Logat



Salah satu warna yang nggak akan bisa saya lupa dari kesempatan saya tinggal dan kuliah di Bandung adalah soal betapa heterogennya logat dan dialek teman-teman yang saya temui. Shoutout untuk teman-temanku non-Jawa, tapi sudah jadi rahasia umum bahwa kalau kuliah di ITB bersiaplah terpapar bahasa Jawa lebih banyak daripada bahasa setempat. 

Entah kenapa teman-teman Jowo ini egois tidak mau menggunakan bahasa Indonesia diantara sesamanya, bahkan ketika ada teman non-Jawa di sekitarnya ikut mendengar. Alhasil lama-lama kosakata dan partikel bahasa Jawa menyebar kemana-mana. Kalau mau belajar bahasa Sunda jangan di ITB karena kamu malah akan jadi bisa bahasa Jawa, masuklah ke Unpad atau UPI untuk bisa bahasa Sunda, gitu katanya. 

Sebagai orang yang sudah ketempelan bahasa Jawa sejak lahir, saya mendapatkan pengalaman yang lebih jauh lagi. Pengalaman bahwa ternyata beda daerah beda pula logat dan kosakatanya. Berikut beberapa cerita dari point of view orang Jogja.

Tegal - Pemalang
Ora ngapak ora kepenak (penekanan pada -ak). Selain logat ngapaknya, yang khas dari orang Tegal adalah pengucapan yang konsisten untuk huruf 'a' ketika bahasa Jawa di daerah lain punya beberapa pengucapan 'a' dimana dapat diucap 'a' biasa atau seperti 'o' pada kata poros. Contohnya pada kata 'pira' (berapa) yang di Tegal diucap seperti kata 'pirang' yang dihilangkan 'ng' nya, bukan 'piro'nya orang Jogja. 

Beberapa vocab Tegal juga lucu misalnya kencot (lapar), laka (tidak ada), atis (dingin), pimen (bagaimana), nyong/inyong (aku), dan masih banyak lagi. 

Semarang 
Tidak banyak perbedaan antara bahasa Jawa di Semarang dan Jogja. Perbedaannya hanya pada partikel pelengkap kalimat 'ik' yang biasanya diucapkan orang Semarang setelah mengatakan sesuatu, "iyo ik", "aku gak iso turu ik", dll. Yang kedua adalah sapaan akrab yang digunakan yaitu 'nda' dan 'ndes' yang artinya kira-kira sama dengan 'bro' dalam bahasa kekinian atau 'dab' kalau dalam bahasa Dagadu Jogja

Klaten
Sebagai daerah yang berbagi border dengan Jogja tentu Klaten tidak banyak perbedaan dari sisi bahasa. Namun ada beberapa istilah yang ada di Klaten tapi tidak ada di Jogja. Misalnya bahasa Klaten mengenal istilah oglangan (pemadaman listrik) dan selepan (penggilingan padi).

Suroboyo / Jawa Timuran
Jarak nggak bohong terbukti dari banyaknya perbedaan bahasa antara Jogja dan Surabaya. Mulai dari sapaan yang kalau di Jogja 'dab', di Surabaya 'rek'. Lalu perbedaan arti beberapa kata yang pengucapannya sama seperti 'mari' (Jog: sembuh dari penyakit, Sby: selesai), 'bar' (Jog: sesudah, Sby: selesai). 

Beberapa kata-kata sederhana juga punya penyebutan yang berbeda misal untuk bertanya 'kenapa' di Jogja pakai 'ngopo', di Surabaya 'lapo'. Sapaan 'kamu' di Jogja 'koe', di Surabaya 'kon'. Perintah untuk bersegera di Jogja 'gek', Surabaya 'ndang'. Selanjutnya ada perbedaan penyebutan nama makanan seperti ote-ote versus bakwan. Itu cuma segelintir, masih banyak lagi perbedaan antara 'wakil' Jawa bagian tengah dan bagian timur ini.

Tuban - Ngawi - Nganjuk
Secara vocab mereka sama dengan Surabaya, tapi sapaan 'Rek' tidak terlalu banyak digunakan. 

Kediri
Di luar bahasa Jowo Timuran umum, orang kediri punya partikel 'PEH!!' untuk menyerukan sesuatu entah itu sebagai ekspresi senang, jengkel, gemas, kagum, atau apapun. Bukan orang Kediri kalau nggak pernah ngucap ini.

Madura
Saya nggak paham bahasa Madura, udah beda banget, mungkin emang udah kategori bahasa yang berbeda bukan lagi bahasa Jawa walaupun secara administratif Madura masuk Jawa Timur. Biasanya dengar bahasa ini di warung sate dan bebek goreng.

Cirebon - Indramayu
Orang Cirebon banyak yang bilingual Sunda-Jawa karena walaupun masih di Jawa Barat tapi secara budaya dekat dengan daerah pantai utara Jawa Tengah. Sebagian dari mereka bisa bahasa Jawa aktif dengan kosakata serupa Tegal, tapi tidak ngapak.

Selain itu semua, beberapa daerah punya ciri khasnya masing-masing juga namun saya tidak punya cukup teman dan percakapan sebagai referensi. Hal menarik lain adalah soal cara misuh alias mengumpat: asu, jancok, bajigur, dll yang juga punya pasar dan daerah kekuasaannya masing-masing wkwk..

Itu tadi adalah beberapa hasil pengamatan saya selama kuliah di Bandung. Tidak semua daerah saya paham dan ada yang pemahaman saya tidak dalam karena tidak ada cukup interaksi antara saya dengan teman-teman dari daerah tersebut.

Selama enam tahun di Bandung saya gagal menguasai bahasa Sunda. Secara pasif saya sudah bisa mengerti cukup banyak percakapan sehari-hari, tapi untuk aktif menuturkannya masih belum berani. Bahasa Sunda juga punya keindahannya sendiri. Kehalusan penuturan Bahasa Sunda adalah salah satu yang terbaik menurut saya apalagi kalau yang menuturkan perempuan, wah.

Sekian kesan yang saya dapatkan sebagai seorang pemegang logat Jogja yang sampai sekarang masih medhok dalam mengamati penggunaan bahasa Jawa oleh teman-teman dari berbagai daerah. Kalau ada yang kurang boleh ditambah hahaha

Chandra

0 comments :

Post a Comment