Harga-harga Kali Lima



Bulan pertama di Belanda dulu harus diakui terasa cukup berat. Selain berbagai adaptasi yang harus dilakukan, ada juga shock dalam hal cashflow. Sebabnya bekal yang sebelumnya dikumpulkan sebagai rupiah dibelanjakan sebagai euro dan ini membuat segala hal terasa mahal. Dalam pikiran harga-harga selalu dikonversi ke rupiah. Sebotol air mineral jadi terasa 20 ribu, jajan di luar jadi seperti 200 ribu sekali makan.

Setelah lewat bulan pertama situasi jadi lebih masuk akal. Meski begitu, kebiasaan mengonversi harga ke rupiah tetap ada. Keputusan untuk membeli atau tidaknya sesuatu ikut ditentukan mahal tidaknya barang itu jika dilihat harganya dalam rupiah. Misal ada eskrim seharga €2, maka kalau dikalikan kurs menjadi sekitar Rp38.000. Ini masih oke karena di Jogja ada gelato yang harganya 30 ribu. Walaupun sebenarnya perbandingan ini tidak fair karena eskrim €2 tadi belinya di kios eskrim kecil sementara bandingannya adalah Tempo Gelato.

Lama-kelamaan persepsi soal harga ini semakin luntur juga. Saya mulai menerima bahwa kalau harganya segitu ya segitu. Tidak perlu dihitung rupiahnya dan dibandingkan dengan harga di Indonesia. Di saat yang sama saya mendapat insight bahwa dalam soal harga gunakan prinsip kalikan lima.

Jadi untuk mendapat bayangan yang lebih pas soal mahal atau tidaknya suatu barang, daripada dikalikan dengan kurs rupiah lebih baik kalikan 5000. Misal kapsalon ini yang saya beli seharga €7.5 di sebuah kios kebab. Kalau dikalikan kurs rupiah jadinya 140 ribu yang mana nggak masuk akal, itu harga makan di mall menengah atas Jakarta. Tapi kalau dikalikan 5 jadi 37 ribu masih bisa diterima karena 'tingkat kepuasan' yang saya dapatkan dari seporsi kapsalon ini (termasuk tempat, layanan, dan rasa) setara dengan makan di gerai ayam goreng di Indonesia yang harganya makanannya 30 sampai 40 ribu.


Air minum 1.5 liter ini harganya €1.2, dengan prinsip yang sama maka 'harganya' 6000 rupiah, tidak mahal tidak murah, just right. Ini berlaku di hampir semua kebutuhan pokok. Karena faktor teknis seperti distribusi, supply vs demand, aturan harga, dan mekanisme pasar bisa jadi ada produk yang terasa terlalu murah atau terlalu mahal setelah dikalikan 5, tapi secara umum kaidah ini mewakili dengan baik.


Harga seporsi nasi padang di resto padang paling terkenal di Belanda, Waroeng Padang Lapek, adalah €19.5. Ini mahal memang, tapi kalau dikalikan 5 jadi 100 ribu masih on par dengan Pagi Sore. Harga sate kambing di Warung Barokah Amsterdam €11, kalau dinormalkan dengan perhitungan yang sama tidak begitu jauh bedanya dengan Sate Khas Senayan atau Sate Pak Pong. Boba tea di Ming Kee harganya €5 untuk yang besar, kalau dikali lima ini kira-kira sama dengan harga Chatime. Harga indomie goreng sebungkus €0.6, dikali lima jadi 3 ribu.

Selain makanan, kebutuhan primer lain juga bisa ditreatment dengan cara yang sama, misalnya harga sewa apartemen, tagihan listrik, dan harga BBM. Penggunaan listrik kami dalam sebulan sekitar 50-60 euro, kalau dikalikan 5 dapatlah 250-300 ribu, angka yang wajar untuk penggunaan berdua. Harga BBM sekitar €1.85 untuk yang biasa dan €2.2 untuk yang bagus, kalau dikalikan lima mendekati harga pertalite dan pertamax.

Intinya dengan faktor pengali 5 ini, kita bisa membayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapat kualitas hidup yang setara dengan di Indonesia. Give better sense on what is expensive and what is affordable. Ini bisa jadi gambaran untuk orang yang akan bermigrasi ke Eropa. Jika tujuannya adalah negara atau region lain, mungkin konsep yang sama bisa diterapkan dengan faktor pengali yang berbeda. 

Implementasi yang paling praktikal dari ini adalah soal pertimbangan offering gaji. Misal di Indonesia punya gaji 10 juta nett, maka untuk mendapat kenyamanan hidup yang sama paling tidak offer yang didapat ada di range 40-50 juta nett (kurs sebenarnya). Kalau 'hanya' 25 juta rasanys tidak akan secukup 10 juta di Jakarta walaupun secara angka lebih besar. Ini mirip dengan orang yang bertanya, mending gaji 6 juta di Jogja atau 10 juta di Jakarta. 

Itu kalau ngomong satu faktor saja: gaji. Tapi kalau sudah bicara migrasi banyak faktor lain yang juga harus diperhitungkan: keluarga, makanan, bahasa, cuaca, budaya, dan pertimbangan pribadi lainnya. Lalu sebaiknya acuan yang dipakai nett bukan gross karena kalau sudah bicara negara yang berbeda aturan pajak, asuransi, dan pensiun pasti berbeda.

Kegunaan lain dari kaidah ini adalah untuk menjawab kalau ditanya soal harga-harga oleh keluarga atau teman di Indonesia. Pertanyaan 'barang X di sana harganya berapa?' adalah salah satu yang sering muncul. Agak susah buat menjawab mentah-mentah dengan harga yang dikalikan kurs karena jadi terlihat sangat mahal dan nggak make sense bayar segitu untuk barang itu. Saya lebih seneng menjawab secara kualitatif saja dengan mahal/murah/sedang berdasarkan 'rasa' mahalnya ketika membayar, dan ini terbantu dengan kaidah kali lima tadi.

