Paris Happens


Sejak melangkah keluar dari stasiun kereta bawah tanah Champ de Mars, semua mata langsung tertuju ke atas menyaksikan betapa besar dan garangnya Eiffel Tower. Tempat ini adalah keajaiban dunia nomor dua yang saya kunjungi setelah Candi Borobudur di Magelang. Borobudur juga sebuah struktur yang besar, bedanya candi itu mengesankan nuansa kalem dan dingin, sementara Eiffel tampak sangar dan progresif. Bentuk dan material besinya menjadikannya punya kesan modern dan masih relevan dengan jaman. Eiffel jauh lebih mengesankan ketika disaksikan secara langsung. 



Eiffel bisa dinikmati dengan menaikinya lalu memandang semua yang ada di bawah, bisa juga dilihat dari kejauhan dari arah Trocadero. Di bawahnya ada hamparan rumput hijau yang nyaman untuk piknik dan berfoto. Sebagian orang yang mementingkan dokumentasi sengaja bolak-balik naik Metro jalur 6 supaya bisa memvideokannya secara dramatis sambil jalan. Eiffel adalah landmark yang bisa dinikmati dengan berbagai macam cara. 

Dari apa yang saya lihat kemarin, tidak heran kalau Paris jadi salah satu kota tujuan wisata terfavorit dunia. Eiffel itu baru salah satunya, masih ada Musee du Louvre, Arc de Triomphe, Seine River, Grande Mosquee de Paris, dan Montmartre. Pelancong dari berbagai negara, ras, dan bahasa berbaur di sana. Ada yang solo traveling, datang bersama keluarga, maupun dalam rombongan besar dengan pemandu wisata. Sejak pindah ke sini, Paris jadi salah satu bucket list yang prioritas dikunjungi. Namanya terlalu besar untuk diabaikan ketika jaraknya kini hanya beberapa jam perjalanan. Sebagai penggemar tetralogi Laskar Pelangi, kesempatan mengunjungi Paris jelas sesuatu yang tidak ingin saya lewatkan.


Sebuah pengalaman menarik di Paris Grand Mosque. Masjid ini free entry untuk muslim yang akan menjalankan ibadah salat tapi juga dibuka untuk visitor dengan membayar tiket masuk 3€. Sekitar 75% area masjid bisa diakses oleh pengunjung umum, hanya area salat yang tidak boleh. Tempat salatnya punya beberapa pintu besar yang terbuka dan terlihat dari luar sehingga orang-orang salat sambil dilihat para turis. Saya pikir ini inisiatif yang bagus untuk menunjukkan ademnya Islam ke masyarakat Perancis di tengah Islamophobia yang lumayan tinggi.


Arc de Triomphe berdiri di tengah persimpangan Charles de Gaule dan menjadi penanda kawasan belanja mewah Avenue de Champ-Elysees. Arc de Triomphe-nya sendiri tidak semengagumkan itu jika dibandingkan Eiffel kalau saya bilang, tapi kawasan di sekitarnya menawarkan pengalaman iconic walk yang sayang jika dilewatkan. Paris sebagai kota mode dan fashion terasa di sini.



Musee de Louvre dengan prisma-nya yang ikonik sudah barang tentu wajib dikunjungi. Kalau mau bisa sekalian book tiket untuk masuk ke dalamnya menyaksikan koleksi karya seni yang ada di sana, salah satunya yang paling terkenal adalah lukisan Monalisa. Waktu terbaik untuk mengunjungi Louvre ini adalah di waktu pagi atau sore ketika matahari tidak sedang terlalu terik dan di luar musim liburan sehingga tidak terlalu ramai.

Sungai Seine membentuk busur setengah lingkaran mengelilingi kota Paris dan hampir di semua titiknya cantik. Kalau nyore di sembarang pinggiran kali saja sudah asik, apalagi kalau kalinya adalah Seine. Di kanan kirinya banyak bangunan tua bersejarah yang sangat komikal. Kapal wisata dan pesiar sungai hilir mudik di aliran sungai ini. Jembatannya dibangun bukan sekedar untuk bisa dilewati orang tapi juga dipikirkan dengan matang estetikanya. Dari jembatan-jembatan ini kita bisa bertegur sapa dengan orang-orang yang melintas dengan kapal di bawah. Mungkin ada ratusan spot berbeda untuk menikmati Seine, jadi dimanapun berada melipirlah kesana dan hampir pasti ketemu tempat yang menarik.


Secara umum Paris kota yang cantik, ratusan bahkan mungkin ribuan cafe dan restoran estetik berjejer di sepanjang jalan. Bangunan lawas tersebar di area yang luas bukan hanya di pusat kotanya saja. Third space ala Eropa-nya tersebar dimana-mana. Untuk kota sebesar dan seramai ini, kualitas air dan udaranya cukup bagus. Matter of fact, perlu stiker khusus pada kendaraan yang mau masuk ke kota Paris untuk mengontrol emisinya.

Sistem transportasi dalam kotanya mencakup moda kereta, metro, tram, bis, hingga taksi yang memungkinkan menjangkau seluruh sudut kota. Tidak butuh waktu lama untuk memahami cara kerja transportasi umum di sana. Hanya saja ketika sampai di Paris harus membeli kartu khusus (navigo) dulu untuk masuk transportasi umum karena tidak bisa pakai kartu bank seperti di Belanda. Meski begitu topup bisa dilakukan lewat handphone, 1-day pass harganya 12€ sudah bisa dipakai untuk keliling kota tanpa batas sehari penuh (kecuali arah bandara, bis wisata, dan taksi).

Kami datang ke Paris dengan sedikit waswas karena kabar yang bilang bahwa di sana banyak copet, homeless, dan scammer. Scammer benar ada dan kami ketemu langsung, mereka minta tandatangan seolah untuk mendukung sebuah gerakan non profit tapi endingnya minta uang. Homeless dan beggars juga ada walaupun tidak sebanyak yang kami bayangkan sebelumnya. Tapi dalam hal keamanan alhamdulillah kami pulang tanpa kehilangan dan kekurangan suatu apapun. Beberapa sudut kota gelap dan pesing, masih lebih baik Belanda dan Indonesia (ada benefitnya jadi negara mayoritas muslim karena orang-orangnya lebih bersih). Beberapa stasiun dan kereta bawah tanahnya tampak usang dan tua, kalau saya lihat mereka lebih mementingkan headway yang singkat daripada comfort.


Kami punya limitasi dalam menikmati Paris karena tidak bisa sembarang masuk pesan makanan dan minum wine di cafe-cafe-nya seperti yang dilakukan wisatawan-wisatawan barat. Kami mengandalkan cemilan supermarket, buah, dan kebab shop untuk mengisi tenaga yang habis dipakai untuk melangkah lebih dari 16 ribu langkah sehari. Setelah bosan dengan kentang goreng dan kebab, baru di hari ketiga kami makan nasi dan mie goreng hangat dari warung Thai halal. Paris bukan yang paling muslim friendly dalam hal kuliner. 

Perancis dikenal sebagai negara Eropa paling tidak bisa berbahasa Inggris. Bahkan di Paris pun kami sering menemui kesulitan dalam berkomunikasi. Pengalaman ikut les bahasa Perancis level paling basic sedikit membantu untuk sekedar nyebut bilangan angka atau mengucap terimakasih, tapi itu jelas tidak cukup. 


Apakah akan kembali lagi ke Paris? Mungkin. Empat hari di sana terasa belum cukup. Tadinya saya mau juduli tulisan ini Tiba Tiba Paris tapi nggak jadi karena terlalu Vindes. Kadang saya mikir karena apa bisa ada di sini sehingga Paris hanya sepelemparan batu. Laa kuwwata illa billah..


Chandra

Eet Smakelijk!


