 1,5 bulannya sia-sia atau menjadi orang yang fresh, sehat, dan punya kebiasaan-kebiasaan baik yang baru. Man arofa nafsahu faqad arafa rabbahu.

Semangat semuanya, we got to be strong. #dirumahaja

Jual HP Langsung Laku dari Rumah!

Hari ini saya mencoba salah satu fitur yang ada di Tokopedia. Fitur ini namanya Langsung Laku, yaitu sebuah channel untuk menjual handphone bekas kita. Kebetulan saya mau jual dua hp saya yaitu Iphone 6s dan Blackberry Aurora (iya saya sebelumnya pakai BB Android). Iphone saya jual karena baterai sudah sangat drop dan mulai sering restart sendiri ditambah switch silent mati karena pernah jatuh. BB saya jual karena memang sudah tidak dipakai.

Kalau mau tahu apa itu Langsung Laku cek video ini aja. Saya yakin prosedurnya lebih enak disimak di video berikut daripada saya tulis disini. Check this out


Sebelum lanjut pastikan udah nonton videonya ya, biar nyambung hehe

Ada beberapa alasan kenapa Langsung Laku ini jadi fitur yang menarik menurut saya. Pertama karena kemudahannya, kedua harganya tawarnya, ketiga karena Loophole di dalamnya.

Cozy
Kalau sudah nonton video itu pasti tahu kalau sistem jualnya adalah hp yang akan dijual di-pickup di tempat kita. Kita bisa masukkan alamat rumah atau kantor sesuai kenyamanan.

Untuk saat ini fitur Langsung Laku menggandeng kurir AnterAja untuk proses pickupnya. Kita nggak perlu kemana-mana, cukup standby di rumah dan hp akan diambil. Dalam kondisi pandemi coronavirus seperti sekarang ini tentu sistem jemput bola sangat membantu.

Selain tidak perlu pergi kemana-mana, kita juga tidak perlu berhadapan dengan para penjual handphone di toko-toko yang kadang menyebalkan. Proses juga jadi sangat cepat karena ketika barang di-pickup hanya dicek nomor IMEI saja, sedangkan kalau kita jual hp ke toko pasti dicek semua fiturnya plus dicari-cari kekurangannya supaya mereka (toko) bisa beli dengan harga murah, namanya juga usaha.

Harga
Harga yang ditawarkan oleh Tokopedia kira-kira sama dengan harga tawar toko-toko. Saya tahu karena kebetulan saya lumayan sering berinteraksi dengan orang yang bisnis handphone. Kuncinya adalah saat ambil foto handphone pastikan terlihat jelas dan tampak mulus. Dengan begitu, penawaran akan tinggi.

BB saya ditawar 450K, harga yang wajar mengingat usia pemakaian, merk yang nggak populer, kualitas, dan harga jual kembalinya. Iphone 6s saya ditawar 1450K. Harga yang sangat berterima karena kondisi hp sudah nggak sehat-sehat amat dan jelas ada minusnya.

Inilah kelemahan Langsung Laku, tesnya tidak lengkap jadi tidak semua minus terdeteksi!

Loophole
Sesuai video di atas, komponen yang dicek hanya tombol volume up, volume down, tombol back (touch), touchscreen, wifi, kapasitas, dan accelerometer. Akibatnya matinya switch silent di Iphone saya tidak terdeteksi.

Kalau yang biasa pakai Iphone pasti tahu istilah Battery Health. Baterai saya sudah drop, tapi ini juga tidak terdeteksi. Kalau misalnya ada komponen yang pernah diganti misal kamera atau speaker sepertinya juga tidak akan ketahuan. Kalaupun ketahuan, tidak akan jadi pertimbangan penawaran.

Langsung Aja juga tidak meminta pemilik hp untuk menyertakan kotak hp, charger, headset, dan aksesoris lainnya. Jadi handphone batangan pun dapat dijual dengan mudah disini.