Ada beberapa pengecualian dari aturan ini. Pertama adalah barang-barang yang stoknya melimpah seperti keju, coklat, susu, dan beberapa jenis buah. Karena banyaknya supply, harga keju, coklat, dan susu di sini relatif murah. Bahkan kalau dikalikan kurs sebenarnya pun angkanya masih masuk akal. Produk teknologi juga tidak terimpact karena karakteristik produksinya yang global (chip dari negara A, screen dari negara B, R&D di negara C, produksi massal di negara D). Misalnya IPhone 16 128GB Black di Amac Belanda harganya €839 (16 juta), untuk tipe yang sama harga di Ibox Indonesia adalah 14 juta. 

Terimakasih sudah membaca, ambil baik-baiknya saja.

Chandra

Aerospace By Heart



Ada seorang YouTuber yang video Shorts-nya sering lewat di tempat saya akhir-akhir ini, namanya Max Klymenko. Salah satu kontennya adalah Career Ladder, di mana Max berdiri di atas tangga lipat bersama orang yang dia temui di jalan. Max kemudian melempar beberapa pertanyaan cepat seputar karir dan pekerjaan pada orang itu. Tujuannya dalam waktu 2 menit dia harus bisa menebak apa pekerjaan lawan bicaranya, jika Max gagal si obyek boleh stay misterious atau memberikan jawabannya ke kamera. Mungkin sudah ratusan video seperti ini dia buat di berbagai tempat yang dia kunjungi.

Max sering gagal, tapi sebagai penonton berhasil atau tidaknya dia tidaklah penting, kalaupun gagal kita bisa menunggu jawaban dari narasumbernya. Pekerjaan mereka macam-macam, mulai dari firefighter, public relation, therapist, designer, comedian, chef, event organizer, aktor, politisi, notaris, penulis, dan lain sebagainya. Basically semua profesi yang bisa kita bayangkan, beberapa bahkan baru pertama kali saya dengar. Beberapa pertanyaan yang diajukan Max untuk mengerucutkan jawaban misalnya apakah pekerjaan ini bersifat kreatif, apa kamu menjual barang/jasa, apa kamu bekerja di luar ruangan, apa perlu gelar akademik untuk melakukan pekerjaan itu, sudah berapa lama kamu bekerja di profesi ini, dan lain lain.

Pertanyaan yang juga sering dia lontarkan adalah do yo enjoy your job. Jika orangnya jawab ya maka kemungkinan pekerjaannya bersifat seni atau pelayanan. Tapi jika jawabannya tidak, mungkin lawyer atau software engineer. Pada satu episode ketika obyeknya menjawab yes, Max langsung menyimpulkan 'so it's not software engineer'. Saya setuju, software engineer memang bukan job of passion, sejauh yang saya tahu orang bekerja di bidang ini antara karena itu yang paling dia bisa atau itu kesempatan terbaik yang dia punya. Berapa banyak anak kecil sebelum era digital ini yang punya cita-cita jadi ahli komputer? Nggak banyak saya rasa. Ketika bilang bercita-cita jadi insinyur, yang dibayangkan adalah bekerja di lapangan pakai rompi dan helm proyek bukan duduk depan laptop working from home.

Ini memang salah satu pekerjaan yang cukup dijalani tanpa harus dinikmati. Bayangkan sebuah pekerjaan di mana 'error-nya udah ganti' adalah sebuah prestasi wkwk. Error adalah suatu keniscayaan yang ditemui hari ke hari: syntax error, gateway timeout, invalid input, missing semicolon, class not found, compilation error, bad request, unauthorized, etc. Butuh adaptasi untuk jadi biasa saja dan bisa membedakan mana error yang perlu ditanggapi dan mana yang bisa diabaikan.

That being said, setelah enam tahun secara intens menekuni profesi ini, saya tetep tidak mengatakan pekerjaan ini sesuai passion. Bahwa saya bersyukur atas kesempatan ini, sangat. Sama bersyukurnya dulu pernah kuliah penerbangan. Pesawat terbang tetap punya tempat khusus buat saya. Bukan hanya pesawat sebagai barang, tapi juga sebagai keilmuan. Sesimpel sebagai obrolan, saya lebih tertarik berbincang soal teknologinya Boeing dan Airbus daripada AI dan cloud technology. 

Cara berpikir yang dibentuk dengan belajar teknik penerbangan dulu cocok buat saya. Bagaimana dalam banyak hal optimasi perlu dilakukan dan you can't have it all. Bagaimana dalam merancang sesuatu perlu memikirkan aspek fail-safe. Bahkan pendekatan terhadap fault/error pun saya suka: calculated safety factor dan redundancy. Kadang-kadang saya masih bawa cara pikir ini dalam bidang software dan ternyata belum tentu cocok.

Maka untuk kasus saya ada batas yang jelas antara passion dan profesi. Jadi saya tidak merasa sia-sia kuliah 4 tahun dan sekarang bekerja di bidang lain karena I got to keep it as a hobby. Saya masih suka nontonin pesawat dan planespotting, seneng ada di bandara, gemar mengamati perangkat aero di mobil dan motor balap, masih punya keinginan membangun UAV dan kincir angin, serta takjub melihat besarnya kincir pembangkit listrik skala besar. 

                Planespotting bandara Schiphol

Saya masih ingat dulu di Bandung gedung PTDI tampak keren sekali dilihat dari atas jembatan layang Pasupati. Kalau saya not into penerbangan mungkin tidak segitunya. Tapi karena gemar, saya sering naik motor lewat depannya hanya untuk melihat gedungnya dan hanggarnya dari dekat sekalian planespotting dari dekat runway Bandara Husein Sastranegara. Kini di Belanda alhamdulillah ada kesempatan serupa: mengunjungi kampus Aerospace Engineering-nya TU Delft.

