Pajak Netflix


Per 1 Juli 2020, layanan digital seperti Netflix dan Zoom akan dikenai pajak oleh pemerintah Indonesia. Hal ini disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu yang lalu. Sebelumnya saya sempat sinis dengan langkah pemerintah yang seperti oportunis dalam menarik bayaran. Tapi setelah riset kecil-kecilan saya jadi mafhum kenapa layanan digital seperti mereka perlu dipajaki segera.



Setidaknya ada 3 alasan yang membuat Netflix dan layanan sejenisnya harus diwajibkan membayar pajak

1. Kontribusi pada negara

Sampai saat ini Netflix dan Zoom tidak dapat membuktikan bahwa mereka punya kantor atau data center di Indonesia. Itu artinya ada potensi keuntungan negara yang lepas. Karena tidak ada kantor di Indonesia, bisa dikatakan mereka tidak mempekerjakan orang Indonesia. Tidak ada kontribusi dari sisi pembukaan lapangan kerja. 

Business model mereka juga tidak memerlukan banyak pekerja lapangan seperti ojek online yang secara tidak langsung membantu pemerintah membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat. Layanan digital seperti Netflix kalaupun ada karyawan barangkali hanya untuk keperluan marketing, atau ada vendor yang disewa untuk keperluan ini.

Kedua, dengan tidak membuka kantor di darat maka mereka tidak perlu membayar sewa fasilitas perkantoran dan infrastruktur data center yang secara nilai lumayan besar. Banyak ruang perkantoran dan data center disediakan oleh perusahaan swasta nasional dan BUMN, tapi tidak ada pemasukan dari jalur ini karena kemungkinan server mereka ada di luar negeri.

Dari sisi internet service provider mungkin mereka ada sedikit kontribusi. Kehadiran layanan streaming digital membuat subscription ISP dalam negeri terdongkrak. Sayangnya hal ini sulit dikuantifikasi karena penggunaan internet tidak semata-mata untuk nonton Netflix atau meeting Zoom saja. Apalagi sampai saat ini masih ada ISP yang memblokir Netflix.

2. Sulit dipajaki dengan cara konvensional

Jika penyedia layanan digital itu tidak punya badan hukum di Indonesia dan tidak mempekerjakan karyawan secara legal maka tidak ada pajak penghasilan yang bisa di-collect. Padahal pajak penghasilan adalah salah satu sumber pajak yang besar bagi negara. Lagi-lagi potensi pendapatan negara hilang di sini.

Di samping itu, karena tidak memiliki aset berupa kantor atau lahan di Indonesia maka mereka juga tidak membayar PBB. Menyamarkan keberadaan kantor supaya terhindar dari pajak adalah hal yang biasa dilakukan oleh pelaku usaha terutama yang masih berupa usaha kecil dan menengah. Tapi hal ini tentu tidak etis jika dipraktekkan oleh perusahaan sebesar Netflix.

Kesulitan untuk memajaki dari segala sisi ini membuat mau tidak mau pemerintah harus menarik pajak dari layanannya. Berdasarkan kenyataan bahwa mereka membuka layanan untuk subscriber di Indonesia. Sayangnya memang hukum kita ini kadang telat dalam melayani dan mengakomodir perkembangan teknologi sehingga kebijakan seperti ini selalu memakan waktu cukup lama hingga bisa direalisasikan.

3. Persaingan dengan brand lokal

Walaupun secara nama belum sebesar Netflix, tapi ada beberapa brand lokal Indonesia yang membuka layanan yang sama, streaming video. Tentu tidak fair jika brand lokal menjadi objek pajak dan harus membayar pajak sedangkan Netflix tidak. 

Pengenaan pajak akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh provider. Untuk menjaga margin, biasanya biaya ini akan dibebankan pada konsumen melalui penyesuaian harga. Ketika semua pelaku usaha yang bersaing dipajaki secara fair maka tidak ada brand yang kembang kempis karena lebih terbebani daripada yang lain. 

Banyaknya potensi yang hilang jika model yang sekarang tetap dilanjutkan menjadi alasan yang valid bagi pemerintah untuk segera menarik pajak dari platform digital luar negeri yang selama ini belum membayar pajak. Banyak negara lain sudah lebih dulu menerapkan kebijakan serupa. Indonesia termasuk yang belakangan melakukan ini.

Hal yang perlu dikritisi dari pemerintah adalah soal bagaimana kita ini sering kelabakan dalam menghadapi perkembangan teknologi. Ketika awal taksi dan ojek online masuk ke Indonesia layanan ini tidak mendapat sambutan yang baik bahkan di beberapa daerah ada Uber yang ditahan dan ojek online bermasalah dengan ojek konvensional. Sebabnya adalah tidak ada model bisnis transportasi online ini dalam peraturan tentang transportasi umum sehingga tidak jelas apa yang harus dilakukan. Pihak-pihak jadi bergerak mengikuti pemikiran dan kepentingannya masing-masing sehingga tampak berantakan.

Teknologi akan selalu berkembang. Komunitas teknologi selalu memikirkan sesuatu yang belum ada sekarang untuk diwujudkan di masa depan demi memudahkan kehidupan manusia. Jika regulator tidak berpikir dengan cara yang sama maka potensi-potensi kebocoran akan terus ada. 

0 comments :

Post a Comment