Kemudahan untuk tidak perlu keluar rumah dan harga yang kompetitif sebab adanya loophole itu membuat saya merasa beruntung memilih cara ini untuk menjual handphone. Kalau teman-teman juga ada rencana untuk menjual handphonenya, Langsung Laku boleh dicoba. Kalaupun tidak cocok dengan tawaran harganya, kita bisa membatalkan tanpa ada kerugian apapun.

Cheers!

Isolasi

Masih dalam rangka corona, sebagai seorang introvert akut (pernah test sampe dapat introvert 80%), harusnya social distancing bukan masalah. Bahkan kalau bisa malah inisiatif isolasi diri sejak dini. Faktanya, ini memang sudah saya lakukan sejak hari Sabtu tanggal 14 kemarin.

Meski begitu saya nggak bisa sepanjang hari mengurung diri. Entah kenapa badan ini malah jadi anget kalau hanya berdiam di dalam ruangan 9 meter persegi ini. Dalam darurat virus begini badan anget dikit ngeri sendiri membayangkan yang tidak-tidak. Ternyata solusinya jalan keluar kosan 15-30 menit.

Kayanya ini gara-gara trauma. Walaupun badan alhamdulillah sehat, tapi situasi isolasi begini melempar pikiran saya ke tahun 2015 waktu kena cacar, Ya, saya kena cacar pas udah gede, awal semester 4 kuliah, dan kata google ternyata kena cacar pas dewasa akan lebih parah daripada kalau kena pas masih bocah. Waktu itu dua minggu saya bedrest termasuk skip the whole minggu pertama kuliah.

Posisi waktu itu sudah di Bandung karena ada acara perwalian dan lain sebagainya. Saya kemana-mana pakai masker, takut nular sekaligus takut ditanya kenapa. Maklum muka bentol-bentol khas cacar.

Empat hari saya mengisolasi diri di dalam kamar. Saat itu belum ngetren yang namanya food delivery jadi kalau mau makan ya harus jalan ke luar. Malas keluar = kelaparan. Obat dari dokter sampai habis belum sembuh juga. Ditambah kepikiran udah mau mulai kuliah dan harus muncul dengan bekas-bekas cacar di wajah.

Yang menemani saya waktu itu hanya tv yang saya nyalakan sekedar sebagai backsound. Nggak saya tonton karena lagi heavy rotation video klipnya OK GO di YouTube. Satu lagu yang spaling sering diulang judulnya Writings On The Wall. Lagunya bagus, video klipnya bagus banget. Saking seringnya, sekarang kalau muter lagu itu saya psikosomatis juga.

Setelah 4 hari akhirnya memutuskan pulang ke Bantul sebelum masuk kuliah. Selain Bantul nggak sedingin Bandung, namanya di rumah pasti selalu tersedia makanan haha

Alhamdulillah sekarang lebih baik. Saya mengurung diri dalam kondisi sehat dan menikmati hidup. Kemarin sabtu men-set-up dapur di dalam kamar berbekal kompor yang dulu dibawa dari Bandung. Kondisi di luar makin kacau. Orang-orang mulau mengurangi keluar rumah walaupun tadi saya lihat sepanjang jalan Karbela biasa saja seperti tidak kejadian apa-apa.

Semoga masalah corona ini masih dapat tertangani ya. Masyarakat menjaga diri dengan sosial distancing, semua pihak memahami kondisi upnormal ini, dan pemerintah berhenti denial!

Coronavirus


Paling susah adalah melawan musuh yang nggak keliatan, tapi cepet nular. Dua bulan yang lalu manusia masih dengan pedenya menganggap diri sebagai pengendali dunia. Sekarang kita dibuat kocar-kacir oleh entitas yang sangat kecil bernama virus corona.

Perasaan saya sudah nggak enak waktu baca breaking news soal munculnya virus baru yang belum ada obatnya di sebuah supermarket di Wuhan, China. Waktu itu hanya seperti sebuah bencana lokal di sebuah kota di China. Lama-lama kondisi disana makin parah. Dimulai dari Wuhan satu per satu kota lockdown termasuk kota-kota penting seperti Beijing.