TU Delft adalah salah satu tujuan favorit pemerintah Indonesia menyekolahkan insinyur penerbangannya kala itu sehingga termasuk kampus yang 'dekat'. Dosen-dosen penerbangan banyak yang lulusan sana, di lab ada windtunnel hibah dari Delft kalau saya nggak salah ingat, dan salah satu buku pegangan wajib "Synthesis of Subsonic Airplane Design" ditulis oleh Pak Egbert Torenbeek yang adalah orang Delft. Ibaratnya AE ITB ikut mazhab-nya AE TU Delft. Saat ini juga ada beberapa teman yang sedang kuliah master dan doktoral di sana. 

Jalan-jalan ke kampus ini berasa seperti pilgrim. Bangunannya yang tinggi di antara bangunan lain di sekitarnya mengingatkan saya pada gedung PTDI. Saya tidak bisa masuk karena datang ke sana hari Sabtu, semoga lain kali ada kesempatan datang ketika weekday sehingga bisa masuk setidaknya sampai lobi. Saya lihat ada beberapa barang-barang menarik di dalam. Tapi di luar pun sudah nyaman untuk duduk-duduk, khas suasana kampus yang teduh, tenang, lega, dan terbuka. 


Luchtvaart- en Ruimtevaarttechniek, keren sekali namanya. Kalau di-Bahasa Indonesia-kan jadi Aeronotika dan Astronotika, nama resmi yang dipakai di ITB sebelum diubah jadi Teknik Dirgantara. Tampaknya Aerospace Engineering TU Delft sudah berumur 85 tahun, masa yang panjang dan hampir pasti sudah berkontribusi banyak pada kepakaran dan perkembangan teknologi penerbangan dan antariksa dunia. 




Saya nggak tahu apakah di masa depan akan balik ke bidang penerbangan lagi atau tidak. Tapi saya bersyukur pernah belajar itu sebagai sesuatu yang sangat saya gemari.


Thanks,
Chandra

Elliott Jaques


Kenapa manajer secara umum digaji lebih tinggi daripada karyawan di bawahnya? Tanggung jawab lebih besar, betul. Pekerjaan lebih kompleks, bisa jadi. Tapi bisa juga karena manajer harus tahan stres lebih lama daripada bawahannya.

Ada sebuah konsep menarik yang dikemukakan oleh Pak Elliott Jaques soal Stratum, bahwa level dalam organisasi atau perusahaan itu berbanding lurus dengan discretion time yang dimiliki. Karyawan paling bawah yang mengerjakan tugas harian punya discretion time paling pendek. Posisi ini fokus pada operasional, tugas selesai dalam beberapa jam atau satu hari, dan tidak bawa PR dan beban pikiran saat pulang ke rumah.

Pegawai di atasnya yang memanage beberapa orang dengan sekumpulan tugas punya discretion time lebih lama, mungkin 2 minggu atau 1 bulan, setelah itu dia baru bisa 'panen' hasil kerja timnya dan merasa 'selesai'. Sebelum itu dia berada pada kondisi uncertainty yang harus dia tahan, maka discretion time ini bisa dipandang sebagai seberapa lama seseorang bisa tahan untuk berada dalam ketidakpastian, tekanan, dan stres. 

Seorang manajer harus tahan tekanan setidaknya 3 bulan karena perencanaan dan review hasil kerjanya dilakukan per kuartal. Semakin tinggi jabatan semakin lama pula sesorang harus kuat karena semakin lama hasil kerjanya bisa dilihat. Sebelum sampai di waktu itu mungkin belum ada sesuatu yang bisa dirayakan. Tergantung seberapa besar dan rumit organisasinya, tapi chief mungkin harus tahan 1 tahun, GM 5 tahun, dan Presdir 10 tahun.


Leveling ala Pak Jaques ini baru saya tahu belakangan, tapi berdasar pengalaman beberapa tahun bekerja di lingkungan korporat rasanya teori ini sangat masuk. Ini juga menjawab pertanyaan kenapa bos dibayar lebih besar padahal sepertinya yang dia kerjakan sehari-hari tidak lebih sulit dari tugas kita. Salah satu jawabannya karena he/she needs to handle the pressure (and keep their shit together) for longer dan has bigger questions to answer.

Dengan tahu konsep ini maka kita bisa paham bahwa untuk berkembang kita bukan hanya perlu jadi makin jago tapi juga makin kuat. Selain itu, Stratum ini jadi alasan kenapa pejabat karir deserve more respect daripada yang tahu-tahu di atas. Contoh dan pola stratum ini bisa dilihat di berbagai jenis pekerjaan dan bisnis.

Di sebuah gerai cepat saji, store manager punya discretion time dan durasi stres lebih lama daripada waiter. Waiter secara fisik mungkin lebih lelah, tapi ketika shift-nya berakhir dia bisa beristirahat lebih relaks daripada manager yang kepalanya terus berputar memikirkan operasional hari ke hari, minggu ke minggu, bahkan bulan ke bulan. Atlet klub sepakbola Liga Inggris harus menjaga gaya hidup, makan, dan fisik selama 9 bulan kompetisi nyaris tanpa jeda. Sementara atlet menembak mungkin tidak segitunya, masih bisa disambi bekerja sebagai law enforcement atau dosen (ingat Turkish 'assasin' di Olimpiade Paris).

Dalam berwirausaha pun konsep ini berlaku. Siklus sebuah warung madura tentu berbeda dengan Waroeng Steak yang punya puluhan cabang di berbagai kota. Stres dan pertaruhan dalam mendirikan sebuah bengkel motor di kabupaten tentu beda dengan mendirikan pabrik packaging bermodal 5 milyar di kawasan industri. 