Tidak perlu terlalu banyak berkata-kata, cuma mau taruh foto-foto makan siang ala Belanda. Gimana rasanya adaptasi dari universe nasi padang, soto, dan bakmi ke roti, salad, dan keju?


Surprisingly saya cocok dengan sopnya, rasanya gurih hangat dan teksturnya kental, biasanya isinya asparagus, prei, atau ui. Untuk keju yang paling cocok adalah varian jong belegen karena empuk dan rasanya ringan. 

Kadang saya ambil tortilla dan/atau roti tawar. Biasanya orang-orang membikinnya jadi sandwich dengan diisi daging, tapi karena saya menghindari perhewanan jadi biasanya cuma saya isi keju dan sayur. 

Saya juga ambil satu bun roti yang nantinya diolesi mentega, andalan dari dulu kalau sarapan di hotel. Telur rebus dan pisang biasa saya ambil untuk dikantongi biar nanti bisa dimakan ketika lapar. Minumnya jus jeruk atau ladang-kadang infused water.

Soal rasa memang butuh adaptasi tapi lama-lama lidah cocok juga. Justru yang agak ribet adalah cara makan. Sebagai orang yang biasa makan ngadep tumpukan nasi dan lauk di atas piring dan makan dengan sendok, makan model seperti ini jujur agak ribet.

Tidak setiap hari saya makan seperti ini karena tidak tiap hari pula WFO dan kalaupun di kantor kadang-kadang makan siangnya bawa bekal. Tapi inilah salah satu realita yang harus diterima tanpa menjadi kagetan: cara makan ala barat, tidak bisa asal makan daging, dan tidak ada rasa pedas.


Eet smakelijk,
Chandra

Menjadi Imigran


Secara umum orang Belanda tidaklah rasis, mereka justru termasuk toleran dan ramah. Tapi housing crisis dan naiknya biaya hidup mau tidak mau meningkatkan tekanan di masyarakat. Ditambah dengan ulah beberapa oknum imigran, persepsi orang Belanda terhadap pendatang tidak sedang dalam tren positif.


Populasi sebuah negara naik itu biasa bahkan perlu. Tapi ada beda antara naik karena angka kelahiran dan naik karena imigran. Lahirnya 1 juta anak-anak beda dengan datangnya 1 juta orang dewasa baru dalam kaitannya dengan housing, lapangan kerja, dan hubungan sosial. Masuknya banyak imigran ke Belanda ini di satu sisi diperlukan karena negara ini perlu lebih banyak orang untuk menggerakkan ekonominya, tapi di sisi lain dampak sosial yang ditimbulkan kadang tidak sesuai yang diharapkan dan sulit dikendalikan.

Orang-orang Eropa timur banyak datang untuk bekerja. Secara umum mereka disambut baik karena mau mengerjakan hard labour yang dihindari para dutchies. Pendatang dari Polandia misalnya, mereka terkenal banyak bekerja di pergudangan dan ekspedisi. Banyaknya jumlah mereka membuat toko-toko Polandia yang menjual barang-barang impor dari Eropa timur tersebar dimana-mana, on par dengan toko Asia/oriental.

Sementara pendatang dari Asia Timur dan Tenggara, meskipun secara looks sangat berbeda dengan orang lokal, mereka tidak banyak tingkah, willing to integrate, sopan, dan restoran-restorannya dikenal enak sehingga jarang dianggap masalah. Kelompok ini juga datang dengan tujuan yang jelas seperti belajar atau bekerja. Mereka juga secara umum tidak terlalu menancapkan akar di sini, artinya punya rencana untuk setelah sekian tahun akan keluar dari Belanda, entah kembali ke negara asal atau pindah ke negara lain. 

Khusus untuk Indonesia, orang Belanda seperti punya soft spot karena hubungan sejarah dan banyaknya orang Indonesia yang menikah dengan locals. Bahkan menurut agency statistika pemerintah Belanda, Indonesia dikategorikan sebagai 'westeners' bersama orang-orang dari Eropa, US, Australia, NZ, dan Jepang. Posisi Indonesia semakin unik karena semua itu terjadi di tengah fakta bahwa mayoritas pendatangnya culturally atau nominally Muslim. This brings us to the next point.

Paham sekuler mulai berkembang di Belanda sejak tahun 1960an. Kini agama semakin ditinggalkan dan dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Merry Christmas diganti dengan Happy Holiday, Sinterklas bukanlah Santa Claus, minggu bukan lagi hari yang sakral, dan gereja-gereja semakin sepi bahkan kosong. Orang Belanda bukan meninggalkan kekristenan, tapi meninggalkan agama secara umum. Maka ketika banyak migran dari negara muslim datang, membentuk komunitas, membangun masjid, dan menjalankan agamanya, mereka tidak 100% disambut hangat, I'll put it that way.

Inilah kenapa migran dari MENA (Middle East & North Africa) tidak seberterima migran dari Eropa Timur dan Asia. Selain faktor propaganda media barat soal dunia Islam, pendatang dari MENA ini memang lebih ekspresif dalam beragama jika dibandingkan migran Indonesia atau Malaysia. Mereka membangun tempat ibadah yang besar dan kelihatan bahwa itu masjid, lalu menjadikan lingkungannya terlihat terlalu Arabic/Turkish. Banyak diantara mereka yang pindah kesini memang untuk menetap dan membentuk keluarga besar. As a muslim mungkin tidak masalah, tapi kalau dilihat dari kacamata warga lokal wajar kalau mereka merasa risih.

Belum lagi oknum-oknum seperti 'arab kids on fatbike' menjadikan kelompok ini overrepresented dalam pemberitaan-pemberitaan negatif. Bahkan ketika banyak dari imigran MENA ini bisa berbahasa Belanda dan lebih terintegrasi, itu tampak tidak terlalu menolong di tengah kondisi masyarakat yang capek sebab biaya hidup yang makin tinggi dan housing yang makin susah dicari. 

Melihat imigran dari sudut pandang locals, wajar jika mereka terganggu dengan influx yang tak terkendali. Apalagi jika para pendatang ini membawa dan menunjukkan warna hidup yang berbeda dan mencolok. Saya membayangkan jika sedang makan di sebuah restoran di Jakarta lalu tidak ada satupun dari pelayannya yang bisa bicara bahasa Indonesia tentu menyebalkan sekali. Itulah yang juga dirasakan dan ditakutkan orang Belanda asli ketika harus menggunakan bahasa Inggris untuk keperluan sehari-hari karena lawan bicaranya belum bisa Dutch. Meskipun mereka terkenal sangat fasih berbahasa Inggris, tapi hassle-hassle kecil seperti ini akan tetap terasa melelahkan.

Belum lagi para pendatang mengisi posisi-posisi di pekerjaan secara tidak merata. Industri-industri yang berkembang di Belanda banyak menyerap tenaga kerja luar negeri, tapi sektor seperti healthcare dan pendidikan tidak. Maka seolah semua baik-baik saja padahal nyatanya anak-anak akan belajar di ruang kelas yang semakin penuh dan orang-orang perlu mengantre lebih lama untuk mendapat layanan kesehatan atau sekedar terdaftar di general practicioner. Itu efek-efek sosial lain yang disebabkan imigrasi.

Tapi sebenarnya kemarahan ini tidak semata-mata ditujukan pada para migran, tapi juga pada pemerintah Belanda yang dianggap terlalu santai dan terbuka terhadap pendatang. Pemerintah dianggap menerima terlalu banyak pencari suaka dan memberikan terlalu banyak benefit terhadap pendatang. Di sisi lain pemerintah dibilang lamban dalam menyediakan housing baru sehingga kini terjadi krisis hunian. 