Kalau ibarat di sebuah sekolah, China adalah anak nerd yang nggak begitu disukai teman-teman sekelasnya. Sama orang barat, China dianggap penjahat ekonomi karena produk bajakan kualitas rendahnya serta hobi perang dagang. Sama tetangganya Jepang Korea mereka nggak akur, bahkan dengan Hongkong yang masih saudara dekat sering bertengkar. Di Indonesia etnis China dibenci karena kaya-kaya dianggap itungan dan anti mayoritas. China menderita nyaris tanpa bantuan, bahkan mendapat cemoohan rasis.

Masalahnya virus nggak kenal batas negara. Dengan seenaknya dia nyebrang ke negara-negara tetangga dan negara yang banyak dikunjungi orang China. Cilakanya orang yang bawa kadang nggak tau kalau dia ketitipan.

Asia timur kena, Eropa dan US ngimpor, Asia bagian yang lain ikut kena, Timur Tengah nggak kelewat, negara tetangga kita macam Malaysia, Singapura, Filipina kena. Akhirnya setelah merasa kebal karena terbiasa minum es dari air mentah, Indonesia ngaku kalau kena juga.

Virus juga nggak pandang bulu. Awalnya hanya orang-orang biasa. Lama-lama public figure, petinggi negara, selebritis, dan atlet dunia juga terkonfirmasi positif Covid-19. Jarang-jarang ada keadaan dimana pejabat punya resiko yang sama dengan rakyat...

Pemerintah ini memang agak ngeselin. Memonopoli informasi yang beredar di masyarakat. Kalau masih ingat, waktu itu case 1 dan case 2 corona di Indonesia yang berinisiatif melapor dan meminta diperiksa adalah pasien sendiri, dan ternyata positif, lalu diisolasi. Waktu itu pemerintah sudah nggak punya pilihan. Kalau mau mengelak tinggal nunggu waktu pasien ini bicara sendiri di media dan terbuka semuanya. Pemerintah akhirnya mengumumkan.

Hari-hari selanjutnya pasien positif terus bertambah. Per sore ini hari Sabtu tanggal 14 Maret sudah 96 teridentifikasi positif menurut task force corona bentukan presiden. Lagi-lagi pemerintah nganyeli dengan ambil tindakan tegas. Justru orang-orang di bawahnya lebih aktif.

Solo sudah menetapkan KLB, Jakarta menutup tempat umum dan sekolah, Sleman sudah menutup sekolah, universitas mengubah cara pengajaran jadi online/jarak jauh. Beberapa kantor mengijinkan work from home. Orang-orang di daerah dan institusi bergerak membuat keputusan.

Memang susah jadi pemerintah. Kalau mereka banyak bicara bisa-bisa masyarakat tambah panik. Kalau ada lockdown maka negara terancam lumpuh, apalagi Jakarta. Orang-orang yang mencari nafkah dari hari ke hari akan susah. Orang yang punya uang pun akan bermasalah karena buat apa punya uang kalau toko nggak ada yang buka, uang nggak bisa dimakan.

Masalah lain Indonesia itu harus diakui negara yang nggak kaya-kaya amat. Tidak seperti Singapura Jepang Korsel yang punya dana tak terbatas untuk mengatasi dampak corona. Ibaratnya Singapura adalah rumah tangga kaya yang akan melakukan apapun at all cost demi kesehatan dan keselamatan keluarganya. Sedangkan Indonesia adalah keluarga biasa saja yang nggak punya dana untuk hal hal luxury, lebih parah lagi, keluarga ini anaknya banyak.

Dampak corona nggak akan bisa dihindari. Korban pasti ada, ekonomi pasti turun. Tapi sebelum petugas medis ngeri tertular corona, pemilik usaha kecil menutup tokonya, dan abang ojol kesulitan tutup poin, pemerintah harus siap kalau nanti jadi yang pertama babak belur.