Ada sebuah tes terkenal melibatkan anak-anak yang disebut marshmallow test. Di mana anak-anak dibiarkan sendiri di suatu ruangan dan diletakkan marshmallow di depannya. Dia boleh memakannya tapi kalau dia tahan untuk tidak, dia akan diberi hadiah tambahan satu marshmallow lagi. Ini adalah tes yang terkenal berkaitan dengan delayed gratification.

Hubungannya dengan apa yang dikatakan Pak Jaques adalah semakin tinggi jabatan seseorang, akan semakin jarang dia merasakan 'lega' yang muncul saat menyelesaikan suatu pekerjaan -- karena pekerjaannnya tidak selesai-selesai. Maka dari itulah dia berhak dengan kompensasi lebih. Ibarat peribahasa bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, semakin kompleks dan lama sakitnya, semakin besar pula senangnya.


Salam,
Chandra

Cerita Ganti Oli


Sekedar ganti oli, but make it cool


Ganti oli adalah maintenance paling dasar yang diperlukan sebuah kendaraan. Kalau mau murah dan bersedia kotor-kotoran dikit kita bisa beli oli di online shop lalu diganti sendiri di rumah. Oli bekasnya kemudian ditampung dan dibawa ke bengkel terdekat untuk dititip buang. Alternatif lainnya yang lebih simpel adalah datang ke bengkelnya langsung, biasanya ganti oli selesai dalam 30 menit kalau tidak antre. Biayanya tergantung mobil dan jenis oli yang dipakai, tapi maksimal 500 ribu sudah termasuk filter dan jasa untuk mobil standar.

Sementara di Belanda, nyuci mobil bukan di tempat cuci mobil saja tidak boleh, apalagi ganti oli. Kadang saya susah paham betapa strict-nya beberapa aturan di sini. Argumen tidak boleh cuci mobil di sembarang tempat adalah air sabun sisa cucinya akan terbuang ke tanah atau jalan dan ini dosa karena bisa mencemari jaringan air bersih (air minum). Jadi kalau mau cuci mobil harus di tempat cucian yang punya sistem pembuangan limbah khusus. Beberapa tempat cuci mobil menyediakan opsi bayar tempat saja, nyucinya lakukan sendiri, jadi lebih murah. 

Kalau bekas air sabun saja treatment-nya begitu, apalagi oli yang jelas lebih berbahaya. Kalau ketahuan ganti oli sendiri di tempat umum seseorang bisa kena denda. Denda. Dua tempat yang kemungkinan boleh dipakai adalah garasi pribadi dan pom bensin, itupun prosesnya harus clean. Oli bekasnya tidak boleh dibuang sembarangan, harus dibawa ke milieustraat, semacam recycling center yang ada di setiap kota. Kalau tidak yakin bisa clean, kendaraan sebaiknya di bawa ke bengkel. Sama seperti banyak urusan lainnya, untuk ganti oli di bengkel pun perlu bikin appointment dulu.



Harga 150€ ini adalah quotation paling masuk akal yang saya temukan, ada bengkel yang matok harga di atas 300€. Memang kebanyakan di sini pakai long life oil yang bisa dipakai sampai 10 hingga 15 ribu kilometer, tapi tetap itu harga yang bisa dibilang mahal untuk ganti oli dan filter. Tapi saya tetap datang karena ganti oli rutin adalah cheap insurance, cara memperpanjang umur kendaraan dengan harga lebih terjangkau daripada biaya perbaikan kalau terjadi apa-apa pada komponen mesin. Selain itu motor mobil yang olinya baru terasa lebih enak dan enteng ketika digas.

Saya datang sekitar 5 menit sebelum appointment di hari senin pagi dan langsung masuk ke bagian Receptie. Mobil langsung dibawa ke belakang dan dinaikkan ke jack. Sebenarnya customer tidak boleh masuk ke area bengkel tapi saya colongan lihat dan ambil gambar karena penasaran. Selanjutnya saya duduk di ruang tunggu sambil lihat-lihat beberapa onderdil dan brosur yang ada di sana. 


Prosesnya lebih lama dari yang saya kira karena paket ganti oli ini ternyata termasuk beberapa check-up dasar. Mereka menginfokan poin advice yang perlu saya tahu kalau nanti mau uji berkala tahunan (APK). Fun fact, saat menjelaskan hasil check-up, mereka menggunakan bahasa yang sangat-sangat awam. Kecuali seseorang tampak jelas sebagai auto enthusiast, dia akan dianggap tidak tahu mobil sama sekali di sini. Padahal di Indonesia ganti oli, kampas rem, dan wiper sendiri adalah hal biasa. Seminimal-minimalnya orang kalau datang ke bengkel akan ikut melongok ke kap mesin untuk tahu apa yang dilakukan mekaniknya. Tapi di sini mobil dianggap seperti black box, pengguna tahu pakai saja, hampir mirip sikap orang terhadap handphone.

Overall pengalaman servis mobil pertama di Belanda berjalan baik. Pelayanan mereka memuaskan dan mereka paham bahwa saya belum bisa berbahasa Dutch dengan baik sehingga komunikasi dalam Bahasa Inggris. Bengkel ini akan masuk pertimbangan untuk melakukan major maintenance sekaligus APK sekitar akhir tahun nanti.


Chandra


Mampir Masjid



Awalnya saya merasa perlu untuk mencatat masjid-masjid di Belanda yang bisa jadi tempat salat ketika bepergian. Jadi saya buat katalog sederhana di google sheet untuk mengingat lokasi masjid di jalur dan kota utama sehingga kapan dibutuhkan saya tahu dimana bisa mampir. Problem yang mau saya pecahkan adalah tidak mudahnya mencari tempat salat yang layak di negara ini. Jumlah masjid dalam satu kota bisa dihitung jari, fasilitas umum seperti pom bensin tidak menyediakan mushola, dan tidak di semua tempat ada akses ke air wudhu dan permukaan suci. Satu persatu masjid dicatat, setelah setahun ternyata terkumpul 50 tempat, alhamdulillah. 