Tapi pemerintah juga kepepet karena kebutuhan industri tidak bisa dipenuhi oleh tenaga kerja dari dalam negeri saja. Bahkan ketika corak pemerintah Belanda kini sayap kanan, tekanan dari industri seperti ASML sangat kuat hingga pemerintah tidak bisa begitu saja menutup keran imigrasi. Kalau perusahaan dilarang merekrut dari luar mereka akan mencabut usahanya dari Belanda yang berarti hilangnya potensi ekonomi yang sangat besar. 

Terakhir, dari sisi migran, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung mestinya bukan sekedar peribahasa. Penting sekali menghargai budaya dan komunitas lokal selama itu tidak bertentangan dengan prinsip. Orang Belanda itu sudah sangat baik mentolerir rookie mistake yang dibuat para pendatang, ramah menyapa walaupun looks-nya berbeda, dan secara umum baik dengan tetangga. Maka pendatang juga mesti sensitif dengan apa yang terjadi di sekitar, berusaha mengintegrasikan diri, dan sebisa mungkin aktif mempelajari bahasa setempat. 

Saya bekerja di tempat yang secara aturan bahasa resminya adalah English. Tapi ketika saya pamit pulang dengan bilang fijne avond, lebih hangat sambutannya daripada sekedar good evening. 

Thanks,
Chandra

Belajar Liburan


Merencanakan liburan adalah hal yang lumayan asing buat saya. Faktor besar di kota destinasi wisata dan tinggal serumah dengan simbah* menjadikan saya orang yang tidak terbiasa pergi berlibur. Sejak merantau momen liburan saya mostly diisi dengan pulang ke rumah, mudik, ketemu keluarga. Saya tidak terbiasa staycation, trip ke Bali, atau naik gunung, jarang sekali saya pergi lebih lama dari 2 hari di akhir pekan. Dolan buat saya sifatnya pendek-pendek: pergi ke sebuah pantai, main ke kota sebelah, makan ke suatu warung. 

Lalu sekarang saya berada di lingkungan orang-orang yang rutin liburan. Orang Eropa terbiasa pergi vakansi sampai 2-4 minggu dan bisa dilakukan beberapa kali dalam setahun. Semuanya terencana dengan detail mau kemana-kemananya padahal tempat yang disebut itu bisa jadi ada di belahan dunia yang berbeda. Mereka bisa trip sampai ujung barat di Portugal, membelah Eropa dari Belanda di utara sampai Italia di selatan, dan menembus Jerman untuk sampai Polandia dan negara Eropa timur lainnya. Iklim yang tidak terlalu menyenangkan di musim tertentu dan arrangement cuti yang sangat support vakansi menjadikan orang kulit putih ini pelancong yang handal menurut saya.

Orang-orang Asia/Afrika seperti kami ini belum tentu dapat kesempatan yang sama karena kami masih harus menyisihkan sebagian (besar) cuti untuk pulang ke negara asal. Tapi tentu eman kalau kesempatan berada di sini ini disia-siakan dengan tidak kemana-mana. Apalagi integrasi antar negara Schengen ini sangat mulus, pindah negara seperti pindah dari satu provinsi ke provinsi lain saja. Maka di summer kali ini kami coba belajar untuk liburan, setelah sebelumnya ke Jerman, weekend kemarin alhamdulillah kami berkesempatan berkunjung ke Brussels dan Ghent di Belgia. 

Selain dekat, alasan kami ke Belgia adalah karena saya penggemar berat novel Edensor karya Andrea Hirata dan salah satu tempat transit Ikal dan Arai sebelum ke Perancis adalah Belgia. Kami memang belum sampai ke Brugges seperti mereka tapi setidaknya saya sengaja pilih jalan yang mirip dengan mereka yaitu masuk Belgia lewat Breda. Absurd dan nggak penting-penting amat sebenarnya, tapi it was fun.

Brussels adalah kota yang menarik karena dia memadukan dua hal yang bertolak belakang di dalam satu kota. Satu sisi Brussels, sama dengan banyak kota-kota di Eropa, menawarkan sejarah, bangunan kuno, dan third space yang melimpah. Tapi di sisi lain Brussels ada pusat bisnis dan kantor Uni Eropa yang modern, canggih, dan sangat abad 21. Bayangkan Jogja dengan kraton, tamansari, malioboro, dan tugu-nya bertetangga dengan SCBD-nya Jakarta, itulah Brussels. Beberapa destinasi di Brussels diantaranya Brussels Town Hall, Royal Palace, Mannekin Pis, dan Royal Gallery.

Brussels:


Brussels ini kota besar tapi entah kenapa murah. Parking garage di kota hanya €3 untuk seharian ketika weekend. Kami makan di restoran Jepang (halal) juga dapat harga yang terjangkau. Malamnya kami menginap di daerah Nosegem, sedikit di luar Brussels, rate-nya juga di bawah kota-kota lain. Kurangnya bagi sebagian orang sepertinya Brussels ini terlalu ramai (yang artinya juga beberapa sudut kurang teratur dan kotor), sebelas dua belas lah dengan Amsterdam. Kami juga sempat mau mampir Brussels Grand Mosque untuk salat, sayangnya ketika sampai di sana masjid dalam keadaan tertutup rapat. Memang saat itu bukan di jam salat sih, tapi untuk sebuah grand mosque dalam bayangan saya mestinya buka paling tidak nonstop dari Dzuhur sampai Isya.

Minggu paginya kami meluncur ke Ghent yang jaraknya tidak begitu jauh dari Brussels. Beda dengan Brussels yang punya dua sisi kekunoan dan kekinian tadi, Ghent ini all in lawasan. Pusat kotanya diisi banyak bangunan lama, banyak, beneran banyak banget. Beberapa kota Eropa punya bangunan bersejarah di centrumnya (pusat kota), tapi sedikit di luar dari area itu sudah daerah pemukiman biasa. Sedangkan Ghent ini sampai lelah jalan muter-muter masih ketemu bangunan-bangunan lawas dan masif lengkap dengan ukiran dan patung-patungnya. Ghent juga terasa lebih tenang, relaks, dan slow living dibanding Brussels. 

Ghent:


Alhamdulillah perjalanan kali ini terasa lebih lancar dan effortless dibandingkan saat ke Jerman kemarin. Belajar dari pengalaman, kami mendapat penginapan yang jauh lebih nyaman dengan harga yang tidak beda jauh (shoutout untuk Hotel Taormina Zaventem). Itinerary perjalanan kali ini bisa dilalui dengan lebih baik dan tanpa grusa-grusu. Kami sudah lebih paham bagaimana memanage kebutuhan untuk makan, istirahat, dan ke toilet. Urusan barang bawaan, transportasi, dan akomodasi juga sudah cukup efisien dan tidak ada surprise yang tidak menyenangkan. Overall alhamdulillah.

Thanks,
Chandra


*saat lebaran/liburan jadi jujugan saudara datang jadi malah nggak kemana-mana seringnya

Share?


Pasti ada batas antara memberikan informasi yang cukup dan di mana informasi itu sudah terlalu banyak dan menjadi menyebalkan. 

Orang yang kita ikuti menentukan bubble kita dan bubble itu sangat memengaruhi standar yang kita punya. Orang yang mengikuti twitter saya mungkin jengah dengan twit-twit sampah yang saya post setiap ada pertandingan bola. Tapi itulah hasilnya kalau terlalu banyak follow account banter seperti UTDTrey dan Welbeast. Saya juga paham kenapa teman-teman penggemar k-pop juga banyak retweet soal idolanya. It is what it is, namanya juga media sosial dan attention business.

Problemnya, saya kadang merasa apa yang ingin saya keluarkan belum tentu cocok untuk semua audience (yang tidak banyak itu). Definisi baik, keren, dan bermanfaat yang ada di pikiran saya dipengaruhi orang-orang yang saya follow, sementara orang yang follow saya belum tentu punya definisi yang sama. 

