Low Hanging Fruit



Sebagai orang yang tidak belajar software engineering secara akademis, saya sadar bahwa untuk berkarir di dunia IT modal saya tidak sebaik teman-teman yang memang belajar itu selama bertahun-tahun. Saya lulusan teknik penerbangan. Kalau ditanya spontan di jalan, saya lebih lancar menjelaskan tentang aerodinamika daripada perbedaan list, map, dan set di Java. Ibaratnya buah matang di pohon sama dikarbit tetep beda manisnya.

Saya itu career switch antara sengaja dan nggak sengaja. Saya mendapat pekerjaan pertama di bidang IT lebih karena koneksi daripada seleksi. Dari sana saya jadi masuk semakin jauh sampai saat ini aktivitas hari-hari saya sama sekali tidak berhubungan dengan aerospace. Pesawat terbang saya simpan sebagai hobi saja.

Baru di tahun ke-4 bekerja saya memiliki sedikit bayangan industri ini seperti apa. Sebelumnya saya bekerja dari hari ke hari saja, menyelesaikan pekerjaan yang diminta dengan apa yang saya bisa. Saya belum ngegrip sampai sempat juga berpikir untuk insyaf kembali berkarir di bidang penerbangan. (Yes, mindset saya sejauh ini memang untuk bekerja profesional, saya belum terpikir menjadi entrepreneur atau aktivitas produktif lainnya)

Saya katakan saya relate dengan tweet di atas karena mungkin selama ini itu yang saya rasakan dan alami tapi tidak bisa saya katakan. Kenapa tidak bisa? karena saya belum bisa mendefinisikan secara mantap dimana saya berada sekarang dan mau mengarah kemana.

Catching low hanging fruit. That's exactly what I've been doing for the last couple of years. Saya ambil kesempatan bekerja di posisi yang tidak mengharuskan punya keterampilan bahasa pemrograman level native. Fortunately, ternyata low hanging fruit ada yang lumayan matang dan manis.

Tapi ini masih jauh dari selesai. Kalau mau memetik buah yang lebih tinggi tentu ada harga yang harus dibayar: work on skills at nights. Inspiration gets you started, discipline takes you there. Apalagi kalau there-nya adalah winter olympics.


Chandra

0 comments :

Post a Comment