Beberapa masjid lebih berkesan di antara yang lain. Masjid Al-Hikmah di Den Haag sangat nyaman buat saya dengan kehangatan orang-orang Indonesianya. Andai memungkinkan ingin rasanya tinggal dekat masjid itu. Moskee Ulu Camii jadi andalan untuk mampir ketika lewat Utrecht, ini sekaligus masjid pertama di Belanda yang saya salat di dalamnya. Lalu ada masjid di Amsterdam yang dari luar tampak seram karena bekas gereja tua tapi dalamnya nyaman dan selalu buka setiap mau mampir.

Saya mencari masjid saat berkunjung ke kota besar seperti Amsterdam, Roterdam, dan Den Haag. Di sana relatif ada lebih banyak opsi masjid karena demografinya yang heterogen, termasuk di dalamnya komunutas muslim. Seiring berjalannya waktu saya eksplor juga kota-kota lain dan mampir ke masjid di Tilburg, Breda, Eindhoven, Enschede, Groningen, Wageningen, dan lain sebagainya. Total ada lebih dari 25 kota di list ini ditambah dua kota di luar negeri (Cologne/Koln dan Paris). 

Dulu awal-awal saya beberapa kali kecele mendapati masjid yang tutup atau tidak akomodatif untuk pejalan (misal tidak dibuka untuk jamaah wanita sehingga istri tidak bisa ikut salat di dalamnya), tapi lama kelamaan dari melihat tampilannya di google saya bisa memprediksi kira-kira masjid ini bisa dipakai mampir atau tidak. Saya mulai mengenali karakter masjid dari organisasi-organisasi Turki, Maroko, dan tentu Indonesia. 

Awalnya saya fokus pada masjid yang letaknya dekat stasiun atau halte bus karena kemana-mana masih pakai transportasi umum, itu juga sebabnya pada list yang saya buat saya cantumkan transit in proximity. Tapi sejak ada kendaraan sendiri pencarian saya bisa lebih luas ke masjid yang lokasinya lebih masuk. Kota-kota kecil seperti Terborg, Doesburg, dan Dieren juga jadi bisa saya singgahi. 

Sebenarnya kalau sebagai alat pencari masjid google maps sudah cukup, pun untuk tahu jam salat sudah ada aplikasi Mawaqit yang diadopsi sebagian besar masjid. Jadi katalog masjid ini mungkin tidak akan terlalu berguna bagi orang lain selain buat exercise saya sendiri. Adanya list ini juga tidak serta merta membuat saya bisa selalu salat dengan proper, masih ada saatnya di mana saya salat di taman, lapangan golf, pojokan gedung, atau belakang pepohonan. 

Banyak cerita dari sekedar mencari tempat salat, semoga Allah mudahkan dan jaga supaya tetap (dan semakin) beraktivitas around salat meskipun di tanah yang asing, bukan sebaliknya.

Salam,
Chandra

CEO minta maaf


Dua minggu terakhir sektor transportasi Belanda sedang tidak baik-baik saja. Tidak tercapainya kesepakatan antara Nederlandse Spoorwegen (KAI-nya Belanda) dengan serikat pekerja terkait gaji dan kesejahteraan memicu terjadinya strike alias mogok kerja para karyawan kereta api. Akibatnya ada beberapa hari di mana kereta tidak beroperasi di seluruh atau sebagian wilayah Belanda. Situasi ini menjadi sorotan dan headline media karena kereta adalah salah satu moda transportasi paling penting di negara ini. Karena strike terus berulang dan sampai saat ini belum jelas kapan akan tercapai kesepakatan, CEO NS sampai mengirim email permohonan maaf langsung ke email pelanggan, berikut emailnya:

***

Dear traveler,

We don't often speak to each other one-on-one. Nevertheless, I think it is important to make myself heard now. After all, you are the most important reason why we at NS do what we do: keeping the Netherlands sustainably accessible for everyone.

That is also exactly why I am so annoyed that today you are having to deal with the consequences of a strike on the railways for the fourth time. I would like to offer you my apologies for that. It is a nuisance that you do not deserve.

The strikes are the result of stalled collective labor agreement negotiations between unions and NS. Although of great importance to our company, these negotiations are ultimately an internal conflict in which you have no part. Partly because of this, I find it annoying that on a day like today you do not get what you may expect from NS.

My colleagues take care of your train journey. A cheerful announcement on the train, good service at the station: it makes a world of difference. Other colleagues ensure behind the scenes that you can take your train; for example by creating a timetable or work schedule or tinkering with the trains.

All those colleagues deserve a good reward. That is also an investment in the future of your journey. At the same time, we also want to continue investing in beautiful stations, new and clean trains and keeping our tickets affordable. Things that you as a traveller can also benefit from.

The financial possibilities for our company - with five years of losses in a row and no profit this year either - are limited. We have to get our balance sheet in order like any other company, NS cannot structurally spend more money than it has.

What now? NS had not yet negotiated. Unfortunately, negotiations are difficult if not everyone shows up at the table. That is why we will now make the unions a so-called final offer and ask them to present it to their members. The floor is then up to them.

Unfortunately, I cannot promise that the strikes will end quickly with this step. I do hope that the unions and NS will still find a solution quickly. In your interest, that of my colleagues and for the future of NS.