Terakhir, WTF orang yang ngakat duta imunitas corona di saat-saat begini!!!

Setiap Jam di Jakarta Rush Hours



Saat masih di Jogja bisa dibilang saya jarang pergi ke luar kota. Lebih jarang lagi pergi untuk tujuan liburan. Perjalanan yang saya alami lebih banyak karena urusan sekolah dan semacamnya. Pertama kali naik pesawat, pertama kali ke luar negeri, tujuannya keperluan akademik, lomba lah, pertukaran pelajar lah. 

Ketika saya pindah ke Bandung tahun 2013 saya menemukan konsep yang sebelumnya jarang saya pikirkan. Ternyata ada sebagian orang yang menjadikan 'liburan tahunan' sebagai sebuah rutinitas. Saya mulai menjumpai pertanyaan 'tahun ini liburan kemana?', 'tahun baru kemana?'. Walaupun disebut liburan tahunan pada prakteknya bisa 2 sampai 2 kali dalam setahun.

Bukannya saya nggak pernah liburan, pernah. Tahun baruan di luar kota juga pernah. Tapi itu nggak rutin. Sebagian besar tahun baru di masa ABG saya dihabiskan bersama teman pemuda sekampung atas instruksi bapak untuk sering-sering bermasyarakat dengan tetangga kiri kanan. 

Liburan juga pernah ke Jakarta, Kalimantan, Lombok, dll tapi lebih banyak waktu libur sekolah dihabiskan di rumah aja. Kalau ke luar kota biasanya ke tempat saudara yang lokasinya nggak jauh-jauh amat dari Jogja. Sedangkan liburan yang benar-benar private sekeluarga sangat jarang dan memang sepertinya bukan begitu budayanya.

Ketenangan hidup di daerah mungkin berpengaruh ya. Jadi nggak merasa liburan sebagai kebutuhan yang harus disegerakan. Wisata kuliner bersama keluarga dan mampir di beberapa tempat wisata dalam kota saja sudah lebih dari cukup. Say it, mungkin hampir semua tempat makan ikonik di Jogja sudah pernah saya coba.

Tapi ketenangan ini agak sulit di dapatkan di Jakarta. Sebagai sebuah kota metropolitan, disini orang-orang sangat bersemangat mengejar impiannya (ini bahasa halusnya) dan mencari uang (ini realistisnya). Banyak hal diukur secara materialistis. Jadinya orang sibuk dan kemrungsung. 

Tidak heran kalau Bogor dan Bandung selalu macet di akhir pekan. Orang Jakarta ingin ngadem. Ngadem dari suhu Jakarta yang lumayan hot, dan ngadem menjauh dari rutinitas yang menekan di lima hari lainnya. Orang Jakarta sangat menghargai weekend (setidaknya lebih dari Jogja dan Bandung), yang ini saya suka.

Secara pekerjaan, bekerja di Jakarta atau kota besar lainnya belum tentu lebih berat daripada di daerah suburban. Tapi tekanan untuk terus bergerak dan perform itu membuat banyak orang Jakarta bundet pikirannya. Nggak heran kalau liburan tahunan jadi agenda yang nggak pernah lupa dijadwalkan. 

Dengan standar penghasilan ibukota yang lumayan tinggi memang memudahkan orang-orang ini untuk pergi ke luar kota bahkan luar negeri. Adil sih, setelah hari-hari yang menguras energi menyempatkan waktu dan biaya untuk self reward bisa dimaklumi. 

Saya senang jalan-jalan ke luar negeri. Tapi untuk saat ini destinasi yang selalu ingin saya kunjungi ya pulang ke rumah, ke Jogja. Hari Jumat dimana saya sudah booking tiket untuk pulang ke Jogja sore harinya selalu susah untuk fokus bekerja, karena sudah kebayang pulang. Lalu hari Minggunya selalu eman-eman untuk cepat pulang. Tapi bagaimanapun banyak hal ke depan harus disiapkan 

-chandranurohman-