Personal filter di sana buat saya seperti rem yang kadang di tekan kadang tidak tapi tetap harus ada dan berfungsi dengan baik. Sampah-sampah soal bola tadi saya biarkan lepas karena saya pikir tidak akan merugikan siapapun dan hanya di akun twitter yang privat. Tapi tidak semua keputusan untuk share/tidak share sesimpel itu. 

Hampir semua platform media sosial punya limiter dalam bentuk masing-masing: privacy setting, close friend, share to contact except, dll. Semua itu fasilitas ngerem yang disediakan oleh platform. Tapi penggunaannya diserahkan pada user masing-masing.

Saya iseng coret-coret gambar di atas karena kepikiran bahwa yang di sisi kanan tidak bisa kita kontrol: opini dan pandangan orang soal kita. Tapi kita punya kontrol penuh atas apa yang ada di kiri: orang-orang yang kita jadikan referensi. Layaknya makanan menentukan kesehatan badan, informasi juga makanan buat otak dan hati. Kebohongan yang diulang terus menerus saja bisa jadi dikira kebenaran, apalagi hanya definisi baik-buruk, penting-tidak, bagus-jelek. Apa yang kita dengar, baca, dan lihat terus menerus bisa sangat mendefinisikan kita.

Di jaman seperti ini hampir tiap saat kita perlu memutuskan: share or not? Kalau mau simpel jawabannya tidak perlu bermedia sosial sama sekali. Banyak orang memilih ini dan hidupnya tetap menyenangkan. Tapi buat saya pribadi online presence masih penting, atau setidaknya perlu. Maka filter di sana mesti dijaga benar-benar karena andai keputusannya untuk share pun masih harus diputuskan share-nya seperti apa.

Baru kemarin saya dengar nasehat yang makjleb: what you don't share can't be destroyed.


Chandra

Bahasa Inggris


Dalam podcastnya bersama Yusril Fahriza, Raditya Dika dengan yakin bilang bahwa pintu menuju banyak pengetahuan itu sesimpel Bahasa Inggris. Dengan punya kemampuan reading dan listening yang cukup kita jadi punya akses ke kolam pengetahuan yang luar biasa besar. And I'm not talking about 'nerdy' knowledge, dunia yang bisa dieksplor jauh lebih luas dari itu: hobi, olahraga, seni, teknologi, bisnis, ekonomi, spiritual, dll.

Saya dulu menghindari konten berbahasa Inggris karena melelahkan. Saya malas membaca tulisan berbahasa asing karena mungkin hanya 50-60 persen kalimat yang saya pahami maksudnya. Beberapa kata nggak tahu artinya, konteks dalam kalimat dan paragrafnya jadi nggak nyambung, sehingga keasyikan dan informasinya jadi nggak dapat. Begitu juga dengan konten audio visual, too much to grasp karena skill listening standar banget.

Saat SD saya baru dapat pelajaran bahasa Inggris di kelas 4, itupun baru mulai dari sangat dasar: I am, you are, she is. SMP memang lebih terekspos dan beberapa buku pegangannya bilingual (halaman ganjil indonesia, halaman genap english) tapi tetep english-nya tidak segitunya terasah. Ada awareness yang didapat bahwa bahasa Inggris adalah jendela dunia tapi that's it. Saat kuliah juga masih masuk level english paling basic: reading. 

Tapi ternyata buat saya kuncinya justru di hobi, sesuatu yang dilakukan secara effortless akan lebih lama bertahan dan impactnya lebih besar. Saya tidak punya cukup bahan diskusi menarik soal bola dan formula 1 yang jadi minat saya jadi perlu outsource dari content creator berbahasa Inggris. Dari situ saya mulai sering nonton konten dari youtuber luar seperti tifo football, wtf1, the race, dan the athletic. Bosan dengan autonetmagz dan otodriver untuk bahasan otomotif, saya nemu carwow dan donut media. Sementara untuk gadget, ketika nonton gadgetin dan sobathape belum membuat saya puas saya ketemu mkbhd dan mrwhosetheboss. Waktu-waktu berikutnya saya senang dengan video-video storytelling macam the infographic show, half as interesring, coldfusion, company man, dll.

Dari sana saya jadi tahu soal crashgate-nya Renault, jatuhnya Enron, behind the scene Jurgen Klopp join Liverpool, ponzi scheme-nya Bernie Madoff, Elizabeth Holmes dan Theranos, jatuhnya Nokia dan Kodak, dan lain sebagainya. Tanpa mengurangi rasa hormat pada content creator dalam negeri, konten-konten seperti di atas tidak banyak dibuat di Indonesia. 

Setelah itu semakin banyak youtuber luar yang saya ikuti. Awalnya tentu dengan CC sebagai subtitle, tapi lama-lama ternyata tanpa baca teks dan lihat layar sudah bisa nangkap maksudnya. Enak banget ketika sudah di tahap ini, nonton jadi bisa disambi. Makin kesini saya mulai mendengar podcast, ini agak lebih sulit karena minim visual aid dan efisiensi listening saya masih belum seperti native. Kata Raditya Dika lagi, dibilang listening bagus itu kalau sudah bisa nangkap maksud orang ngomong di video yang diputar dalam speed 1.5, nah ini saya belum bisa.

Dua tahun lalu saya baru mulai secara rutin bisa membaca buku berbahasa Inggris. Bisa dibilang ini telat karena baru terjadi di umur hampir 30, betapa banyak waktu sudah terlewat. Buku mestinya bisa ngasih ilmu yang lebih luas lagi, tapi saya belum sampai ke sana karena buku yang saya baca masih sangat terbatas dan topik tertentu saja. Itupun tidak semua buku yang saya buka bisa saya rampungkan (yah bahkan buku bahasa Indonesia pun tidak semuanya selesai).

Soal baca, sekarang justru saya baca reddit hampir tiap hari karena di sini bisa diakses tanpa VPN. Sejauh ini saya lebih banyak 'tanya' ke reddit daripada chatGPT karena ingin dapat jawaban dari real people yang pernah punya pengalaman atau berada di posisi yang sama. Bahkan saat tidak ada pertanyaan pun saya sering meluncur ke sana untuk sekedar baca-baca. Kombinasi antara there's no stupid question, komunitas worldwide, dan topik yang organik membuat reddit ini sangat menyenangkan dibaca.


Mengonsumsi konten berbahasa Inggris sudah semakin natural, tapi setelah semua itu pun kemampuan english saya masih di bawah rata-rata kolega di sini. Saya juga tidak terlalu pede ngetwit atau menulis panjang di media sosial dengan bahasa Inggris. Singkatnya saya belum bisa dibilang fluent. Teori grammar mungkin tahu, tapi kata-kata masih keluar dengan terbata-bata ketika harus bicara atau menulis panjang. 


Chandra

RWTH


Siapa yang nggak mau kuliah di RWTH Aachen? Walaupun namanya tidak sementereng MIT, Caltech, atau Imperial College, embel-embel 'Pak Habibie dulu kuliah di sini' cukup kuat untuk menarik minat anak-anak muda. Saya belum berkesempatan kuliah di sini, tapi baru sempat mampir.



Aachen adalah kota di Jerman yang berbatasan dengan dua negara sekaligus, Belanda dan Belgia. Kota ini terletak di state North Rhine-Westphalia sehingga kampus yang ada di sana namanya RWTH alias Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule. Kampus RWTH berada telak di pusat kota Aachen, berdekatan dengan landmark seperti Aachener Dom. Aachen bisa dijangkau menggunakan kereta langsung ke jantung kotanya atau bisa juga jalur darat menggunakan mobil.