Yours sincerely,

Wouter Koolmees
President and CEO of NS

***

Seorang kolega kedatangan keluarganya dari Kolombia pada Jumat 6 Juni kemarin. Namun hanya beberapa hari sebelumnya NS mengumumkan bahwa akan terjadi mogok kerja di seluruh Belanda tepat pada hari itu. Biasanya mogok kerja terjadi sektoral di provinsi tertentu saja, tapi kali ini strike meliputi pusat kontrol NS di Utrecht sehingga NS sama sekali tidak bisa beroperasi. Akibatnya teman ini terpaksa menyewa mobil untuk menjemput ke Schiphol. 

Perjalanan jarak dekat bisa digantikan bis atau kereta lokal non-NS (tersedia untuk rute tertentu saja), tapi mogoknya NS benar-benar merepotkan orang yang perlu pergi antar kota. Akibatnya terjadi kemacetan di highway karena lebih banyak orang memilih bawa mobil. Bahkan jalur sepeda pun jadi lebih semrawut karena commuter jarak dekat/sedang banyak yang pakai sepeda hari itu. Situasi ini tidak ideal dan sudah terjadi empat kali dalam dua minggu terakhir. 

Beda dengan KAI di Indonesia yang selain mencari profit juga punya fungsi pelayanan pada masyaratakat, NS bisnisnya lebih swasta. Maka pemerintah seperti tidak punya kontrol penuh atasnya. Tapi di sisi lain isu ini menunjukkan bahwa NS punya serikat pekerja yang kuat dan solid sampai bisa head-to-head selama berminggu-minggu dengan perusahaan sebesar ini. 

Kini negosiasi masih terus berjalan dan NS sudah memberikan tawaran terakhir pada union. Para pekerja selanjutnya akan voting untuk menentukan apakah mereka akan menerima tawaran itu. Entah apa yang terjadi kalau mereka menolak tapi untuk sementara belum ada rencana untuk mogok lagi. Statement dari CEO NS di atas juga jadi penjelasan yang ditunggu para customer untuk meredakan spekulasi. Inisiatif untuk mengirim email adalah keputusan PR yang baik, instead of hanya pasang ucapan maaf di instagram official perusahaan.


Setidaknya take away dari ini adalah bahwa negara yang biasanya tampak beres apa-apanya ini sebenarnya juga punya masalah di belakangnya. Begitu ngikuti berita politik dan ekonomi, akan terlihat morat maritnya sebuah negara. Belum lama sebelum ini terjadi pecah koalisi pemerintahan karena isu kebijakan suaka. Geert Wilders mundur dan akan ada pemilu pada Oktober nanti. 





Billing Lumba-Lumba



Siapa ingat xfile-enigma dan terselubung? Ya, itu adalah salah dua blog yang populer di awal era internet masuk secara masif ke Indonesia. Dulu informasi di internet dari yang sifatnya profesional sampai entertainment mayoritas masih berbasis tulisan karena internet cepat belum tersebar secara merata. Sekarang model tersebut sudah usang digantikan konten berbasis video dan mungkin pada waktunya nanti AI. Dulu kalau mau cari berita teraktual top of mind-nya detik.com. Namanya detik seolah-olah mereka mengeluarkan update baru setiap detiknya, sungguh brilian. Kini mencari tahu jauh lebih mudah, dengan memasukkan kata kunci di media sosial sudah keluar semua pembahasan soal sesuatu.

Dulu istilahnya berselancar karena untuk bisa berinternet kita butuh usaha ekstra. Minimal harus menyalakan komputer dan modem, kalau belum ada koneksi intenet di rumah maka harus pergi ke warnet. Beda dengan sekarang di mana kita 24/7 terhubung ke internet lewat smartphone, dulu ada waktunya kita online dan offline. Ketika offline kita benar-benar terputus dari dunia maya, no update, no notif, no nothing. Ingat dulu di facebook chat ada penunjuk siapa saja teman yang sedang online? 

Ada excitement ketika pulang sekolah masuk bilik warnet, klik aplikasi billing lumba-lumba, login FB, lalu melihat semua notif yang masuk selama kita offline: chat, wall-to-wall, friend request, ulang tahun, poke/colek. Ada kebiasaan add orang-orang yang sama sekali tidak dikenal karena sebuah kebanggaan lebih kalau punya banyak teman di FB. Facebook sempat jadi bagian dari lifestyle, lebih heboh daripada medsos-medsos pendahulunya. Tergantung kapan kamu lahir, mungkin kamu sempat mengalami eranya myspace atau minimal friendster :)


Dulu twitter DIY banget dengan format RT-RT-nya yang khas itu. Kini retweet sudah rapi, tapi siapa yang tidak kangen masa-masa itu? Banyak yang terjadi sejak saat itu: twitter sempat redup karena kalah dengan instagram, lalu ramai lagi, dibeli Elon Musk, sampai namanya berubah jadi X. Kini tidak ada lagi aplikasi pihak ketiga yang dipakai mengakses X layaknya ubersocial dan writelonger dulu. Signature 'twitter for blackberry' juga sudah tidak ada lagi. Yang tersisa dari era lama twitter tinggal twit-twit kocak dan fun jaman dulu yang masih muncul kalau di-search.

Kalau kamu ketik handler twitter di search bar, yang akan muncul adalah twit-twit lama pre-2015 karena di jaman itu masih butuh handler untuk retweet dan mention, twit modern tidak lagi setelah adanya fitur reply dan quote. Serius, kalau kamu punya waktu luang cobalah, time capsule. Kita punya teknologi yang lebih canggih tapi tidak lagi punya keberanian ngepost seperti dulu. Siapapun kamu sekarang, twit 2012-mu gak bisa bohong.

