Share?


Pasti ada batas antara memberikan informasi yang cukup dan di mana informasi itu sudah terlalu banyak dan menjadi menyebalkan. 

Orang yang kita ikuti menentukan bubble kita dan bubble itu sangat memengaruhi standar yang kita punya. Orang yang mengikuti twitter saya mungkin jengah dengan twit-twit sampah yang saya post setiap ada pertandingan bola. Tapi itulah hasilnya kalau terlalu banyak follow account banter seperti UTDTrey dan Welbeast. Saya juga paham kenapa teman-teman penggemar k-pop juga banyak retweet soal idolanya. It is what it is, namanya juga media sosial dan attention business.

Problemnya, saya kadang merasa apa yang ingin saya keluarkan belum tentu cocok untuk semua audience (yang tidak banyak itu). Definisi baik, keren, dan bermanfaat yang ada di pikiran saya dipengaruhi orang-orang yang saya follow, sementara orang yang follow saya belum tentu punya definisi yang sama. 

Personal filter di sana buat saya seperti rem yang kadang di tekan kadang tidak tapi tetap harus ada dan berfungsi dengan baik. Sampah-sampah soal bola tadi saya biarkan lepas karena saya pikir tidak akan merugikan siapapun dan hanya di akun twitter yang privat. Tapi tidak semua keputusan untuk share/tidak share sesimpel itu. 

Hampir semua platform media sosial punya limiter dalam bentuk masing-masing: privacy setting, close friend, share to contact except, dll. Semua itu fasilitas ngerem yang disediakan oleh platform. Tapi penggunaannya diserahkan pada user masing-masing.

Saya iseng coret-coret gambar di atas karena kepikiran bahwa yang di sisi kanan tidak bisa kita kontrol: opini dan pandangan orang soal kita. Tapi kita punya kontrol penuh atas apa yang ada di kiri: orang-orang yang kita jadikan referensi. Layaknya makanan menentukan kesehatan badan, informasi juga makanan buat otak dan hati. Kebohongan yang diulang terus menerus saja bisa jadi dikira kebenaran, apalagi hanya definisi baik-buruk, penting-tidak, bagus-jelek. Apa yang kita dengar, baca, dan lihat terus menerus bisa sangat mendefinisikan kita.

Di jaman seperti ini hampir tiap saat kita perlu memutuskan: share or not? Kalau mau simpel jawabannya tidak perlu bermedia sosial sama sekali. Banyak orang memilih ini dan hidupnya tetap menyenangkan. Tapi buat saya pribadi online presence masih penting, atau setidaknya perlu. Maka filter di sana mesti dijaga benar-benar karena andai keputusannya untuk share pun masih harus diputuskan share-nya seperti apa.

Baru kemarin saya dengar nasehat yang makjleb: what you don't share can't be destroyed.


Chandra

0 comments :

Post a Comment