Jika datang dari arah Belanda, ada satu tempat yang harus disinggahi dulu sebelum masuk Aachen yaitu Drielandenpunt (Three Countries Point). Ini adalah titik pertemuan batas 3 negara yaitu Jerman, Belanda, dan Belgia. Lokasinya ada di atas bukit dan bisa dijangkau dengan naik dari kota Vaals. Di sana ada sebuah monumen yang menunjukkan titik istimewa ini, di dekatnya ada kafe yang punya beberapa pintu yang letaknya di negara yang berbeda, dan ada juga wahana bermain labirin (full size, orang dewasa masuk nggak kelihatan sampai kepala). Fun fact, lokasi ini juga adalah titik tertinggi Belanda padahal tingginya hanya 322 mdpl, menunjukkan betapa flat-nya negara ini.

Aachen tidak jauh lagi dari Vaals dan kami langsung menuju ke pusat kotanya karena memang tujuan utamanya adalah RWTH. Kelihatan sekali RWTH jadi nadi kota ini, banyak (orang berpenampilan) student lalu lalang seperti di Bulaksumur dan Dago haha. Sayang cari parkir di pusat kotanya agak susah dan terbatas waktu jadi kami belum puas menikmati kota ini. 

Kami melanjutkan perjalanan menuju Koln. Setelah riset-riset, tujuan pertama adalah Cologne Central Mosque, sebuah masjid yang berdiri megah di Kota Koln. Sungguh ini masjid paling bagus yang saya lihat di Eropa: arsitekturnya keren, besar, bersih, dan very welcoming. Masjid ini punya orang-orang Turki yang mana memang komunitasnya besar di Jerman.


Untuk bergerak ke pusat kota kami memilih pakai kereta bawah tanah agar tidak perlu memusingkan parkir, kendaraan biar istirahat di basement masjid. Pusat Kota Koln ditandai Katedral yang luar biasa besar dan tinggi menjulang ini. Gothic menjurus seram. Di sampingnya ada stasiun kereta dan deretan shoping center. Overall nice city, senang berkunjung ke sini.


Malamnya kami mencoba memilih penginapan di luar Kota Koln. Kami nemu satu airbnb yang lokasinya dekat peternakan kuda. Pengalaman yang unik tapi rasanya cukup satu kali saja. Pagi harinya memang enak karena pemandangannya luar biasa bagus dan bisa lihat kuda dari dekat, tapi minusnya kebersihan dan ketenangan agak kurang karena dekat kandang, bagaimanapun tetap bau. Paginya kami kembali ke Koln untuk sarapan di satu-satunya warung Turki yang sudah buka, susah untuk beli makanan (halal) di minggu pagi di Jerman. Bahkan beda dengan Belanda dan Belgia, swalayan Jerman tutup di hari minggu.


Tujuan terakhir adalah Monschau, sebuah kota kecil (atau village malah) di pinggiran Jerman. Ini tempat yang luar biasa cakepnya, berasa set film bukan dunia nyata. Foto-fotonya sudah saya unggah di instagram.

Danke,
Chandra

Apakah Blog Masih Relevan?


Dua hari yang lalu saya membuat polling ini di instagram. Saya melempar pertanyaan itu setelah browsing sesuatu dan came across blog ini: fitrihasanahamhar.blogspot.com. Yang menarik dari blog tersebut adalah banyaknya link menuju blog lain yang ditampilkan di sana terutama jika dibuka dalam mode tampilan PC. Selain melalui widget yang disematkan, penulisnya juga mempraktekkan konsep followers-following yang membuat blog ini menjadi seperti hub menuju laman-laman lain. Saya punya cukup banyak waktu weekend kemarin jadi sempat untuk berselancar.



Hanya segelintir dari blog-blog yang ada di sana yang pemiliknya saya tahu, misalnya Kurniawan Gunadi, Nurvirta Monarizqa, dan Raditya Dika. Meski begitu, randomly saya coba klik beberapa link yang ada dan menemukan beberapa cerita menarik seperti orang yang tengah studi di Amerika, cerita jalan-jalan di Eropa, cerita soal profesi, perenungan, keluarga, dan lain sebagainya. Sayangnya di antara list itu banyak juga blog yang last updated-nya sudah beberapa tahun yang lalu, tidak ada tulisan baru lagi, atau bahkan link-nya sudah mati.

Saya cukup yakin orang berhenti menulis di blog bukan karena malas (kalau malas mah tidak bikin blog in the first place), melainkan ia tidak lagi melihat blog sebagai media yang relevan untuk berbagi cerita di masa kini. Konten berbasis tulisan (blog, majalah, etc) sudah kalah menarik bagi audience ketika konten video dan vlog bermunculan, apalagi sekarang ketika persaingannya lebih bombastis lagi dengan munculnya platform video berdurasi pendek. Saya membayangkan blog ini seperti pasar yang dulu ramai tapi kini ditinggalkan karena orang berpindah ke tempat yang lebih nyaman dan mewah. Jika pembelinya sudah tidak banyak datang, untuk apa penjualnya bertahan? 

Tapi meski sudah tidak seramai dulu, blog tidak benar-benar mati seperti apa yang terjadi pada MySpace dan Friendster. Banyak informasi di blog yang masih akan direfer oleh search engine, segelintir influencer juga masih membuat konten tulisan di samping konten digital di platform lain. Tapi lebih dari itu adalah masih ada orang-orang yang menjadikan menulis sebagai hobi, tanpa peduli ada yang membacanya atau tidak, serta tanpa motif popularitas dan ekonomi. Sama seperti orang yang enjoy main musik di dalam kamar: dimainkan sendiri, dinikmati sendiri, tanpa perlu ada orang lain yang mendengar.

Makin kesini makin terlihat kesamaan antara menulis dan main musik. Puthut EA bilang ada orang yang belajar menulis karena ingin jadi penulis dan ada yang belajar semata-mata karena ingin bisa menulis. Sama saja dengan musik, tidak semua orang belajar musik untuk jadi musisi, banyak yang untuk mencari kebahagiaan sendiri. Musik dan menulis (serta membaca) adalah skill yang good to have. Orang bisa membunyikan piano dengan memencet tuts-nya, tapi itu belum disebut main musik. Sama halnya orang bisa membaca dan menulis huruf, tapi kemampuan memahami tulisan panjang dan menulis runtut adalah hal yang berbeda.

Hanya 10 orang yang mengisi polling saya di instagram, 8 bilang masih relevan sementara 2 lainnya tidak. Saya dm-an dengan salah satu yang bilang tidak dan maksud dia adalah tidak relevan lagi sebagai media penyampai pesan. Kalau ingin menjangkau audience yang lebih luas butuh media yang lebih menarik dari sekedar tulisan. Itu betul, views pada satu video YouTube atau reels instagram bisa lebih banyak daripada pembaca sebuah blog all time. Saya tidak tahu apakah masih ada konten kreator yang murni berbasis blog/tulisan saja di dunia ini.

Tapi balik lagi tidak semua orang menulis demi populatitas dan follows. Bahkan mungkin sekarang justru banyak yang menulis untuk mengekspresikan dirinya tanpa dibaca banyak orang. Di sisi lain ini malah menjadikan blog walking semakin menarik karena bisa menunjukkan sisi lain orang yang tidak terlihat di media sosial lain. Menemukan blog yang masih diupdate memunculkan sense of community walaupun tidak kenal dan belum pernah ketemu, dan itu menyenangkan.

Satu hal lagi, makin jauhnya blog dari popularitas justru menjadikannya makin eksklusif. Karena bisa jadi yang penting bukan berapa banyak yang membaca, tapi siapa yang membaca. Just my two cents.


Thanks,
Chandra



Paksa


Apa jadinya anak yang hanya mengandalkan nilai akademik selama sekolah? Does it works ketika dewasa? 

Tidak terbiasa bekerja keras
Ketika ujian di sekolah hanyalah walk in the park, tidak ada insentif untuk berusaha ekstra keras. Akibatnya ketika dewasa tidak terbiasa mem-push batas. Tidak mau masuk gym, takut capek. Tidak mau belajar ilmu baru, takut jadi newbie lagi. Tidak mau masuk lingkungan baru, takut dianggap poseur.