Mengerjakan tugas sekolah dan kuliah tidak semudah sekarang. ChatGPT dan kawan-kawannya jelas belum ada. Referensi benar-benar harus baca dan tidak boleh dari wikipedia apalagi mencantumkan 'google' sebagai sumber. Handphone belum sesupport sekarang untuk bekerja jadi kebanyakan urusan harus dari laptop atau komputer yang tidak di setiap saat tersedia. Banyak urusan masih paper-based sehingga harus menyisihkan waktu untuk ngeprint dan semacamnya. Kalau berurusan dengan bahasa asing mesti cermat karena terjemahan google translate masih sering ngaco.

Saat streaming service belum sebagus sekarang, orang ke warnet untuk nyetok film. Musik masih didengar secara offline dalam format MP3, belum ada perdebatan mana yang suaranya lebih bening antara Apple Music dan Spotify, bisa mendengar lagu di handphone saja sudah sebuah kemewahan. Kalau butuh liriknya perlu install MiniLyrics atau browsing di google lalu ketemu blog warna-warni dengan teks lompat-lompat. Akui saja, seminimal-minimalnya kamu pernah pakai Wordart di Word dan animasi gerak-gerak di Powerpoint.

Sekarang berbagi file dengan orang lain semudah mengirimnya via WhatsApp, dulu pakai flashdisk karena orang belum terbiasa dengan email. Kalau sial bisa tular-tularan virus wkwk. Sekarang anak-anak bisa bergaya kirim-kiriman file via airdrop, dulu bisa pakai bluetooth saja sebuah kemawahan, sebagian anak muda mesti settle dengan infrared yang kalau geser dikit koneksinya putus.

Kita beruntung jadi bagian dari generasi ini karena mungkin jadi yang paling nyemplung ke teknologi. Generasi sebelum kita besar sebelum ada komputer dan internet. Sementara generasi sesudah kita lahir ketika teknologi sudah terlalu advanced sehingga tidak perlu dioprek lagi. Jaman itu struggle-nya riil, tapi kalau ada cara untuk bisa mencicipi itu lagi, sign me up. Internet boom terasa seperti baru kemarin, padahal itu sudah 10-15 tahun yang lalu. Teknologi berubah, manusianya lebih lagi. Apa ingatanmu soal masa-masa itu?

Now playing: "Dear God, the only thing I ask of you is to hold her when I'm not around, when I much too far away"

Chandra

Paris Happens


Sejak melangkah keluar dari stasiun kereta bawah tanah Champ de Mars, semua mata langsung tertuju ke atas menyaksikan betapa besar dan garangnya Eiffel Tower. Tempat ini adalah keajaiban dunia nomor dua yang saya kunjungi setelah Candi Borobudur di Magelang. Borobudur juga sebuah struktur yang besar, bedanya candi itu mengesankan nuansa kalem dan dingin, sementara Eiffel tampak sangar dan progresif. Bentuk dan material besinya menjadikannya punya kesan modern dan masih relevan dengan jaman. Eiffel jauh lebih mengesankan ketika disaksikan secara langsung. 



Eiffel bisa dinikmati dengan menaikinya lalu memandang semua yang ada di bawah, bisa juga dilihat dari kejauhan dari arah Trocadero. Di bawahnya ada hamparan rumput hijau yang nyaman untuk piknik dan berfoto. Sebagian orang yang mementingkan dokumentasi sengaja bolak-balik naik Metro jalur 6 supaya bisa memvideokannya secara dramatis sambil jalan. Eiffel adalah landmark yang bisa dinikmati dengan berbagai macam cara. 

Dari apa yang saya lihat kemarin, tidak heran kalau Paris jadi salah satu kota tujuan wisata terfavorit dunia. Eiffel itu baru salah satunya, masih ada Musee du Louvre, Arc de Triomphe, Seine River, Grande Mosquee de Paris, dan Montmartre. Pelancong dari berbagai negara, ras, dan bahasa berbaur di sana. Ada yang solo traveling, datang bersama keluarga, maupun dalam rombongan besar dengan pemandu wisata. Sejak pindah ke sini, Paris jadi salah satu bucket list yang prioritas dikunjungi. Namanya terlalu besar untuk diabaikan ketika jaraknya kini hanya beberapa jam perjalanan. Sebagai penggemar tetralogi Laskar Pelangi, kesempatan mengunjungi Paris jelas sesuatu yang tidak ingin saya lewatkan.


Sebuah pengalaman menarik di Paris Grand Mosque. Masjid ini free entry untuk muslim yang akan menjalankan ibadah salat tapi juga dibuka untuk visitor dengan membayar tiket masuk 3€. Sekitar 75% area masjid bisa diakses oleh pengunjung umum, hanya area salat yang tidak boleh. Tempat salatnya punya beberapa pintu besar yang terbuka dan terlihat dari luar sehingga orang-orang salat sambil dilihat para turis. Saya pikir ini inisiatif yang bagus untuk menunjukkan ademnya Islam ke masyarakat Perancis di tengah Islamophobia yang lumayan tinggi.


Arc de Triomphe berdiri di tengah persimpangan Charles de Gaule dan menjadi penanda kawasan belanja mewah Avenue de Champ-Elysees. Arc de Triomphe-nya sendiri tidak semengagumkan itu jika dibandingkan Eiffel kalau saya bilang, tapi kawasan di sekitarnya menawarkan pengalaman iconic walk yang sayang jika dilewatkan. Paris sebagai kota mode dan fashion terasa di sini.



Musee de Louvre dengan prisma-nya yang ikonik sudah barang tentu wajib dikunjungi. Kalau mau bisa sekalian book tiket untuk masuk ke dalamnya menyaksikan koleksi karya seni yang ada di sana, salah satunya yang paling terkenal adalah lukisan Monalisa. Waktu terbaik untuk mengunjungi Louvre ini adalah di waktu pagi atau sore ketika matahari tidak sedang terlalu terik dan di luar musim liburan sehingga tidak terlalu ramai.