Hanya melakukan ketika yakin akan berhasil
Padahal apa hebatnya orang yang hanya mau mencoba hal-hal yang dia tahu dia bisa? Terobosan tidak datang dari sikap seperti ini, nyaman dalam kesibukan tanpa benar-benar produktif dan menghasilkan improvement. 

Alergi gagal
Tidak terbiasa salah, tidak terbiasa buntu, dan alergi pada feedback negatif. Padahal that's not how it works. Mungkin butuh melewati ratusan error dan bugs sampai akhirnya software berjalan, butuh berkali-kali revisi sampai akhirnya desain diterima, butuh puluhan penolakan sampai akhirnya ada yang menerima. 

Resiliensi rapuh
Dalam bayangannya masalah akan selesai tanpa menunggu lama, padahal tidak selalu. Masalah bisa ringan bisa berat, bisa sebentar bisa lama, bahkan ada yang bisa diselesaikan ataupun tidak. Lebih penting dari itu, kini yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikannya adalah diri sendiri, seringnya sendirian.

Unfinished business
Kecilnya tidak bisa tidur ketika PR belum selesai dan perut mual ketika pagi hari berangkat sekolah tidak dalam kondisi fully ready. Mudanya tidak terbiasa membawa tidur masalah. Dewasanya weekend bisa ruined hanya karena urusan yang belum selesai hari Jumat sore.

Pilihannya cuma dua: me-remedy itu semua walau susah payah atau melipir tetap berlindung di zona nyaman.




Ditulis jam 02:00 pagi
Chandra

Hari Libur


Beda dengan Indonesia yang tiap kelompok keyakinan menyumbang hari libur nasional, Belanda bisa dibilang sangat pelit dalam hal ini. Tahun ini libur nasional Belanda hanya 11 hari, itupun beberapa diantaranya tidak wajib libur di mana perusahaan atau sekolah berhak untuk tetap menjalankan aktivitas seperti biasa dan pekerja/siswa tetap perlu masuk. Sebagai contoh Good Friday 18 April kemarin, tidak semua perusahaan dan sekolah tutup sehingga karyawan yang punya acara harus mengajukan cuti sendiri. Saking sedikitnya libur nasional Belanda, list di google bahkan bisa menampilkan semua tanpa harus scroll down.



Setelah rangkaian Paskah, public holiday berikutnya adalah Koningsdag (King's Day) yang sayangnya akan jatuh pada akhir pekan. Maka libur beneran berikutnya adalah Liberation Day alias hari kemerdekaan yang akan dirayakan 5 Mei nanti. Ini untuk memeringati angkat kakinya Nazi dari tanah Belanda pada tahun 1945 yang ditandai dengan penandatanganan kesepakatan di Hotel de Wereld di Wageningen. Tapi hari kemerdekaan ini hanya dirayakan sebagai libur nasional setiap lima tahun sekali. Beda dengan Indonesia yang bukan hanya upacara 17 Agustusan tiap tahun, beberapa momen bersejarah lain pun dirayakan dan jadi hari libur nasional. Libur lainnya adalah Kenaikan Yesus Kristus dan Nataru yang sama dengan di Indonesia serta Whitsun dan Whit Monday yang masih berkaitan dengan Paskah. 


Minim libur nasional artinya minim cuti bersama dan hari kejepit juga, bahkan bisa dibilang tidak ada. Paskah adalah salah satu kesempatan langka di mana hari besarnya jatuh di Jumat dan Senin sehingga terjadi long weekend. Saya yakin orang Belanda akan kaget kalau bekerja di Indonesia yang libur nasionalnya banyak. Mereka yang terbiasa dengan ritme kerja yang predictable akan shocked ketika tahu di saat lebaran waktu kerja efektif bisa hanya 2 minggu saja dalam sebulan. Matter of fact, kalau saya lihat orang sini tidak terlalu familiar dengan istilah long weekend apalagi ultra long weekend.

Sebagai gantinya pekerja di Belanda diberikan jatah cuti tahunan lebih banyak yaitu minimal 25 hari dalam setahun. Banyak perusahaan memberikan tambahan sampai 12 hari bahkan lebih. Di luar itu ada jatah cuti untuk keperluan-keperluan tertentu seperti pernikahan, kedukaan, maternity, parental, emergency, anniversary, cuti sakit, sampai cuti untuk house moving. Karena jatah cuti yang lumayan banyak ini biasanya orang akan mengambil satu long leave berdurasi 3 sampai 4 minggu untuk liburan ke luar negeri atau mudik ke negara asal. Jadi di Indonesia liburnya scattered sementara di Belanda terpusat.

Ini adalah salah satu hal yang karyawan pindahan dari Asia perlu menyesuaikan diri. Meskipun pada akhirnya jumlah day off-nya mungkin hampir sama, tapi langkanya long weekend dan libur tengah pekan ini lama-lama agak membuat exhausted dan bored karena weeks yang begitu-begitu saja. Kalau dilihat kebanyakan public holiday jatuh di paruh pertama tahun sehingga Juli sampai Desember terasa panjang sekali. 

Beberapa fakta lain terkait hari libur di Belanda:
- Banyak orang tidak bekerja 40 jam perminggu melainkan hanya 32 atau 36 jam, kebanyakan akan mengambil Jumat (siang) off.
- Jumat siang after lunch biasanya orang mulai sedikit cooling down apalagi kalau hari sedang hangat dan cerah. Orang-orang suka menghabiskan waktu outdoor.
- Pegawai yang punya anak usia sekolah diprioritaskan mengambil cuti di masa liburan sekolah.
- Hak cuti sangat dihargai dan sebisa mungkin orang yang sedang cuti tidak diganggu sama sekali. Pulang kampung 3 minggu tanpa bawa laptop adalah hal biasa.

Thanks,
Chandra

Nilai Tukar


Tahun lalu saya berangkat dalam kondisi kurs euro terhadap rupiah sekitar 17.700. Saat itu saya harus mengonversi sebagian tabungan rupiah ke euro karena beberapa minggu pertama mesti keluar uang sendiri sampai tanggal gajian di akhir bulan. Dulu rasanya berat melihat nilai barang-barang dalam euro dari sudut pandang rupiah, mau beli apa-apa kepala otomatis mengonversinya dan langsung terasa mahal. Tapi ternyata waktu itu masih mending, kini berkat kebijakan pemerintah yang mobat mabit dan menyebabkan hilangnya kepercayaan banyak pihak, rupiah melemah ke lebih dari 19000 per euro (via Wise, 13 April 2025).



Selama ini saya tidak terlalu concern dengan nilai tukar mata uang karena earn in rupiah spend in rupiah. Efek ke harga komoditi juga tidak besar karena perubahan kursnya tidak signifikan. Tapi kini ketika bermain dengan dua mata uang, kurs jadi penting dan perubahan drastis dalam beberapa minggu terakhir memberi saya mixed feeling. Saya tahu bahwa dengan melemahnya rupiah setiap euro yang ada akan punya angka yang lebih besar di Indonesia. Tapi di sisi lain jika ada kondisi di mana saya harus mentransfer rupiah ke euro uang yang dikeluarkan akan jadi lebih mahal. 

Belum lagi dalam hati tahu bahwa hanya angka rupiahnya yang tampak lebih besar, power to buy-nya belum tentu. Diakui atau tidak oleh pemerintah Indonesia perubahan sebesar ini dalam waktu sesingkat ini jelas buruk. Hutang luar negeri akan jadi makin berat, barang-barang impor akan jadi lebih mahal padahal impor Indonesia termasuk bahan kebutuhan pokok, dan asumsi kurs untuk APBN 2025 adalah 16.000/USD sementara sekarang sudah 16.793 (via xe.com, 13 April 2025). Memang ada faktor luar seperti tarif yang ditetapkan Trump dan perseturuan US-China. Tapi kita bisa lihat lah gimana pemerintah Indonesia merespon, and I'm not optimistic about that. 

Kalau sampai dollar menyentuh 17.000 atau euro mencapai 20.000, itu akan jadi efek psikologis yang besar. Belum lagi ihsg yang tidak stabil dan sempat mengalami trading halt dalam beberapa waktu terakhir karena jatuh terlalu jauh. Lalu orang DPR datang ke BEI dan polisi mau ikut mengawasi pasar modal diharapkan akan membuat kepercayaan investor dan pasar naik? 


Chandra

Orang Asing Bisa Punya Mobil di Belanda?


Jawabannya bisa. Tapi sebelum itu seseorang harus punya SIM dulu agar boleh mengemudi. Normalnya cukup sulit dan mahal untuk bisa mendapat SIM di Belanda, seseorang harus ikut les mengemudi dan melewati berbagai tes. Biayanya juga nggak murah, bisa 2000-3000 euro atau sekitar 30-40 juta rupiah sendiri. Tapi seperti yang saya tulis sebelumnya di Kennismigrant , orang yang datang sebagai ekspat dengan visa kennismigrant punya benefit untuk menukar SIM dari negara asal dengan SIM Belanda. Proses ini tanpa melalui tes dan biayanya tidak sampai 100 euro. 

Awalnya saya juga ndak ngerti dengan kebijakan ini. Ekspat mungkin direkrut dengan suatu skill sesuai bidangnya, tapi apa korelasinya skill coding atau nanotechnology misalnya dengan driving skill? Bahkan bukan hanya si ekspat, pasangan (suami/istri) pun bisa menukar SIM dengan cara yang sama. Kita tahu di Indonesia cara dapat SIM-nya seperti apa, mengemudi di Belanda dan Indonesia juga berbeda karena di sini pakai lajur kanan (setir mobil di kiri), tapi negara kita tak terkecuali dalam regulasi ini dan kita bisa tukar SIM. Di kalangan orang lokal ini jadi perdebatan dan banyak yang tidak terima karena barrier dan biayanya sangat berbeda. SIM Indonesia 1-0 Paspor Indonesia.

Karena benefit ini ibaratnya ditaruh di piring ekspat yang baru datang, tentu banyak yang memanfaatkannya. Toh SIM A Indonesia tidak terpakai di sini, jadi mending ditukar saja. Setelah punya SIM sebagian orang mengambil beberapa jam les mengemudi untuk membiasakan nyetir stir kiri dan memahami rambu-rambu. Rambu, marka, dan speed limit sangat di-enforce di Belanda. Dendanya sangat mahal kalau sampai melanggar. Maka membayar sejumlah uang agar nggak bingung-bingung amat di jalan adalah opsi yang masuk akal. Sebagian lain ada yang belajar sendiri atau minta tolong didampingi nyetir teman yang sudah lama di sini.


Ketika saya datang ke Belanda, saya tidak berpikir akan mengemudi di sini, rasanya public transport sudah cukup memenuhi kebutuhan kami. Tapi seiring berjalannya waktu, kenalan dan referensi yang semakin banyak, serta banyaknya tempat yang ingin di tuju tapi sulit dijangkau angkutan umum, punya SIM jadi solusi yang bisa dipertimbangkan. Sebagai contoh masjid Indonesia yang baru dibeli dan dibangun oleh SGB Utrecht berlokasi di kota kecil bernama Houten, untuk ke sana kami harus naik 2 bis plus 2 kereta dari rumah dan setiap pergantian moda harus nunggu 5-30 menit, itu pun masih harus tambah jalan kaki. Di tambah fakta bahwa transportasi umum tidak 24 jam tersedia, nyetir sendiri jadi menguntungkan karena kami jadi bisa ikut buka bersama dan tarawih sampai malam. Pakai mobil perjalanan jadi 2 kali lebih cepat dan bisa di jam berapa saja.

Punya SIM dan punya mobil adalah dua hal berbeda di sini. Banyak orang punya SIM tapi memilih untuk tidak beli mobil, instead mereka sewa. Banyak perusahaan menawarkan rental mobil bulanan, harian, bahkan jam-jaman. Orang yang hanya butuh mobil di saat-saat tertentu seperti weekend trip atau pindahan biasanya milih sewa harian. Ada orang yang sewa mobil satu hari saja untuk belanja ke IKEA karena itu lebih murah daripada ongkos kirim kalau pakai jasa delivery mereka. Sementara orang yang butuh mobil on daily basis tapi tidak mau pusing dengan pajak, asuransi, dan maintenance biasanya milih sewa bulanan.

Tapi dibanding sewa, sebagian orang yang lain lebih nyaman nyetir mobil milik sendiri karena merasa lebih punya kebebasan dan mungkin lebih tenang. Secara umum cara mendapatkan mobil di Belanda dan Indonesia sama. Pilihannya ada dua yaitu mau mobil baru atau bekas. Mobil baru bisa didapatkan di dealer brand-nya. Kelebihannya tentu saja akan jadi pemilik pertama, kondisi yang masih mulus dealer, garansi yang panjang, dan bonus aftersales. Tapi mobil baru lumayan mahal, mengalami depresiasi besar, dan pajaknya tinggi. Maka kalau tidak ada keharusan ingin jadi orang pertama yang menaiki mobil itu dan membuka plastik jok-nya, mobil bekas jadi pilihan yang masuk akal. Mobkas harganya lebih terjangkau, depresiasi sudah tidak tinggi, dan rasa eman-nya nggak sebesar mobil baru. Kebanyakan parkiran di Belanda terbuka atau bahkan di pinggir jalan sehingga kena panas, hujan, es, bahkan tai burung adalah hal biasa. 

Kondisi subuh-subuh setelah malam bersuhu minus

Sama seperti di Indonesia, mobil bekas di sini juga diiklankan di platform online. Penjualnya bisa perseorangan atau showroom. Showroom biasanya pasang harga lebih tinggi tapi bisa ngasih bonus layanan servis, garansi showroom, dan yang paling penting adalah proses registrasi. Di Indonesia mobil sudah bisa dipakai walaupun belum dibaliknama, sementara di sini di hari pembelian mobil harus langsung didaftarkan atas nama pembeli sebelum boleh turun ke jalan. Bahkan untuk test-drive pun diberikan plat nomor khusus. Ada mobil dari law enforcement yang keliling di jalan-jalan setiap hari, kalau kamera mereka menangkap kendaraan yang plat nomornya belum terdaftar dendanya besar, bahkan untuk sekedar parkir di pinggir jalan pun nggak boleh. Registrasi ini murah, hanya 12.5 euro, tapi kalau ngurus sendiri ribet karena harus datang ke loket, apalagi untuk foreigner yang belum bisa berbahasa Belanda. Maka kalau baca-baca di reddit ekspat disarankan beli di showroom karena mereka bisa melakukan registrasi secara online dalam 10 menit saja.

Showroom biasanya akan memoles mobilnya supaya tampak cantik di depan calon pembeli. Tapi sebagai pembeli juga harus bisa melakukan pengecekan. Saran bagi foreigner adalah untuk mengajak teman saat cek unit agar bisa jadi tambahan tangan dan mata untuk ngecek. Bahkan kalaupun si teman ini tidak paham mobil minimal dia bisa membagi pressure dan membantu 'melawan' salesnya. Kalau temannya ini orang lokal atau bisa Dutch, itu lebih menguntungkan lagi. Rule of thumb nyang-nyangan berlaku sama di sini: jangan tunjukkan minat, pura-pura pergi, temukan defect tipis-tipis, dan cari beberapa seller pembanding. Secara dokumen, yang dibutuhkan ketika beli mobil hanya ID card (misal residence permit) dan SIM, jadi relatif simpel. Saya dengar-dengar bisa juga pakai paspor tapi saya tidak terlalu yakin soal ini.