Sungai Seine membentuk busur setengah lingkaran mengelilingi kota Paris dan hampir di semua titiknya cantik. Kalau nyore di sembarang pinggiran kali saja sudah asik, apalagi kalau kalinya adalah Seine. Di kanan kirinya banyak bangunan tua bersejarah yang sangat komikal. Kapal wisata dan pesiar sungai hilir mudik di aliran sungai ini. Jembatannya dibangun bukan sekedar untuk bisa dilewati orang tapi juga dipikirkan dengan matang estetikanya. Dari jembatan-jembatan ini kita bisa bertegur sapa dengan orang-orang yang melintas dengan kapal di bawah. Mungkin ada ratusan spot berbeda untuk menikmati Seine, jadi dimanapun berada melipirlah kesana dan hampir pasti ketemu tempat yang menarik.


Secara umum Paris kota yang cantik, ratusan bahkan mungkin ribuan cafe dan restoran estetik berjejer di sepanjang jalan. Bangunan lawas tersebar di area yang luas bukan hanya di pusat kotanya saja. Third space ala Eropa-nya tersebar dimana-mana. Untuk kota sebesar dan seramai ini, kualitas air dan udaranya cukup bagus. Matter of fact, perlu stiker khusus pada kendaraan yang mau masuk ke kota Paris untuk mengontrol emisinya.

Sistem transportasi dalam kotanya mencakup moda kereta, metro, tram, bis, hingga taksi yang memungkinkan menjangkau seluruh sudut kota. Tidak butuh waktu lama untuk memahami cara kerja transportasi umum di sana. Hanya saja ketika sampai di Paris harus membeli kartu khusus (navigo) dulu untuk masuk transportasi umum karena tidak bisa pakai kartu bank seperti di Belanda. Meski begitu topup bisa dilakukan lewat handphone, 1-day pass harganya 12€ sudah bisa dipakai untuk keliling kota tanpa batas sehari penuh (kecuali arah bandara, bis wisata, dan taksi).

Kami datang ke Paris dengan sedikit waswas karena kabar yang bilang bahwa di sana banyak copet, homeless, dan scammer. Scammer benar ada dan kami ketemu langsung, mereka minta tandatangan seolah untuk mendukung sebuah gerakan non profit tapi endingnya minta uang. Homeless dan beggars juga ada walaupun tidak sebanyak yang kami bayangkan sebelumnya. Tapi dalam hal keamanan alhamdulillah kami pulang tanpa kehilangan dan kekurangan suatu apapun. Beberapa sudut kota gelap dan pesing, masih lebih baik Belanda dan Indonesia (ada benefitnya jadi negara mayoritas muslim karena orang-orangnya lebih bersih). Beberapa stasiun dan kereta bawah tanahnya tampak usang dan tua, kalau saya lihat mereka lebih mementingkan headway yang singkat daripada comfort.


Kami punya limitasi dalam menikmati Paris karena tidak bisa sembarang masuk pesan makanan dan minum wine di cafe-cafe-nya seperti yang dilakukan wisatawan-wisatawan barat. Kami mengandalkan cemilan supermarket, buah, dan kebab shop untuk mengisi tenaga yang habis dipakai untuk melangkah lebih dari 16 ribu langkah sehari. Setelah bosan dengan kentang goreng dan kebab, baru di hari ketiga kami makan nasi dan mie goreng hangat dari warung Thai halal. Paris bukan yang paling muslim friendly dalam hal kuliner. 

Perancis dikenal sebagai negara Eropa paling tidak bisa berbahasa Inggris. Bahkan di Paris pun kami sering menemui kesulitan dalam berkomunikasi. Pengalaman ikut les bahasa Perancis level paling basic sedikit membantu untuk sekedar nyebut bilangan angka atau mengucap terimakasih, tapi itu jelas tidak cukup. 


Apakah akan kembali lagi ke Paris? Mungkin. Empat hari di sana terasa belum cukup. Tadinya saya mau juduli tulisan ini Tiba Tiba Paris tapi nggak jadi karena terlalu Vindes. Kadang saya mikir karena apa bisa ada di sini sehingga Paris hanya sepelemparan batu. Laa kuwwata illa billah..


Chandra

Eet Smakelijk!


Tidak perlu terlalu banyak berkata-kata, cuma mau taruh foto-foto makan siang ala Belanda. Gimana rasanya adaptasi dari universe nasi padang, soto, dan bakmi ke roti, salad, dan keju?


Surprisingly saya cocok dengan sopnya, rasanya gurih hangat dan teksturnya kental, biasanya isinya asparagus, prei, atau ui. Untuk keju yang paling cocok adalah varian jong belegen karena empuk dan rasanya ringan. 

Kadang saya ambil tortilla dan/atau roti tawar. Biasanya orang-orang membikinnya jadi sandwich dengan diisi daging, tapi karena saya menghindari perhewanan jadi biasanya cuma saya isi keju dan sayur. 

Saya juga ambil satu bun roti yang nantinya diolesi mentega, andalan dari dulu kalau sarapan di hotel. Telur rebus dan pisang biasa saya ambil untuk dikantongi biar nanti bisa dimakan ketika lapar. Minumnya jus jeruk atau ladang-kadang infused water.

Soal rasa memang butuh adaptasi tapi lama-lama lidah cocok juga. Justru yang agak ribet adalah cara makan. Sebagai orang yang biasa makan ngadep tumpukan nasi dan lauk di atas piring dan makan dengan sendok, makan model seperti ini jujur agak ribet.

Tidak setiap hari saya makan seperti ini karena tidak tiap hari pula WFO dan kalaupun di kantor kadang-kadang makan siangnya bawa bekal. Tapi inilah salah satu realita yang harus diterima tanpa menjadi kagetan: cara makan ala barat, tidak bisa asal makan daging, dan tidak ada rasa pedas.


Eet smakelijk,
Chandra