Servis mobil di Belanda mahal karena yang dijual adalah jasa. Orang sangat menghargai waktu, literally. Maka penting untuk memastikan mobil tidak punya PR parah dan urgent. Tapi di sisi lain kondisi mobil di Belanda relatif lebih terjaga, selain jalannya yang mulus dan intake udara yang bersih, mobil juga wajib melakukan APK alias uji berkala tiap tahun (untuk mobil baru APK pertama setelah 3 tahun, lalu 2 tahun berikutnya, kemudian tiap tahun). Hasil APK ini dilaporkan ke pemerintah lewat semacam dishub-nya dan datanya bisa didownload siapapun. Ada website ovi.rdw.nl, autoverleden.nl, dan carfax di mana dengan memasukkan nomor polisi kita bisa tahu riwayat mobil itu: apakah kilometernya di-rollback, bagaimana riwayat servis dan APK-nya, apakah ada riwayat kerusakan, ada berapa orang pemilik sebelumnya termasuk tanggal berapa saja pindah tangannya, sampai legalitasnya. Kalau masih kurang yakin bisa request jasa inspeksi swasta.


Harga mobil bekas di Belanda bervariasi tergantung model, tahun, dan kondisi. Kalau mau murah dari 2000-3000an euro pun ada, tapi sudah tua dan kilometernya tinggi. Kalau yang bisa dibilang tanpa PR berarti mungkin start di harga 6000 untuk city car, yang mana kurang lebih sama dengan di Indonesia. Kalau mau yang mahal di atas 60 ribu juga ada. Agak tidak apple to apple membandingkan harga mobil di Indonesia dan Belanda karena 'mobil sejuta umat'nya berbeda. Brand dari Jerman seperti VW, BMW, Audi, dan Mercedes mendominasi di sini. Untuk merk Asia yang berkuasa justru Korea (Hyundai, Kia) bukan Jepang apalagi China. Hatchback Hyundai dan Kia lebih gampang ditemukan daripada Jazz atau Yaris. Di samping itu ada juga Ford dan Chevy dari Amerika, Volvo dari Swedia, Mini dari UK, dan Citroen & Renault dari Perancis. Overall, saya mungkin katakan harga mobil di sini 10-20% lebih mahal. Opsi pembayarannya bisa cash maupun kredit.

Ketika membeli mobil, running cost juga harus dipikirkan. Biasanya untuk mobil bekas running cost berbanding terbalik dengan harga belinya. Sebagai contoh mobil berbahan bakar diesel harganya lebih murah karena pajaknya luar biasa tinggi, bisa 3 kali lipat mobil bensin untuk merk dan model yang sama, sementara mobil listrik lebih murah lagi pajaknya. Selain jenis bahan bakar, penentu besarnya pajak juga adalah ukuran/berat mobil dan di provinsi mana mobil didaftarkan. Di samping pajak, asuransi juga jadi komponen lain yang harus dibayar, besarannya tergantung mobil dan track record pemilik. Jika pemilik tidak pernah klaim asuransi dalam beberapa tahun, preminya akan jadi lebih murah.

Bahan bakar bensin yang tersedia di sini adalah RON 95 dan 98. Harganya lebih mahal tapi entah kenapa mobil di sini irit-irit, jadi secara keseluruhan tidak berbeda jauh dengan di Indonesia. Untuk tol di Belanda gratis dan tidak ada gerbangnya. Parkir di sekitar city center biasanya berbayar, sementara di pinggiran dan pedesaan tidak. Di sini tidak ada tukang parkir karena bayarnya pakai mesin parkir otomatis atau aplikasi di handphone. Biaya street parking di kota mahal yaitu mulai 1,5 sampai 4,5 euro per jam, coba kalikan dengan 17.500 rupiah. Di beberapa kota besar ada kantong parkir Park & Ride di pinggiran kota. Parkir di sini bisa lebih murah dengan syarat setelah parkir pengguna masuk ke pusat kota dengan tram atau bis. Kalau tidak register parkir dan ada mobil law enforcement lewat, dua minggu berikutnya akan ada surat tagihan denda yang nominalnya besar.



Mengemudi di Belanda berbeda dengan di Indonesia. Maka untuk pengemudi baru di sini memang butuh pembiasaan, apalagi dari negara yang driving side-nya berbeda (Indonesia, Jepang, UK). Bisa dibayangkan, setir di kiri artinya tuas transmisi ada di tangan kanan, ini rasanya sangat aneh di awal. Combination switch juga 'terbalik', beberapa kali saya malah menyalakan wiper saat maksudnya mau sein. Hal lain yang saya kaget adalah ketika lampu traffic light berganti hijau, semua orang langsung gas poll kalau perlu sampai mobilnya menjerit. Pokoknya akselerasi secepat-cepatnya sampai mencapai speed limit lalu nggak tambah lagi. Kalau di lampu merah jalannya nyantai seperti di Indonesia karena sayang mobilnya, minimal kita akan jadi beda sendiri, maksimal diklakson dan dipelototi. Klakson dan lampu hazard adalah hal yang paling anti digunakan oleh orang Dutch kecuali memang perlu.

Jalanan di Belanda bukan hanya halus tapi markanya didesain sedemikian sehingga mengutamakan flow dan memiminalisir hambatan. Agak susah dijelaskan kecuali dengan coba sendiri. Saya tidak menyangka traffic bisa se-well-engineered ini, sudah hampir seperti rel. Kalau memang lajurnya hanya butuh satu ya hanya dibuat satu walaupun masih ada tanah sisa di pinggirnya. Nanti mendekati persimpangan atau roundabout ada zipper line dengan indikasi arah yang jelas. Beberapa line secara dinamis bisa dibuka tutup dari command center tanpa perlu personel di lapangan. Rambu, warning, dan speed limit terintegrasi dengan google maps, waze, dan flitsmeister. Luar biasa. Dengan sistem seperti ini rasanya autonomous driving tidak jauh lagi.


Prinsip orang sini don't be nice, follow the rule. Kalau rule-nya kita maju duluan ya harus jalan, jangan nunggu dari arah lain hanya karena ingin dianggap sopan. Perangkat rule-nya ada dan jelas, hukuman jika tidak patuh berat, law enforcement-nya konsisten, dan masyarakatnya patuh. Kekurangannya setiap trip harus dipersiapkan navigasinya. Pengendara tidak bisa tiba-tiba berhenti di pinggir jalan, parkir, atau mampir. Kalau di kendaraannya belum ada sistem navigasi yang cukup mutakhir, google maps di handphone harus nyala terus. Tertib tapi kaku.

Kesimpulannya, pendatang bisa punya mobil dan nyetir di Belanda. Prosesnya tidaklah susah, hanya ketika sudah mulai mengemudi perlu beberapa waktu untuk pembiasaan. Saya sendiri termasuk yang belajar dengan mengajak teman yang sudah berpengalaman, lalu sisanya belajar sendiri dari forum-forum internet. Untuk family of two, biaya operasional mobil pribadi mungkin sedikit lebih tinggi daripada total langganan angkutan umum, tapi manfaat yang didapat besar karena bisa menjangkau tempat-tempat jauh di dalam dan luar negeri, lebih fleksibel dan efisien dalam hal waktu, dan membantu untuk bepergian dalam kondisi cuaca hujan dan suhu dingin. 

Personally sebagai penggemar mobil (bekas), proses hunting mobil ini menyenangkan. Dalam beberapa weekend saya datang ke sejumlah dealer yang kebanyakan lokasinya di pinggiran kota bahkan di pedesaan. Di bawah ini beberapa foto yang saya ambil dalam perjalanan berburu, alhamdulillah pada akhirnya ketemu yang cocok satu.






Mvg,
Chandra